Deskripsi Permasalahan Penelitian
B. Deskripsi Permasalahan Penelitian
Deskripsi masalah penelitian merupakan tahapan dimana peneliti memperoleh data
an moral narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara dikumpulkan melalui teknik wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Kemudian data tersebut diolah dan dianalisis sehingga dapat disajikan secara sistematis. Data tersebut disajikan sesuai dengan rumusan masalah dalam bab pendahuluan. Adapun aspek-aspek yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu 1. Moral narapidana an moral narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara dikumpulkan melalui teknik wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Kemudian data tersebut diolah dan dianalisis sehingga dapat disajikan secara sistematis. Data tersebut disajikan sesuai dengan rumusan masalah dalam bab pendahuluan. Adapun aspek-aspek yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu 1. Moral narapidana
3. Faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan
good citizen . Aspek-aspek tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Moral Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Terkait dengan Pengulangan Tindak Pidana yang Dilakukan
Moral memegang peranan penting dalam kehidupan manusia yang berhubungan dengan baik dan buruk terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku ini mendasarkan diri pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang dikatakan bermoral, bilamana seseorang telah memiliki pemahaman moral yang kemudian mampu mengaplikasikan dalam tindakannya. Tindakan yang dilakukan, tentu saja harus sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat. Apabila seseorang telah melanggar norma maka, ia dikatakan tidak bermoral. Hal tersebut nampak pada narapidana residivis yang melakukan perbuatan tindak pidana. Mereka dikatakan tidak bermoral disebabkan melakukan tindakan yang dilakukan melanggar norma hukum. Sebutan narapidana residivis berarti seseorang
yang pernah menjalani pemidanaan dalam lembaga pemasyarakatan, kemudian setelah keluar ia mengulangi perbuatan tindak pidana baik yang sejenis maupun
tidak, sehingga harus menjalani pemidanaan kembali. Penelitian dalam rumusan masalah ini, dimaksudkan untuk mengetahui moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait dengan pengulangan tindak pidana yang dilakukan. Sesuai dengan kajian pustaka, peneliti akan mengkaji beberapa aspek yang meliputi a. Identifikasi bentuk-bentuk tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, b. Pengetahuan moral narapidana residivis atas tindak pidana yang dilakukan, c. Perasaan moral narapidana residivis atas tindak pidana yang dilakukan, d. Latar belakang pendidikan moral yang diperoleh tidak, sehingga harus menjalani pemidanaan kembali. Penelitian dalam rumusan masalah ini, dimaksudkan untuk mengetahui moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait dengan pengulangan tindak pidana yang dilakukan. Sesuai dengan kajian pustaka, peneliti akan mengkaji beberapa aspek yang meliputi a. Identifikasi bentuk-bentuk tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, b. Pengetahuan moral narapidana residivis atas tindak pidana yang dilakukan, c. Perasaan moral narapidana residivis atas tindak pidana yang dilakukan, d. Latar belakang pendidikan moral yang diperoleh
a. Identifikasi Bentuk-Bentuk Tindak Pidana atau Kejahatan yang Dilakukan Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Identifikasi dilakukan guna mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana atau kejahatan apa saja yang dilakukan narapidana residivis. Setelah peneliti melakukan
melakukan obeservasi pada Sub Seksi Administrasi dan Perawatan, peneliti mendapatkan data mengenai tindak pidana yang pernah dilakukan narapidana
residivis. Adapun data mengenai tindak pidana yang pernah dilakukan narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Tabel 5. Daftar Nama dan Tindak Pidana yang Pernah Dilakukan Narapidana
Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
No.
Nama Residivis
Tindak pidana yang pernah dilakukan
1 Bayu Waluyo
Pencurian dan Penipuan
2. Afif Solokhin
Pencurian
3 Pradana Setiawan
Pencabulan dan Pencurian
4 Tedy Surahman
Pencurian dan Penggelapan
5. Handoko Sri Hartanto
7. Ramlan Butar
Pencurian
8 Rohadi
Penipuan, Kekerasan, dan Pencurian
9 Dwi Martanto
Pencurian dan Pembunuhan
10 Iwan
Kekerasan dan Pencurian
11 Marcus Sudarmo
Penganiayaan dan Pencurian
12. Agus Waluyo
Pencurian dan Kekerasan
13 Boro Enteng
Pencurian dan Kekerasan
14 Ardi Eli.L
Pencurian
15 Eko Tri Hartanto
Penipuan dan Kekerasan
19 Puji hariyanto
Pencurian
20 Dedi rosadi
Pencurian
Sumber Data: Sub Seksi Administrasi dan Perawatan Bulan Juli 2011.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa, tidak semua narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana dengan jenis tindak pidana yang Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa, tidak semua narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana dengan jenis tindak pidana yang
Hal senada juga diperkuat berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011
menjelaskan yang mengenai tindak pidana narapidana residivis adalah sebagai berikut:
Untuk tahun 2011 kasus yang dilakukan oleh narapidana residivis lebih banyak pada kasus pencurian. Data tersebut diperoleh dari Sub Seksi Administrasi dan Perawatan. Setiap narapidana yang melakukan pengulangan tindak pidana tidak mutlak melakukan jenis tindak pidana yang sama. Bisa saja ia masuk kembali ke Rutan karena melakukan tindak pidana yang berbeda misalnya kasus Bayu Waluyo, sebelum kasus penipuan dahulu ia pernah terjerat kasus pencurian. (Catatan lapangan 11).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa narapidana residivis menjalani pemidanaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta melakukan pengulangan tindak pidana tidak mutlak selalu dengan tindak pidana yang sama.
Setelah peneliti mengetahui tindak pidana apa saja yang pernah dilakukan narapidana residivis, selanjutnya peneliti melakukan identifikasi dengan menggolongkan bentuk-bentuk tindak pidana pada kasus terakhir yang dilakukan narapidana residivis. Adapun hasil identifikasi bentuk-bentuk tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta pada bulan Juni 2011.
Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta pada Bulan Juni 2011.
No.
Tindak Pidana atau Kejahatan Terakhir
1 orang Sumber Data: Sub Seksi Administrasi dan Perawatan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa terdapat 5 bentuk tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta bulan Juni tahun 2011. Kasus pencurian menduduki posisi terbanyak dengan jumlah 15 orang, disusul kasus kekerasan berjumlah 2 orang, kemudian kasus penipuaan 1 orang, dan kasus penggelapan 1 orang serta kasus pembunuhan 1 orang. Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa masih ditemukan narapidana residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Tindak pidana tersebut berupa penipuan, pencurian, kekerasan, pembunuhan dan penggelapan. Pengulangan tindak pidana yang dilakukan narapidana residivis Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta didominasi dengan tindak pidana pencurian.
b. Pengetahuan Moral Narapidana Residivis atas Tindak Pidana yang Dilakukan
Pemahaman moral diartikan dengan kesadaran rasionalitas moral atau alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu. Penalaran moral sebagai unsur pengetahuan moral dalam pengambilan keputusan berdasarkan nilai moral yang merujuk pada aspek kognitif tentang yang baik atau buruk dengan memperhatikan tuntutan, hak, kewajiban dan keterlibatan individu atau kelompok. Pengetahuan moral yang dimiliki oleh narapidana residivis mengandung arti seberapa jauh mereka memahami perbuatan tindak pidana yang dilakukan. Apakah selama ini
Dengan demikian, dapat diketahui seberapa jauh tingkat pemahaman moralnya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis bernama Agus Waluyo (kekerasan pasal 170 KUHP) hasil wawancara pada hari Senin tanggal 11
Juli 2011 adalah sebagai berikut: Kekerasan yang saya tahu adalah menyakiti atau melukai badan atau fisik
orang lain baik yang di sengaja maupun tidak. Saya tahu bahwa perbuatan kekerasan itu melanggar norma hukum. Tetapi karena emosi akhirnya terpaksa melakukan kekerasan. Setelah melakukan perbuatan tersebut baru saya sadari bahwa saya salah. (Catatan lapangan 7).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Agus Waluyo yang melakukan tindak pidana kekerasan peneliti menyimpulkan bahwa, informan memahami mengenai kekerasan yang dilakukan. Menurut pendapatnya, kekerasan berarti tindakan menyakiti seseorang yang dilakukan secara sengaja sehingga menimbulkan sakit atau penderitaan. Selain itu, informan menyadari bahwa perbuatan tindak pidana tersebut melanggar norma hukum.
Hasil wawancara berikutnya dengan narapidana residivis benama Bayu Waluyo (narapidana residivis kasus penipuan pasal 378 KUHP) pada
tanggal 8 Juli 2011: Penipuan menurut saya, kalau kita dengan sengaja membohongi orang lain
misalnya kita janji pinjem uang trus ndak dikembalikan dalam kurun waktu tertentu. Kalau tindakan saya dengan dengan mencampur pewarna pada makanan kok bisa dibilang menipu. Saya orang miskin, harusnya hukum juga mengerti kondisi saya. Saya ndak ada niatan meracuni orang. Tetapi saya ikhlas berada di Rutan. (Catatan lapangan 1).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bambang Waluyo yang melakukan tindak pidana penipuan peneliti menyimpulkan bahwa, informan telah memahami
tentang konsep penipuan. Namun, ia sendiri kurang mengetahui bahwa perbuatan menipu bertentangan dengan norma hukum. Bahkan, ia mencoba mencari kenyamanan dan membela diri atas tindak pidana penipuan yang dilakukan.
rendah. Selain kasus kekerasan dan penipuan, peneliti juga melakukan wawancara dengan narapidana residivis atas tindak pidana pencurian. Hasil wawancara dengan Afif Solikhin (narapidana residivis kasus pencurian turut serta pasal 363 KUHP)
mengambil barang milik orang lain. Saya sadar bahwa mencuri sepeda motor adalah salah karena memang bukan hak saya. Perbuatan yang saya lakukan
Hasil wawancara berikutnya dengan Ramlan Butar (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP) pada hari Rabu tanggal 13 Juli 2011, menuturkan hal yang sama adalah sebagai berikut:
Mencuri berarti seseorang yang memang dalam keadaan mendesak mengambil sesuatu yang bukan haknya. Seseorang yang mencuri pasti karena ia berada dalam posisi yang sulit misalnya kebutuhan ekonomi. Saya sendiri terpaksa mencuri karena yang faktor ekonomi. Niatnya ingin cari kerja tetapi tidak mempunyai keterampilan. Mau usaha nggak ada modal. Ya sudah jadi mencuri saja. (Catatan lapangan 4).
Hasil wawancara lainnya dengan Marcus Sudarmo (pencurian pasal 362 KUHP) pada hari Kamis tanggal 14 Juli 2011 mengatakan:
Mencuri adalah mengambil barang milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya. Saya sudah 7 kali masuk Rutan. Petugas Rutan sampai bosan melihat saya bolak-balik masuk sini. Sejak kecil saya sudah hidup merantau. Kehidupan yang keras membuat saya harus melakukan perbuatan tersebut. Tujuan hidup saya adalah bahagia. Mengenai urusan akherat nanti belakangan. Saya sendiri sadar bahwa perbuatan mencuri dilarang, tetapi saya merasa nyaman dengan pekerjaan tersebut. (Catatan lapangan 6).
Hasil wawancara juga dilakukan dengan narapidana residivis bernama Ardi Eli.L kasus pencurian turut serta pasal 363 KUHP pada hari Kamis tanggal 15 Juli 2011 sebagai berikut:
(Catatan lapangan 8).
Hariyanto (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP) wawancara pada hari berarti mengambil barang milik orang lain misalnya uang, barang-barang berharga seperti emas, elektronik, dan yang bisa diuangkan. Perbuatan tersebut dilakukan tanpa ada orang
(Catatan lapangan 9).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh narapidana residivis yang bernama
(Catatan lapangan 10). Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa, hampir seluruh narapidana residivis dengan kasus pencurian mengetahui mengenai perbuatan mencuri. Mencuri adalah mengambil sesuatu yang bukan haknya. Alasan mereka mencuri karena minimnya keahlian atau keterampilan. Lebih parahnya lagi adalah perbuatan mencuri sebagai bagian dari mata pencaharian dengan alasan menompang biaya hidup. Terdapat 2 narapidana residivis yang mengatakan demikian. Tuntutan ekonomi dan kehidupan yang keras menyebabkan narapidana residivis melakukan pencurian.
Peneliti kemudian melakukan wawancara dengan narapidana residivis bernama Dwi Martanto (pembunuhan berencana pasal 340 KUHP) pada hari Senin
tanggal 11 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Membunuh berarti menghilangkan nyawa orang lain, baik yang dilakukan
secara sengaja atau tidak. Kasus pembunuhan yang saya lakukan terhadap isteri dipicu karena api cemburu. Saya sangat menyesal melakukan perbuatan tersebut sebab selalu dihantui rasa bersalah. Saya berhak mendapat hukuman yang seberat-beratnya untuk menebus dosa. Namun, jika diberi kesempatan saya ingin insyaf. (Catatan lapangan 5).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Dwi Martanto dapat diketahui bahwa, ia memiliki pemahaman moral yang baik sebab memahami tentang konsep Berdasarkan hasil wawancara dengan Dwi Martanto dapat diketahui bahwa, ia memiliki pemahaman moral yang baik sebab memahami tentang konsep
9 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Saya kurang tau makna penggelapan itu apa. Hanya saya sering dengar istilah
itu. Menurut saya, penggelapan merupakan bagian dari korupsi. Saya dijatuhi pidana oleh hakim bilangnya karena kasus penggelapan pasal 372 KUHP atas tuduhan telah menggelapkan uang tunjangan para pegawai. (Catatan lapangan 3).
Hasil wawancara dengan Tedy Surahman, peneliti menyimpulkan bahwa ia belum memahami mengenai konsep tidak pidana penggelapan bahkan ia tidak menyadari bahwa tindak pidana penggelapan yang dilakukan melanggar norma hukum.
Berdasarkan hasil wawancara dengan 10 narapidana residivis di atas peneliti menyimpulkan bahwa, sebanyak 9 orang (90%) narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah memiliki pemahaman atau pengetahuan moral. Hal tersebut diketahui bahwa mereka memahami mengenai perbuatan tindak pidana yang mereka lakukan. Pada kasus pencurian misalnya, hampir semua narapidana mengetahui tentang konsep pencurian. Mereka mengatakan bahwa:
ng atau sesuatu
dengan kasus kekerasan, penipuan, dan pembunuhan. Selain itu, mereka mengetahui bahwa perbuatan tindak pidana yang dilakukan telah melanggar norma hukum sehingga harus menerima sanksi pidana. Sebagian besar narapidana residivis mengalami penyesalan setelah melakukan tindak pidana sebab tidak mengikuti hati nurani. Mereka tampak menerima dengan ikhlas atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, hampir keseluruhan narapidana residivis memiliki pengetahuan atau pemahaman moral yang sangat baik. Dari 10 narapidana residivis, hanya ada 1 narapidana residivis dengan kasus kekerasan, penipuan, dan pembunuhan. Selain itu, mereka mengetahui bahwa perbuatan tindak pidana yang dilakukan telah melanggar norma hukum sehingga harus menerima sanksi pidana. Sebagian besar narapidana residivis mengalami penyesalan setelah melakukan tindak pidana sebab tidak mengikuti hati nurani. Mereka tampak menerima dengan ikhlas atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, hampir keseluruhan narapidana residivis memiliki pengetahuan atau pemahaman moral yang sangat baik. Dari 10 narapidana residivis, hanya ada 1 narapidana residivis
c. Perasaan Moral Narapidana Residivis Terkait dengan Tindak Pidana yang Dilakukan
Perasaan moral merupakan kesadaran akan hal-hal yang baik atau tidak baik. Salah satu wujud perasaan moral adalah empati. Empati mengandung makna
bahwa, seseorang mencoba untuk mengerti keadaan orang lain sebagaimana orang tersebut mengertinya. Dengan adanya sikap empati seseorang mampu memahami
kesulitan-kesulitan yang ada di lingkungannya, memahami situasi seseorang, dan mampu merasakan kesengsaraan orang lain.
Perasaan moral dari narapidana residivis yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan mengandung arti bahwa, bagaimana narapidana residivis memahami perasaan orang lain khususnya korban sebagai akibat perbuatan tindak pidana yang dilakukan. Perasaan moral ini mengukur seberapa jauh narapidana residivis memiliki kepekaan untuk memposisikan dirinya terhadap kondisi kesulitan yang dialami korban jika hal yang sama terjadi pada dirinya sendiri. Artinya apabila kondisi yang dialami korban atas perbuatan tindak pidana itu berbalik kepadanya. Untuk mengetahui perasaan moral narapidana residivis, peneliti mengajukan pertanyaan yang menunjukkan perasaan moral yaitu:
g telah saudara lakukan merugikan orang lain (korban)? Bagaimana perasaan saudara jika hal
Beberapa narapidana residivis menunjukkan perasaan moral melalui perasaan empati untuk mengerti kondisi korban atas tindak pidana yang dilakukan. Selain itu, telah nampak kesadaran moral dalam diri narapidana residivis. Kesadaran moral timbul ketika mereka menyadari bahwa perbuatan yang dilakukan telah menimbulkan beban atau kesulitan bagi korban tindak pidana seperti yang disampaikan oleh narapidana residivis bernama Ramlan Butar
2011, adalah sebagai berikut: Saya sadar sekali bahwa perbuatan yang saya lakukan membahayakan.
Bahkan, saya sendiri malu untuk membaur orang-orang sekitar. Setelah keluar dari Rutan ini, semoga masyarakat mau menerima kehadiran saya kembali. Sebab kasihan orang tua sendiri dirumah tidak ada yang mengurusi. Padahal saya mencuri sedikit tetapi kenapa hukuman yang dijalani begitu berat. Saya hanya bisa pasrah. (Catatan lapangan 4).
Berdasarkan wawancara dengan narapidana residivis bernama Ramlan Butar, peneliti menyimpulkan bahwa informan tersebut telah memiliki perasaan moral yang baik sebab ia menyadari bahwa perbuatannya telah membahayakan jiwa korban.
Hasil wawancara berikutnya dengan narapidana residivis Agus Waluyo (kekerasan pasal 170 KUHP) pada hari Senin tanggal 11 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
Saya sadar perbuatan yang saya lakukan (kekerasan) membuat korban terluka. Bahkan, saya harus menanggung resiko ganti rugi biaya Rumah Sakit. Saya juga kasihan melihat kondisi korban bisa separah itu. Pada waktu saya berkelahi saat itu dalam keadaan tidak sadarkan diri sebab mabuk berat sehingga tidak mampu mengontrol emosi. Saya tidak akan mengulangi kembali perbuatan tersebut karena kapok mbak. Saya sadar telah melakukan kesalahan sebab jika hal tersebut dialami saya sendiri pasti tidak enak rasanya. (Catatan lapangan 7).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Agus Waluyo, peneliti menyimpulkan bahwa perasaan empati dalam dirinya telah ada. Akibat tindak pidana yang dilakukan, membuat dirinya merasa iba dan ikut merasakan penderitaan yang dialami korban. Dengan harapan bahwa, hal tersebut (perbuatan tindak pidana kekerasan) tidak akan menimpa dirinya. Ketika peneliti melakukan wawancara terlihat ekspresi wajah yang menunjukkan penyesalan yang mendalam atas perbuatan tindak pidana yang telah dilakukan. Ia berusaha meyakinkan diri untuk berubah menjadi orang yang baik.
adalah sebagai berikut: Saya mencuri karena terpaksa. Sebenarnya tidak ingin melakukan perbuatan
tersebut. Namun, tujuan saya mencuri karena ingin membahagiakan orang terdekat khususnya orang tua. Saya sadar bahwa, mencuri telah merugikan orang lain dalam hal ini korban. Saya merasa perbuatan tersebut tidak disukai banyak orang. Saya tidak pernah berfikir jika hal tersebut menimpa saya, sebab belum pernah mengalaminya. Tau sendiri mbak saya orang tidak mampu. Apa yang mau dicuri dari saya (sembari tertawa). (Catatan lapangan 2).
Berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis bernama Afif Solikhin peneliti menyimpulkan bahwa, ia tampak terbuka dan tenang ketika memberikan jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh pembicara (peneliti). Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa dalam diri narapidana residivis ini telah memiliki perasaan empati. Perasaan empati ditunjukkan dengan mengungkapkan bahwa perbuatan yang dilakukan telah merugikan korban dan tidak disukai oleh masyarakat. Hal tersebut berarti bahwa ia telah memiliki perasaan moral.
Hasil wawancara selanjutnya dengan Dedi Rosadi (pencurian pasal 365
Saya sadar bahwa mencuri telah menimbulkan penderitaan dan menyebabkan susah orang lain. Tetapi hidup saya juga serba susah. Penghasilan saya gak cukup untuk kebutuhan anak dan isteri. Saya berharap jangan sampai anak saya nantinya mengikuti jejak saya. Walaupun bapaknya mantan penjahat tetapi saya tidak pernah mengajarkan hal-hal tidak baik kepada mereka. (Catatan lapangan 10).
Berdasarkan wawancara dengan narapidana residivis bernama Dedi Rosadi, peneliti menyimpulkan bahwa, perasaan moral dalam diri narapidana dikatakan
baik. Ia sangat peka terhadap kesulitan orang lain. Muncul kesadaran moral bahwa perbuatan yang dilakukannya (mencuri) menimbulkan penderitaan bagi korban.
(pembunuhan berencana pasal 340 KUHP) adalah sebagai berikut: Setiap orang pasti menganggap bahwa membunuh adalah perbuatan paling
jahat. Saya sadar bahwa perbuatan yang saya lakukan menjijikkan dan tidak terampuni. Akibat perbuatan ini, membuat hidup saya menjadi tidak tenang. Jiwa selalu diselimuti gelimang dosa berkepanjangan. Seandainya saya mampu mengendalikan emosi mungkin hal tersebut tidak akan terjadi. Saya sangat menyayangi istri saya. Entah bagaimana jadinya jika hal tersebut menimpa saya sendiri. Pasti mertua dendam sekali dengan saya karena membunuhnya anaknya. Saya hanya bisa mengelus dada. (Wawancara: Senin,
11 Juli 2011). (Catatan lapangan 5).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa narapidana residivis yang bernama Dwi Martanto telah memiliki perasaan moral. Ia mampu memposisikan dirinya untuk berusaha mengerti keadaan yang dialami isterinya Perasaan moral timbul setelah ia menyadari bahwa isterinya telah meninggal dunia sehingga muncul penyesalan yang mengakibatkan dirinya terbebani atau stres. Perasaan moral ditunjukkan dengan perasaan rasa bersalah, perasaan empati, dan perasaan sabar. Ia nekad membunuh sebab tidak mampu menahan emosi karena cemburu isterinya berselingkuh.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Puji Hariyanto (pencurian dengan
berikut: Saya sadar mencuri telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Perasaan
tidak tega sewaktu mengambil uang. Rasa takut dan cemas kerap muncul. Saya tidak ingin mengulangi kembali cukup dengan masuk penjara sekarang menjadi pengalaman terpahit dan terakhir dalam hidup saya. Sebab takut karma tidak mau hal tersebut menimpa saya sendiri. Saya ingin tobat. (Catatan lapangan 9).
Berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis bernama Puji Hariyanto, peneliti menyimpulkan bahwa informan telah menunjukkan perasaan moral. Informan sadar bahwa tindak pidana yang dilakukan telah menimbulkan Berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis bernama Puji Hariyanto, peneliti menyimpulkan bahwa informan telah menunjukkan perasaan moral. Informan sadar bahwa tindak pidana yang dilakukan telah menimbulkan
Disisi lain, perasaan moral belum ditunjukkan dalam diri narapidana residivis dimana nampak ketidakpedulian mereka terhadap orang lain khususnya
korban. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bayu Waluyo (narapidana residivis
sebagai berikut: Gimana ya mba, saya juga tidak ingin berbuat menipu dengan menjual terasi palsu. Saya sadar bahwa perbuatan saya salah tetapi saya butuh
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bayu Waluyo peneliti menyimpulkan bahwa belum terlihat perasaan empati dalam dirinya sebab, ketika dilakukan wawancara informan terkesan tidak fokus pada pertanyaan yang diajukan pembicara (peneliti).
Hasil wawancara lainnya dengan seorang narapidana residivis bernama Ardi Eli.L (pencurian turut serta pasal 363 KUHP) pada hari Kamis tangal 15 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Gak peduli dengan orang lain. Saya mencuri karena butuh sekali uang untuk operasi bapak. Melihat dia sehat merupakan kebahagiaan
Catatan lapangan 8).
Berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis bernama Ardi Eli. L, peneliti menyimpulkan bahwa ia tidak memiliki perasaan moral. Hal
tersebut tampak dari rasa ketidakpeduliaannya terhadap perasaan orang lain atas perbuatan tindak pidana (pencurian) yang dilakukan. Sifat egois menyebabkan informan tidak memiliki perasaan moral.
Hal senada disampaikan berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis Tedy Surahman (penggelapan pasal 372 KUHP) pada hari Sabtu tanggal
9 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Gimana ya mbak saya juga butuh uang. Kasus penggelapan yang saya lakukan tidaklah separah kasus korupsi yang dilakukan orang-orang
peneliti menyimpulkan bahwa, informan belum memiliki perasaan moral. Ia terkesan cuek dan tidak mau peduli terhadap pertanyaan yang diajukan oleh pembicara (peneliti). Bahkan informan berusaha membela diri atas perbuatan penggelapan yang dilakukan .
Hasil wawancara selanjutnya dengan Marcus Sudarmo (pencurian pasal 362 KUHP) pada hari Kamis tanggal 14 Juli 2011 mengatakan sebagai berikut:
Selama ini saya mencuri itu melihat kondisi seseorang. Biasanya saya mencuri barang-barang kepunyaan orang kaya yang banyak duitnya. Jadi tidak sembarangan asal mencuri. Saya rasa perbuatan yang saya lakukan wajar. Harusnya hukum tidak memandang saya sebelah mata. Saya sadar kalau mencuri melanggar hukum. Tetapi saya tidak begitu setuju bahwa perbuatan saya merugikan orang lain. (Catatan lapangan 6).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Marcus Sudarmo, peneliti menyimpulkan bahwa perasaan moral yang dimilikinya dikatakan rendah sebab, ia tidak peduli atas penderitaan korban. Baginya mencuri tidak merugikan orang lain sebab perbuatan yang dilakukan dianggap wajar dan sebaliknya ia berharap agar orang lain mengerti kondisi dirinya. Ia sama sekali tidak memiliki perasaan bersalah atas perbuatan tindakan mencuri yang dilakukannya sampai berulang- ulang. Bahkan ketika diwawancarai, narapidana menunjukkan sikap yang tenang dan tidak ada perasaan takut untuk mengungkapkan perasaannya tersebut.
Setelah peneliti melakukan wawancara dengan 10 narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang terkait dengan perasaan moral, peneliti menyimpulkan bahwa, hanya 5 orang (50%) narapidana residivis yang memiliki perasaan moral yang baik. Sikap narapidana residivis yang cukup terbuka mempermudah peneliti untuk mengetahui perasaan moralnya. Perasaan moral diketahui dari kondisi emosional yang dialami oleh narapidana residivis. Ketika peneliti melakukan wawancara, tampak terlihat ekspresi wajah yang menunjukkan adanya penyesalan dalam diri narapidana sebagai akibat atas tindak pidana yang dilakukan. Mereka mengatakan bahwa, perbuatan yang dilakukan
narapidana residivis diwujudkan dengan mengungkapkan perasaan empati kepada korban seperti perasaan peduli, iba, dan ikut merasakan kesulitan korban. Namun, sejauh ini perasaan moral yang ditunjukkan narapidana residivis diungkapkan melalui kata-kata (ucapan) ketika melakukan wawancara dengan peneliti. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa, ditemukan beberapa narapidana yang belum memiliki perasaan moral misalnya ketika peneliti melakukan wawancara beberapa narapidana residivis menunjukkan perasaan tidak peduli atas kesulitan yang dialami oleh korban. Ketidakpedulian narapidana residivis tersebut, dapat diketahui dari ucapan yang disampaikan oleh narapidana residivis seperti: Saya tidak mau peduli faktor yang menyebabkan rendahnya perasaan moral narapidana residivis adalah sifat egois dan keserakahan dalam diri narapidana residivis serta pemahaman arti pentingnya menghargai perasaan orang lain yang rendah.
d. Latar Belakang Pendidikan Moral yang Diperoleh Narapidana Residivis Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Moral manusia tidak berkembang dengan sendirinya. Moral berkembang seiring dengan berkembangnya kemampuan biologis, psikologis, dan sosial.
Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan moral seseorang baik berasal dari intern maupun ekstern. Pendidikan adalah salah satu faktor ekstern yang dapat mempengaruhi perkembangan moral seseorang. Salah satu cabang pendidikan yang mengarahkan seseorang menjadi bermoral adalah pendidikan moral. Pendidikan moral merupakan suatu proses pembelajaran yang mengubah tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik. Pendidikan moral diperoleh dari pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat yang sering dikenal dengan
tersebut, yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan moral seseorang
Mengingat pendidikan moral memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk perilaku manusia menjadi baik, kemudian peneliti perlu mengetahui bagaimana latar belakang pendidikan moral yang selama ini diterima oleh narapidana residivis dalam lingkungan keluarga. Dengan demikian, akan diketahui apakah semua narapidana residivis mendapat pendidikan moral yang cukup baik atau tidak dari keluarganya.
Setelah peneliti melakukan wawancara, ternyata sebagian besar narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta kurang
mendapatkan pendidikan moral yang baik dari keluarga. Hal tersebut disebabkan karena faktor orang tua misalnya kesibukan orang tua bekerja, orang tua meninggal dunia, bercerai (broken home), pendidikan orang tua yang rendah, dan kecenderungan orang tua mempercayakan narapidana residivis memperoleh pendidikan moral kepada lembaga pendidikan agama seperti pondok pesantren.
Disisi lain, beberapa narapidana residivis telah memperoleh pendidikan moral dari keluarga. Salah satu wujud pendidikan moral yang diberikan keluarga kepada narapidana residivis berupa nilai-nilai agama (religius) serta nilai-nilai kebaikan seperti nasehat yang baik dari orang tua. Seperti yang diutarakan oleh narapidana r
(Catatan lapangan 1). Hal senada juga disampaikan oleh narapidana residivis bernama Dwi
selalu diajarkan mengaji, sholat lima waktu, dan puasa sunnah. Orang tua selalu memberikan nasehat agar saya menjadi orang yan (Catatan lapangan 5).
santun kepada yang lebih tua, dan menjadi lelaki yan (Catatan lapangan 10).
Meskipun pendidikan orang tua dari narapidana residivis minim, khususnya pengetahuan agama, namun pada kesempatan tertentu orang tua dari
narapidana residivis tetap dapat memberikan pendidikan moral berupa nasehat dan ajaran tentang nilai kebaikan.
Berikut hasil wawancara dengan Ramlan Butar pada hari Sabtu tanggal 13 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Sejak kecil, saya mendapat pendidikan moral dari keluarga misalnya disuruh
mengaji setiap hari, sholat lima waktu, diberi wejangan mengenai sikap yang baik kepada orang tua, bergaul dengan orang yang baik, tidak boleh menyakiti perasaan orang lain, dan mengikuti norma-norma masyarakat. Bahkan sampai dewasapun, orang tua tetap memberikan nasehat. (Catatan lapangan 4).
Hasil wawancara selanjutnya disampaikan oleh Tedy Surahman pada hari Sabtu tanggal 9 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
Selama saya hidup, orang tua memberikan kasih sayang yang melimpah. Orang tua saya memang kaya sehingga, saya sendiri selalu hidup berkecukupan. Namun dalam segi agama, saya merasa kurang baik sebab orang tua jarang mengajari mengaji. Namun, mereka selalu mengajari saya agar menjadi manusia yang bertanggung jawab dan tidak boleh menyusahkan orang lain. (Catatan lapangan 3).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, peneliti menyimpulkan sebanyak 5 narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah memperoleh pendidikan moral dari keluarga. Pendidikan moral yang diberikan kepada narapidana residivis melalui keluarga berupa ceramah atau perintah mengenai sesuatu yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Keluarga mensosialisasikan nilai-nilai moral kepada narapidana residivis semenjak kecil Berdasarkan hasil wawancara di atas, peneliti menyimpulkan sebanyak 5 narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah memperoleh pendidikan moral dari keluarga. Pendidikan moral yang diberikan kepada narapidana residivis melalui keluarga berupa ceramah atau perintah mengenai sesuatu yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Keluarga mensosialisasikan nilai-nilai moral kepada narapidana residivis semenjak kecil
Selain pendidikan moral diberikan dalam keluarga, penanaman nilai-nilai moral juga di dapatkan selama narapidana residivis berada di bangku sekolah.
Dalam pendidikan formal (sekolah) diajarkan pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti dari mata pelajaran tertentu seperti mata pelajaran pendidikan agama, bimbingan dan konseling (BK), ataupun ajaran moral baik dalam bentuk ceramah maupun memberi contoh teladan dari guru (tenaga pendidik). Kenyataan di lapangan, beberapa narapidana residivis tidak mampu melanjutkan jenjang pendidikan.
Adapun jumlah narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang didasarkan pada tingkat pendidikan tahun 2011.
Tabel 7. Jumlah Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
yang Didasarkan pada Tingkat Pendidikan Tahun 2011 Tingkat Pendidikan
Jumlah Narapidana Residivis SD tidak lulus
2 orang
Lulus SD
5 orang
SMP tidak lulus
5 orang
SMP lulus
Sumber Data: Sub Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tahun 2011.
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa, jenjang pendidikan formal yang ditempuh narapidana residivis paling banyak hanya sampai tingkat SMP yaitu berjumlah 6 orang. Bahkan, ada narapidana residivis yang tidak lulus SD yaitu 2 Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa, jenjang pendidikan formal yang ditempuh narapidana residivis paling banyak hanya sampai tingkat SMP yaitu berjumlah 6 orang. Bahkan, ada narapidana residivis yang tidak lulus SD yaitu 2
Orang tua memiliki peran dalam usaha menumbuhkan perkembangan moral anak. Orang tua akan mengenalkan mengenai pandangan tertentu dan mendorong terbentuknya dialog. Di samping itu, sekolah dan masyarakat luas serta kelompok sebaya akan meningkatkan perkembangan
e. Perilaku Narapidana Residivis yang Terkait dengan Pengulangan Tindak Pidana (Tindakan Moral)
Moral berarti berbicara tentang sesuatu yang bertalian dengan baik buruknya perilaku manusia. Ketika moral dikaitkan dengan subjeknya yaitu
manusia, maka akan semakin terasa derajat urgensi atau kepentingannya apalagi ketika moral manusia cenderung mengarah ke perilaku tidak bermoral. Untuk
menilai perilaku seseorang yang bermoral atau tidak bermoral dibutuhkan pertimbangan moral. Pertimbangan moral dimaksudkan sebagai evaluasi atau penilaian mengenai tindakan seseorang. Dengan pertimbangan moral inilah akan dijadikan alat penilaian yang merujuk pada tindak pidana narapidana residivis. Pertimbangan moral digunakan peneliti untuk mengetahui alasan atau faktor yang menyebabkan narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana. Demikian pula, dalam ilmu hukum pidana menyebutkan pentingnya menyelidiki sebab-sebab dari kejahatan pada diri orang dalam rangka memberantas kejahatan.
menyebabkan narapidana residivis melakukan tindak pidana. Masalah kepribadian sering dapat menimbulkan tingkah laku yang menyimpang, lebih lagi jika seorang individu dapat dikategorikan tertekan perasaannya. Orang yang tertekan perasaannya mempunyai kecenderungan untuk melakukan kejahatan. Seperti yang dialami oleh narapidana residivis kasus pembunuhan berencana pasal 340 KUHP yang bernama Dwi Martanto adalah sebagai berikut:
Saya membunuh istri karena cemburu atas perselingkuhan yang dilakukannya dengan teman laki-laki sekantornya. Awalnya saya tidak percaya kalau istri selingkuh dan hanya mendengar dari tetangga bahwa setiap pulang kerja, isteri selalu diantar pulang teman sekantornya itu. Saya dan istri sempat adu mulut hebat. Malam hari tanggal 13 November 2009, niat jahat muncul dalam diri karena selalu terbayang-bayang perlakuan isteri selingkuh. Akhirnya pada waktu istri tidur, saya mencekiknya hingga tewas. (Wawancara: Senin, 11 Juli 2011). (Catatan lapangan 5).
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa, narapidana residivis yang bernama Dwi Martanto melakukan pembunuhan karena
sakit hati akibat isterinya berselingkuh. Secara psikologis, dia melakukan perbuatan tersebut karena emosi yang tidak dapat dikendalikan.
Selain masalah kepribadian, faktor penyebab melakukan tindak pidana adalah pengaruh minuman keras. Seperti yang dialami oleh narapidana residivis
Agus Waluyo (kekerasan pasal 170 KUHP). Akibat minuman keras yang sering dikonsumsi menyebabkan ia tidak dapat mengendalikan emosi sehingga ketika tanpa sadar berkelahi. Berikut hasil wawancara pada hari Senin tanggal 11 Juli 2011:
Sebelum masuk penjara lagi, saya menjalani masa hukuman karena kasus pencurian. Pada waktu itu, dalam keadaan mabuk berat dan kondisi yang tidak sadar mencuri 6 buah handphone di counter milik tetangga. Selanjutnya, kasus pidana yang kedua adalah kekerasan. Kekerasan yang saya lakukan yaitu berkelahi dengan teman dengan kondisi setengah sadar karena mabuk. (Catatan lapangan 7).
narapidana residivis melakukan tindak pidana karena faktor kebutuhan ekonomi yang mendesak sehingga pada akhirnya terpaksa berbuat menyimpang demi memenuhi kebutuhan tersebut. Seperti yang dialami oleh beberapa narapidana residivis bernama Bayu Waluyo (narapidana residivis kasus penipuan pasal 378
Pekerjaan saya sebagai sales makanan yaitu roti kering. Saya menawarkan dagangan kepada para pelanggan di kios-kios makanan. Pelanggan saya sudah banyak sekitar 10 orang. Namun, awal tahun 2008 usaha yang saya dirikan bangkrut. Akhirnya saya beralih berdagang terasi. Dalam pengolahannya saya campur pewarna buatan agar terlihat segar. Modal sedikit tetapi untungnya banyak. Suatu saat pelanggan mengeluh bahwa terasi yang saya jual palsu kemudian melapor kepada pihak yang berwajib. Saya melakukan tindak pidana tersebut karena ingin membantu orang tua. (Catatan lapangan 1).
Hasil wawancara berikutnya dengan Ramlan Butar (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP) pada hari Rabu tanggal 13 Juli 2011, menuturkan hal yang sama adalah sebagai berikut:
Dengan maksud ingin membantu orang tua, saya mencuri handphone dan sejumlah uang pada seorang ibu yang pada waktu itu duduk di terminal. Pada waktu itu, kondisi sekitar sepi sehingga saya gunakan kesempatan tersebut dengan merampas tas. Ibu tersebut sempat berusaha melawan. Karena panik, saya mengancam dan memukul keras kepalanya hingga pingsan. Saya mencuri tujuannya karena ingin membahagiakan orang tua agar bisa hidup berkecukupan. (Catatan lapangan 4).
Hasil wawancara lainnya dengan Marcus Sudarmo (pencurian pasal 362 KUHP) pada hari Kamis tanggal 14 Juli 2011 mengatakan sebagai berikut:
digital di sebuah
Alasan yang serupa yaitu faktor ekonomi menyebabkan narapidana residivis bernama Ardi Eli.L (pencurian turut serta pasal 363 KUHP) akhirnya
Kamis tanggal 15 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Saya mencuri karena membutuhkan uang untuk biaya operasi ayah.
Sebelumnya, saya telah menguasai teknik kunci sepeda motor sehingga dengan mudah mencuri sepeda motor yang diparkir di pinggir jalan yang tidak dikunci stang. Sebelum saya kabur membawa sepeda motor tersebut, tukang parkir sempat berteriak maling akhirnya saya tikam lengan tangan dia dengan pisau. Namun, belum sempat kabur saya sudah diamuk massa. (Wawancara: Kamis, Tanggal 15 Juli 2011). (Catatan lapangan 8).
Demi menyekolahkan anak, seorang narapidana residivis nekad mencuri. Seperti yang dilakukan oleh Dedi Rosadi (pencurian pasal 365 KUHP) pada hari
Saya mencuri bersama dengan teman yang sehari-hari sebagai kenet angkutan. Barang yang dicuri adalah sebuah komputer di rental. Ide mencuri berawal dari saya. Karena membutuhkan uang untuk biaya sekolah anak, akhirnya saya mencuri. Saya mendobrak dan mencongkel gembok pintu rentalan sedangkan teman saya yang mengambil komputer. Esok harinya komputer dijual dengan harga Rp.900.000,-. Uang tersebut kita bagi dua. (Catatan lapangan 10).
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narapidana residivis di atas, peneliti menyimpulkan bahwa narapidana residivis melakukan tindak pidana disebabkan karena faktor ekonomi dengan alasan seperti ekonomi keluarga yang rendah (miskin), biaya sekolah, memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan memenuhi kebutuhan yang mendesak seperti biaya operasi Rumah Sakit.
Selain kedua alasan penyebab penyimpangan di atas, narapidana residivis melakukan tindak pidana dengan mengambil kesempatan yang ada. Seperti yang dilakukan oleh narapiana residivis bernama Tedy Surahman (penggelapan pasal 372 KUHP) pada hari Sabtu tanggal 9 Juli 2011 adalah sebagai berikut: diberi amanah Kepala Kantor untuk menjadi bendahara. Dalam setiap kesempatan, uang tunjangan karyawan setiap bulannya saya ambil 5 persen. Uang tersebut saya gunakan untuk modal menika Selain kedua alasan penyebab penyimpangan di atas, narapidana residivis melakukan tindak pidana dengan mengambil kesempatan yang ada. Seperti yang dilakukan oleh narapiana residivis bernama Tedy Surahman (penggelapan pasal 372 KUHP) pada hari Sabtu tanggal 9 Juli 2011 adalah sebagai berikut: diberi amanah Kepala Kantor untuk menjadi bendahara. Dalam setiap kesempatan, uang tunjangan karyawan setiap bulannya saya ambil 5 persen. Uang tersebut saya gunakan untuk modal menika
Saya bersama dengan teman, mencuri uang dalam kotak amal di sebuah masjid yang tidak jauh dari rumah saya. Teman saya memang sudah lama berniat mengajak saya untuk mencuri. Karena terpengaruh, akhirnya saya mau melakukan. Teman saya yang mencongkel gembok kotak amal dan saya yang menjaga sekitar sebab takut ada orang yang melihat. Karena merasa berdosa akhirnya saya mengakui kesalahan dengan melaporkan diri kepada pihak yang berwajib. (Catatan lapangan 2).
Disamping itu, faktor sulitnya mendapatkan pekerjaan yang memadai merupakan penyebab narapidana residivis melakukan tindak pidana. Artinya narapidana residivis merasa bahwa karena statusnya sebagai mantan narapidana sehingga ia merasa sulit memperoleh pekerjaan. Oleh sebab itulah, narapidana residivis mencari kemudahan memperoleh materi (uang) sehingga mencari jalan instan dengan melakukan tindak pidana. Seperti yang dilakukan oleh Puji Hariyanto (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP) wawancara pada hari
Hidup dalam masyarakat serba sulit mbak. Ingin kerja di pabrik tetapi selalu ditolak. Ujung-ujungya menjadi buruh. Saya merasa kerja menjadi buruh itu capek, sehingga mau tidak mau mencuri lagi. Saya merasa tidak takut berbuat mencuri sebab sudah menjadi pekerjaan saya. Kasu terakhir adalah saya mencuri uang tetangga sebesar Rp. 5.345.000,- sewaktu mereka sedang tertidur. Perbuatan mencuri yang saya lakukan ternyata diketahui oleh Satpam penjaga rumah. Karena saya merasa panik, akhirnya memukulnya dengan sebilah kayu sampai pingsan. (Catatan lapangan 9).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, sebagian besar narapidana residivis mengalami masalah moral. Masalah moral yaitu mengapa narapidana residivis melakukan tindak pidana. Masalah moral yang dialami oleh narapidana residivis disebabkan oleh beberapa faktor. Adapun faktor yang Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, sebagian besar narapidana residivis mengalami masalah moral. Masalah moral yaitu mengapa narapidana residivis melakukan tindak pidana. Masalah moral yang dialami oleh narapidana residivis disebabkan oleh beberapa faktor. Adapun faktor yang
Surakarta Melakukan Tindak Pidana
No.
Faktor melakukan tindak pidana
Jumlah
1. Emosi yang tidak terkendali
1 orang
2. Pengaruh minuman keras (alkohol)
1 orang
3. Faktor ekonomi keluarga yang rendah atau kemiskinan
5 orang
4. Faktor adanya kesempatan
1 orang
5. Sulitnya mendapat pekerjaan
1 orang
6. Lingkungan pergaulan yang buruk
1 orang
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa, terdapat 6 faktor penyebab narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta melakukan tindak pidana. Faktor tersebut meliputi: emosi yang tidak terkendali, pengaruh minuman keras (alkohol), ekonomi yang rendah atau kemiskinan, adanya kesempatan, sulitnya mendapat pekerjaan, dan lingkungan pergaulan yang buruk. Dari beberapa faktor tersebut, ternyata faktor yang paling banyak mempengaruhi narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana disebabkan ekonomi yang rendah dengan jumlah 5 orang. Tindak pidana yang dilakukan narapidana residivis didominasi dengan kasus pencurian. Kenyataan di lapangan, narapidana residivis mencuri karena membutuhkan uang demi menyambung kelangsungan keluarga dan hidupnya. Narapidana residivis terpaksa mencuri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, membiayai sekolah anak, dan biaya operasi orang tua. Bahkan, seorang
narapidana residivis mengatakan bahwa ia menjadikan tindak pidana sebagai pekerjaannya (mata pencaharian). Hal tersebut dilakukan oleh narapidana residivis
bernama Puji Hariyanto (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP). Sulitnya mencari dan mendapat pekerjaan menjadi alasan dia mencuri.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa meskipun sebagian besar narapidana residivis telah memiliki pemahaman moral yang sangat baik, kemudian beberapa narapidana residivis telah memiliki perasaan moral, dan Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa meskipun sebagian besar narapidana residivis telah memiliki pemahaman moral yang sangat baik, kemudian beberapa narapidana residivis telah memiliki perasaan moral, dan
Kesempurnaan sifat manusia ada dalam dua hal. Yang pertama, hendaknya seseorang mengetahui yang benar secara benar. Kedua, hendaknya seseorang mengetahui kebaikan untuk diamalkannya menjadi pintu pembuka jalan kebaikan
tersebut, diartikan bahwa seseorang dapat dikatakan bermoral apabila dari pengetahuan yang dimiliknya dapat diwujudkan dalam tindakan moral. Nilai-nilai moral yang didapatkan oleh narapidana residivis seharusnya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kecenderungan mereka untuk berbuat atau berperilaku buruk (jahat) tidak akan terjadi. Namun, kenyataan di lapangan menyebutkan bahwa narapidana residivis mengalami masalah moral sehingga melakukan pengulangan tindak pidana. Penyebab narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana adalah faktor intern seperti masalah kepribadian (emosi) dan juga faktor ekstern seperti rendahnya ekonomi keluarga atau kemiskinan, kesempatan, sulitnya memperoleh pekerjaan, lingkungan pergaulan yang buruk, dan pengaruh minuman keras.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, pengetahuan moral dan perasaan moral saja bukanlah unsur mutlak yang menjamin seseorang memiliki moral yang baik. Namun, dibutuhkan pembiasaan dan iman yang kuat yang dapat mempengaruhi perkembangan moral seseorang. Jika perkembangan moral seseorang telah matang, akhirnya seseorang akan bertindak secara moral. Sebaliknya, jika perkembangan moral seseorang belum matang, maka akan terjadi
menjadi masalah moral dalam dirinya. Hal tersebut nampak pada narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang mengalami masalah moral. Dengan demikian, perlunya memperhatikan sisi masalah moral yang dihadapi narapidana residivis. Hal tersebut menjadi bagian yang cukup penting sebab dengan mengetahui masalah moral yang dihadapi narapidana residivis, akan diketahui penyebab mereka melakukan perbuatan menyimpang sehingga dapat diberikan solusi atau pemecahan masalahnya. Oleh sebab itulah, sebagai alternatif pemecahan masalah moral yang dihadapi narapidana residivis dapat dilakukan melalui pembinaan moral dalam lembaga pemasyarakatan. Pembinaan moral yang diterapkan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sebagai salah satu solutif dalam rangka mensosialisasikan nilai-nilai moral kepada narapidana residivis, dimana dalam penerapan pembinaan moral tersebut tidak terlepas pula dari sistem pemidanaan dengan tujuan agar narapidana residivis jera sehingga tidak mengulangi kembali tindak pidana yang diharapkan nantinya narapidana residivis menjadi pribadi yang bermoral dan menjadi warga negara yang baik (good citizen).
2. Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Meskipun Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta bukanlah lembaga pemasyarakatan namun, dalam pelaksanaan pemidanaan bagi narapidana residivis
menggunakan sistem pemasyarakatan yang lebih difokuskan pada pembinaan dan rehabilitasi dari pada sekedar sistem penjara yang lebih pada unsur balas dendam. Hal tersebut sesuai dengan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H. G8/506, 17 Juni 1964 disebutkan bahwa, anak pidana telah berubah secara mendasar yaitu sistem kepenjaraan menjadi sistem
t diketahui bahwa sistem
pemenjaraan tidaklah cukup memberikan manfaat yang baik. Perlu dilakukan perubahan sistem pemidanaan yang efektif dalam mengurangi diulanginya tindak kejahatan. Sebab melalui sistem pidana penjara saja, ternyata tidak mengurangi angka pemenjaraan tidaklah cukup memberikan manfaat yang baik. Perlu dilakukan perubahan sistem pemidanaan yang efektif dalam mengurangi diulanginya tindak kejahatan. Sebab melalui sistem pidana penjara saja, ternyata tidak mengurangi angka
Tujuan pembinaan yang diterapkan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah narapidana tidak melanggar hukum lagi, narapidana dapat
berpartisipasi aktif dan positif dalam pembangunan (manusia mandiri) dan narapidana hidup bahagia dunia akherat. Dalam rangka mencapai tujuan pembinaan tersebut,
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mengupayakan pelaksanaan pembinaan secara maksimal. Lebih dari pada itu, pembinaan yang dilaksanakan di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta diarahkan guna membentuk moral narapidana residivis sehingga akhirnya menjadi warga negara yang baik (good citizen). Pembinaan tersebut diperuntukkan bagi seluruh warga binaan pemasyarakatan, tidak terkecuali bagi narapidana residivis. Sesuai dengan kajian pustaka, peneliti akan mengkaji beberapa aspek yang terkait dengan pelaksanaan pembinaan moral bagi narapidana residivis. Aspek-aspek tersebut meliputi: a. Pola pembinaan narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, b. Tahapan pelaksanaan pembinaan narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, c. Metode pembinaan dan wujud program pembinaan bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, d. Keberhasilan pembinaan narapidana residivis terkait pembentukan good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Berikut ini penjabaran mengenai aspek-aspek tersebut:
a. Pola Pembinaan Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos M.M pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
Pola pembinaan yang dilaksanakan bagi narapidana residivis adalah sama dengan narapidana lainnya. Pola pembinaan mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan. Merujuk pada aturan tersebut maka kita terapkan pada narapidana residivis. Pola pembinaan terbagi atas pembinaan Pola pembinaan yang dilaksanakan bagi narapidana residivis adalah sama dengan narapidana lainnya. Pola pembinaan mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan. Merujuk pada aturan tersebut maka kita terapkan pada narapidana residivis. Pola pembinaan terbagi atas pembinaan
Bapak Drs. Haryana selaku Kepala Pengelolaan pada tanggal 29 Juni 2011 menambahkan bahwa:
Tidak ada pola pembinaan khusus bagi narapidana residivis. Semua narapidana atau warga binaan diperlakukan sama dan mendapat pembinaan yang sama. Pembedaannya hanya fungsi pengawasan yang lebih diperketat. Selain itu, narapidana residivis akan ditempatkan pada blok yang berbeda dengan narapidana lainnya. Hal ini dilakukan supaya tidak terjadi keributan antara narapidana residivis dengan narapidana bukan residivis. (Catatan lapangan 12).
Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas pemasyarakatan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pelaksanaan pembinaan bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mengacu kepada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan. Pola pembinaan yang diberikan kepada narapidana residivis adalah sama dengan narapidana lainnya (bukan residivis) karena belum ada pola pembinaan khusus bagi narapidana residivis.
Selama peneliti melakukan pengamatan dan analisis dokumen menunjukkan bahwa, pola pembinaan bagi narapidana residivis yang dilaksanakan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memang merujuk pada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa, pola pembinaan terdiri dari pembinaan yang dilaksanakan di dalam Rutan dan pembinaan yang dilakukan di luar Rutan. Pola pembinaan yang dilaksanakan di dalam lembaga pemasyarakatan meliputi pemberian program-program pembinaan baik yang bersifat mengasah mental (psikis) maupun fisik (keterampilan). Sedangkan pembinaan di dalam maupun di luar Rutan misalnya belajar di sekolah- sekolah negeri, belajar di tempat latihan kerja milik industri atau dinas lain, Selama peneliti melakukan pengamatan dan analisis dokumen menunjukkan bahwa, pola pembinaan bagi narapidana residivis yang dilaksanakan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memang merujuk pada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa, pola pembinaan terdiri dari pembinaan yang dilaksanakan di dalam Rutan dan pembinaan yang dilakukan di luar Rutan. Pola pembinaan yang dilaksanakan di dalam lembaga pemasyarakatan meliputi pemberian program-program pembinaan baik yang bersifat mengasah mental (psikis) maupun fisik (keterampilan). Sedangkan pembinaan di dalam maupun di luar Rutan misalnya belajar di sekolah- sekolah negeri, belajar di tempat latihan kerja milik industri atau dinas lain,
Bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, pola pembinaan dilaksanakan dalam Rutan saja. Tidak ada wujud program pembinaan
yang secara khusus diberikan bagi narapidana residivis sehingga dalam pelaksanaannya sama dengan narapidana lainnya. Narapidana residivis
memperoleh program pembinaan kepribadian dan program pembinaan kemandirian. Sedangkan untuk narapidana bukan residivis terkecuali kasus
narkotika, korupsi, penipuan, dan terorisme tetap mendapatkan pembinaan di dalam maupun di luar Rutan. Hal tersebut menandakan adanya perbedaan mengenai pola pembinaan bagi narapidana residivis dan bukan residivis.
Perbedaan lainnya adalah dalam hal pengawasan. Selama pembinaan berlangsung, pengawasan lebih dioptimalkan terhadap narapidana residivis. Petugas Rutan sering memberikan hukuman disiplin terhadap narapidana residivis misalnya push up apabila narapidana residivis melakukan pelanggaran. Adapun maksud petugas bersikap demikian, agar narapidana residivis patuh dan disiplin dalam mengikuti pembinaan. Sebab bagi pembina, narapidana residivis adalah seseorang yang memiliki kepribadian buruk dan ndableg sehingga harus diberi hukuman yang tentunya tidak menyimpang dari prinsip-prinsip pemasyarakatan. Dengan demikian, diharapkan narapidana residivis jera atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan sehingga tidak menjalani pemidanaan kembali di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
Di samping itu, mengenai penempatan blok kamar, bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dibedakan dengan narapidana bukan residivis. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya perkelahian atau pengaruh buruk bagi narapidana lainnya. Bagi narapidana residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana berkali-kali hingga 3 kali lebih akan diberikan rehabilitasi secara optimal yaitu mendatangkan psikiater dari Di samping itu, mengenai penempatan blok kamar, bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dibedakan dengan narapidana bukan residivis. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya perkelahian atau pengaruh buruk bagi narapidana lainnya. Bagi narapidana residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana berkali-kali hingga 3 kali lebih akan diberikan rehabilitasi secara optimal yaitu mendatangkan psikiater dari
b. Tahapan Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Tahapan pembinaan merupakan langkah-langkah yang diberikan kepada narapidana selama menjalani masa pidana di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta. Dalam tahapan pelaksanaan ini narapidana akan menjalani tahapan awal sampai tahap akhir. Tahapan pengalihan pembinaan dari satu tahap ke tahap
berikutnya ditetapkan oleh TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan). TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan) dapat memutuskan pengalihan tahapan pembinaan adalah berdasarkan data dari hasil evaluasi dalam laporan perkembangan warga binaan pemasyarakatan yang diberikan oleh wali pemasyarakatan.
Tahapan pembinaan yang dilaksanakan oleh TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan) mempunyai fungsi sebagai berikut:
1) Memberikan saran mengenai bentuk dan program pembinaan serta bimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan.
2) Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan dan pembimbingan.
3) Menerima keluhan dan pengaduan dari warga binaan pemasyarakatan.
Secara garis besar, tahapan pelaksanaan pembinaan bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah sebagai berikut:
1) Tahap Awal atau Orientasi Pada tahap awal, semua narapidana didata untuk mengetahui identitas dan latar belakang kehidupannya. Kemudian diberikan pengarahan tentang tata tertib, hak dan kewajibannya. Tahap ini berlangsung 0 sampai 1/3 masa pidana.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa: Tahapan awal pembinaan untuk narapidana residivis hanya dilakukan
pendataan ulang yang terkait dengan identitas, perkara pidana dan masa pidana. Narapidana tidak perlu diperkenalkan kembali pada tata tertib Rutan serta hak dan kewajiban yang harus dipatuhi sebab narapidana sudah pendataan ulang yang terkait dengan identitas, perkara pidana dan masa pidana. Narapidana tidak perlu diperkenalkan kembali pada tata tertib Rutan serta hak dan kewajiban yang harus dipatuhi sebab narapidana sudah
Menurut Bapak Drs. Haryana .pada tanggal 29 Juni 2011 menambahkan bahwa: an pembinaan yaitu orientasi, tahapan lanjutan, dan tahap akhir sehingga pembinaan diberikan di dalam Rutan. Mereka tidak memperoleh pembinaan di luar Rutan seperti
(Catatan lapangan 12). Berdasarkan hasil wawancara dengannarapidana residivis Bayu Waluyo
Awal masuk Rutan ini, oleh petugas pendaftaran dilakukan pendataan mengenai identitas diri dan keluarga pada buku register B, kemudian pemeriksaan kesehatan oleh petugas medis Rutan, selanjutnya ditempatkan dalam blok penerimaan. Karena dahulu saya pernah terdaftar sebagai mantan narapidana sehingga tidak dilakukan kegiatan pengenalan lingkungan ataupun penjelasan mengenai tata tertib serta hak dan kewajiban narapidana. Namun mewajibkan saya mengikuti kegiatan program pembinaan agama islam dan pembinaan lainnya kecuali pembinaan kemandirian. (Catatan lapangan 20).
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa, tahapan awal pembinaan untuk narapidana residivis hanya dilakukan pendataan
ulang. Pendataan ulang dilakukan untuk mengetahui kasus baru apa yang dilakukannya dan berapa lama masa pidananya dengan tujuan sebagai bahan pertimbangan untuk pembinaannya. Selanjutnya, narapidana residivis akan ditempatkan dalam blok yang berbeda dengan narapidana bukan residivis artinya narapidana residivis ditempatkan dalam blok kamar tersendiri dengan maksud uttuk menghindari adanya keributan. Narapidana tidak perlu diperkenalkan kembali mengenai tata tertib Rutan serta hak dan kewajiban sebagai narapidana. Hal tersebut dikarenakan narapidana residivis telah mengetahui sebelumnya karena pernah menjalani pemidanaan di Rutan Klas 1 ulang. Pendataan ulang dilakukan untuk mengetahui kasus baru apa yang dilakukannya dan berapa lama masa pidananya dengan tujuan sebagai bahan pertimbangan untuk pembinaannya. Selanjutnya, narapidana residivis akan ditempatkan dalam blok yang berbeda dengan narapidana bukan residivis artinya narapidana residivis ditempatkan dalam blok kamar tersendiri dengan maksud uttuk menghindari adanya keributan. Narapidana tidak perlu diperkenalkan kembali mengenai tata tertib Rutan serta hak dan kewajiban sebagai narapidana. Hal tersebut dikarenakan narapidana residivis telah mengetahui sebelumnya karena pernah menjalani pemidanaan di Rutan Klas 1
2) Tahap Lanjutan Tahap ini berlangsung 1/3 sampai 1/2 masa pidana. Dengan berakhirnya
tahap awal maka, setiap narapidana mengikuti tahap lanjutan dengan pemberian program pembinaan kemandirian. Program pembinaan yang diberikan, disesuaikan dengan minat dan bakat atau bahkan bagi narapidana yang belum memiliki potensi dalam dirinya. Pembinaan kemandirian dilaksanakan dengan memberikan keterampilan sebagai bekal bagi narapidana setelah keluar dari Rutan. Dalam tahapan lanjutan, juga sebagai bahan pertimbangan apakah seorang narapidana dapat melanjutkan tahap asimilasi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
Meskipun narapidana residivis pernah mengikuti kegiatan pembinaan terdahulu namun, ketika masuk kembali tetap ia wajib mengikuti program pembinaan bahkan sangat dianjurkan sebab dapat mengasah minat dan bakat serta keterampilan mereka sehingga setelah keluar dari Rutan, mereka dapat hidup mandiri. (Catatan lapangan 11).
Hal senada disampaikan berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis yang bernama Bayu Waluyo 2011 mengatakan bahwa:
telah satu bulan mengikuti pembinaan keagamaan dan pembinaan lainnya, untuk mengasah keterampilan menjahit saya disarankan
narapidana residivis dianjurkan untuk mengikuti tahapan lanjutan. Tahapan lanjutan berupa pemberian program pembinaan kemandirian. Meskipun narapidana residivis pernah mengikuti kegiatan pembinaan terdahulu karena pernah mengikuti tahapan pelaksanaan pembinaan, namun melalui program pembinaan kemandirian akan mengasah kembali minat dan bakat yang mereka miliki sehingga nantinya setelah keluar dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta narapidana residivis memperoleh bekal keterampilan sehingga dapat hidup mandiri.
3) Tahap Asimilasi Tahap ini berlangsung 1/2 sampai 2/3 masa pidana. Asimilasi merupakan proses pembinaan yang dilaksanakan di luar lembaga pemasyarakatan dengan membaurkan narapidana dalam kehidupan masyarakat. Sesuai dengan hasil evaluasi narapidana pada sidang TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan) yang didasarkan pada laporan hasil perkembangan warga binaan pemasyarakatan telah dinyatakan bahwa narapidana menunjukkan perilaku yang baik dan telah memperoleh keterampilan maka, mereka dapat mengusulkan diri untuk menjalani tahap pembinaan ketiga yaitu asimilasi. Pengajuan asimilasi ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Tengah melalui Kepala Rutan yang bersangkutan sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Bagi narapidana yang dikabulkan permohonannya maka, dapat melakukan asimilasi dengan cara kepadanya dipekerjakan diluar tembok namun masih dalam pengawasan yang ringan. Bentuk program asimilasi misalnya narapidana bekerja di pabrik dimana pabrik tersebut membutuhkan tenaganya maka, ia pergi ke pabrik pagi hari dan sore pulang ke Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa: Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa tahap asimilasi bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tidak diberikan. Kebijakan ini dimaksudkan mengingat pengalaman pahit petugas atas kaburnya narapidana dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tidak mau menanggung resiko sebab bila narapidana residivis diijinkan melaksanakan pembinaan di luar tembok Rutan, dikhawatirkan melarikan diri. Peniadaan asimilasi Kepala Rutan mengacu pada Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan No.E.PK.04.10-715 tahun 2004 perihal
penafsiran peraturan tersebut diterapkan pada narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dengan alasan keamanan.
4) Tahap akhir (minimum security) Tahap ini berlangsung 2/3 masa pidana hingga bebas. Tahap ini narapidana tidak lagi diberikan pembinaan melainkan pembimbingan. Pembimbingan tidak dilakukan oleh petugas Rutan, tetapi dilakukan oleh petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Surakarta. Tahap ini juga disebut sebagai tahap integrasi yang dilakukan di luar Rutan dapat berupa PB (Pembebasan Bersyarat) dan remisi (pengurangan masa pidana). Bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tidak
pidana). Berdasarkan penjabaran mengenai tahapan pelaksanaan pembinaan kepada narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yaitu menjalani menjalani tahap awal atau orientasi, tahap lanjutan, dan tahapan akhir (bebas). Dalam menjalani tahapan tersebut, narapidana residivis tidak memperoleh asimilasi, PB (Pembebasan Bersyarat), dan remisi (pengurangan masa pidana). Narapidana residivis tidak memperoleh hak asimilasi karena Rutan membuat kebijakan tentang peniadaan asimilasi khususnya bagi kasus penipuan, narkoba, teorisme dan juga narapidana residivis. Pertimbangan peniadaan asimilasi bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta merujuk pada Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan No.E.PK.04.10-715 tahun 2004 tentang,
Asimilasi tidak diberikan kepada narapidana penipuan, psikotropika dan kasus terorisme . Kemudian dari penafsiran peraturan tersebut, diterapkan pada narapidana residivis dengan alasan keamanan.
Jika dikaitkan dengan tahapan perkembangan menurut Kohlberg dalam K. Bertens (2007: 80-84) mengemukakan enam tahap perkembangan moral yang dikaitkan satu sama lain dalam tiga tingkat (levels) berturut- prakonvensional, tingkat konvensional dan tingkat pascakonvensional Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta belum mengarahkan pada perkembangan akhir yaitu pembentukan pribadi yang bermoral dalam diri setiap narapidana, namun ketika narapidana residivis menjalani pembinaan kepribadian nampaknya diarahkan kepada perkembangan moralnya yaitu dengan penyadaran moral melalui peningkatan keimanan dan ketakwaan yaitu pembinaan kesadaran agama.
c. Metode Pembinaan dan Wujud Program Pembinaan Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Metode pembinaan merupakan cara untuk menyampaikan materi pembinaan agar dapat secara efektif dan efisien diterima oleh narapidana sehingga Metode pembinaan merupakan cara untuk menyampaikan materi pembinaan agar dapat secara efektif dan efisien diterima oleh narapidana sehingga
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
Program pembinaan yang bersifat kepribadian diarahkan agar narapidana membentuk watak mampu meningkatkan ketakwaan dan intelektual, sehingga diharapkan nantinya menjadi warga negara yang baik, patuh pada peraturan, taat hukum, memiliki jiwa yang bermoral, serta hidup secara produktif. Sedangkan untuk pembinaan yang bersifat kemandirian lebih menitikberatkan pada pembentukan pribadi manusia yang mandiri dan lebih produktif dalam pembangunan. (Catatan lapangan 11).
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa, secara garis besar program pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terbagi atas 2 (dua) macam yaitu :
1) Pembinaan yang bersifat kepribadian. Pembinaan yang bersifat kepribadian bertujuan membentuk watak narapidana sehingga mampu meningkatkan ketakwaan dan intelektual yang diharapkan nantinya menjadi warga negara yang baik, patuh pada peraturan, taat hukum memiliki jiwa yang bermoral, serta hidup secara produktif.
2) Program pembinaan yang bersifat kemandirian. Pembinaan yang bersifat kemandirian lebih menitikberatkan pada pembentukan pribadi manusia yang mandiri dan lebih produktif dalam pembangunan.
Negara Klas 1 Surakarta menentukan metode pembinaan yang sesuai dengan pemasyarakatan. Adapun metode yang digunakan pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam melaksanakan program pembinaan adalah sebagai berikut:
1) Metode pembinaan berdasarkan situasi sesuai dengan kebutuhan dengan pendekatan dari atas ke bawah (top down approach).
Metode ini dimaksudkan bahwa pembinaan yang diberikan harus disesuaikan dengan latar belakang kehidupan dan tingkat kebutuhan narapidana.
Selain itu, pembina juga harus mempertimbangkan sarana dan prasarana serta anggaran yang dimiliki Rutan. Dalam metode ini, materi pembinaan berasal dari pembina yang disesuaikan dengan kebutuhan narapidana sehingga narapidana tinggal menerima wujud program pembinaan. Melalui metode ini, narapidana akan terikat dalam situasi pembinaan sehingga ia tidak bisa lepas dari situasi tersebut. Adapun wujud program pembinaan yang dilaksanakan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang sesuai dengan metode ini yaitu pembinaan kesadaran agama islam, pembinaan kesadaran agama nasrani, dan pembinaan bentuk olah raga. Berikut ini penjelasan mengenai ketiga wujud pembinaan tersebut.
a) Pembinaan Kesadaran Agama Islam. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suramto mengenai
metode pembinaan pada pembinaan agama Islam pada hari Senin tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
disesuaikan dengan kebutuhan narapidana. Mereka tinggal menerima materi sehingga sifatnya terikat dan wajib diikuti. Setiap narapidana membutuhkan siraman rohani sehingga membentuk perilaku yang baik
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, metode yang disampaikan dalam pembinaan kesadaran agama adalah sesuai dengan kebutuhan narapidana sebab setiap narapidana berhak untuk memperoleh Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, metode yang disampaikan dalam pembinaan kesadaran agama adalah sesuai dengan kebutuhan narapidana sebab setiap narapidana berhak untuk memperoleh
Selama peneliti melakukan pengamatan di lapangan ternyata benar bahwa metode pembinaan berdasarkan situasi sesuai dengan kebutuhan
dengan pendekatan dari atas ke bawah (top down approach) yang dilaksanakan dalam pembinaan kesadaran agama Islam disesuaikan dengan
kebutuhan narapidana. Setiap narapidana berhak mendapatkan pendidikan agama. Tujuan pembinaan kesadaran agama Islam sifatnya lebih kepada
psikis narapidana dengan maksud meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebab jika iman mereka kuat maka, mereka
mengenal Tuhan dan takut dosa sehingga dapat mengendalikan perbuatan yang tidak baik. Narapidana disadarkan agar insyaf dan tidak mengulangi perbuatan jahat lagi. Pembinaan kesadaran agama Islam merupakan wujud program pembinaan yang paling utama dan wajib diikuti oleh narapidana.
Ketua program pembinaan kesadaran islam adalah Bapak Suramto. Bentuk kegiatan yang dilaksanakan dalam pembinaan kesadaran agama Islam sebagai upaya perbaikan moral meliputi pendidikan agama Islam oleh MTA (Majelis Tafsir Al-
serta sholat maghrib dan subuh berjamaah.
Adapun jadual pelaksanaan kegiatan pembinaan kesadaran agama Islam di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah sebagai berikut:
Tabel 9. Jadual Pelaksanaan Kegiatan Pembinaan Kesadaran Agama Islam di
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
No.
Jenis Kegiatan
Waktu Kegiatan
1. Pendidikan agama islam dari
MTA (Majelis Tafsir Al-
Hari senin pukul 15.30-16.30 WIB.
Setiap hari kecuali hari minggu pukul 11.00-12.00 WIB.
3. Sholat maghrib dan subuh
berjamaah dalam kamar masing-
Setiap hari.
Sumber Data: Bagian Sub seksi Bantuan hukum dan Penyuluhan Tanggal 4 Juli 2011.
Dari kegiatan pembinaan kesadaran agama Islam di atas ternyata merupakan salah satu bentuk pembinaan moral. Narapidana residivis diberikan bekal pendidikan agama yang diarahkan pada penyadaran moral yaitu mengasah keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tujuan pembinaan tersebut adalah agar narapidana residivis insyaf dan tidak mengulangi kembali tindak pidana.
Selain kegiatan pembinaan kesadaran Islam di atas, hal menarik adalah Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mengadakan kegiatan keagamaan islam berbasis pesantren. Awal tahun 2009, sebuah pondok pesantren didirikan dalam Rutan yang merupakan salah satu program pembinaan kesadaran agama islam. Pondok pesantren dalam lingkungan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta merupakan proyek percontohan Departemen Hukum dan HAM bagi Rutan yang ada di seluruh Indonesia. Pondok pesantren ini diperuntukkan bagi semua warga binaan pemasyarakatan. Pondok pesantren yang dijadikan contoh adalah pondok
diawali ketika Ustad Yusuf Masyur mengadakan bakti sosial ke Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dibawah Yayasan Wisata Hati miliknya. Cita- yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kemudian melakukan kerja sama dengan pihak Rutan untuk mendirikan pondok pesantren dalam Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Rutan Surakarta . Tujuan dibentuk pondok pesantren dalam Rutan adalah memulihkan
kesadaran narapidana terkait dengan kejahatan yang dilakukan, menyeleksi, mengorganisir, dan mengarahkan narapidana agar menjadi santri, serta kesadaran narapidana terkait dengan kejahatan yang dilakukan, menyeleksi, mengorganisir, dan mengarahkan narapidana agar menjadi santri, serta
mulai hari senin sampai kamis. Penghafalan Al- ro, Al-
, Al-
-surat pendek lainnya. Selanjutnya,
dapat menghafal surat-surat Al-Qur an pendek oleh ustad jika belum lancar maka, ustad akan menuntun narapidana sampai hafal selanjutnya pada waktu akhir masa pidana hampir selesai diberi evaluasi secara tertulis tentang kemampuan baca tulis Al-
Selama mengadakan kegiatan penelitian, peneliti pernah terlibat secara langsung dengan mengikuti kegiatan pembinaan kesadaran agama islam yaitu pengajian menjelang sholat dzuhur pada tanggal 5 Juli 2011
pukul 11.00-12.00 WIB di masjid An-Nur Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Kegiatan pengajian tersebut diisi dengan ceramah keagamaan islam oleh Ustad Lanjar yang secara khusus di datangkan dari Pondok Pesantren Al-Bukhori. Materi ceramah yang disampaikan terkait dengan
peningkatan keimanan dan ketakwaan manusia kepada Allah SWT.
b) Pembinaan Kesadaran Agama Nasrani Metode yang digunakan dalam pembinaan kesadaran agama nasrani adalah sama dengan pembinaan kesadaran agama islam dimana metode yang didasarkan pada kebutuhan narapidana. Pembinaan ini, ditujukan kepada narapidana yang beragama nasrani. Tujuan dari wujud pembinaan ini adalah memperteguh keimanan narapidana agar mereka dapat menginsafi perbuatan yang telah mereka lakukan dan menimbulkan niat untuk tidak melakukan tindak pidana kembali. Pembinaan kesadaran agama nasrani diketuai oleh
Penyuluhan. Bentuk kegiatan yang dilaksanakan dalam pembinaan nasrani adalah menjalankan ibadah nasrani, doa bersama, dan kegiatan koor. Kegiatan ibadah nasrani dan doa bersama dilaksanakan secara bersamaan setiap hari minggu pukul 09.00-11.30 WIB. Sedangkan untuk kegiatan koor dilaksanak pelaksanaan kegiatan tersebut, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta menyediakan gereja yang terletak di halaman belakang aula di sebelah timur gedung Bimbingan Kerja dan Kegiatan, tepatnya di depan blok C. Tersedia juga alat musik drum guna mendukung kegiatan koor. Namun, pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tidak menyediakan pendeta atau pastur sehingga harus menjalin kerja sama dengan pihak luar agar narapidana tetap memperoleh pelayanan pendeta.
c) Pembinaan Bentuk Olah Raga Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sarwono menyampaikan
tentang metode pembinaan bentuk olah raga pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
dengan kebutuhan mereka. Setiap warga binaan diberikan hak untuk memperoleh kesehatan jasmaniah. Sehingga pembinaan ini (Catatan lapangan 19).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, metode yang digunakan dalam pembinaan bentuk olah raga yaitu pembina memberikan materi melalui kegiatan fisik berupa olah raga yang disesuaikan Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, metode yang digunakan dalam pembinaan bentuk olah raga yaitu pembina memberikan materi melalui kegiatan fisik berupa olah raga yang disesuaikan
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peneliti melihat bahwa, seluruh narapidana residivis wajib mengikuti pembinaan olah raga. Bentuk
kegiatan yang dilaksanakan dalam pembinaan ini adalah senam pagi yang dilaksanakan setiap hari pada pukul 07.00 WIB dan olah raga volly setiap
hari sabtu pukul 15.00 WIB. Pembinaan olah raga bertujuan untuk menjaga kebugaran jasmani narapidana.
2) Metode pembinaan dari bawah ke atas (botton up approach). Metode dari bawah ke atas (botton up approach) yaitu suatu cara menyampaikan materi pembinaan dengan memperhatikan kebutuhan belajar narapidana. Hal ini disebabkan karena setiap narapidana mempunyai kebutuhan belajar dan minat belajar yang tidak sama. Semua sangat tergantung pada diri pribadi narapidana dan fasilitas pembinaan yang dimiliki oleh oleh Rutan. Wujud pembinaan yang sesuai dengan metode ini adalah pembinaan intelektual. Berikut ini penjelasan mengenai pembinaan intelektual di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta:
a) Pembinaan Intelektual Menurut hasil wawancara dengan Bapak Tentrem Basuki, SP.d pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Metode dalam pembinaan intelektual disesuaikan dengan kebutuhan
narapidana sebab tingkat pendidikan berbeda. Narapidana sendiri ada yang masih SD, SMP, atau SMA malah ada yang belum lulus sekolah atau buta huruf. Selanjutnya, pembina akan memberikan materi pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan belajar dari narapidana tersebut. (Catatan lapangan 16).
yang digunakan dalam pembinaan intelektual adalah dari bawah keatas (botton up approach) yaitu sebelum pembina Rutan memberikan materi pembinaan, maka harus mengetahui terlebih dahulu tingkat kebutuhan dan minat belajar narapidana untuk memudahkan pembina memberikan materi pembinaan sebab tidak semua narapidana memiliki tingkat pendidikan atau intelegensi yang sama. Cara metode ini cukup efektif sebab pembina mengetahui bagaimana materi yang cocok diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan atau intelegensi.
Setelah peneliti melakukan pengamatan di lapangan ternyata benar bahwa, metode dari bawah ke atas (botton up approach) diterapkan pada pembinaan intelektual. Sebelum pembina memberikan materi pembinaan terlebih dahulu mengetahui jenjang pendidikan dan minat belajar narapidana. Semua sangat tergantung pada diri pribadi narapidana dan fasilitas pembinaan yang dimiliki oleh Rutan. Pembina akan memfasilitasi materi pembinaan dan sarana yang mendukung demi kelancaran pembinaan. Pembinaan intelektual bertujuan untuk meningkatkan wawasan narapidana. Bentuk kegiatan yang dilaksanakan dalam pembinaan intelektual di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah perpustakaan keliling dan pemberantasan buta huruf. Perpustakaan keliling dilaksanakan setiap seminggu sekali dimana Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta menerima kunjungan yang didatangkan dari luar yaitu Kantor Perpustakaan dan Arsip Kota Surakarta. Sedangkan kegiatan pemberantasan buta huruf dilaksanakan setiap hari kamis dari pukul 08.00-11.00 WIB. Kegiatan pemberantasan buta huruf adalah kejar paket A yang setingkat dengan SD. Guna mendukung kegiatan tersebut, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta menyediakan fasilitas perpustakaan berupa buku-buku bacaan seperti majalah, novel, buku pendidikan, buku tentang hukum, agama dan lain-lain. Dalam mengevaluasi Setelah peneliti melakukan pengamatan di lapangan ternyata benar bahwa, metode dari bawah ke atas (botton up approach) diterapkan pada pembinaan intelektual. Sebelum pembina memberikan materi pembinaan terlebih dahulu mengetahui jenjang pendidikan dan minat belajar narapidana. Semua sangat tergantung pada diri pribadi narapidana dan fasilitas pembinaan yang dimiliki oleh Rutan. Pembina akan memfasilitasi materi pembinaan dan sarana yang mendukung demi kelancaran pembinaan. Pembinaan intelektual bertujuan untuk meningkatkan wawasan narapidana. Bentuk kegiatan yang dilaksanakan dalam pembinaan intelektual di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah perpustakaan keliling dan pemberantasan buta huruf. Perpustakaan keliling dilaksanakan setiap seminggu sekali dimana Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta menerima kunjungan yang didatangkan dari luar yaitu Kantor Perpustakaan dan Arsip Kota Surakarta. Sedangkan kegiatan pemberantasan buta huruf dilaksanakan setiap hari kamis dari pukul 08.00-11.00 WIB. Kegiatan pemberantasan buta huruf adalah kejar paket A yang setingkat dengan SD. Guna mendukung kegiatan tersebut, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta menyediakan fasilitas perpustakaan berupa buku-buku bacaan seperti majalah, novel, buku pendidikan, buku tentang hukum, agama dan lain-lain. Dalam mengevaluasi
3) Metode Pembinaan Perorangan (Individual Treathment). Metode pembinaan perorangan (individual treathment) yaitu cara menyampaikan materi pembinaan yang dilakukan secara perseorangan dan disesuaikan dengan tingkat kematangan intelektual, emosi, dan logika narapidana. Metode yang diberikan secara perorangan bertujuan terjalinnya hubungan yang baik antara pembina dengan narapidana sehingga tidak timbul rasa takut yang berlebihan dari narapidana terhadap petugas. Selain itu juga, membuka banyak kemungkinan bagi narapidana untuk mengeluarkan isi hatinya, tujuan hidupnya, kendala yang dihadapi sehingga pembina dapat memberikan alternatif terbaik bagi pemecahannya. Adapun wujud program pembinaan yang dilaksanakan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang sesuai dengan metode ini yaitu pembinaan kesadaran hukum. Berikut ini penjelasan mengenai pembinaan kesadaran hukum:
a) Pembinaan Kesadaran Hukum. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wagimin, SE pada hari Senin tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Kegiatan pembinaan ini dilakukan secara face to face sehingga dapat
dicari jalan keluarnya misalnya berkaitan dengan kondisi kejiwaan. Narapidana merasa tertekan, khawatir, cemas dan perasaan lain karena stres akibat pidana yang menimpanya. Metoda pendekatan yang dicari jalan keluarnya misalnya berkaitan dengan kondisi kejiwaan. Narapidana merasa tertekan, khawatir, cemas dan perasaan lain karena stres akibat pidana yang menimpanya. Metoda pendekatan yang
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa, metode yang digunakan dalam pembinaan kesadaran hukum dilakukan
secara perorangan dengan face to face. Metode pendekatan yang diutamakan ialah metode Persuasif, Edukatif, Komunikatif dan Akomodatif (PEKA).
Melalui metode tersebut, pembina akan memasukan pengaruh, mendidik, dan juga berkomunikasi secara langsung dengan narapidana. Tugas pembina
Rutan akan mengarahkan dan mencari jalan keluar untuk mengatasi permasalahan yang dialami oleh narapidana misalnya berkaitan dengan kondisi kejiwaan misalnya merasa tertekan, khawatir, cemas, dan perasaan lain karena stres akibat pidana yang menimpanya dimana narapidana yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah tersebut.
Setelah peneliti melakukan pengamatan di lapangan memang benar bahwa, metode pembinaan perorangan (individual treathment) diterapkan pada pembinaan kesadaran hukum. Pembinaan kesadaran hukum bertujuan untuk menciptakan suatu kesadaran yang tinggi pada setiap narapidana sehingga mereka mengetahui hak dan kewajibannya. Narapidana akan disadarkan dengan pendekatan hukum yaitu dengan memberikan penjelasan tentang akibat-akibat hukum yang diterima oleh seseorang jika melakukan tindakan yang melanggar hukum. Bentuk kegiatan yang dilaksanakan dalam pembinaan hukum seperti ajaran taat pada hukum, konseling, dan ceramah hukum. Berikut penjelasan mengenai kegiatan pembinaan hukum. (1) Ajaran taat pada norma hukum
Ajaran taat pada hukum bertujuan agar narapidana selalu disiplin terhadap peraturan dan norma hukum. Ajaran taat pada hukum dilaksanakan dengan memerintahkan narapidana untuk disiplin dan mematuhi tata tertib Rutan. Apabila narapidana melakukan kesalahan atau melanggar kedisiplinan maka, petugas Bantuan Hukum dan
dirasakan tidak terlalu berat maka, penanganannya hanya dengan memberikan teguran serta pengarahan terhadap yang bersangkutan. Sebaliknya, jika kesalahan berat maka, petugas Staff Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan atau petugas pengamanan Rutan, akan menindak lanjuti dengan memberikan hukuman fisik atau jika fatal akan ditempatkan dalam straff cell untuk pemberian shock therapy. Narapidana yang dimasukkan dalam straff cell misalnya karena berkelahi, melawan petugas karena melakukan kekerasan, dan mencoba kabur dari Rutan.
(2) Konseling Konseling dilakukan dengan memberikan masukan berupa saran atau perintah berupa larangan untuk tidak mengulangi tindak pidana dan akibat yang dilakukan jika melanggar hukum. Konseling diwujudkan dengan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi sehingga sebagai warga negara, menyadari hak dan kewajibannya dalam rangka turut menegakkan hukum dan keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, dan terbentuknya perilaku warga negara Indonesia yang taat kepada hukum. Penyuluhan hukum bertujuan lebih lanjut untuk membentuk Keluarga Sadar Hukum (KADARKUM) yang dibina selama berada dalam lingkungan pembinaan maupun setelah berada kembali di tengah-tengah masyarakat. Penyuluhan hukum diselenggarakan secara langsung yaitu penyuluh (pembina Rutan) berhadapan langsung dengan sasaran yang disuluh (narapidana) dalam temu sadar hukum dan sambung rasa, sehingga dapat bertatap muka langsung misalnya melalui ceramah, diskusi, dan temuwicara. Narapidana secara perorangan menyampaikan keluhan kepada petugas atau pembinaan di bagian Bantuan Hukum dan Penyuluhan untuk mengajarkan tentang moral atau ajaran tentang (2) Konseling Konseling dilakukan dengan memberikan masukan berupa saran atau perintah berupa larangan untuk tidak mengulangi tindak pidana dan akibat yang dilakukan jika melanggar hukum. Konseling diwujudkan dengan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi sehingga sebagai warga negara, menyadari hak dan kewajibannya dalam rangka turut menegakkan hukum dan keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, dan terbentuknya perilaku warga negara Indonesia yang taat kepada hukum. Penyuluhan hukum bertujuan lebih lanjut untuk membentuk Keluarga Sadar Hukum (KADARKUM) yang dibina selama berada dalam lingkungan pembinaan maupun setelah berada kembali di tengah-tengah masyarakat. Penyuluhan hukum diselenggarakan secara langsung yaitu penyuluh (pembina Rutan) berhadapan langsung dengan sasaran yang disuluh (narapidana) dalam temu sadar hukum dan sambung rasa, sehingga dapat bertatap muka langsung misalnya melalui ceramah, diskusi, dan temuwicara. Narapidana secara perorangan menyampaikan keluhan kepada petugas atau pembinaan di bagian Bantuan Hukum dan Penyuluhan untuk mengajarkan tentang moral atau ajaran tentang
12.00 di ruangan bantuan hukum dan penyuluhan. Pemberian konseling diberikan oleh Bapak Wagimin, SE. Beliau adalah pembina Rutan dari
Sub Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan. (3) Ceramah hukum
Ceramah kesadaran hukum dilakukan oleh petugas Rutan atau sekali waktu mendatangkan dari pihak kepolisian dan kejaksaan untuk memberikan sumbangan dalam menyampaikan materi yang sesuai dengan bidang hukum. Melalui kegiatan ini, narapidana dapat menanyakan secara luas mengenai seputar upaya hukum.
4) Metode pembinaan secara kelompok (classical treatment). Metode pembinaan secara kelompok (classical treatment) dilakukan dengan pembentukan tim. Dimana dalam metode ini, narapidana mengasah kembali potensi yang ada di dalam dirinya berdasarkan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan metode ini, narapidana memahami nilai-nilai positif yang tumbuh di masyarakat sehingga setelah keluar dari Rutan, ia dapat berbaur dengan masyarakat. Wujud pembinaan yang sesuai dengan metode ini adalah pembinaan kemandirian. Berikut ini penjelasan mengenai pembinaan kemandirian.
a) Pembinaan kemandirian. Menurut Wiyono, SE. selaku Kepala Seksi Bimbingan Kerja, ketika dimintai wawancara pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 mengenai metode yang digunakan dalam pembinaan kemandirian adalah sebagai berikut:
Metode pembinaan kemandirian dilakukan secara kelompok dengan membentuk tim. Narapidana dikelompokkan sesuai dengan bakat masing-masing dengan maksud mengasah potensi dari pengalaman Metode pembinaan kemandirian dilakukan secara kelompok dengan membentuk tim. Narapidana dikelompokkan sesuai dengan bakat masing-masing dengan maksud mengasah potensi dari pengalaman
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, metode yang digunakan dalam pembinaan kemandirian di Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta adalah metode pembinaan secara kelompok (classical treatment). Pembina Rutan akan mengelompokkan narapidana sesuai
dengan bakat dan minatnya. Kemudian narapidana akan memilih jenis kegiatan kemandirian yang sesuai dengan keterampilan yang dimiliki. Bagi
narapidana yang tidak memiliki keterampilan apapun, tetap akan diberikan kesempatan untuk mengikuti pembinaan ini. Metode ini berusaha mengasah kembali potensi yang ada dalam diri narapidana berdasarkan pengalamannya yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah peneliti melakukan pengamatan di lapangan, memang benar metode yang pembinaan secara kelompok (classical treatment) diterapkan dalam pembinaan kemandirian. Narapidana akan dikelompokkan berdasarkan minat, potensi dan keterampilan yang dimiliki. Setelah itu pembina akan memfasilitasi dengan berbagai sarana dan prasarana yang terkait dengan keterampilan. Dalam pembinaan kemandirian ini, Rutan menyediakan fasilitas seperti bahan baku mebelair, mesin jahit, las dan bahan baku membuat keset. Pembinaan kemandirian dilaksanakan di ruang Bimbingan Kerja dan Kegiatan. Pembinaan kemandirian bertujuan untuk mengasah minat dan bakat narapidana guna mendukung usaha-usaha mandiri. Melalui pembinaan kemandirian ini, narapidana akan memperoleh bekal keterampilan dimaksudkan agar setelah habis masa hukumannya dan kembali ke tengah-tengah masyarakat dapat menghidupi dirinya sendiri serta meninggalkan perbuatan yang melanggar hukum. Metode ini cocok digunakan bagi narapidana yang ingin mengembangkan bakat dan minatnya serta mengasah kemampuan keterampilan yang sudah dimiliki guna mendukung usaha mandiri setelah keluar dari Rutan. Adapun beberapa
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah sebagai berikut: Tabel 10. Jadual Pelaksanaan Kegiatan Pembinaan Kemandirian di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Hari
Jam
Jenis Kegiatan Pembinaan Kemandirian Senin s.d Rabu
08.00-12.00 WIB
4. Cukur rambut Kamis
08.00-12.00 WIB
08.00-10.30 WIB
Menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai hari kemarin
Sumber Data: Sub Seksi Bimbingan Kerja dan Kegiatan Tanggal 5 Juli 2011.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa, terdapat 6 kegiatan dalam pembinaan kemandirian yang berupa mebelair, keset, menjahit, cukur rambut, las dan elektronika. Kegiatan tersebut dilaksanakan setiap hari sejak pagi hingga siang hari. Ada sekitar 5 orang narapidana residivis yang mengikuti program pembinaan kemandirian. Ukuran keberhasilan pembinaan kemandirian dilakukan melalui pelatihan-pelatihan dari beberapa kegiatan guna mengetahui apakah keterampilan yang selama ini diperoleh telah dikuasai. Beberapa aspek yang dinilai dalam pembinaan kemandirian terkait dengan kecakapan narapidana yaitu tingkat kedisiplinan, kerja sama dengan narapidana lain, keuletan, tanggung jawab, dan motivasi. Bagi narapidana mampu menghasilkan karya yang produktif maka, mereka akan diberi upah. Semua hasil karya baik yang berasal dari kegiatan bimbingan bakat maupun keterampilan dicatat dalam buku hasil karya. Semua hasil karya disimpan dengan baik dan tertib dalam gudang penyimpanan.
Sebagai catatan, keseluruhan dari wujud program pembinaan kepribadian harus diikuti oleh semua narapidana tanpa terkecuali. Pembinaan kepribadian Sebagai catatan, keseluruhan dari wujud program pembinaan kepribadian harus diikuti oleh semua narapidana tanpa terkecuali. Pembinaan kepribadian
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa semua metode pembinaan yang digunakan oleh pembina Rutan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta merupakan cara untuk menyampaikan materi pembinaan agar dapat secara efektif dan efisien diterima oleh narapidana sehingga dapat menghasilkan perubahan dalam diri narapidana baik perubahan dalam berfikir, bertindak, atau bertingkah laku. Metode yang digunakan oleh pembina dalam menyampaikan materi pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta meliputi: metode pembinaan berdasarkan situasi sesuai dengan kebutuhan dari atas ke bawah (top down approach), metode dari bawah ke atas (botton up approach), metode pembinaan perorangan (individual treatment), dan metode pembinaan
secara kelompok (classical treatment). Metode pembinaan dan wujud pembinaan tersebut diberikan kepada semua narapidana termasuk narapidana residivis.
Setelah peneliti mengadakan observasi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ternyata masih ada metode yang dilaksanakan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam menyampaikan materi pembinaan yaitu metode pembinaan dengan latihan fisik. Metode ini dimaksudkan untuk melatih narapidana memiliki semangat bernegara. Metode dilakukan dengan langkah keamanan yang dilakukan sesuai dengan tingkat keadaan yang dihadapi. Selanjutnya, pembina memberikan kegiatan fisik untuk melatih kedisiplinan. Selain itu, membentuk narapidana mejadi manusia Pancasila dimana mereka dituntut memiliki jiwa patriotisme yang tinggi. Wujud pembinaan yang sesuai
Pembinaan ini bertujuan untuk melatih dan membentuk narapidana memiliki jiwa kebangsaan, cinta tanah air bangsa. Bentuk kegiatan yang diselenggarakan berupa latihan baris-berbaris, latihan upacara bendera di lapangan Rutan setiap 17 Agustus dan upacara bendera setiap hari senin pagi. Latihan tersebut dilaksanakan setiap hari senin pukul 15.00 sampai 17.00 WIB. Ketua program pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara adalah Bapak Slamet, S.St.
Guna mempermudah pemahaman mengenai metode dan wujud pembinaan di atas, maka peneliti menyediakan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel 11. Metode dan Wujud Pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta
No.
Metode Pembinaan
Wujud Pembinaan
Metode Pembinaan Berdasarkan Situasi sesuai dengan Kebutuhan dengan Pendekatan dari Atas ke Bawah (top down approach).
1. Pembinaan Kesadaran Agama Islam
2. Pembinaan Kesadaran Agama Nasrani
3. Pembinaan Bentuk Olah Raga
Pendekatan dari Bawah ke Atas (botton up approach)
Pembinaan Intelektual
3. Metode Pembinaan Perorangan (individual treathment)
Pembinaan Kesadaran Hukum
Kelompok (classical treatment)
Pembinaan Kemandirian
Pendekatan Latihan Fisik.
Pembinaan
Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
d. Evaluasi Keberhasilan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis Terkait Pembentukan Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Pelaksanaan pembinaan dikatakan berhasil apabila narapidana dapat menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana Pelaksanaan pembinaan dikatakan berhasil apabila narapidana dapat menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana
pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik (good citizen ) dan bertanggung jawab (Dwidja Priyatno, 2006: 180).
Dalam mencapai tujuan tersebut, pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah berusaha semaksimal mungkin dalam mewujudkan pembinaan yang sesuai dengan tujuan pemasyarakatan. Tujuan akhir dari pemasyarakatan adalah membentuk narapidana menjadi warga negara yang baik (good citizen). Untuk menjadi warga negara yang baik, harus dimulai dengan membangun pribadi yang bermoral. Narapidana residivis sebagai warga negara yang hilang kemerdekaannya selama di lembaga pemasyarakatan memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Kompetensi kewarganegaraan diperoleh melalui program pembinaan yang diberikan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta kepada narapidana residivis. Melalui pembinaan tersebut, diharapkan narapidana residivis dapat memperbaiki diri untuk merubah moral mereka menjadi baik dan tidak mengulangi kembali tindak pidana. Pembinaan moral merupakan cara yang ditempuh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta agar narapidana memilki mental dan watak yang bermoral sehingga narapidana bertindak sesuai dengan hati nurani atau kesadaran diri.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bambang Poernomo (1986: 187) yang mengatakan bahwa: Pembinaan narapidana mempunyai arti memberlakukan seseorang yang
berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu, sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang terdorong untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan pada orang lain, serta menggambarkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu, sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang terdorong untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan pada orang lain, serta menggambarkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan
Dalam mewujudkan moral yang baik pada narapidana residivis tidaklah mudah karena menyangkut kebiasaan hidup mereka yang biasanya hidup bebas
tanpa aturan. Bahkan, mereka bertindak melanggar norma-norma yang ada dalam masyarakat yaitu pengulangan tindak pidana. Sehingga pembina dan petugas
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memiliki tugas ekstra dalam mengembalikan moral narapidana menjadi baik. Adanya metode dan wujud
pembinaan yang telah diberikan selama ini seharusnya mampu merubah narapidana menjadi lebih baik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut:
Pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sebanyak 60 % untuk pembinaan mental kepribadian sedangkan 40% untuk pembinaan fisik berupa kemandirian. Menurut saya, program pembinaan yang mampu mengubah moral narapidana menjadi lebih baik adalah program pembinaan kepribadian sebab program pembinaan kepribadian tujuan utamanya adalah merubah moral narapidana untuk tidak mengulangi perbuatan tindak pidana kembali sedangkan pembinaan program kemandirian lebih mengasah pada minat, bakat dan mengembangkan keterampilan agar setelah ia bebas dari Rutan dapat menjadi manusia yang mandiri. (Catatan lapangan 21).
Hal senada disampaikan oleh Bapak Drs. Haryana pada hasil wawancara tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut: Menurut saya program pembinaan yang mampu merubah moral narapidana
residivis menjadi pribadi yang bermoral adalah pembinaan kesadaran agama, dan pembinaan kesadaran hukum. Melalui pembinaan kesadaran agama maka narapidana residivis akan memperoleh pendidikan agama yang baik. Nilai- nilai religius yang telah di dapat akan menompang narapidana residivis untuk mencegah perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama. Iman mereka akan kuat. Kemudian kesadaran hukum, narapidana akan memperoleh pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti. Narapidana residivis akan memperoleh nilai-nilai moral sehingga nantinya dapat menentukan perbuatan mana yang residivis menjadi pribadi yang bermoral adalah pembinaan kesadaran agama, dan pembinaan kesadaran hukum. Melalui pembinaan kesadaran agama maka narapidana residivis akan memperoleh pendidikan agama yang baik. Nilai- nilai religius yang telah di dapat akan menompang narapidana residivis untuk mencegah perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama. Iman mereka akan kuat. Kemudian kesadaran hukum, narapidana akan memperoleh pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti. Narapidana residivis akan memperoleh nilai-nilai moral sehingga nantinya dapat menentukan perbuatan mana yang
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, diantara program pembinaan yang dilaksanakan di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta yang mampu merubah moral narapidana menjadi lebih baik cenderung kepada program pembinaan kepribadian yang meliputi pembinaan kesadaran
agama dan pembinaan kesadaran hukum. Melalui pembinaan kesadaran agama, narapidana residivis akan memperoleh pendidikan agama. Nilai-nilai religius yang
telah di dapat akan menompang narapidana residivis untuk mencegah perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama. Kemudian pembinaan kesadaran hukum, narapidana residivis akan memperoleh pendidikan moral yang mampu menyerap nilai-nilai moral sehingga nantinya dapat menentukan perbuatan mana yang baik dan buruk agar bertindak sesuai dengan norma dan aturan yang ada dalam masyarakat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut: terhadap narapidana residivis dapat ditinjau dari prestasi narapidana residivis dan perubahan perilaku atau sikap ).
Hal senada disampaikan oleh Bapak Drs. Haryana pada hasil wawancara tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut: Pembinaan moral dikatakan berhasil apabila semua narapidana mampu menunjukkan perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari, tidak mengulangi tindak pidana dan hidup wajar sebagai pribadi yang beriman kepada Tuhan, dan patuh terhadap norma-norma yang ada
Berdasarkan uraian di atas peneliti menentukan indikator keberhasilan pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis terkait dengan pembentukan good citizen yang ditinjau dari tujuan pembinaan berdasarkan Berdasarkan uraian di atas peneliti menentukan indikator keberhasilan pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis terkait dengan pembentukan good citizen yang ditinjau dari tujuan pembinaan berdasarkan
Narapidana Residivis Terkait dengan Pembentukan Good Citizen.
Jumlah narapidana residivis (%)
Kesadaran moral (moral feeling )
Kesadaran narapidana residivis selama mengikuti
pembinaan
kesadaran
agama islam dan kesadaran hukum.
Tindakan moral (moral action )
Perilaku yang baik dalam mengikuti pembinaan moral.
Perubahan perilaku yang baik setelah mengikuti pembinaan moral.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa, ditinjau pada kesadaran moral (moral feeling) dari 10 narapidana residivis yang memiliki kesadaran diri untuk mengikuti pembinaan kesadaran agama islam dan pembinaan kesadaran hukum hanya 4 orang (40%). Hal tersebut diketahui berdasarkan absensi yang dipegang oleh pembina Rutan dimana mereka rutin mengikuti pembinaan tersebut. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan beberapa narapidana residivis untuk mengetahui kesadaran moral mereka.
tanggal 8 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Melalui pembinaan agama saya merasa lebih mengenal Tuhan, menyadari
bahwa selama ini melakukan kesalahan atas tindak pidana yang saya lakukan. Sekarang terbiasa sholat lima waktu yang tadinya bolong-bolong. Sedangkan dengan mengikuti kegiatan kemandirian (menjahit) lebih bisa mengasah bahwa selama ini melakukan kesalahan atas tindak pidana yang saya lakukan. Sekarang terbiasa sholat lima waktu yang tadinya bolong-bolong. Sedangkan dengan mengikuti kegiatan kemandirian (menjahit) lebih bisa mengasah
Hal senada disampaikan oleh narapidana residivis Afif Solikhin pada hari
Dengan mengikuti pembinaan di Rutan, saya mendapat ilmu yang belum pernah saya dapatkan sebelumnya misalnya pengetahuan agama, disiplin, keharusan patuh pada tata tertib. Di Rutan ini, saya bisa sharing dengan petugas Rutan dan narapidana lain. Perubahan setelah mengikuti pembinaan adalah saya merasa dapat menjalani hidup lebih baik, optimis dan semangat. (Catatan lapangan 21).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa, program- program pembinaan yang dilaksanakan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memiliki pengaruh yang baik terhadap perubahan perilaku narapidana residivis. Melalui pembinaan kepribadian seperti pembinaan kesadaran agama dan pembinaan kesadaran hukum, narapidana akan memperoleh pengetahuan agama, pengetahuan moral, dan wawasan tentang arti pentingnya taat terhadap norma. Dari pengetahuan yang diperoleh setelah mengikuti pembinaan tersebut, ternyata mampu merubah perilaku moral narapidana residivis menjadi lebih baik seperti rajin beribadah, menjalani hidup yang lebih optimis, dan sikap disiplin.
Untuk mengecek kesadaran moral yang dimiliki oleh narapidana residivis maka, peneliti melakukan pengamatan pada tanggal 20 Juli 2011. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebanyak 6 orang narapidana residivis belum memiliki kesadaran moral tentang arti pentingya pembinaan moral. Mereka mengatakan bahwa mengikuti pembinaan moral karena ikut-ikutan yaitu sebanyak
2 orang, mengikuti pembinaan moral karena perintah dari pembina Rutan yaitu sebanyak 2 orang dan alasan mengikuti pembinaan kesadaran hukum atau
kesadaran agama islam karena alasan mengisi waktu luang dari pada menganggur yaitu sebanyak 2 orang.
Negara Klas 1 Surakarta yang diberikan melalui pembinaan kesadaran agama dan kesadaran hukum dikatakan belum berhasil menyadarkan moral (moral feeling) dari narapidana residivis.
Selanjutnya ditinjau dari tindakan moral yaitu perubahan perilaku narapidana residivis menjadi bermoral. Kenyataan di lapangan menyebutkan
bahwa dari 10 narapidana residivis yang memiliki perilaku yang baik setelah mengikuti pembinaan hanya 2 orang (20 %). Hal tersebut dapat diketahui
berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti. Narapidana residivis telah menunjukkan kecakapan sosial artinya mereka mampu menjalin interaksi yang baik dengan narapidana yang lain ataupun dengan petugas Rutan. Narapidana residivis menunjukkan sikap saling hormat menghomati dan tenggang rasa selama mengikuti pembinaan. Selain kecakapan sosial, beberapa narapidana residivis telah memiliki skill yang ditunjukkan dengan bakatnya masing-masing. Pada pembinaan kesadaran agama islam, sejumlah 2 narapidana residivis dipercaya oleh petugas Rutan untuk menjadi tamping. Misalnya mengisi kegiatan ceramah keagamaan (ustad) dalam kegiatan ceramah menjelang dzuhur dan ditugaskan untuk mengelola kegiatan pesantren. Selanjutnya dilihat dari penerapan nilai-nilai moral
dalam keseharian mereka berada di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
a) Nilai religius dan nilai tanggung jawab. Setelah peneliti mengadakan pengamatan di lapangan pada tanggal 20-23 Juli 2011, ternyata penerapan nilai religius dan nilai tanggung jawab tampak dalam keseharian narapidana residivis selama berada di Rumah Tahanan Negara Klas
1 Surakarta. Nilai-nilai tersebut mereka peroleh setelah mengikuti pembinaan kesadaran agama islam. Sebanyak 2 orang narapidana residivis rajin menjalankan sholat berjamaah dan mengikuti ceramah harian menjelang dzuhur di masjid An-Nur Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Narapidana residivis menjalankan kegiatan tersebut sebagai bentuk rasa tanggung jawab 1 Surakarta. Nilai-nilai tersebut mereka peroleh setelah mengikuti pembinaan kesadaran agama islam. Sebanyak 2 orang narapidana residivis rajin menjalankan sholat berjamaah dan mengikuti ceramah harian menjelang dzuhur di masjid An-Nur Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Narapidana residivis menjalankan kegiatan tersebut sebagai bentuk rasa tanggung jawab
b) Nilai kerukunan dan sosial Penerapan nilai kerukunan nampak dalam aktivitas pembinaan atau keseharian
narapidana residivis. Hal tersebut dapat diketahui dari hubungan saling hormat- menghormati antara narapidana residivis dengan petugas pemasyarakatan
ataupun interaksi dengan sesama narapidana. Kemudian terlihat juga pada kegiatan kerja bakti yang dilaksanakan tanggal 23 Juli 2011, menunjukkan
bahwa antara narapidana residivis dengan narapidana lain saling bergotong royong untuk membersihkan lingkungan Rutan.
Untuk mengecek perubahan sikap atau perilaku yang baik dalam diri narapidana residivis, peneliti melihat hasil evaluasi laporan perkembangan warga binaan pemasyarakatan yang dipegang oleh wali Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Wali adalah petugas Rutan yang ditugaskan untuk membimbing dan mengevaluasi perkembangan diri narapidana. Kenyataannya, setelah peneliti melakukan pengamatan pada hasil evaluasi laporan perkembangan warga binaan pemasyarakatan yang dipegang oleh wali diketahui 2 orang narapidana residivis yang mendapatkan catatan kurang baik karena pernah melakukan pelanggaran tata tertib Rutan yaitu percobaan pelarian diri atau pernah bertengkar dengan narapidana lainnya sehingga harus dimasukkan ke dalam straff cell. Narapidana residivis tersebut adalah Marcus Sudarmo dan Agus Waluyo. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan pembina Rutan menunjukkan bahwa, sebanyak 7 narapidana residivis belum menunjukkan kesadaran diri selama mengikuti pembinaan yaitu malas (2 orang), membuat gaduh saat mengikuti pembinaan kesadaran agama islam (1 orang), mengobrol sendiri (1 orang), berkelahi (1 orang), tidur saat mengikuti pembinaan (1 orang), bahkan berusaha melarikan diri dari Rutan (1 orang). Selama peneliti melakukan pengamatan mengenai aktivitas narapidana residivis dalam mengikuti berbagai pembinaan pada tanggal 23-28 Juli 2011 diketahui bahwa, beberapa narapidana residivis malas Untuk mengecek perubahan sikap atau perilaku yang baik dalam diri narapidana residivis, peneliti melihat hasil evaluasi laporan perkembangan warga binaan pemasyarakatan yang dipegang oleh wali Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Wali adalah petugas Rutan yang ditugaskan untuk membimbing dan mengevaluasi perkembangan diri narapidana. Kenyataannya, setelah peneliti melakukan pengamatan pada hasil evaluasi laporan perkembangan warga binaan pemasyarakatan yang dipegang oleh wali diketahui 2 orang narapidana residivis yang mendapatkan catatan kurang baik karena pernah melakukan pelanggaran tata tertib Rutan yaitu percobaan pelarian diri atau pernah bertengkar dengan narapidana lainnya sehingga harus dimasukkan ke dalam straff cell. Narapidana residivis tersebut adalah Marcus Sudarmo dan Agus Waluyo. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan pembina Rutan menunjukkan bahwa, sebanyak 7 narapidana residivis belum menunjukkan kesadaran diri selama mengikuti pembinaan yaitu malas (2 orang), membuat gaduh saat mengikuti pembinaan kesadaran agama islam (1 orang), mengobrol sendiri (1 orang), berkelahi (1 orang), tidur saat mengikuti pembinaan (1 orang), bahkan berusaha melarikan diri dari Rutan (1 orang). Selama peneliti melakukan pengamatan mengenai aktivitas narapidana residivis dalam mengikuti berbagai pembinaan pada tanggal 23-28 Juli 2011 diketahui bahwa, beberapa narapidana residivis malas
Selanjutnya, peneliti juga melakukan kroscek pada tanggal 24 Juli 2011 menyebutkan dari data yang diperoleh peneliti pada Seksi Administrasi dan
Perawatan Rutan Klas 1 Surakarta. Adapun jumlah narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam kurun waktu tahun 2009-2011 adalah
sebagai berikut: Tabel 13. Jumlah Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta Tahun 2009-2011.
1. 27 17 20 Sumber: Seksi Administrasi dan Perawatan Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta Tanggal 3 Agustus 2011.
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa pengulangan tindak pidana meningkat dari tahun 2010 sampai 2011. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih ditemukan narapidana residivis yang tetap saja melakukan perbuatan tindak pidana. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang diberikan melalui pembinaan kesadaran agama dan kesadaran hukum dikatakan tidak berhasil membentuk tindakan moral (moral action ) dari narapidana residivis. Hal tersebut karena masih ditemukan perilaku yang tidak baik selama atau setelah narapidana residivis menmgikuti pembinaan moral.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pembinaan moral terhadap narapidana residivis yang terkait dengan pembentukan good citizen dikatakan tidak berhasil. Hal tersebut diketahui bahwa sebesar 70 % dari 10 narapidana residivis belum terdidik sebagai pribadi yang bermoral yang ditinjau dari kesadaran moral dan tindakan moral mereka. Dari 10 narapidana residivis Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pembinaan moral terhadap narapidana residivis yang terkait dengan pembentukan good citizen dikatakan tidak berhasil. Hal tersebut diketahui bahwa sebesar 70 % dari 10 narapidana residivis belum terdidik sebagai pribadi yang bermoral yang ditinjau dari kesadaran moral dan tindakan moral mereka. Dari 10 narapidana residivis
moral adalah seseorang yang belajar (di sekolah atau di manapun juga) untuk hidup dalam satu cara yang merefleksikan kesan dan praktik kewajiban untuk
mengembangkan norma-norma dan cita- yang terdidik secara moral adalah seseorang yang telah belajar atau dibina untuk
bertindak sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan menjadi sadar dan bahagia dengan tindakan-tindakan dan nilai-nilainya. Fakta di lapangan menunjukkan
bahwa, narapidana residivis yang belum memiliki kesadaran moral selama pembinaan berlangsung misalnya mengikuti pembinaan moral karena ikut-ikutan, mengikuti pembinaan moral karena perintah dari pembina Rutan dan alasan mengikuti pembinaan kesadaran hukum atau kesadaran agama islam karena mengisi waktu luang dari pada menganggur. Sedangkan dari segi tindakan moral adalah narapidana residivis belum menunjukkan perilaku yang baik selama mengikuti pembinaan yaitu malas, membuat gaduh saat mengikuti pembinaan, mengobrol sendiri, berkelahi, tidur saat mengikuti pembinaan, pura-pura sakit sehingga tidak mengikuti pembinaan, bahkan berusaha melarikan diri dari Rutan. Selain itu, ditinjau juga dari meningkatnya pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta selama kurun waktu 2010-2011. Hampir semua narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana padahal mereka sebelumnya telah mendapatkan pembinaan moral selama di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Jika dikaitkan dengan tujuan akhir dari pembinaan berdasarkan pemasyarakatan yaitu narapidana residivis mampu memperbaiki diri, menyadari kesalahan dan menjadi warga negara yang baik (good citizen) dan bermoral nampaknya tidak terealisasi.
Narapidana Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta
a. Faktor Pendorong Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Klas 1 Surakarta
Keberhasilan pembinaan bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ternyata dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang
mendorong keberhasilan pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis meliputi 1) Kesadaran narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan,
2) Peraturan perundang-undangan yang mendukung, 3) Sarana dan prasarana yang menunjang, 4) Motivasi dan dukungan moril dari keluarga narapidana residivis atas stigma negatif masyarakat, dan 5) Pengawasan yang baik saat pembinaan berlangsung. Berikut ini penjabaran mengenai faktor tersebut:
a. Kesadaran narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan Narapidana residivis merupakan subyek utama dalam berlangsungnya proses pembinaan. Selama di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, narapidana residivis akan diberikan program pembinaan baik pembinaan kepribadian maupun pembinaan keterampilan. Sifat dan tingkat intelegensi yang dimiliki oleh setiap narapidana residivis berbeda-beda sehingga menimbulkan tanggapan yang berbeda pula terhadap pembinaan yang diberikan. Oleh sebab itu, keberhasilan pembinaan sangat ditentukan oleh narapidana residivis itu sendiri.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. M.M pada hari tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut:
Narapidana merupakan faktor keberhasilan pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Jika kesadaran narapidana telah mencapai high consciousness (narapidana yang telah memiliki kesadaran penuh) yaitu narapidana yang telah mengenal dirinya sendiri dan mampu memotivasi diri sendiri ke arah yang positif maka, pembina dalam memberikan materi Narapidana merupakan faktor keberhasilan pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Jika kesadaran narapidana telah mencapai high consciousness (narapidana yang telah memiliki kesadaran penuh) yaitu narapidana yang telah mengenal dirinya sendiri dan mampu memotivasi diri sendiri ke arah yang positif maka, pembina dalam memberikan materi
Hal senada juga disampaikan berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Drs. Haryana pada tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut:
Bagi narapidana residivis yang telah yang telah memiliki kesadaran yang penuh artinya konsisten dan berkesinambungan dalam bertindak secara moral misalnya rutin mengikuti setiap pembinaan, telah menunjukkan sikap yang baik, maka akan mempermudah pembina menyampaikan materi pembinaan. (Catatan lapangan 12).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa, keberhasilan pembinaan ditentukan oleh narapidana itu sendiri. Narapidana yang memiliki kesadaran penuh (tinggi) akan mempermudah berlangsungnya proses pembinaan. Dalam kenyataan di lapangan menyebutkan, sebagian narapidana residivis telah memiliki kesadaran akan pentingnya pembinaan. Dari pembinaan yang diberikan Rutan, narapidana mampu menyerap nilai positif dengan harapan tidak mengulangi kembali tindak pidana. Lebih dari pada itu, melalui pembinaan akan mengubah narapidana residivis menjadi sosok pribadi yang bermoral.
Setelah peneliti melakukan pengamatan pada lembar absensi yang dipegang oleh pembina Rutan pada tanggal 25 Juli 2011 menyebutkan bahwa, beberapa narapidana residivis mengikuti pembinaan secara rutin khususnya pada pembinaan kesadaran agama. Sebanyak 16 narapidana residivis rutin mengikuti kegiatan baca tulis Al- menjelang sholat dzuhur. Pada pembinaan intelektual, hanya 3 narapidana residivis yang rutin mengikuti kegiatan pemberantasan buta huruf. Kemudian pada pembinaan berbangsa dan bernegara 10 orang narapidana residivis rutin mengkuti kegiatan latihan baris-berbaris. Selanjutnya, pada pembinaan kesadaran hukum hanya 9 narapidana residivis yang rutin mengikuti kegiatan konseling. Kamudian pada pembinaan kemandirian, sebanyak 2 orang Setelah peneliti melakukan pengamatan pada lembar absensi yang dipegang oleh pembina Rutan pada tanggal 25 Juli 2011 menyebutkan bahwa, beberapa narapidana residivis mengikuti pembinaan secara rutin khususnya pada pembinaan kesadaran agama. Sebanyak 16 narapidana residivis rutin mengikuti kegiatan baca tulis Al- menjelang sholat dzuhur. Pada pembinaan intelektual, hanya 3 narapidana residivis yang rutin mengikuti kegiatan pemberantasan buta huruf. Kemudian pada pembinaan berbangsa dan bernegara 10 orang narapidana residivis rutin mengkuti kegiatan latihan baris-berbaris. Selanjutnya, pada pembinaan kesadaran hukum hanya 9 narapidana residivis yang rutin mengikuti kegiatan konseling. Kamudian pada pembinaan kemandirian, sebanyak 2 orang
Narapidana residivis mengikuti pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta atas kesadaran diri walaupun awalnya hanya ikut-ikutan dalam
mengikuti pembinaan seperti narapidana lainnya. Namun, setelah mengikuti pembinaan ternyata tergerak hatinya untuk selalu mengikuti pembinaan
tersebut. Dengan mengikuti pembinaan tersebut, mereka merasakan adanya perubahan yang lebih baik yaitu menjadi sosok pribadi yang ikhlas, peningkatan keimanan dan ketakwaan, tumbuhnya sikap disiplin, motivasi, dan sikap optimis dalam menjalani hidup.
Seperti yang diungkapkan oleh salah satu narapidana residivis yang
berikut: Saya selalu Rutin mengikuti pembinaan yang dilaksanakan di Rutan. Sejak
awal masuk Rutan, saya merasa tertarik pada pembinaan yang diberikan khususnya keagamaan dan kemandirian. Setelah mengikuti kegiatan keagamaan ceramah yang dilaksanakan menjelang dzuhur rasanya hati saya menjadi tenang sehingga rajin beribadah. Saya mengikuti pembinaan atas kemauan pribadi sebab dengan pembinaan dirasa sangat penting sebagai bekal hidup setelah keluar dari Rutan. (Catatan lapangan 20).
Hal senada disampaikan oleh narapidana residivis Afif Solikhin pada
Awalnya saya mengikuti pembinaan karena terpaksa dan ikut-ikutan saja. Alhamdulilah saat ini rutin kegiatan pondok pesantren. Tidak hanya sebatas pembinaan kesadaran agama islam, pembinaan lainnya seperti olah raga, intelektual dan kemandirian juga aktif mengikuti. Setelah saya mengikuti pembinaan-pembinaan di Rutan, saya merasa menjadi sosok yang penuh semangat. Awalnya sangat frustasi karena bolak-balik masuk Rutan. Keluar dari penjara mau kerja apa bingung. Berkat pembinaan kemandirian, saya mampu mengasah potensi keterampilan las. Petugas selalu memberikan motivasi dan kerap mengatakan bahwa manusia selalu bergelimang dosa.
memberikan jalan . Kata-kata tersebut selalu teringat dan menjadikan diri untuk optimis dalam menjalani hidup. (Catatan lapangan 21).
b. Peraturan perundang-undangan yang mendukung Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan merupakan hasil pemikiran secara mendasar dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Di dalam pelaksanaannya dibuatlah peraturan perundang-undangan yang mendukung pelaksanaan pembinaan.
Adapun peraturan yang mendukung pelaksanaan pembinaan di antara Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta antara lain:
a) Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dengan peraturan ini, akan mempermudah pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam menyusun program pembinaan bagi narapidana.
b) Peraturan Pemerintah RI Nomor 57 tahun 1999 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah ini, memberikan peluang bagi pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta untuk menjalin kerja sama baik bersifat fungsional
maupun kemitraan guna melaksanakan program pembinaan dan pembimbingan tertentu dengan instansi pemerintah, badan-badan kemasyarakatan, dan perorangan. Sebagai contoh bentuk kerja sama dalam
mendukung pembinaan keagamaan islam antara Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dengan Yayasan Wisata Hati dalam mendirikan Pondok
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
c) Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan No.E.PK.04.10-715 tahun 2004 perihal Asimilasi tidak Diberikan kepada Narapidana Penipuan, Psikotropika dan
Kasus Terorisme.
mempermudah pelaksanaan pembinaan. Dengan peraturan ini, sebagai dasar peniadaan tahapan asimilasi bagi narapidana residivis dengan alasan keamanan yang dikhawatirkan terjadi pelarian dari narapidana residivis.
c. Sarana dan prasarana yang menunjang Sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang tidak kalah
penting dalam memperlancar pelaksanaan pembinaan. Sarana dan prasarana yang terkait meliputi pembina pemasyarakatan (sarana personil) yang memadai,
dana, dan fasilitas yang mendukung. Berikut ini penjabaran mengenai sarana dan prasarana yang menunjang pelaksanaan pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta:
a) Pembina pemasyarakatan dan sarana personil yang memadai
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. M.M, pada hari tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa: menunjang pelaksanaan pembinaan, sangat bergantung kepada pembina pemasyarakatan. Oleh karenanya, pembina harus dapat menjadi
(Catatan lapangan 11).
Hasil wawancara berikutnya dengan Bapak Drs. Haryana selaku Kepala Pengelolaan Rutan pada tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
Pembina menjadi faktor yang penting dalam proses pelaksanaan pembinaan. Penyampaikan materi pembinaan oleh pembina sangat mempengaruhi pemahaman narapidana residivis sehingga dibutuhkan pembina yang berkompeten. Dengan demikian perlu ditingkatkan profesionalismenya dengan menempuh pendidikan yang tinggi. (Catatan lapangan 12).
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa, pembina pemasyarakatan menjadi faktor yang penting dalam pelaksanaan
pembinaan moral bagi narapidana residivis. Sebagai seorang pendidik, pembina pemasyarakatan harus memiliki pengetahuan yang luas untuk meningkatkan profesionalisme yang tentu saja disesuaikan dengan bidang pembinaan moral bagi narapidana residivis. Sebagai seorang pendidik, pembina pemasyarakatan harus memiliki pengetahuan yang luas untuk meningkatkan profesionalisme yang tentu saja disesuaikan dengan bidang
Setelah peneliti melakukan pengamatan di lapangan, ternyata melihat komposisi personalia di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
sekarang ini belum menunjukkan adanya kualitas dan kuantitas tenaga yang dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan pembinaan secara berdaya guna
dan berhasil guna. Untuk mengatasi keterbatasan personil tersebut, maka diadakan usaha-usaha pendidikan, penataran, kursus, dan penambahan personil yang secara khusus didatangkan dari luar. Oleh sebab itu, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta berusaha menambah personil yang mampu memperlancar jalannya proses pembinaan seperti ustad untuk pembinaan kesadaran agama islam, pastur yang didatangkan dari luar dalam menunjang kegiatan pembinaan kesadaran agama nasrani, dan seorang tamping yang bertugas menggantikan pembina apabila tidak dapat hadir mengisi kegiatan pembinaan.
b) Dana atau keuangan yang menunjang kegiatan program pembinaan
Dana atau keuangan merupakan salah satu faktor pendukung dalam pelaksanaan pembinaan. dana tersebut dipergunakan untuk membiayai sarana dan fasilitas pembinaan misalnya pembiayaan peralatan pembinaan, pembiayaan gedung dan biaya kantor-kantor yang diperlukan. Yang menonjol disini adalah pembiayaan peralatan pembinaan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa: laksanaan pembinaan di Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa: laksanaan pembinaan di
Dana untuk pelaksanaan pembinaan dapat menunjang keberhasilan pembinaan. Dana yang diperoleh Rutan selama ini dari DIPA atau eks narapidana yang telah sukses. Selama ini, dana dipergunakan untuk kegiatan pembinaan seperti pembinaan kesadaran keagamaan dan pembinaan kemandirian. Dana tersebut diperoleh dari DIPA sehingga sangat membantu sekali bagi keberhasilan pembinaan. (Catatan lapangan 12).
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa, dana mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembinaan. Dana tersebut dipergunakan untuk membiayai sarana dan prasarana khususnya terkait dengan fasilitas pembinaan. Untuk program pembinaan fisik seperti program pembinaan kemandirian, biaya diperoleh dari DIPA (Daftar Isian Penunjang Anggaran). Begitu pula pada program pembinaan kepribadian, dana juga diperoleh dari DIPA (Daftar Isian Penunjang Anggaran).
Selama peneliti melakukan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa, selain dana diperoleh dari DIPA (Daftar Isian Penunjang Anggaran), pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah menjalin kerjasama dengan pihak luar dalam bentuk kemitraan seperti kerja sama dengan pondok pesantren Al-Bukhori, Yayasan Wisata Hati, MTA (Majelis Tafsir Al-
Selain itu, dana juga diperoleh dari eks narapidana yang telah sukses misalnya Bapak Sugondo. Dana tersebut dipergunakan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta untuk membeli peralatan yang terkait dengan pembinaan kemandirian misalnya mesin jahit, bahan baku mebelair, dan bahan baku pembuatan kanopi. Selain itu, dana tersebut juga dipergunakan untuk membiayai pembina yang didatangkan dari luar misalnya pastur, ustad, dan psikiater.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa: pembinaan di Rutan ini. Dengan fasilitas tersebut akan mempermudah dan memperlancar (Catatan lapangan 11). Hal tersebut dibenarkan oleh Bapak Drs. Haryana selaku Kepala Pengelolaan Rutan pada tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
itas yang mendukung jalannya proses pembinaan meliputi tempat dan peralatan untuk pembinaan. Fasilitas di
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memang cukup memadai. Dimana (Catatan lapangan 12). Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan fasilitas yang disedikan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memperlancar proses pembinaan. Fasilitas tersebut berupa peralatan maupun tempat untuk berlangsungnya pembinaan. Ternyata fasilitas yang diberikan selama ini dirasa telah cukup memadai.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan yang dilakukan peneliti pada tanggal 30 Juni 2011 diketahui bahwa, terdapat beberapa fasilitas yang
diberikan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta guna mendukung keberhasilan proses kegiatan pembinaan. Fasilitas tersebut antara lain
sebagai berikut: (1) Pembinaan kesadaran agama meliputi: masjid An-Nur, Al-
tenda. (2) Pembinaan kesadaran agama nasrani meliputi: gereja dan alat musik
drum. (3) Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara meliputi: lapangan
sebagai latihan baris-berbaris. (4) Pembinaan intelektual meliputi: perpustakaan dan buku-buku bacaan.
(6) Pembinaan usaha mandiri meliputi: bahan baku keterampilan yang meliputi kain untuk membuat keset, mesin jahit, alat-alat cukur, dan las. (7) Pembinaan bentuk olah raga meliputi: lapangan dekat aula untuk
kegiatan olah raga dan tape untuk senam pagi.
d. Motivasi dan dukungan moril dari keluarga narapidana residivis atas stigma negatif masyarakat
Adanya asumsi dari sebagian besar masyarakat yang belum memberikan kepercayaan kepada narapidana residivis dan memberikan stigma
negatif kepada mereka menyebabkan hilangnya rasa percaya diri. Selain itu, narapidana residivis cenderung dikucilkan sebab mereka dicap sebagai orang jahat. Apalagi bagi seorang narapidana residivis yang kerap keluar masuk penjara sehingga citra buruk sebagai mantan penjahat semakin melekat dalam diri mereka dan sukar untuk dihilangkan. Oleh sebab itu, keluarga memiliki peran dalam memberikan motivasi dan dukungan moril untuk mengembalikan rasa percaya diri narapidana residivis ketika keluar dari Rutan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut:
Salah satu faktor yang menunjang keberhasilan pembinaan khususnya mengembalikan moral narapidana adalah keluarga. Apabila keluarga dari narapidana residivis kerap memberikan motivasi maka mereka tidak akan stres selama berada di Rutan. Stres yang berkepanjangan mengakibatkan ketidakefektifan proses pembinaan. Oleh sebab itu, hendaknya keluarga secara rutin melihat kondisi narapidana dengan melakukan kunjungan untuk mengetahui perkembangan pribadi narapidana. Sehingga setelah keluar dari Rutan ia mampu beradaptasi dan tegar atas stigma negatif yang akan mempengaruhi kehidupannya. (Catatan lapangan 11).
Hal tersebut dibenarkan oleh Bapak Drs. Haryana selaku Kepala Pengelolaan Rutan, pada tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
Selain pembina pemasyarakatan, dana dan fasilitas yang memadai, peran keluarga menjadi pendorong keberhasilan pembinaan. Sebab merekalah yang paling mengetahui kondisi narapidana sebab pembina kadang tidak Selain pembina pemasyarakatan, dana dan fasilitas yang memadai, peran keluarga menjadi pendorong keberhasilan pembinaan. Sebab merekalah yang paling mengetahui kondisi narapidana sebab pembina kadang tidak
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, keluarga merupakan salah satu faktor yang mendorong keberhasilan pembinaan. Keluarga memilliki peran yang besar dalam memberikan motivasi dan rasa percaya diri kepada narapidana residivis agar tidak stres ketika mereka berhadapan dengan masyarakat luar. Stres berkepanjangan yang dialami oleh narapidana residivis, mengakibatkan ketidakefektifan proses pembinaan. Sebab, pembina Rutan harus berusaha ekstra dalam mengembalikan rasa percaya diri mereka dimana hal tersebut pasti membutuhkan waktu yang cukup lama. Disisi lain, pembina Rutan kurang begitu mengetahui kondisi yang dialami narapidana residivis, sebab yang paling mengetahui kondisi narapidana residivis adalah keluarga yang bersangkutan. Kedekatan diantara keduanya mempengaruhi kondisi kejiwaan narapidana residivis. Oleh sebab itu, hendaknya keluarga secara rutin melihat kondisi narapidana dengan melakukan kunjungan untuk mengetahui perkembangan pribadi narapidana sehingga setelah keluar dari Rutan, narapidana residivis mampu beradaptasi dan tegar atas stigma negatif yang akan mempengaruhi kehidupannya.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan pada tanggal 1 September 2011 peneliti melihat beberapa keluarga dari narapidana residivis kerap mengunjungi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, walaupun hanya sekedar memberikan makanan, pakaian atau keperluan lainnya. Dalam aula besukan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tampak ramai keluarga duduk-duduk bercengkrama dengan narapidana. Terlihat hubungan yang harmonis dan akrab diantara anak-anak, isteri, atau orang tua dari narapidana. Peneliti sempat bergabung dengan salah satu keluarga dari narapidana residivis yang bernama Triyadi. Peneliti mengamati bahwa, nampaknya narapidana
Dibalik ekspresi wajahnya yang gembira karena dikunjungi oleh keluarga, terlihat jelas narapidana residivis tersebut mengalami stres. Dia mengungkapkan bahwa:
memberikan nasehat-nasehat atau pesan moral kepada narapidana residivis agar sabar dan ikhlas selama menjalani pemidanaan di Rumah Tahanan Negara Klas
1 Surakarta.
e. Pengawasan yang baik saat proses pembinaan berlangsung. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. M.M, pada Hari tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut:
Meskipun Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memiliki petugas tersendiri yaitu petugas pengamanan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pembina juga turut serta dalam menjaga keamanan. Pembina akan melakukan pengawasan khususnya kepada narapidana residivis. Hal ini disebabkan pengalaman pahit Rutan atas pelarian narapidana residivis. (Catatan lapangan 11).
Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Drs. Haryana selaku kepala pengelolaan Rutan pada tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa: Keberhasilan pembinaan moral, juga didorong oleh pengawasan pembina
terhadap narapidana residivis. Selama proses pembinaan berlangsung, pembina akan memantau ketat aktivitas narapidana residivis. Usaha ini sebagai bentuk upaya Rutan untuk menghindari adanya hal-hal yang tidak diinginkan seperti perkelahian antara naripada residivis dan bukan residivis dan percobaan perlarian narapidana residivis. Jika tidak dilakukan pengawasan ektra, tidak akan timbul kesadaran diri dari narapidana untuk berubah. (Catatan lapangan 22).
beberapa pembina pemasyarakatan di atas dapat diketahui bahwa, pengawasan yang baik saat
proses pembinaan berlangsung sangat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembinaan. Pengalaman pahit yang dirasakan oleh pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta atas pelarian narapidana residivis agaknya menjadi proses pembinaan berlangsung sangat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembinaan. Pengalaman pahit yang dirasakan oleh pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta atas pelarian narapidana residivis agaknya menjadi
Selama peneliti melakukan observasi di lapangan tanggal 15 Juni sampai
29 Juli 2011 selama proses pembinaan, pembina Rutan melakukan pengawasan terhadap semua narapidana baik yang residivis maupun yang bukan residivis. Misalnya Bapak Suramto selaku pembina kesadaran agama islam selalu memantau proses berlangsungnya pembinaan. Semua narapidana yang mengikuti pembinaan akan dicek satu persatu dengan absensi. Pada pembinaan lain seperti pembinaan intelektual, pembinaan kemandirian, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara juga demikian. Bahkan, pembina menggunakan seperangkat alat pengamanan seperti tongkat, borgol, dan pistol untuk melengkapi kegiatan pengawasan dalam berlangsungnya pembinaan sebab dikhawatirkan ada narapidana yang melakukan pelanggaran tata tertib seperti perkelahian dengan narapidana lain, percobaan lari dari Rutan, atau berusaha melawan pembina. Pada tanggal 16 Juli 2011 peneliti pernah menjumpai seorang narapidana residivis bernama Bayu Waluyo mencoba lari kabur dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta pada saat mengikuti pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara. Akhirnya, Bayu Waluyo ditangkap dan langsung diborgol oleh pembina Rutan yaitu Bapak Slamet, S.St. Kemudian diserahkan kepada petugas pengamanan Rutan untuk diberikan peringatan keras. Oleh karena perbuatannya tersebut, petugas pengamanan Rutan akan memasukkannya ke dalam straff cell atau ruang isolasi.
Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ternyata mengalami beberapa kendala. Adapun
faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen meliputi: 1) Perilaku
narapidana residivis yang tidak baik saat mengikuti pembinaan, 2). Perbedaan tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan narapidana residivis yang
rendah, 3). Terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan pembinaan, 4). Belum ada peraturan tentang pola pembinaan khusus narapidana residivis, 5). Stigma negatif masyarakat terhadap narapidana residivis.
Berikut penjabaran mengenai faktor-faktor penghambat:
1) Perilaku Narapidana Residivis yang Tidak Baik Saat Mengikuti Pembinaan Narapidana residivis merupakan salah satu penghuni Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, dimana mereka adalah subyek sekaligus obyek utama dalam pelaksanaan pembinaan. Narapidana residivis yang pernah menerima pembinaan selama di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, seharusnya setelah keluar dari Rutan telah berubah menjadi pribadi yang bermoral. Namun dalam kenyataannya, masih menunjukkan moral yang rendah. Hal tersebut diketahui dari pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis. Selain itu, selama pelaksanaan pembinaan berlangsung ditemukan beberapa narapidana residivis masih menunjukkan tingkah laku yang tidak baik. Berdasarkan hasil wawancara kepada Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut:
Saya sering mendapat laporan dari pembina tentang kasus yang dilakukan residivis. Narapidana mencoba kabur dari Rutan dengan cara mengelabui petugas, laporan kekerasan karena motif balas dendam ketika pihak korban mengunjungi Rutan, serta pertengkaran dengan narapidana biasa. Namanya juga bekas penjahat dari segi pengalaman mereka sudah lihai Saya sering mendapat laporan dari pembina tentang kasus yang dilakukan residivis. Narapidana mencoba kabur dari Rutan dengan cara mengelabui petugas, laporan kekerasan karena motif balas dendam ketika pihak korban mengunjungi Rutan, serta pertengkaran dengan narapidana biasa. Namanya juga bekas penjahat dari segi pengalaman mereka sudah lihai
Hal senada disampaikan berdasarkan hasil wawancara dengan pembina kesadaran agama islam, Bapak Suramto pada hari Senin tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
Pernah saya temui narapidana residivis yang pada waktu pembinaan residivis tidur pada saat kegiatan ceramah. Bahkan pada waktu pembinaan ada yang malas-malasan bahkan pernah pura-pura dengan alasan sakit sehingga tidak bisa mengikuti pembinaan. Akibatnya mempengaruhi narapidana lainnya untuk ikut-ikutan. Padahal sudah sering diperingatkan. (Catatan lapangan 13).
Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Slamet, S.St pada hari Sabtu tanggal 3 Juli 2011 mengatakan bahwa: tidak serius dan malas pada saat mengikuti kegiatan latihan baris-berbaris
(Catatan lapangan 15). Narapidana residivis mengatakan bahwa mereka terpaksa mengikuti pembinaan, dimana hanya ikut-ikutan saja bahkan ada yang berpura-pura mau mengikuti pembinaan. Seperti yang disampaikan narapidana residivis Marcus Sudarmo pada tanggal 14 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
Selama saya ikut pembinaan di Rutan, program pembinaan yang pertama wajib dilaksanakan adalah keagamaan. Saya disuruh sholat jamaah dan mengaji bareng-bareng narapidana lain. Saya hanya ikut-ikutan saja mengikutinya karena takut dimarahi oleh petugas. Pembinaan lain seperti olah raga, intelektual, dan keterampilan juga seperti itu. Selain itu, dari pada nganggur mbak, tidak ada kerjaan ya saya ikuti saja pembinaan disini. (Catatan lapangan 22).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, peneliti menyimpulkan bahwa dari segi pengalaman seharusnya narapidana residivis lebih menguasai tentang
program pembinaan yang mampu meningkatkan kualitas perubahan sikap baik pada diri mereka. Namun dalam kenyataan menunjukkan bahwa program program pembinaan yang mampu meningkatkan kualitas perubahan sikap baik pada diri mereka. Namun dalam kenyataan menunjukkan bahwa program
Setelah peneliti melakukan pengamatan di lapangan, sepanjang ini sikap yang ditunjukkan narapidana residivis selama mengikuti kegiatan pembinaan dikatakan cukup baik. Mereka mengikuti kegiatan pembinaan dengan serius, namun ada beberapa narapidana residivis yang belum menunjukkan perilaku yang baik misalnya membuat gaduh pada saat mengikuti pembinaan kesadaran agama islam yaitu kegiatan ceramah keagamaan menjelang dzuhur. Kemudian pada waktu pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara yaitu kegiatan upacara bendera hari senin pagi peneliti menemukan 2 orang narapidana residivis asyik mengobrol sendiri atau bersenda gurau dengan narapidana lainnya. Hal tersebut membuktikan bahwa masih ditemukan perilaku yang tidak baik selama narapidana residivis mengikuti kegiatan pembinaan.
2) Perbedaan Tingkat Intelektual yang Dilatarbelakangi Pendidikan Narapidana Residivis Rendah Selain masalah yang terkait dengan perilaku yang tidak baik dari narapidana residivis, ada pula faktor lain yang menjadi penghambat bagi pembina dalam pelaksanaan kegiatan program pembinaan. Faktor tersebut adalah perbedaan tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan narapidana residivis rendah.
tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut: - sehingga menghambat pelaksanaan kegiatan (Catatan lapangan 13).
Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Tentrem Basuki, S.Pd pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
r, buta huruf sehingga pembina merasakan kesulitan dalam menyampaikan
Hasil wawancara berikutnya dengan Bapak Wagimin, SE pada hari Senin tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut: memberikan konseling disebabkan sebagian dari narapidana tingkat pendidikan rendah menyebabkan sulitnya terjalin
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa perbedaan tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan narapidana residivis rendah menghambat pelaksanaan pembinaan moral. Hal tersebut menyebabkan sulitnya pembina Rutan memberikan materi pembinaan secara maksimal. Kenyataan di lapangan, masih ditemukan narapidana residivis yang tidak mampu baca tulis atau buta huruf yaitu sebanyak 3 orang. Hal tersebut dikarenakan tingkat pendidikan mereka yang rendah.
3) Terbatasnya Sarana dan Prasarana yang Mendukung Kegiatan Pembinaan Sarana dan prasarana merupakan faktor yang penting dalam menunjang keberhasilan pembinaan. Namun, mengingat terbatasnya anggaran yang dimiliki Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta maka, sarana dan prasarana pembinaan tidak semuanya dapat dilengkapi. Hal tersebut menyebabkan kegiatan pembinaan menjadi terhambat. Hambatan yang terkait dengan sarana dan prasarana meliputi: kurangnya sarana personil dan kesibukan pembina
Berikut penjabaran mengenai faktor penghambat pelaksanaan pembinaan yang terkait dengan sarana dan prasarana:
a) Kurangnya sarana personil dan kesibukan pembina Rutan
Berdasarkan hasil wawancara kepada Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari Sabtu, tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai
berikut: Terbatasnya tenaga pengajar membuat pelaksanaan pembinaan
terhambat. Untuk pembinaan kesadaran agama, masih kekurangan ustad dan pembina untuk kegiatan koor. Sedangkan mengenai program kemandirian, masih mengandalkan kemampuan narapidana itu sendiri. Sebab, pembina Rutan belum menguasai semua bidang keterampilan seperti las dan elektronik. (Catatan lapangan 11).
Hal senada diperkuat dari hasil wawancara dengan Bapak Suramto pada tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut: ustad untuk kegiatan penghafalan Al-
). Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Didit Santoso, S.Pd pada hari Senin tanggal 4 Juli 2011 mengatakan bahwa: dengan pembinaan kesadaran agama nasrani adalah kita masih harus mendatangkan pastur
). Hasil wawancara berikutnya dengan Bapak Tentrem Basuki, S.Pd pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 mengatakan intelektual, Rutan kekurangan tenaga pendidik sehingga masih
. (Catatan lapangan 16). Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wagimin, SE pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 adalah sebagai berikut: pembinaan kesadaran hukum adalah kesibukan pembina sehingga tidak dapat memberikan pelayanan konseling secara maks lapangan 17).
menghambat pelaksanaan pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang terkait sarana personil adalah kurangnya tenaga pengajar pada pembinaan kesadaran agama dan intelektual seperti ustad, pastur, pembina koor dan tenaga pendidik. Disisi lain, pada pembinaan kesadaran hukum terhambat oleh kesibukan pembina Rutan. Oleh sebab itu, pelaksanaan pembinaan menjadi tidak maksimal.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, memang selama pembina Rutan menyampaikan materi pembinaan dibantu oleh beberapa
pihak seperti ustad, pembina koor, pastur, dan tamping. Ada sebanyak 6 orang ustad yang dikirim dari pondok pesantren untuk mengisi kegiatan baca tulis Al-
n. Namun, dengan jumlah ustad tersebut kurang mengimbangi banyaknya narapidana residivis yang mengikuti kegiatan baca tulis Al-
an. Selanjutnya, pembina koor dan pastur sendiri masih harus di datangkan dari luar. Disisi lain, adanya kesibukan petugas Rutan menyebabkan pembinaan menjadi terhambat misalnya acara penataran dan dinas luar kota sehingga, kadangkala pembina Rutan menyerahkan tugas pembinaan kepada tamping. Tamping adalah narapidana yang dipercaya pihak Rutan untuk membantu petugas Rutan menyelesaikan pekerjaan mereka.
b) Kurangnya fasilitas yang mendukung kegiatan program pembinaan Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suramto pada hari Senin tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Kegiatan kesadaran agama islam belum maksimal terkait dengan
kurangnya tempat untuk kegiatan ceramah. Sebab selama ini belum ada tempat atau ruangan khusus untuk kegiatan pembinaan kesadaran agama islam. Disisi lain, kita juga kekurangan Al-
(Catatan lapangan 13).
pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 mengatakan bahwa:
Kendala pada kegiatan intelektual yang terkait dengan sarana dan prasarana adalah sempitnya ruang perpustakaan, buku bacaan, serta minimnya bangku atau kursi. Padahal kegiatan ini sangat bermanfaat untuk menambah wawasan narapidana. (Catatan lapangan 16).
Sedangkan, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wiyono, SE pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 mengatakan bahwa: kemandirian belum berjalan secara optimal karena tersendat bahan baku yang masih kurang, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Bahan baku
(Catatan lapangan 18). Selanjutnya berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sarwono tanggal 5 Juli 2011
y, Rutan belum menyediakan lapangan kh
(Catatan lapangan 19). Berdasarkan beberapa hasil wawancara di atas, peneliti menyimpulkan bahwa, kurangnya fasilitas menjadi penghambat pelaksanaan pembinaan. Hambatan yang terkait dengan fasilitas di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah sebagai berikut:
(1) Pembinaan kesadaran agama islam: masih kekurangan tempat untuk kegiatan ceramah agama dimana Rutan harus menggunakan lapangan sebab, masjid tidak dapat menampung jumlah narapidana yang mengikuti kegiatan tersebut. Selain masalah tempat, kendala lainnya berupa kurangnya fasilitas berupa Al-Q
(2) Pembinaan intelektual: kendala terkait dengan ruangan perpustakaan yang sempit, kurangnya buku-buku bacaan, bangku atau kursi sehingga dari narapidana sendiri kurang antusias untuk mengunjungi.
(3) Pembinaan keterampilan: masih kurang dari segi jumlah dan kualitasnya. Di samping itu, masih terbentur mengenai bahan baku
Negara Klas 1 Surakarta. Bahan baku tersebut meliputi: las, bahan baku elektronik, dan mebelair. Bahkan, bahan baku berasal dari narapidana.
(4) Pembinaan bentuk olah raga: belum ada lapangan khusus kegiatan
olah raga volly.
Setelah peneliti melakukan obervasi pada tanggal 23 Juli 2011, beberapa fasilitas Rutan Klas 1 Surakarta yang terkait dengan kegiatan
pembinaan memang nampak belum memadai. Pada kegiatan pembinaan kesadaran agama islam misalnya kegiatan baca tulis Al-Q kekurangan Al-
aik terjemahan maupun bukan. Peneliti menjumpai beberapa Al- ceramah menjelang dzuhur, masih kekurangan tempat sehingga harus memakai lapangan karena tidak mampu menampung jumlah narapidana secara keseluruhan. Selanjutnya pada pembinaan intelektual, dalam perpustakaan terlihat kursi yang sudah rusak, ruangan yang sempit dan tampak tidak terawat sehingga terlihat kotor. Kemudian pada pembinaan kemandirian, meskipun ruangan untuk kegiatan kemandirian begitu luas, namun tampak beberapa fasilitas seperti 2 buah mesin jahit dan 1 perlengkapan las tidak dapat difungsikan lagi.
4) Belum Ada Peraturan tentang Pola Pembinaan Khusus Narapidana Residivis Peraturan yang digunakan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mengenai pola pembinaan bagi narapidana residivis mengacu kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidan atau Tahanan, sehingga tidak ada perbedaan antara pola pembinaan bagi narapidana residivis atau bukan residivis. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya, ditafsirkan sama dengan pola pembinaan narapidana 4) Belum Ada Peraturan tentang Pola Pembinaan Khusus Narapidana Residivis Peraturan yang digunakan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mengenai pola pembinaan bagi narapidana residivis mengacu kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidan atau Tahanan, sehingga tidak ada perbedaan antara pola pembinaan bagi narapidana residivis atau bukan residivis. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya, ditafsirkan sama dengan pola pembinaan narapidana
5) Stigma Negatif Masyarakat terhadap Narapidana Residivis
Berdasarkan hasil wawancara kepada Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari Sabtu, tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai
berikut: Terhambatnya pelaksanaan pembinaan moral tidak hanya disebabkan
faktor pelaksanaan pembinaan yang dilaksanakan di Rutan namun, stigma negatif dari masyarakat terhadap narapidana residivis juga berpengaruh terhadap pelaksanaan pembinaan. Kenyataan di lapangan, banyak masyarakat belum bisa menerima keberadaan bekas narapidana. (Catatan lapangan 11).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Drs. Haryana pada hari Sabtu tanggal 3 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Stigma negatif masyarakat terhadap narapidana residivis mengakibatkan
hilangnya rasa percaya diri. Kesulitan narapidana residivis beradaptasi dengan masyarakat, mendorong mereka melakukan tindak pidana kembali. Sehingga pembinaan menjadi tidak efektif. (Catatan lapangan 12).
Seperti yang diutarakan oleh narapidana residivis Marcus Sudarmo pada tanggal 14 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
jika berada dalam lingkungan masyarakat. Masyarakat memandang saya sebagai orang yang jahat. Saya sadar, sebagai bekas penjahat belum bisa me
Hal senada juga disampaikan oleh narapidana residivis bernama Afif Solikhin, wawa
Juli 2011 adalah sebagai berikut: Saya kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan masyarakat sekitar
masih menganggap saya sebagai orang jahat. Padahal saya berniat menjadi orang yang baik. Setelah keluar dari sini saya mau mencari kerja yang
(Catatan lapangan 21). Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, stigma
negatif masyarakat menghambat pelaksanaan pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Masyarakat masih kerap memberikan stigma negatif terhadap narapidana residivis yang masih mengecap citra buruk sebagai mantan penjahat. Hal tersebut menyebabkan hilangnya rasa percaya diri mereka dan akhirnya melakukan tindak pidana kembali. Dalam kenyataannya, masih ditemukan narapidana residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana. Melihat kondisi demikian, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta harus bekerja ekstra memberikan pembinaan dan berupaya mengembalikan rasa percaya diri yang hilang terhadap narapidana residivis. Hal tersebut belum dapat sepenuhnya direalisasikan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.