Tinjauan Pustaka
f. Teori tentang Penilaian Tindakan Moral
Dalam Cheppy Haricahyono (1995: 107) menyebutkan teori moral Pentingnya pertimbangan moral sebagai alat penilaian atau evaluasi moral terhadap dimensi kepribadian sekaligus tindakan- tindakan seseorang. Pertimbangan moral tersebut menunjuk pada tindakan yang merupakan kewajiban moral, larangan moral, dan tindakan non trival
Penjelasan mengenai kewajiban moral, larangan moral, dan tindakan non trival adalah sebagai berikut:
1) Tindakan sebagai kewajiban moral adalah tindakan yang benar kalau diwujudkan dan salah kalau tidak diwujudkan.
2) Tindakan sebagai larangan moral adalah tindakan-tindakan yang salah kalau 2) Tindakan sebagai larangan moral adalah tindakan-tindakan yang salah kalau
dimuat dalam
http://www.scribd.com/doc 58523585/teorijeremy-bentham
menyebutkan mengenai teori tindakan moral menurut Jeremy Bentham adalah sebagai berikut:
1) Teori egois etis Tindakan dari setiap orang pada dasarnya adalah untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Egois dianggap bermoral karena kebahagiaan dan kepentingan pribadi dalam bentuk hidup, hak dan keamanan. Secara moral dianggap baik dan untuk dilakukan.
2) Teori utilitarianisme Tindakan adalah baik dan tepat secara moral jika tindakan tersebut mendatangkan manfaat atau keuntungan bagi masyarakat. Tindakan yang mempunyai manfaat terbesar adalah tindakan yang baik.
Teori di atas digunakan peneliti dalam menilai tindakan narapidana residivis terkait dengan pengulangan tindak pidana. Sebelum dilakukan penilaian moral, peneliti perlu menyelidiki tindakan narapidana residivis dengan beberapa pendekatan etika.
Menurut K. Bertens (2007: 4-
etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku manusia moral tetapi ada cara untuk mempelajari moralitas atau pendekatan ilmiah tentang tingkah laku moral.
Menurut K. Bertens (2007: 15) menyebutkan tiga pendekatan tentang etika yaitu Etika deskriptif, etika normatif, dan etika metaetika. Dimana ketiga pendekatan tersebut sebagai dasar untuk mempelajari moralitas seseorang
Penjelasan mengenai ketiga pendekatan tentang etika adalah sebagai berikut:
1) Etika deskriptif 1) Etika deskriptif
2) Etika normatif Etika normatif merupakan bagian penting dari etika karena menitikberatkan pada diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral. Di sini ahli bersangkutan tidak bertindak sebagai penonton netral, tetapi ia melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia. Penilaian itu dibentuk atas dasar norma-norma. Etika normatif itu tidak deskriptif melainkan preskriptif (memerintahkan), tidak melukiskan melainkan menentukan benar tidaknya tingkah laku atau anggapan moral. Untuk itu, ia mengemukakan argumentasi-argumentasi yang bertumpu pada norma-norma atau prinsip-prinsip etis yang dianggap tidak dapat ditawar- tawar.
3) Etika metaetika Metaetika mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika mengarahkan perhatiannya kepada arti khusus dari bahasa etika itu. Misalnya penggunaan kata baik dalam menafsirkan sesuatu memiliki pengertian yang sama.
Dari ketiga pendekatan etika yang telah dipaparkan di atas, peneliti menggunakan 2 pendekatan yaitu pendekatan deskriptif dan pendekatan normatif. Pendekatan deskriptif digunakan peneliti untuk mendeskripsikan moralitas narapidana residivis mengenai anggapan-anggapan tentang perbuatan baik dan buruk sehingga muncul keputusan moral misalnya anggapan tentang tindak pidana yang telah dilakukan (pemahaman moral), perasaan empati dalam diri narapidana residivis atas tindak pidana yang telah dilakukan (perasaan moral), dan latar belakang pendidikan moral yang telah diterima.
penelti guna menilai tindakan moral narapidana residivis atas dasar teori-teori penilaian tindakan moral.
g. Norma Moral
Winarno (2006: 6) mengatakan bahwa, manusia sebagai perwujudan dari nilai tentang bagaimana seyogyanya manusia Sedangkan Kaelan (2004: 92) mengatakan bahwa,
Sementara itu, norma merupakan petunjuk tingkah laku yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan berdasarkan nilai-
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa norma merupakan perwujudan dari nilai yang berisi anjuran, perintah, pengaturan, larangan untuk berbuat atau tidak berbuat bagi manusia.
Ukuran atau pedoman itu dinamakan norma. Norma bisa berbentuk tertulis atau tidak tertulis yang dapat digolongkan menjadi berbagai macam. Menurut Winarno (2006: 6-7)
Norma-norma yang berlaku di masyarakat secara umum digolongkan menjadi 4 macam yaitu
Penjelasan mengenai keempat norma tersebut adalah sebagai berikut:
1) Norma agama yaitu peraturan hidup manusia yang berisi perintah dan larangan yang berasal dari Tuhan.
2) Norma moral/kesusilaan adalah peraturan/kaidah yang bersunber dari hati nurani dan merupakan nilai-nilai moral yang mengikat manusia.
3) Norma kesopanan dalah peraturan/kaidah yang bersumber dari pergaulan hidup antar sesama manusia.
4) Norma hukum adalah peraturan/kaidah yang diciptakan oleh kekuasaan resmi atau negara yang sifatnya mengikat atau memaksa.
perilaku moral harus selalu sesuai dengan kaidah-kaidah yang sudah ada.
Menurut Asri Budiningsih (2008: 24)
-norma moral adalah
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa, norma moral adalah kaidah atau patokan yang dijadikan manusia sebagai tolok ukur untuk menentukan baik buruknya perilaku manusia dan untuk menjadikan seseorang menjadi bermoral maka diperlukan suatu pendidikan yang dapat memperbaiki moral tersebut.
h. Teori Teori tentang Etika
Menurut K. Bertens (2007: 235-260) mengemukakan teori tentang etika Hedonisme, eudemonisme, utilitarisme, dan deontologi Keempat teori etika dijelaskan sebagai berikut:
1) Hedonisme Hedomisme berasal dari bahasa Yunani (hedone) berarti kesenangan yaitu baik apa yang memuaskan keinginan. Hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya memperhatikan kepentingan dirinya saja. Yang dimaksud egoisme disini adalah egoisme etis atau egoisme yang mengatakan bahwa seseorang tidak mempunyai kewajiban moral membuat sesuatu yang lain dari pada yang terbaik bagi dirinya sendiri.
2) Eudemonisme Berasal dari filsuf Aristoteles. Teori ini menegaskan bahwa, setiap kegiatan manusia mengejar suatu tujuan. Seseorang mencapai tujuan akhir dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Karena itu, manusia mencapai kebahagiaan dengan menjalankan secara paling baik kegiatan-kegiatan rasionalnya dan tidak cukup dengan melakukan beberapa kali saja, namun 2) Eudemonisme Berasal dari filsuf Aristoteles. Teori ini menegaskan bahwa, setiap kegiatan manusia mengejar suatu tujuan. Seseorang mencapai tujuan akhir dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Karena itu, manusia mencapai kebahagiaan dengan menjalankan secara paling baik kegiatan-kegiatan rasionalnya dan tidak cukup dengan melakukan beberapa kali saja, namun
3) Utilitarisme Utilitarisme dibagi menjadi dua yaitu:
a) Utilitarisme klasik Teori ini menjelaskan bahwa, menurut kodratnya manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan akan tercapai jika memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin. Kebahagiaan itu menyangkut seluruh umat manusia. Moralitas itu menyangkut suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaanya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia.
b) Utilitarisme aturan Teori ini menegaskan bahwa, prinsip kegunaan tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan, melainkan atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan-perbuatan kita. Perbuatan adalah baik secara moral bila sesuai dengan aturan moral yang paling berguna bagi suatu masyarakat.
4) Deontologi Sistem etika yang tidak mengukur baik tidaknya suatu perbuatan berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Sistem ini tidak menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan kita, melainkan semata-mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusan kita.
a) Deontologi menurut Immanuel Kant Menurut Immanuel Kant yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Kehendak menjadi baik jika bertindak karena kewajiban. Perbuatan adalah baik jika hanya dilakukan karena
hormat untuk hukum moral. Dengan hukum moral dimaksudkannya kewajiban. Menurut Immanuel Kant membedakan kewajiban moral sebagai imperatif kategoris dan imperatif hipotetis. Kewajiban moral mengandung suatu imperatif kategoris artinya perintah yang mewajibkan begitu saja tanpa syarat. Sebaliknya, imperatif hipotetis selalu diikutsertakan sebuah syarat. Hukum moral harus dipahami sebagai imperatif kategoris , maka dalam bertindak secara moral kehendak harus otonom dan bukan heteronom. Kehendak bersifat otonom bila menentukan dirinya sendiri sedangkan heteronom membiarkan diri ditentukan oleh faktor di luar dirinya seperti kecenderungan dan emosi.
b) Deontologi menurut W.D. Ross Menurut W.D. Ross, setiap manusia mempunyai intuisi tentang kewajiban artinya kewajiban itu berlaku langsung kepada manusia. Tetapi manusia tidak mempunyai intuisi tentang apa yang terbaik dalam situasi konkret. Untuk itu, perlunya akal budi yang mempertimbangkan dalam setiap kasus mana kewajiban yang paling penting. Kewajiban itu merupakan kewajiban prima facie artinya suatu kewajiban untuk sementara dan hanya berlaku sampai timbul kewajiban penting lagi.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori etika digunakan peneliti untuk menilai moralitas seseorang dalam hal ini narapidana residivis. Moralitas diukur setelah narapidana residivis mengikuti pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Teori etika tersebut meliputi: hedonisme, eudemonisme, utilitarisme, dan deontology.
2. Tinjauan Umum tentang Pembinaan Moral
a. Pengertian Pembinaan Moral
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa yang
Menurut Miftah Thoha (2003: 12) proses, hasil atau pernyataan menjadi lebih baik. Dalam hal ini menunjukkan adanya kemajuan, peningkatan, pertumbuhan, evolusi atas berbagai
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, pembinaan merupakan suatu cara, proses, tindakan yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan tertentu dengan maksud adanya kemajuan atau peningkatan guna memperoleh hasil yang lebih baik.
Sedangkan mengenai pengertian moral telah dijelaskan sebelumnya bahwa, moral berhubungan dengan baik dan buruk terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku ini mendasarkan diri pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Menurut Zubaedi (2005: 11) dijelaskan mengenai pengertian pembinaan adalah sebagai berikut: Pembinaan sebagai latihan pendidikan. Sejauh berhubungan dengan
pengembangan manusia. Pembinaan menekankan pengembangan manusia pada segi praktis, pengembangan sikap, kemampuan dan kecakapan. Dalam pembinaan, orang dibantu untuk mendapatkan pengetahuan dan menjalankannya.
Menurut Parsono (1989: 1) secara hakiki mengenai pengertian pendidikan adalah sebagai berikut: Proses pemanusiaan manusia atau suatu kegiatan memanusiakan manusia.
Melalui pendidikan yang terprogram dan terkelola dengan baik dan intensif, titik optimum usaha pendidikan akan terwujud. Pendidikan dikatakan berhasil apabila mampu mengubah tingkah laku manusia ke arah yang positif.
Menurut Redja Mudyahardjo (2001: 56) dinyatakan bahwa: Proses pendidikan dapat dilakukan di sekolah ataupun di luar sekolah
baik yang dilembagakan (pendidikan nonformal, seperti kursus, pelatihan, kelompok belajar, penitipan bayi, dan sebagainya), maupun yang tidak
(2001 dalam http://emmahandoko.blogspot.com ) menyebutkan mengatakan bahwa pendidikan berlangsung di dalam lembaga sekolah, keluarga dan masyarakat atau disebut
Adapun yang dimaksud Tri Pusat Pendidikan tersebut antara lain:
1) Pendidikan keluarga Pendidikan keluarga adalah pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya sesuai dan dipersiapkan untuk kehidupan anak-anak itu di masyarakat kelak. Materi pendidikannya meliputi nilai agama ataupun nilai dan norma dari sikap yang baik. Dalam hal ini, orang tua harus memberikan pendidikan dengan cara memberi contoh yang baik dalam perkataan maupun perbuatan agar anak dapat menyerap apa yang dilihat dan didengar dari lingkungannya terutama lingkungan keluarga.
2) Pendidikan sekolah Pendidikan sekolah adalah semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan berencana di dalam kegiatan persekolahan. Di sekolah terdapat norma-norma atau aturan yang harus diikuti oleh setiap peserta didiknya dan norma itu berpengaruh sekali dalam pembentukan kepribadiannya guna bekal kehidupan di masyarakat kelak.
3) Pendidikan masyarakat Pendidikan masyarakat adalah bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan berencana di luar kegiatan persekolahan atau di lingkungan masyarakat sesuai dengan kebutuhan tertentu. Masyarakat sebagai lembaga pendidikan ketiga sesudah keluarga dan sekolah. Di masyarakat terdapat norma-norma sosial budaya yang harus diikuti oleh warganya dan norma-norma itu berpengaruh dalam pembentukan
Dalam jurnal ilmu pendidikan oleh Masganti Sit (2010: 2) dinyatakan bahwa,
tentang pendidikan juga telah memunculkan berbagai rumusan tujuan pendidikan yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan sarana menyempurnakan perkembangan potensi-potensi manusia termasuk
Menurut Ki Hajar Dewantara dalam Nurul Zuriah (2007: 123) mengatakan bahwa: Pengajaran moral tidak lain adalah mendukung perkembangan hidup anak-
anak, lahir dan batin dari sifat kodratinya menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang umum. Sedangkan syarat pendidikan budi pekerti menurut Ki Hajar Dewantara disebut dengan metode ngerti, ngrasa, nglakoni (menyadari, menginsafi, dan melakukan).
Berdasarkan pengertian di atas peneliti menyimpulkan bahwa, pembinaan moral adalah suatu usaha atau kegiatan dalam rangka membina tingkah laku agar menjadi manusia yang baik sesuai dengan norma yang berlaku. Pembinaan moral dapat diwujudkan melalui pendidikan yang akan membantu proses perkembangan moral seseorang. Dimana dalam pembinaan moral tersebut terjadi proses pembelajaran yang mengubah tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik (positif). Jadi, pembinaan moral ini menyangkut pembinaan sikap dan tingkah laku moral yang baik.
Berdasarkan masalah yang peneliti lakukan mengenai pembinaan moral terhadap narapidana residivis yaitu, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta menyelenggarakan pembinaan moral melalui pendidikan nonformal yang menyangkut pendidikan agama, pendidikan budi pekerti, dan pendidikan lainnya bagi warga binaan pemasyarakatan termasuk narapidana residivis. Pembinaan moral diberikan kepada narapidana residivis sebagai usaha untuk memperbaiki moral mereka menjadi baik sehingga dapat berperilaku atau bertindak sesuai dengan aturan atau norma dalam masyarakat.
melalui pendidikan. Salah satu bentuk pendidikan yang mampu merubah moral seseorang adalah pendidikan moral dan pendidikan agama. Melalui kedua wadah tersebut akan diajarkan mengenai nilai moral, nilai ketuhanan, dan nilai sosial yang sangat berguna untuk membentuk akhlak manusia menjadi baik.
Hamid Darmadi (2007: 56-57) menyampaikan mengenai pengertian pendidikan moral menurut pandangan Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan moral merupakan suatu proses pembelajaran antara guru dan peserta didik tentang ajaran moral atau budi pekerti yang sesuai dengan amanat nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itu, pendidikan moral dapat disajikan dalam bentuk keilmuan maupun mental spiritual keagamaan. Pendidikan moral tersebut harus diberikan secara terus-menerus kepada peserta didik sehingga proses pembelajaran bukan hanya bersifat teknis melainkan nomatif dalam arti perubahan tingkah laku peserta didik sesuai dengan tujuan yang diinginkan yaitu terbentuknya pribadi yang bermoral dan berbudi pekerti luhur.
Tujuan pendidikan moral menurut Dreeben dalam Nurul Zuriah (2007: mengarahkan seseorang menjadi bermoral, yang penting adalah bagaimana agar seseorang dapat menyesuaikan Sedangkan tujuan dari pendidikan moral menurut Hamid Darmadi (2009: 51) adalah menghormati manusia sebagai manusia serta memperlakukan manusia sebagai
Jadi, berdasarkan pendapat di atas peneliti menyimpulkan bahwa, tujuan pembinaan moral adalah menyalurkan nilai-nilai moral kepada warga negara menjadi pribadi manusia yang memiliki ahlak dan watak yang bermoral sehingga mampu menerapkan nilai-nilai moralnya tersebut dalam kehidupannya. Terkait dengan pembinaan moral bagi narapidana residivis adalah bahwa narapidana residivis memperoleh pembinaan selama di lembaga pemasyarakatan yaitu Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam upaya
3. Tinjauan tentang Teori Pemidanaan
Sebelum menguaraikan tentang teori pemidanaan perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai konsep pidana, pemidanaan, dan tujuan pemidanaan.
a. Pengertian Pidana dan Pemidanaan
Menurut Hambali Tholib (2009: 12) mengenai pengertian pidana adalah sebagai berikut: Pidana berasal dari kata straf (Belanda) diartikan dengan hukuman. Pidana
didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan negara kepada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana.
Hal senada disampaikan oleh Sudarto dalam Hambali Tholib (2009: 12)
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
Pendapat lain ditambahkan oleh Muladi dan Nawawi Arief dalam Hambali Tholib (2009: 13) yang mengatakan bahwa unsur-unsur dalam pidana adalah sebagai berikut:
1) Pidana pada hakekatnya merupakan pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2) Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai wewenang.
3) Pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pidana merupakan sesuatu penderitaan atau pengenaan yang secara sengaja diberikan kepada orang yang melakukan perbuatan tindak pidana karena bertentangan dengan undang-undang.
Sedangkan pengertian pemidanaan menurut Hambali Tholib (2009: 15) Sedangkan pengertian pemidanaan menurut Hambali Tholib (2009: 15)
Hambali Tholib (2009: 13) mengatakan bahwa:
mempunyai kekuasaan berupa pengenaan penderitaan nestapa atau akibat lain yang tidak menyenangkan kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran kaidah hukum atau tindak pidana menurut undang-
Packer dalam Hambali Tholib (2009: 15) menyebutkan pentingnya sanksi pidana sebagai salah satu instrumen kebijakan dalam upaya penanggulangan kejahatan adalah sebagai berikut:
1) Sanksi pidana sangat diperlukan, kita tidak dapat hidup sekarang maupun masa yang akan datang tanpa pidana.
2) Sangksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia dan dimiliki untuk menghadapi kejahatan atau bahaya besar.
3) Sanksi pidana suatu ketika merupakan jaminan utama yang merupakan pengancaman sebagai penjamin secara manusiawi.
Moelyatno (2003: 5-6) menyebutkan tentang sanksi pidana pokok dan pidana tambahan menurut pasal 10 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pidana pokok meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda sedangkan pidana tambahan meliputi pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman
Sanksi pidana tersebut digunakan dalam menanggulangi kejahatan agar pelanggar jera atas perbuatan pidana yang dilakukan dan tidak mengulangi kejahatan kembali.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pemidanaan merupakan pengenaan atau pemberian pidana melalui sanksi pidana. Sanksi Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pemidanaan merupakan pengenaan atau pemberian pidana melalui sanksi pidana. Sanksi
b. Teori Pemidanaan tentang Tujuan Pemidanaan
Menurut Sudarto dalam Hambali Tholib (2009: 13) sebagai berikut: Tujuan dari kebijakan pemidanaan adalah menetapkan suatu pidana tidak terlepas dari tujuan politik hukum yang pada umumnya mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundangan yang paling baik untuk memenuhi keadilan dan
Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa teori yang mendasari tujuan pemidanaan. Teori-teori ini berkembang seiring dengan pertumbuhan pemikiran dan budaya manusia yang semakin maju yaitu dalam hal semakin diperhatikannya nilai-nilai kemanusiaan. Dwidja Priyatno (2006: 22-28)
Penjelasan mengenai teori absolut atau pembalasan, teori relatif atau tujuan dan teori gabungan adalah sebagai berikut:
1) Teori Absolut atau Pembalasan
Penganut teori ini adalah J. M van Bemmelen, Immanuel Kant, dan Hegel. Teori absolut atau pembalasan mengajarkan bahwa pidana dijatuhkan semata-mata karena telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak dan tidak dapat ditawar. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan sehingga pembalasan (vergelding) sebagai alasan untuk memidana kejahatan.
2) Teori Relatif atau Tujuan 2) Teori Relatif atau Tujuan
3) Teori Gabungan
Penganut teori ini adalah Pallegrino Rossi. Teori ini mengajarkan bahwa sekalipun pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun pidana harus mempunyai pengaruh yaitu perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general. Sehingga tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan tindak pidana.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa, teori tentang tujuan pemidanaan meliputi teori absolut atau pembalasan, teori relatif atau tujuan, dan teori gabungan. Dari ketiga teori yang digunakan peneliti adalah teori gabungan yakni sebagai acuan peneliti untuk menganalisis pelaksanaan pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam kerangka pemidanaan di Indonesia yang sesuai dengan prinsip Pancasila yaitu pemidanaan dilakukan dengan upaya untuk memperbaiki kerusakan moral narapidana residivis dan bertujuan untuk melindungi masyarakat atas tidak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis.
c. Tujuan Pemidanaan di Indonesia
Menurut Djoko Prakoso (1991: 24) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tahun 1972 dapat dijumpai tentang maksud tujuan pemidanaan disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) adalah sebagai berikut :
1) Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman masyarakat, negara, masyarakat, dan penduduk.
2) Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota 2) Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota
Menurut Hambali Tholib (2009: 20) disebutkan bahwa: Tujuan hukum pidana di Indonesia adalah agar supaya dengan ridho
Tuhan Yang Maha Esa cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat Pancasila jangan dihambat dan dihalangi oleh tindak pidana. Sehingga baik negara Indonesia, masyarakat, badan-badan hukum, maupun warga negara Republik Indonesia, serta penduduk lainnya mendapat pengayoman.
Dwidja Priyatno (2006: 18-19) menjelaskan bahwa, Indonesia menekankan pada perspektif Pancasila yang berorientasi pada prinsip sila-sila Pancasila
Penjelasan mengenai pemidanaan di Indonesia yang menekankan pada prinsip sila-sila Pancasila adalah sebagai berikut:
1) Pemidanaan harus diarahkan pada penyadaran iman dari terpidana agar bertobat menjadi manusia yang beriman dan taat.
2) Pemidanaan tidak boleh mencerai-beraikan hak-hak asasinya yang paling dasar dan tidak boleh merendahkan martabat masyarakat.
3) Pemidanaan diarahkan untuk menanamkan rasa cinta terhadap bangsa.
4) Pemidanaan diarahkan untuk menumbuhkan kedewasaan bagi warga negara yang mampu mengendalikan diri, disiplin, dan menghormati serta menaati hukum sebagai wujud keputusan rakyat.
5) Pemidanaan diarahkan menumbuhkan kesadaran akan kewajiban setiap individu sebagai mahluk sosial yang menjunjung keadilan bersama dengan orang lain sesama warga masyarakat.
Tujuan pemida
Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Dalam pasal 1 Rancangan Undang-Undang KUHP (Kitab Undang- Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Dalam pasal 1 Rancangan Undang-Undang KUHP (Kitab Undang-
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pemidanaan mengandung arti negara dalam menjatuhkan pidana haruslah menjamin kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap dihormati. Oleh karena itu, pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi menjaga keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Pemidanaan ditujukan guna m elindungi individu, masyarakat dan kepentingan negara atas perbuatan tercela atau kejahatan yang dilakukan seseorang akibat melanggar hukum yang telah ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP). Maksud pemidanaan adalah untuk mencegah dilakukan tindak pidana dengan cara memasyarakatkan terpidana melalui pembinaan dan pengayoman supaya terpidana menjadi orang yang baik. Selain itu, pelaksanaan pemidanaan harus mendasarkan pada perpekstif nilai-nilai Pancasila. Oleh sebab itu, dalam melaksanakan pemidanaan yang di Indonesia salah satunya diserahkan dalam lembaga pemasyarakatan.
4. Tinjauan tentang Narapidana Residivis
a. Pengertian Narapidana Residivis
dikenai hukuman atau pidana atau terpidana yang telah menerima putusan
Dari kutipan dalam jurnal internasional tersebut dapat diartikan bahwa, pengulangan tindak pidana (residive) didefinisikan penangkapan kembali, pemulihan kembali, atau pulang kembali seseorang.
Menurut Kartini Kartono (2001: 130) mengatakan bahwa, merupakan penjahat-penjahat yang berulang-ulang keluar masuk penjara. Selalu mengulangi perbuatan jahat, baik yang serupa ataupun yang berbeda
Sedangkan Elliot dalam Simadjuntak (1981: 75) narapidana sebagai penjahat ialah orang yang telah membuang atau tidak mengakui nilai-nilai masyarakat dimana masih berkeliaran di luar penjara yaitu residivis yang tertangkap. Mereka itu benar-
orang yang selalu mengulangi perbuatan seperti perampok, pengemis, dan pencuri. Dan perbuatannya tertera dalam pasal 104 sampai 485 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di Indonesia. Mereka termasuk the habitual criminal
Menurut pendapat dari R. Achmad Soemadi Praja dan Romli Atmasasmita (1979: 14) mengenai pengertian residivis dan bukan residivis adalah sebagai berikut:
1) Residivis yaitu seseorang yang telah dijatuhi pidana oleh hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap suatu perbuatan pidana dan sebelumnya telah mendapat putusan hakim atas kejahatan lain yang telah dilakukan.
2) Bukan residivis yakni seseorang yang dijatuhi putusan pidana oleh hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap suatu perbuatan pidana yang pertama dilakukan.
Tindak pidana yang terjadi dalam hal seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi putusan hakim yang bersifat tetap (in kracht van gewijsde), kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi. Pengertian residive hampir sama dengan seseorang yang melakukan lebih
Menurut Djoko Prakoso (1991: 30) dinyatakan bahwa, merupakan pelaksana perbuatan yang membahayakan kepentingan hukum. Kepentingan hukum adalah hak-hak, hubungan-hubungan, keadaan-keadaan dan gangguan-
Berdasarkan pengertian menurut para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa narapidana residivis yaitu seseorang dijatuhkan hakim dengan kekuatan hukum tetap diberikan pidana kepadanya karena suatu perbuatan melanggar hukum atas perbuatan kejahatan atau tindak pidana yang diulanginya.
b. Pengelompokkan Narapidana Residivis menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia
Winarno Budiyatmojo (2000: 72-78) Sistem KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di Indonesia menganut residive khusus yang diatur dalam Buku II tentang Kejahatan yaitu: residive sejenis dan residive kelom
Penjabaran mengenai residive sejenis dan residive kelompok adalah sebagai berikut:
1) Residive sejenis Residive sejenis meliputi pasal 144 (2) KUHP tentang penghinaan kepada kepala negara sahabat yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan, pasal 157 (2) KUHP tentang penghinaan terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan, pasal 161 (2) KUHP tentang perbuatan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan, pasal 163 (2) KUHP tentang penawaran/sarana melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan, pasal 208 (2) KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan umum, pasal 216 (3) KUHP tentang 1) Residive sejenis Residive sejenis meliputi pasal 144 (2) KUHP tentang penghinaan kepada kepala negara sahabat yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan, pasal 157 (2) KUHP tentang penghinaan terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan, pasal 161 (2) KUHP tentang perbuatan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan, pasal 163 (2) KUHP tentang penawaran/sarana melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan, pasal 208 (2) KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan umum, pasal 216 (3) KUHP tentang
a) Kejahatan yang diulangi harus sama atau sejenis dengan kejahatan terdahulu.
b) Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus ada keputusan hakim.
c) Pengulangannya dilakukan dalam tenggang waktu tertentu yaitu 5 tahun sejak ada keputusan hakim tetap.
2) Residive Kelompok Residive kelompok terbagi atas 3 bagian sebagai berikut:
a) Pasal 486 KUHP mengenai kejahatan-kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan terdiri dari pemalsuan mata uang (pasal 244 KUHP sampai pasal 248 KUHP), pemalsuan surat (pasal 263 sampai Pasal 264 KUHP), pencurian (pasal 362, 363, dan 365 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), pengancaman (pasal 369 KUHP), penggelapan (pasal 372, 374,375 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), kejahatan jabatan (pasal 415, pasal 417, pasal 432 KUHP), penadahan (pasal 480, pasal 481 KUHP).
b) Pasal 487 KUHP mengenai kejahatan-kejahatan terhadap orang terdiri dari Penyerangan dan makar kepala negara (pasal 131, pasal 140, pasal 141 KUHP), pembunuhan biasa dan pembunuhan berencana (pasal 338, pasal 339, 340 KUHP), pembunuhan anak (pasal 341, pasal 342 KUHP), abortus (pasal 347 KUHP, pasal 348 KUHP), penganiayaan biasa/berat dan penganiayaan berencana (pasal 351, pasal 353, pasal 354, pasal 355 KUHP), kejahatan pelayaran yang berupa pembajakan (pasal 438 KUHP, pasal 443 KUHP), dan insubordinasi (pasal 459 sampai pasal 460 b) Pasal 487 KUHP mengenai kejahatan-kejahatan terhadap orang terdiri dari Penyerangan dan makar kepala negara (pasal 131, pasal 140, pasal 141 KUHP), pembunuhan biasa dan pembunuhan berencana (pasal 338, pasal 339, 340 KUHP), pembunuhan anak (pasal 341, pasal 342 KUHP), abortus (pasal 347 KUHP, pasal 348 KUHP), penganiayaan biasa/berat dan penganiayaan berencana (pasal 351, pasal 353, pasal 354, pasal 355 KUHP), kejahatan pelayaran yang berupa pembajakan (pasal 438 KUHP, pasal 443 KUHP), dan insubordinasi (pasal 459 sampai pasal 460
dengan kejahatan yang pertama atau yang terdahulu. (2) Dengan adanya kelompok jenis residive yang telah dikemukakan, seseorang bisa dikatakan melakukan pengulangan apabila ia mengulangi tindak pidana dalam satu kelompok jenis yang sama. Seseorang yang melakukan tindak pidana yang diatur dalam pasal 351 KUHP yaitu penganiayaan kemudian melakukan tindak pidana lagi yang dijerat dengan Pasal 338 tindak pidana pembunuhan, dapat dikatakan sebagai residive karena tindak pidana tersebut masih termasuk dalam satu kelompok jenis yaitu kejahatan terhadap orang dan diatur dalam pasal 487 KUHP.
(3) Antara kejahatan yang diulangi dengan yang pertama atau terdahulu harus sudah ada putusan hakim dengan kekuatan hukum tetap. (4) Pidana yang pernah dijatuhkan hakim terdahulu harus berupa pidana
penjara.
(5) Ketika melakukan pengulangan, tenggang waktunya adalah
(a) Belum lewat 5 tahun sejak menjalani untuk seluruh atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan terdahulu atau sejak pidana tersebut sama sekali telah terhapuskan.
(b) Belum lewat tenggang waktu daluwarsa kewenangan menjalankan
pidana penjara yang terdahulu.
kelompok residive yaitu residive yang sejenis dan residive kelompok sejenis. Syarat berlakunya narapidana residivis adalah sebagai berikut:
1) Mengulang kejahatan yang sama atau oleh undang-undang dianggap sama. Misalnya kali ini ia mencuri lain kali ia mencuri lagi walaupun benda yang dicuri berbeda dan juga mengenai waktu maupun cara mencurinya tidak sama.
2) Antara perbuatan yang satu dengan yang lain pernah ada keputusan hakim yang menjatuhkan pidana secara sah.
3) Pernah menjalani pidana baik untuk seluruh maupun sebagian.
4) Waktu melakukan tindak pidana yang diulang itu kewajiban melaksanakan pidana terhadap perbuatan yang pertama belum kadaluarsa. Misalnya setelah dijatuhi pidana maka terpidana melarikan diri kemudian dalam waktu tertentu melakukan tindak pidana lagi sedangkan yang diadili dan dipidana untuk perkara yang diulang itu dan waktu untuk melaksanakan pidana yang pertama belum daluwarsa.
5) Yang bersalah atau terpidana melakukan tindak pidana ulangan belum 5 tahun berselang sejak bebas menjalankan pidana dari perbuatan yang sama.
c. Faktor Penyebab Timbulnya Kejahatan oleh Narapidana Residivis
Kejahatan adalah setiap perbuatan yang dilarang oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dan memberi sanksi berupa pidana negara. Perbuatan itu diberi hukuman karena melanggar norma-norma (Abdulsyani, 1987: 13).
Pendapat lain oleh Simadjuntak (1981: 71) menyebutkan bahwa,
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, kejahatan yang dilakukan oleh narapidana residivis merupakan suatu perbuatan yang tidak boleh dibiarkan sebab menimbulkan goncangan dalam masyarakat. Gejala
Menurut Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa (2005: 19-64) menyebutkan bahwa, untuk mencari kejelasan mengenai sebab kejahatan dalam peradaban manusia lahirlah teori- spiritualis, teori differential organization, teori ekonomi, teori sosial bond, dan teori mental disorder
Berikut ini akan dijabarkan mengenai teori-teori tersebut:
1) Teori spiritualis menurut George B Vold. Dalam teori spiritualis dijelaskan bahwa, seseorang yang telah melakukan suatu kejahatan dipandang sebagai orang yang terkena bujukan setan (evil atau demon). Sehingga orang berbuat jahat karena lepasnya iman yang dimiliki oleh manusia sehingga mudah terpengaruh oleh roh jahat. Jadi, teori ini menjelaskan bahwa, penyebab seseorang melakukan kejahatan karena sistem keyakinan atau iman seseorang yang lemah.
2) Teori differential organization menurut Sutherland Teori ini menjelaskan bahwa, pergaulan seseorang berperan terhadap pembentukan tingkah laku. Dari lingkungan tertentu lahir norma tertentu. Jika seseorang bergaul dengan pencuri, maka lama-kelamaan menganggap bahwa mencuri adalah hal wajar. Kejahatan dipelajari dalam pergaulan manusia. Kejahatan hanya ada dalam masyarakat diantara pergaulan individu. Orang belajar jahat dalam masyarakat, tanpa ada masyarakat tidak ada kejahatan. Jadi, teori ini menjelaskan bahwa, penyebab seseorang melakukan kejahatan karena pengaruh lingkungan atau pergaulan yang salah.
3) Teori ekonomi menurut Marx Penganut teori ini adalah Marx, pengikutnya William Bonger, dan Mr.H Calkoen. Dalam teori ini dijelaskan bahwa kejahatan timbul karena kemiskinan. Kemiskinan mendorong kepada kejahatan. Orang miskin meminum alkohol diluar batas, akibatnya tidak langsung adalah kejahatan.
pengangguran dipandangnya sebagai sebab utama dari kejahatan ekonomi. Sebagai bukti kejahatan para orang Yahudi di Amsterdam. Jadi, teori ini menjelaskan bahwa penyebab seseorang melakukan kejahatan karena kemiskinan, rendahnya penghasilan, dan pengangguran.
4) Teori sosial bond menurut Travis Hirchi Menurut teori ini menjelaskan bahwa, seseorang melakukan perbuatan menyimpang disebabkan karena hilangnya ikatan kontrol sosial dalam diri seseorang. Ikatan kontrol sosial tersebut meliputi: a) commitment yaitu hilangnya keterikatan seseorang pada sub sistem seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan kelompok sosial, b) beliefs yaitu hilangnya aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial.
5) Teori mental disorder menurut James C.Prichard Dalam teori ini dijelaskan bahwa seseorang melakukan kejahatan disebabkan karena terjadi kekacauan mental. Berdasarkan hasil penelitian oleh James C. Prichard sebanyak 20 hingga 60 persen penghuni lembaga pemasyarakatan mengalami satu tipe mental disorder (penyakit mental). Menurutnya penyakit mental tadi disebut dengan psychopathy atau antisocial personality yaitu suatu ketidakmampuan belajar dari pengalaman, kurang keramahan dan perasaan tidak bersalah. Seorang psychopath telihat memiliki kesehatan mental yang bagus tetapi sebenarnya hanyalah suatu mask of sanity (topeng kewarasan) Seorang psychopath ditandai dengan tidak menghargai kebenaran, tidak tulus, tidak merasa malu, bersalah atau terhina. Mereka berbohong dan melakukan kecurangan tanpa ada keraguan. Jadi, teori ini menjelaskan bahwa sebab seseorang melakukan kejahatan karena penyakit mental.
Jadi, teori-teori di atas digunakan peneliti untuk menganalisis faktor penyebab pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Teori tersebut berupa teori Jadi, teori-teori di atas digunakan peneliti untuk menganalisis faktor penyebab pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Teori tersebut berupa teori
Menurut Abdulsyani (1987: 28) menyebutkan tentang beberapa metode untu
Metode moralistik, abolisionalistik dan
Berikut ini penjelasan mengenai metode tersebut:
1) Metode moralistik artinya pembinaan yang dilakukan dengan cara bentuk mental-spiritual ke arah yang positif misalnya dilakukan oleh para pendidik, para ahli agama, dan ahli jiwa.
2) Metode abilasionalistik artinya pembinaan dilakukan dengan cara konseptual yang harus direncanakan atas dasar hasil penelitian kriminologis dengan menggali sumber-sumber penyebabnya dari faktor-faktor yang berhubungan dengan perbuatan kejahatan.
3) Metode operasional artinya metode pencegahan yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
Reckless dalam Abdulsyani (1987: 135) mengemukakan tentang konsep penanggulangan kejahatan adalah sebagai berikut: Konsepsi umum dalam penanggulangan kejahatan yang berhubungan
dengan mekanisme peradilan pidana dan partisipasi masyarakat yang meliputi pemantapan aparatur penegak hukum, perundang-undangan, mekanisme peradilan pidana, koordinasi aparatur penegak hukum dan pemerintah, dan partisipasi masyarakat.
Reckless dilakukan melalui treatment (perlakuan) dan punishment (penghukuman) (Abdulsyani, 1987: 138-142).
Penjelasan mengenai treatment (perlakuan) dan punishment (penghukuman) adalah sebagai berikut:
1) Treatment (perlakuan) menitikberatkan kepada usaha perlakuan dengan tidak Menerapkan sanksi pidana. Perlakuan ini bertujuan supaya pelaku kejahatan dapat kembali sadar akan kekeliruan atau kesalahan dan dapat 1) Treatment (perlakuan) menitikberatkan kepada usaha perlakuan dengan tidak Menerapkan sanksi pidana. Perlakuan ini bertujuan supaya pelaku kejahatan dapat kembali sadar akan kekeliruan atau kesalahan dan dapat
e. Penanggulangan Kejahatan berdasarkan Pemasyarakatan
Abdulsyani (1987: 27) menyebutkan tentang upaya penanggulangan kejahatan adalah sebagai berikut: Penanggulangan terhadap kejahatan mencakup aktivitas preventif yang
berupaya memperbaiki perilaku seseorang yang telah dinyatakan bersalah (terhukum) di lembaga pemasyarakatan. Upaya perbaikan terhadap perilaku kejahatan tersebut dilaksanakan dengan mengubah cara-cara penyiksaan dan isolasi sebagai ganjaran atas penebus kesalahan ke arah suatu sistem pembinaan dan pendidikan serta penyadaran sehingga tidak terulang kembali.
Sedangkan menurut pendapat Stephan Hurwitz tentang upaya menanggulangi kejahatan adalah sebagai berikut: Kejahatan yang dipandang sebagai kebiasaan seseorang yang menjadi
kebiasaan (berulang-ulang) bahkan menjadi mata pencaharian misalnya pencurian, pencopetan, pencurian dengan kekerasan dan penadahan dengan cara diberikan pemidanaan adalah sia-sia. Sebab diperkirakan mereka akan meneruskan cara hidup kriminal sehingga tindakan-tindakan keras demi keamanan masyarakat. Oleh sebab itu, perlu upaya yang lebih berat dari sekedar pidana terhadap pelaku kejahatan (Abdulsyani, 1987: 141)
Bertitik tolak pada upaya penanggulangan kejahatan yang diuraikan di atas, bahwa upaya penanggulangan kejahatan menekankan pada usaha pembinaan yang tidak lepas dari pemidanaan sebab, dengan pemidanaan yang sifatnya penghukuman saja tidak efektif mengurangi angka kejahatan.
Saharjo dalam Abdulsyani (1987: 141) mengatakan bahwa:
na penjara ialah pemasyarakatan. Artinya, masyarakat diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana tetapi juga orang-orang yang tersesat (terpidana) juga diayomi dengan memberikan bekal hidup
Berdasarkan uraian di atas maka, penulis menyimpulkan bahwa cara Berdasarkan uraian di atas maka, penulis menyimpulkan bahwa cara
5. Tinjauan Umum tentang Pembinaan Berdasarkan Sistem
Pemasyarakatan
a. Pengertian Pembinaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan tentang pengertian dan cara membina, 2) Pembaharuan dan penyempurnaan, dan 3) Usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya dan berhasil guna untuk memperoleh has (Peter Sammy dan Yenny Salim, 2007: 205).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pembinaan merupakan suatu usaha atau cara atau kegiatan dalam rangka meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani dari narapidana untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
b. Pengertian Sistem Pemasyarakatan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pendapat, peristiwa, kepercayaan dan sebagainya yang disusun dan diatur
Peter Sammy dan Yenny Salim, 2007: 1442). Menurut Romli Atmasasmita (1982: 44) disebutkan bahwa,
Menurut Dwidja Priyatno (2006: 162) disebutkan mengenai pengertian sistem pemasyarakatan berdasarkan UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan adalah sebagai berikut:
Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan agar menyadari kesalahan,
Menurut Dwidja Priyatno (2006: 180) dinyatakan bahwa, pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa, sistem pemasyarakatan merupakan rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana yang tidak terlepas dari konsep pemidanaan dalam upaya memasyarakatkan kembali warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila untuk meningkatkan kualitas warga binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana serta dapat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M. 02-PK.04.10 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan Menteri Kehakiman Republik Indonesia disebutkan beberapa pengertian tentang:
Warga binaan pemasyarakatan, lembaga pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara, pembinaan narapidana, pembina pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Dimana, cakupan konsep tersebut merupakan komponen dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan
Penjelasan mengenai komponen tersebut, adalah sebagai berikut:
1) Warga binaan pemasyarakatan sebagai penghuni Rutan yang meliputi, narapidana, anak negara, dan tahanan Rutan.
2) Lembaga pemasyarakatan adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang menampung, merawat, dan membina narapidana.
3) Rumah tahanan negara adalah unit pelaksana teknis tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
4) Pembinaan narapidana ialah semua usaha yang ditujukan untuk
5) Pembina pemasyarakatan adalah pegawai pemasyarakatan yang melakukan pembinaan secara langsung terhadap narapidana, anak negara, dan tahanan (intramural treatment) atau mereka yang terdiri dari perorangan, kelompok atau organisasi yang secara langsung maupun tidak langsung ikut melakukan atau mendukung pembinaan narapidana, anak negara, dan tahanan (intramural treatment).
6) Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) adalah tim yang bertugas memberi pertimbangan kepada pimpinan dalam rangka tugas pengamatan terhadap pelaksanaan pembinaan narapidana, anak negara atau sipil, dan klien pemasyarakatan.
c. Pembinaan berdasarkan Pemasyarakatan
Menurut Dwidja Priyatno (2006: 194) dinyatakan bahwa, merupakan kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani
Menurut Bambang Poernomo (1986: 187) menyebutkan tentang pembinaan narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan adalah sebagai berikut:
Pembinaan narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu, sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk membangkitkan rasa harga diri sendiri dan pada diri orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa, pembinaan berdasarkan sistem pemasyarakatan merupakan usaha melalui suatu kegiatan dalam rangka perbaikan terhadap seseorang yang terpidana dalam hal ini Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa, pembinaan berdasarkan sistem pemasyarakatan merupakan usaha melalui suatu kegiatan dalam rangka perbaikan terhadap seseorang yang terpidana dalam hal ini
d. Tujuan Pembinaan Berdasarkan Pemasyarakatan
Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan yang dapat dibagi dalam tiga hal yaitu:
1) Setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan tidak lagi melakukan tindak pidana.
2) Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif membangun bangsa dan negaranya.
3) Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akherat (C. I. Harsono, 1995: 47).
Menurut Dwidja Priyatno (2006: 10) dijelaskan bahwa: Tujuan dari pembinaan dalam sistem pemasyarakatan adalah membentuk
warga binaan agar menjadi manusia seutuhnya menyadari kesalahan memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, tujuan pembinaan pemasyarakatan dimaksudkan membentuk warga binaan agar memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana dan berperan aktif dalam pembangunan sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.
e. Tahap-Tahap Pembinaan dalam Lembaga Pemasayarakatan
Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M. 02-PK.04.10 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan, menyebutkan tentang tahapan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M. 02-PK.04.10 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan, menyebutkan tentang tahapan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan
2) Tahap kedua adalah pembinaan lanjutan di atas 1/3 sampai sekurang- kurangnya 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya.
3) Tahap ketiga adalah pembinaan lanjutan di atas 1/2 sampai sekurang- kurangnya 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya.
4) Tahap keempat adalah pembinaan lanjutan/bimbingan di atas 2/3 sampai selesai masa pidananya (Ismail Saleh, 1990: 16)
Menurut Surat Edaran K.P.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965 tentang pemasyarakatan di Indonesia dalam Dwidja Piyatno (2006: 99- pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan meliputi tahap pertama, tahap
Penjabaran tahapan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan adalah sebagai berikut:
1) Tahap pertama Setiap narapidana yang masuk di lembaga pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk segala hal ikhwal perihal dirinya, termasuk sebab-sebab ia melakukan kejahatan, dimana ia tinggal, bagaimana keadaan ekonominya, latar belakang pendidikan dan sebagainya.
2) Tahap kedua Jika proses pembinaan narapidana yang bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya 1/3 dari masa pidana, dan menurut Dewan Pembina Pemasyarakatan sudah mencapai kemajuan antara lain menunjukkan keinsyafan, disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di lembaga pemasyarakatan maka, kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak.
3) Tahap lanjutan Bilamana proses pembinaan terhadap narapidana yang bersangkutan telah menjalani 1/2 dari masa pidana, dan menurut Dewan Pembinaan Pemasyarakatan telah dicapai kemajuan yang baik secara fisik maupun mental dan dari segi keterampilan telah baik, maka dapat diperluas dengan
4) Tahap akhir Jika proses pembinaan telah dijalani 2/3 masa pidana dan dinyatakan oleh Dewan Pembinaan Pemasyarakatan telah mencapai cukup kemajuan dalam proses pembinaan antara lain bahwa, narapidana telah cukup menunjukkan perbaikan-perbaikan dalam tingkah laku, kecakapan dan lain-lain. Maka, tempat atau wadah utama dari proses pembinaanya ialah Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Di tempat baru ini, narapidana diberi akan memperoleh pembimbingan sehingga prosesnya bukan lagi pembinaan. Di tempat baru ini, bersamaan dengan ini dipupuk rasa harga diri, tata krama, sehingga dalam masyarakat luas timbul kepercayaannya dan berubah sikapnya terhadap narapidana.
Berikut ini, secara ringkas dapat dilihat dalam bagan tentang alur tahapan pelaksanaan pembinaan di lembaga pemasyarakatan.
Tahap pertama
Tahap kedua (pembinaan)
Tahap ketiga( lanjutan)
Tahap akhir Gambar 1. Alur Tahapan Pelaksanaan Pembinaan
f. Metode Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Menurut C.I. Harsono (1995: 431) disebutkan bahwa:
agar dapat secara efektif dan efisien diterima oleh narapidana sehingga dapat menghasilkan perubahan dalam diri narapidana baik perubahan dalam berfikir, agar dapat secara efektif dan efisien diterima oleh narapidana sehingga dapat menghasilkan perubahan dalam diri narapidana baik perubahan dalam berfikir,
Penjelasan mengenai metode pembinaan di lembaga pemasyarakatan adalah sebagai berikut:
1) Metode pembinaan berdasarkan situasi sesuai dengan kebutuhan pembinaan narapidana. Metode ini dibagi menjadi dua pendekatan yaitu:
a) Pendekatan dari atas kebawah (top down approach). Dalam metode ini, materi pembinaan berasal dari pembina atau paket pembinaan dari narapidana yang telah disediakan dari atas. Warga binaan tidak ikut menentukan jenis pembinaan yang akan dijalaninya, tetapi langsung saja menerima pembinaan dari para pembina. Paket pembinaan narapidana dengan pendekatan dari atas, dipilihkan materi-materi umum yang harus diketahui setiap narapidana dalam rangka pembinaan bagi diri sendiri, pendekatan kepada Tuhan Yang Maha, bagi persatuan dan kesatuan bangsa dan untuk kehidupan di masa mendatang setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Metode pembinaan dengan pendekatan dari atas ke bawah harus memperhatikan faktor situasi artinya pembina harus memiliki kemampuan untuk mengubah situasi yang berbeda dalam sebuah pembinaan, menjadi sebuah situasi yang disukai dan disepakati oleh narapidana sehingga mampu menghilangkan kendala dalam situasi pribadi. Semua narapidana yang ikut dalam pembinaan tersebut akan terikat dalam situasi pembinaan, sehingga tidak seorangpun yang mampu melepaskan diri dari situasi tersebut.
b) Pendekatan dari bawah ke atas (botton up approach) Suatu cara pembinaan narapidana dengan memperhatikan kebutuhan b) Pendekatan dari bawah ke atas (botton up approach) Suatu cara pembinaan narapidana dengan memperhatikan kebutuhan
2) Pembinaan perorangan (individual treatment) Pembinaan perorangan (individual treatment) adalah pembinaan yang diberikan kepada narapidana secara perseorangan oleh petugas pembina. Diterapkannya pembinaan secara perorangan ini dikarenakan tingkat kematangan intelektual, emosi dan logika dari tiap narapidana tidak sama. Namun, pembinaan secara perorangan sangat bermanfaat jika narapidana juga mempunyai kemauan untuk merubah dirinya sendiri. Pembinaan secara perorangan juga akan mendekatkan diri antara petugas dengan narapidana, sehingga tidak timbul rasa takut yang berlebihan dari narapidana terhadap petugas.
3) Pembinaan secara kelompok (classical treatment) Pembinaan secara kelompok dapat dilakukan dengan metode tanya jawab, simulasi, permainan atau pembentukan tim. Dalam pembinaan kelompok, pembina harus mampu mengajak narapidana untuk memahami nilai-nilai positif yang tumbuh di masyarakat atau di kelompok untuk dijadikan bahan pembinaan secara kelompok. Hal ini dikarenakan, setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan narapidana akan berbaur lagi dengan masyarakat atau kelompok (keluarga) sehingga nilai positif yang tumbuh dalam kelompok, keluarga, dan masyarakat akan sangat berguna bagi pemahaman hidup masyarakat untuk hidup yang saling bergantungan.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa, metode pembinaan digunakan sebagai sarana bagi warga binaan untuk menyampaikan materi binaan dengan harapan agar pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa, metode pembinaan digunakan sebagai sarana bagi warga binaan untuk menyampaikan materi binaan dengan harapan agar pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan
g. Faktor Pendorong dan Penghambat Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
di Lembaga Pemasyarakatan
Menurut C. I. Harsono (1995: 36-73) disebutkan bahwa, - faktor yang mempengaruhi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan meliputi narapidana, petugas pembina, sarana fisik lembaga pemasyarakatan, keluarga dan masyarakat
Berikut ini penjabaran mengenai faktor-faktor di atas:
a) Narapidana Narapidana sebagai subyek sekaligus obyek yang akan menerima pembinaan selama berada di lembaga pemasyarakatan. Pembinaan yang terbaik bagi keberhasilan narapidana dalam menjalani pidana dan dapat kembali ke masyarakat serta tidak mengulangi perbuatannya adalah pembinaan yang berasal dari dalam diri narapidana itu sendiri. Artinya, narapidana perlu membina dirinya sendiri dengan merubah diri. Adanya kemauan dan kesadaran dalam diri narapidana sangat menentukan keberhasilan pembinaan.
b) Petugas atau pembina Petugas atau pembina merupakan komponen utama dalam menunjang keberhasilan pembinaan. Petugas pemasyarakatan mempunyai tugas pokok membina narapidana. Tanpa bantuan orang lain, petugas pemasyarakatan tetap harus menjalin kerja sama sebagai pembina narapidana.
c) Sarana fisik lembaga pemasyarakatan c) Sarana fisik lembaga pemasyarakatan
d) Keluarga dan masyarakat Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam pembinaan narapidana. Dalam sistem pemasyarakatan, muncul pentingnya hubungan keluarga dengan narapidana untuk memotivasi narapidana agar tidak stres selama di lembaga pemasyarakatan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka, keluarga ikut serta membina narapidana dengan membangun kesadaran diri atau self development. Sedangkan masyarakat mempunyai fungsi memberikan motivasi bagi keluarga dan berusaha menerima kehadiran narapidana setelah mereka bebas dari lembaga pemasyarakatan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, faktor yang dapat mendorong pelaksanaan pembinaan di lembaga pemasyarakatan meliputi narapidana, petugas pembina, sarana fisik lembaga pemasyarakatan, keluarga dan masyarakat.
2) Faktor Penghambat Pelaksanaan Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Menurut Romli Atmasasmita, faktor-faktor yang menghambat pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan antara lain: ) Masalah peraturan perundangan, b) masalah sarana personalia, c) sarana fisik lembaga pemasyarakatan, dan Atmasasmita, 1982: 15).
Dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02- PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan disebutkan bahwa:
Faktor penghambat pelaksanaan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan
keluarga narapidana, ketidakpercayaan masyarakat terhadap mantan narapidana, kualitas dan kuantitas petugas pemasyarakatan yang belum memadai, sarana keluarga narapidana, ketidakpercayaan masyarakat terhadap mantan narapidana, kualitas dan kuantitas petugas pemasyarakatan yang belum memadai, sarana
b) Ketidakpercayaan masyarakat terhadap mantan narapidana. Partisipasi masyarakat yang masih perlu ditingkatkan karena masih didapati kenyataan bahwa, sebagian anggota masyarakat masih enggan menerima kembali bekas narapidana.
c) Kualitas dan kuantitas petugas yang kurang memadai. Kualitas dan kuantitas petugas yang kurang memadai akan menghambat pelaksanaan pembinaan. Oleh sebab itu, haruslah selalu diusahakan agar kualitas petugas dapat mampu menjawab tantangan-tantangan dan masalah- masalah yang selalu ada dalam muncul di lingkungan lembaga pemasyarakatan. Kekurangan dalam kualitas atau jumlah petugas, hendaknya
dapat diatasi dengan peningkatan kualitas dan pengorganisasian yang rapih sehingga tidak menjadi faktor penghambat atau bahkan menjadi ancaman bagi pembinaan dan keamanan atau ketertiban.
d) Sarana atau fasilitas pembinaan. Kekurangan sarana dan fasilitas baik dalam jumiah maupun mutu telah menjadi penghambat pembinaan bahkan telah menjadi salah satu penyebab rawannya keamanan atau ketertiban. Hal tersebut menjadi tugas dan kewajiban bagi lembaga pemasyarakatan untuk memelihara dan merawat semua sarana atau fasilitas yang ada dan mendayagunakannya secara optimal.
e) Anggaran. Anggaran yang kurang dapat menghambat pelaksanaan pembinaan sebab anggaran dipergunakan untuk membiayai keperluan peralatan. Sekalipun dirasakan kurang mencukupi untuk kebutuhan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, faktor yang menghambat pelaksanaan pembinaan di lembaga pemasyarakatan meliputi masalah dalam diri narapidana, masalah peraturan perundangan, sikap acuh keluarga narapidana, ketidakpercayaan masyarakat terhadap mantan narapidana, kualitas dan kuantitas petugas pemasyarakatan yang belum memadai, sarana dan prasarana yang kurang, dan anggaran (dana) yang kurang.
6. Tinjauan tentang Good Citizen
a. Pengertian Good Citizen
Istilah good citizen sering disebut sebagai warga negara yang baik. Good citizen diambil dari istilah bahasa Inggris. Good berarti baik, dan citizen berarti warga negara. Dari kedua pengertian tersebut jika digabungkan bahwa good citizen berarti warga negara yang baik.
Menurut Winarno dan Wijianto (2010: 23) disebutkan bahwa, mengandung pengertian peserta, anggota atau warga dari suatu organisasi perkumpulan. Warga negara merupakan anggota yang sah dari suatu mas
Menurut Tunner dalam Winarno (2009: 4-5) mengatakan bahwa,
a citizen a member of group living under certain laws
warga negara adalah anggota dari sekelompok manusia yang hidup atau tinggal di wilayah hukum tertentu. Dikatakan demikian karena warga negara terdiri dari orang-orang yang mengambil peran dalam kehidupan bernegara yaitu yang bisa memerintah dan diperintah. Orang yang memerintah dan diperintah itu sewaktu-waktu dapat bertukar peran dan mereka harus sanggup memainkan peran yang berguna dalam negara. Peran warga negara tersebut meliputi 2 hal yaitu:
1) Peran warga negara dalam kondisi masyarakat demokratis yang sudah
2) Peran warga negara terlibat aktif dalam berbagai aktivitas dalam masyarakat pluralistik hingga memperoleh pemahaman, bukan mengabaikan situasi berlangsung begitu saja.
Menurut Gross dan Zeleney dalam Aziz Wahab dan Sapriya (2009: 17) mengatakan bahwa: Caharacteristic good citizen bay defining him in of five essential as one
who 1) caherises democraic value and bases him action on them, 2) recognizes the work toward their solutions, 3) is aware and takes responsibility for meeting basic human needs, 4) practices democratic human relations in family, school and community 5) proseses and uses knowledge, skill and abilities nessary in a democratic society.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diterjemahkan bahwa karakteristik seorang warga negara yang baik memenuhi salah satu diantaranya,
1) menghargai nilai-nilai demokrasi dan menjadikannya dasar dalam setiap perilaku, 2) menyadari permasalahan-permasalahan sosial dan memiliki keinginan dan kemampuan memberi solusi, 3) menyadari dan mengambil tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, 4) menjunjung demokrasi dalam hubungan keluarga, sekolah dan kelompok, 5) proses dan penggunaan pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab yang dibutuhkan dalam masyarakat demokrasi .
Menurut Margaret Stimman Branson dalam Winarno dan Wijianto (2010: 50) menjelaskan mengenai warga negara yang baik adalah sebagai berikut:
Warga negara yang baik adalah warga negara yang mau dan mampu berpartisipasi dan bertanggung jawab yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan, dan penerapan nilai warga negara (civic knownladge, skills and valuedes ) yang dapat diperoleh dari berbagai disiplin ilmu sosial yang dapat digunakan secara baik guna memudahkannya dalam kehidupannya di masyarakat terutama di dalam membuat keputusan serta dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya baik sebagai individu, anggota masyarakat ataupun warga negara.
dispositions Berikut ini penjelasan mengenai civic knowledge, civic skills dan civic disposition .
1) Pengetahuan warga negara (civic knowledge) yaitu berkenaan dengan apa- apa yang perlu diketahui dan dipahami secara layak oleh warga negara. Pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang: prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan nonpemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasarkan hukum, peradilan yang bebas dan tidak memihak, korupsi, sejarah nasional, hak dan kewajiban warga negara, hak asasi manusia, hak sipil, dan hak politik.
2) Keterampilan warga negara (civic skills) yaitu berkaitan dengan apa yang seharusnya dapat dilakukan oleh warga negara bagi kelangsungan bangsa dan negara. Keterampilan warga negara (civic skills) meliputi: kecakapan intelektual dan kecakapan partisipatoris. Kecakapan intelektual meliputi: mengidentifikasikan
(identifying),
menggambarkan
(describing), menganalisis, menilai, mengambil, dan mempertahankan posisi atas suatu isu (taking and definding position on public issue). Sedangkan kecakapan partisipatoris meliputi: berinteraksi (interacting), mamantau (monitoring), dan mempengaruhi (influencing).
3) Karakter warga negara (civic dispositions) yaitu berkaitan dengan watak, sikap atau karakter kewarganegaraan. Karakter memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Watak kewarganegaraan (civic disposition) menunjuk pada karakter privat dan karakter publik. Dalam karakter privat meliputi: tanggung jawab moral, disiplin diri, dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu. Sedangkan karakter publik meliputi kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berfikir kritis, dan kemampuan untuk mendengar.
baik, harus mampu menjalankan perannya dalam pembangunan negara. Seseorang dapat dikatakan sebagai warga negara yang baik, apabila memiliki berbagai kemampuan atau kompetensi kewarganegaraan. Kompetensi kewarganegaraan
kewarganegaraan, keterampilan kewarganegaraan, dan watak atau karakter kewarganegaraan, serta penerapan nilai kewarganegaraan (civic knownladge, skills, civic disposition, and civic value ). Kompetensi tersebut digunakan secara baik dimaksudkan untuk memudahkan warga negara terutama dalam membuat keputusan dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya baik sebagai individu, anggota masyarakat, ataupun warga negara.
b. Unsur Pembentukan Good Citizen
Menurut Van Gunsteren dalam Aziz Wahab dan Sapriya (2009: 204) disebutkan bahwa: The degree to which people succeed in directing their construction of
plurality toward citizenship also depend on supportive instiutution, as well as on the intensity of the emotion and the nature of the identies at stake all factors that to some degree exeed the reach of even the best trained and most rational individuals.
Dari pendapat tersebut, dapat diartikan bahwa terdapat empat unsur untuk mendukung pembentukan kewarganegaraan yang menentukan pencapaian warga negara yang telah terlatih dan mampu berfikir secara rasional yaitu kompetensi, institusi, emosi, dan identitas. Dari empat unsur tersebut dikategorikan sebagai syarat warga negara yang baik dalam masyarakat demokratis.
Berikut ini penjelasan mengenai keempat unsur tersebut:
1) Unsur kompetensi Kompetensi berarti kemampuan pikir secara baik dan kecakapan sosial praktis. Kemampuan itu meliputi: kecakapan yang terkait dengan potensi diri seperti kemampuan mendengarkan, kemampuan mengungkapkan 1) Unsur kompetensi Kompetensi berarti kemampuan pikir secara baik dan kecakapan sosial praktis. Kemampuan itu meliputi: kecakapan yang terkait dengan potensi diri seperti kemampuan mendengarkan, kemampuan mengungkapkan
2) Unsur organisasi Warga negara yang kompeten tidak hanya tergantung pada individu dan orang lain, tetapi juga keadaan institusi dimana warga negara itu berada.
3) Unsur identitas Unsur identitas menjadi penting bagi warga negara sebab, dengan identitas inilah seseorang yang sebelumnya tidak dikenal menjadi terkenal.
4) Unsur emosi Emosi bagi warga negara merupakan keniscayaan karena setiap orang pasti mempunyai emosi. Emosi tersebut berupa tindakan yang sifatnya emosional seperti antusiasme, jatuh cinta, takut, solidaritas kelompok, mengalah, dan menghambakan diri.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur yang membentuk seseorang menjadi warga negara yang baik (good citizen) meliputi: kompetensi, institusi, emosi, dan identitas. Keempat unsur tersebut, sebagai syarat menjadi warga negara yang baik dalam masyarakat demokratis. Dalam penelitian ini, narapidana residivis sebagai warga negara yang hilang kemerdekaannya di lembaga pemasyarakatan akan diasah kemampuannya melalui pembinaan selama berada di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Apabila keempat unsur di atas telah ditanamkan dalam diri narapidana residivis berarti dikatakan telah terbentuk pribadi good citizen.
7. Hubungan antara Warga Negara yang Baik dengan Moral
Menurut Emaile Durkeim dalam Cheppy Haricahyono (1995: 346)
Dari pendapat tersebut dapat diartikan bahwa, untuk menjadi bermoral seseorang tidak hanya dituntut untuk sekedar mampu bertindak. Tetapi akan lebih dari pada itu mampu bertindak demi masyarakat dan negara.
Peran warga negara dimulai dari membangun individu manusia yang bermoral baik, menjalankan norma yang ada dalam masyarakat dan agama, dan mentaati peraturan yang ada dalam suatu negara. Menekankan bahwa kedamaian suatu negara atau dunia akan tercapai jika setiap individu dapat mengamankan dirinya sehingga kedamaian dapat dimulai dari diri sendiri dan berkembang dalam lingkungan yang lebih luas. Dengan dimulai dari individu yang baik maka, dapat diterima dalam masyarakat, sehingga mampu memberikan ide atau gagasan untuk diterima di dalam masyarakat. (Ari Mariyono, 2009: 2 diakses dalam http://www.tanahputih.org/artikel/74 .)
Hal senada disampaikan menurut Bambang Daroeso (1988: 45-46) ekatnya adalah etis, mempunyai potensi untuk menjadi
manusia yang bermoral, dan potensi untuk hidup penuh dengan nilai dan norma. Manusia sebagai warga negara yang bermoral berperan penting dalam
Moral warga negara adalah baik-buruknya tindakan, sikap, dan tingkah laku manusia yang menjalankan kewajiban sebagai warga negara. Moral warga negara menjadi salah satu penentu atau prasyarat kualitas seorang agar berhasil dalam menggerakkan pembangunan di segala bidang kehidupan. Oleh sebab itu, moralitas merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia secara individu maupun secara kelompok, untuk menjadi panduan dasar bagi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam rangka mewujudkan keteraturan dan ketertiban. Apabila moralitas suatu bangsa buruk maka, yang terjadi adalah kekacauan- kekacauan yang berujung pada terhentinya pembangunan. (Heru Hendarto, 2011: 1 diakses dalam http://filsafat. kompasiana.com/2011/03/27 ).
Berdasarkan uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa, hubungan antara warga negara yang baik dengan moral adalah moral sebagai pedoman warga negara untuk bertindak sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat. Setiap warga negara berperan menjalankan kewajiban untuk mematuhi norma yang telah disepakati oleh masyarakat dan negara. Oleh sebab itu, sebagai warga negara yang Berdasarkan uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa, hubungan antara warga negara yang baik dengan moral adalah moral sebagai pedoman warga negara untuk bertindak sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat. Setiap warga negara berperan menjalankan kewajiban untuk mematuhi norma yang telah disepakati oleh masyarakat dan negara. Oleh sebab itu, sebagai warga negara yang
Perlu diketahui bahwa warga negara yang baik (good citizen) berbeda dengan orang yang baik (good man). Menurut Winarno (2009: 39) disebutkan bahwa,
good man adalah mereka yang hidup dengan kebajikan dan rasa
hormat dalam kehidupannya. Sedangkan good citizen tidak hanya hidup dengan hal tersebut termasuk kehidupan privat, tetapi juga komitmen untuk berpartisipasi
Menurut Sapriya dalam Winarno (2009: 10) menyebutkan penegasan tentang pendapat Aristoteles yaitu: good citizen dan bad citizen. We must notes
different constitution require different type of good citizen, while the good man is always same. Good citizen berbeda dengan good man. Good citizen amat
Selanjutnya Aristoteles mengatakan, ia dipaksa menjadi warga
negara yang baik meskipun mereka tidak baik secara moral (man is forced to be a good citizen even if not a morally good person) . (Aziz Wahab dan Sapriya, 2009: 55).
Dari kedua pendapat di atas dapat diartikan bahwa, antara warga negara yang baik (good citizen) dengan orang yang baik (good man) mengandung arti yang berbeda. Warga negara yang baik (good citizen) belum tentu bermoral sebab, mereka dituntut berperilaku baik karena melaksanakan kewajibannya terhadap negara sesuai dengan konstitusi. Warga negara memiliki kewajiban untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan negara dan mematuhi norma-norma yang ada dalam negara. Negara menerapkan norma hukum yang mengatur warga negara agar mematuhi peraturan perundang-undangan. Sehingga secara otomatis warga negara harus tunduk terhadap konstitusi atau perundang-undangan yang Dari kedua pendapat di atas dapat diartikan bahwa, antara warga negara yang baik (good citizen) dengan orang yang baik (good man) mengandung arti yang berbeda. Warga negara yang baik (good citizen) belum tentu bermoral sebab, mereka dituntut berperilaku baik karena melaksanakan kewajibannya terhadap negara sesuai dengan konstitusi. Warga negara memiliki kewajiban untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan negara dan mematuhi norma-norma yang ada dalam negara. Negara menerapkan norma hukum yang mengatur warga negara agar mematuhi peraturan perundang-undangan. Sehingga secara otomatis warga negara harus tunduk terhadap konstitusi atau perundang-undangan yang
8. Hubungan antara Pendidikan Kewarganegaraan dengan Pembinaan
Moral di Lembaga Pemasyarakatan
Menurut Stanley B. Diamond dalam Aziz Wahab dan Sapriya (2009: 28) mengatakan bahwa: Pendidikan kewarganegaraan memiliki pengertian dalam arti luas dan arti
sempit. Pendidikan kewarganegaraan dalam arti luas diorientasikan pada citizen education yang menekankan pada keterlibatan dan partisipasi warga negara dalam permasalahan-permasalahan kemasyarakatan. Sedangkan dalam arti sempit civic education berkaitan dengan kehidupan sekolah dan masyarakat.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan kewarganegaraan memiliki arti luas dan sempit. Dalam arti luas civic education adalah partisipasi dalam masalah kemasyarakatan sedangkan arti sempit berkaitan dengan mata pelajaran dalam sekolah dan masyarakat.
Kemudian dijelaskan bahwa, pendidikan kewarganegaraan membahas masalah yang lebih kompleks dan beraneka segi yang mungkin dibutuhkan jika warga negara. Hal tersebut disampaikan oleh Cogan dan Derriot dalam Winarno (2009: 1-4) mengatakan bah sebagai suatu masalah kompleks dalam multidimensi yang terdiri atas 4 dimensi
Dimensi pribadi diartikan bahwa kewarganegaraan yang multidimensi membutuhkan pengembangan satu kapasitas pribadi dan sosial. Dalam konteks ini, kewarganegaraan bukanlah sesuatu yang dibatasi pada suatu mata pelajaran tertentu melainkan membangun iklim sosial dan dapat diidentifikasikan sebagai satu prioritas oleh setiap orang yang terlibat dalam jalannya pendidikan. Jadi, masyarakat umum terutama lembaga masyarakat ikut berperan dalam mengembangkan praktik pendidikan kewarganegaraan kepada lingkungan masyarakat.
b. Dimensi sosial Dimensi sosial kewarganegaraan mengakui bahwa, meskipun sifat-sifat pribadi perlu namun tidaklah cukup untuk menghasilkan warga negara multidimensi. Kewarganegaraan merupakan aktivitas sosial yang melibatkan orang yang hidup dan bekerja sama untuk tujuan kewarganegaraan maka, warga negara harus mampu bekerja dan berinteraksi dengan orang lain di dalam berbagai keadaan dan konteks.
c. Dimensi spasial Pada dimensi spasial, mengharuskan warga negara mampu hidup dan bekerja pada serangkaian tingkat yang saling berhubungan dari tingkat lokal sampai multinasional. Warga negara harus memandang diri mereka sebagai anggota dari komunitas yang tumpang tindih antar lokal, regional, nasional, dan multinasional.
d. Dimensi temporal Dimensi temporal diartikan kewarganegaraan dimaksudkan bahwa warga negara dalam menghadapi tantangan-tantangan sekarang tidaklah begitu terikat pada masa lalu dan masa mendatang. Tetapi kewarganegaraan multidimensi menekankan pada keadaan sekarang dan tantangan agar ditempatkan dalam konteks baik masa lalu maupun masa yang akan datang sebagai solusi pendek semata terhadap persoalan dapat dihindari dan dimanapun memungkinkan.
diterapkan dalam dunia pendidikan persekolahan dan masyarakat. Sebagai kajian lintas bidang keilmuan, pendidikan kewarganegaraan mempunyai 2 tugas pokok. Pertama, membangun body knowledge dimana pendidikan kewarganegaraan membutuhkan pendekatan ilmu sosial sebagai pendukungnya. Kedua, membangun karakter warga negara sebagai bidang pengembangan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, pendidikan kewarganegaraan memiliki tujuan yang urgen yaitu menjadikan masyarakat Indonesia agar menjadi warga negara yang baik sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 sehingga mampu mengembangkan peranan dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan kewarganegaraan ternyata membahas sesuatu yang sangat kompleks yang memiliki berbagai aspek yaitu dimensi pribadi, dimensi sosial, dimensi spasial dan dimensi temporal. Dengan demikian, pendidikan kewarganegaraan merangkum tentang bagaimana setiap warga negara dituntut untuk memiliki kepekaan untuk berperan aktif dalam mengatasi terhadap masalah-masalah sosial (masyarakat) dalam setiap ruang dan waktu. Selain itu, pendidikan kewarganegaraan dapat diterapkan dalam lingkup persekolahan maupun masyarakat.
Selanjutnya Cogan dan Derriot dalam Winarno (2009: 37) menyebutkan tentang konsep kewargenegaraan secara umum dapat diklasifikasikan dalam 5 kategori yaitu:
Sense of identify (perasaan identitas), the enjoyment of certain right (pemilikan hak-hak tertentu), the fulfiment of corresponding obligation (pemenuhan kewajiban-kewajiban yang sesuai), a degree of interest and involvement in public affair (tingkat ketertarikan dan keterlibatan dalam masalah publik), an acceptance of basic social values (penerimaan terhadap nilai-nilai sosial dasar).
Dari keempat elemen di atas, peneliti menekankan pada elemen ketiga dan keempat dimana kewarganegaraan terdiri atas ragam tanggung jawab, kewajiban dan tugas. Peran kewarganegaraan mencakup atas tanggung jawab untuk ikut
Citizen education diartikan sebagai the constribution of education to the development of those characteristic of being a citizen diartikan sebagai kontribusi atau dampak pendidikan terhadap pengembangan karakteristik yang menandai seorang warga negara. Pendidikan yang dimaksudkan juga diartikan dalam pengertian yang luas mencakup formal, informal, dan nonformal sehingga konteks pendidikan kewarganegaraan harus dikampanyekan kepada seluruh lapisan masyarakat dan semua instansi atau jajaran pemerintahan. Dengan demikian, warga negara mampu menerima nilai-nilai sosial dalam masyarakat.
Winarno dan Wijianto (2010: 68- pendidikan kewarganegaraan dapat berlangsung dalam berbagai lingkup
a. Pendidikan formal taman kanak-kanak atau sekolah dasar sampai perguruan tinggi baik dalam mata pelajaran tersendiri atau terintegrasi.
b. Pendidikan formal yang berkaitan dengan lembaga keagamaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Pendidikan nonformal yang diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
d. Pendidikan kedianasan yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga non departemen.
e. Pendidikan di lingkungan perusahaan.
f. Pendidikan di lingkungan organisasi kemasyarakatan dan partai politik yang berkaitan dengan pendidikan dasar kepemimpinan maupun pendidikan perjenjangan kader yang diselenggarakan oleh organisasi tersebut.
Berdasarkan pendapat di atas dapat diartikan bahwa, pendidikan kewarganegaraan bukanlah sebuah pendidikan yang dibatasi pada lingkungan formal saja sebagai suatu mata pelajaran kewarganegaraan yang berdiri sendiri namun, dapat dilaksanakan dalam lingkungan nonformal, masyarakat, organisasi,
Kedua mata pelajaran tersebut tidak hanya diajarkan dalam persekolahan tetapi dikembangkan dalam konteks sosial (masyarakat). Seperti yang diungkapkan oleh Cheppy Haricahyono (1995: 209) mengemukakan bahwa:
Pendidikan moral dewasa ini dikatakan unik sebab diajarkan dalam berbagai kegiatan pendidikan, dimana pendidikan moral tidak hanya meliput realitas hidup manusia sehari-hari yang nampak dalam kegiatan kelas tetapi mencakup berbagai permasalahan yang terkait dengan eksistensi manusia bahkan yang paling mendasar sekalipun.
Selanjutnya ditambahkan oleh Durkeim dalam Cheppy Haricahyono
yang penting dalam segala sesuatu yang berobyekkan masyarakat sehingga berkembang bersamaan dengan ranah sosial, sehingga moralitas dimulai dengan keterlibatan individu dalam masyarakat dan bukan semata untuk merefleksikan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan hubungan antara pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan moral adalah bahwa pendidikan moral merupakan disiplin ilmu yang merupakan bagian dari substansi dalam pendidikan kewarganegaraan. Keduanya sama-sama membahas mengenai bagaimana membentuk seorang menjadi warga negara yang baik dan bermoral. Pendidikan kewarganegaraan dalam penelitian ini mengarahkan penyelesaian yang merujuk pada konteks sosial yaitu pendidikan kewarganegaraan berbasis masyarakat (civic community ) bahwa, pendidikan kewarganegaraan ikut andil dalam memecahkan masalah publik (sosial). Dalam penelitian ini, sebagai upaya untuk mengatasi masalah publik salah satunya diserahkan kepada lembaga sosial yaitu lembaga pemasyarakatan (Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta) yang terkait dengan penerapan pendidikan moral sebagai salah satu disiplin ilmu dalam pendidikan kewarganegaraan. Sebagai suatu lembaga nonformal, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta melaksanakan pembinaan moral sebagai salah satu wujud sebagai upaya merubah narapidana residivis menjadi warga negara yang bermoral.