PEMBINAAN MORAL NARAPIDANA RESIDIVIS DALAM MEMBENTUK GOOD CITIZEN DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS 1 SURAKARTA

NEGARA KLAS 1 SURAKARTA SKRIPSI

Oleh: ROSIANA RAHAYU K6407011 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

NEGARA KLAS 1 SURAKARTA

Oleh ROSIANA RAHAYU K6407011

Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

DALAM MEMBENTUK GOOD CITIZEN DI RUMAH TAHANAN

NEGARA KLAS 1 SURAKARTA. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret. November 2011.

Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pengulangan tindak pidana yang dilakukan. (2) Mengetahui pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. (3) Mengetahui faktor yang menjadi pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan strategi penelitian tunggal terpancang. Sumber data yang digunakan adalah informan, peristiwa, tempat atau lokasi, dan dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dan snowball sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Validitas data yang diperoleh dengan teknik trianggulasi data, trianggulasi metode dan review informan . Analisis data menggunakan analisis data model interaktif yaitu pengumpulan data, reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) Moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta hanya sebatas pemahaman moral saja sedangkan sebagian narapidana residivis belum memiliki perasaan moral dan tindakan moral juga belum terbentuk. (2). Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tidak berhasil membentuk narapidana residivis menjadi warga negara yang baik (good citizen) sebab sebanyak 70 % narapidana residivis tidak terbentuk sebagai pribadi yang terdidik secara moral. Hal tersebut diketahui bahwa dari 10 narapidana residivis yang mempunyai kesadaran moral hanya 4 orang (40%) sedangkan ditinjau dari tindakan moral hanya 2 orang (20%). Selain itu, masih terjadi pengulangan tindak pidana sehingga arah pembinaan moral yang sesuai tujuan pemasyarakatan tidak tercapai. (3). Faktor pendorong pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta meliputi: kesadaran narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan, peraturan perundang-undangan yang mendukung pelaksanaan pembinaan, sarana dan prasarana yang menunjang, motivasi dan dukungan moril dari keluarga narapidana residivis atas stigma negatif masyarakat, dan pengawasan yang baik saat proses pembinaan berlangsung. Sedangkan faktor penghambat pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis terkait pembentukan good citizen meliputi: perilaku narapidana residivis yang tidak baik saat mengikuti pembinaan, perbedaan tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan narapidana residivis yang rendah, terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan pembinaan, belum ada peraturan tentang pola pembinaan khusus narapidana

CREATING GOOD CITIZEN IN THE FIRST CLASS OF SURAKARTA

PENITENTIARY. Thesis. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Sebelas Maret University. October 2011.

moral in the First Class of Surakarta penitentiary relative to the crime building in creating good citizen in the First Class of Surakarta Penitentiary, and moral building in the First Class of Surakarta Penitentiary relative to creating

good citizen. This study employed a descriptive qualitative method with a single embedded research strategy. The data source used consisted of informant, event and document. The sampling technique used was purposive sampling and snowball sampling. Techniques of collecting data used were interview, observation, and document analysis. Data validity was obtained using data and method triangulation techniques and review informant. The data analysis was done using an interactive analysis encompassing data reduction, data display and conclusion drawing.

Based on the result of research, it can be concluded that: (1) the recurrent ry is only limited to

moral conception. It is because their moral feeling and moral action have not been established. (2) The implementation of moral building to the recurrent prisoners in the First Class of Surakarta penitentiary has not successfully created the recurrent prisoners into good citizens because any 70% the recurrent prisoners

formed as a education morality person. Is known that 10 people

who has morality consciousness while only 40 % whereas in term of moral only 2 people (20%). In addition, some recurrent prisoners still repeat the criminal action so that the direction of moral building consistent with the objective of moral building has not been achieved. (3) The factors supporting the moral building to the recurrent prisoners in the First Class of Surakarta penitentiary

supporting the implementation of building, supporting infrastructures, moral

r the negative

stigma among the society, and good supervision during the building process. moral building relative to the good citizen creation includes the recurrent

s not-good behavior during building process, the difference of

Kotornya akhlak itu lebih besar bahayanya dari pada kotornya materi. Maka, wajib bagi setiap individu untuk membersihkan jasmani dan rohaninya sebelum memasuki kehidupan baru (Dr. Kasis Karel)

Sesungguhnya kerendahan moral itu adalah tantangan yang paling besar yang sangat ditakuti manusia. Dan, keutamaan moral itu adalah suatu harapan yang

paling besar yan

(Plato)

Mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, mereka yang menyuruh mungkar dan bersegera mengerjakan berbagai

kebaikan. Maka, mereka itu termasuk orang-orang yang sholeh

(Al-

Surat Ali-Imron: 114)

Akhlak yang baik bergantung pada kesiapan diri untuk berakhlak. Manusia menjadi adil karena menegakkan keadilan, menjadi bijaksana karena menekuni kebijaksanaan, dan menjadi berani karena bertindak berani. Untuk mewujudkannya, perlu niat, usaha keras, dan pembiasaan maka, hasil yang diperoleh akan memuaskan (Penulis)

Karya ini dipersembahkan kepada: Allah SWT atas nikmat dan karunia-Nya Bapak dan Ibu tercinta yang telah

memberikan

restu

dalam setiap

perjalanan hidup Kakak-kakak kandung tersayang, Eko

Rosdianto dan Windi Rosdiana yang telah memberikan doa dan motivasi

Priema Ariz Setiawan yang selalu mendokan dan memberikan dukungan

Teman-teman PPKn angkatan 2007 yang selalu memberikan semangat Sahabat terbaik Nur Aprilia, Indriyani, Rizki Tri. K, dan Sri Sulastri yang selalu membantu dan memberikan semangat

Almamater

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan pada program Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu, atas segala bentuk bantuannya, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini.

2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNS Surakarta, yang telah menyetujui penyusunan skripsi ini.

3. Dr. Sri Haryati, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP UNS Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.

4. Dr. Winarno, S.Pd, M.Si., selaku Pembimbing I yang dengan sabar telah memberikan pengarahan, bimbingan, dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Triana Rejekiningsih, SH, KN, MP.d., selaku Pembimbing II yang dengan sabar telah memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

6. Drs. E. Sunar Ardinarto, M.Pd., selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan serta pengarahan.

7. Bapak/Ibu dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.

dalam penyusunan skripsi ini.

9. Semua pihak yang membantu penulis baik moril maupun materiil yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis berharap, semoga Allah SWT selalu memberikan barokah dan anugerah yang terbaik atas jasa yang mereka berikan. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin, namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan karena keterbatasan penulis. Dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini.

Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.

Surakarta, November 2011

Penulis

B. Implikasi .......................................................................................... 217

C. Saran ................................................................................................ 218

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 221 LAMPIRAN ..................................................................................................... 225

Tabel Tabel

1. Jadual Kegiatan Penelitian ................................................................

2. Jumlah Warga Binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta per Bulan Juni 2011 ..........................................................................

3. Daftar Nama Narapidana Residivis per Bulan Juni 2011 di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ........................................

4. Petugas Pembinaan atau Pembina Rumah Tahanan Negara Klas

1 Surakarta. .......................................................................................

5. Daftar Nama dan Tindak Pidana yang Pernah Dilakukan Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ...........................................................................................

6. Hasil Identifikasi Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Narapidana Residivis Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta pada Bulan Juni 2011. ...........................................

7. Jumlah Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang Didasarkan pada Tingkat Pendidikan Tahun 2011. ................................................................................................

8. Faktor Penyebab Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Melakukan Tindak Pidana ........................

9. Jadual Pelaksanaan Kegiatan Pembinaan Kesadaran Agama Islam di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. .........................

10. Jadual Pelaksanaan Kegiatan Pembinaan Kemandirian di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. .......................................

11. Metode dan Wujud Pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas

1 Surakarta ........................................................................................

12. Evaluasi Keberhasilan Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis Terkait dengan Pembentukan Good Citizen . ..............................................................................................

13. Jumlah Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1

Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4.

Alur Tahapan Pelaksanaan Pembinaan ....................................... Skema Kerangka Berfikir ............................................................ Analisis Data Model Interaktif .................................................... Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ......................................................................................

53

73

92

99

Lampiran Lampiran

Lampiran

Lampiran

Lampiran Lampiran Lampiran

Lampiran

Lampiran

Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran

1. Daftar Informan .......................................................................

2. Data Jumlah Residivis Tahun 2009-2011 di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ...........................................

3. Jadual Kegiatan Pembinaan Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta .................................................................................

4. Hasil Evaluasi Perkembangan Diri Narapidana Residivis yang Belum Menunjukkan Perilaku yang Baik Ditinjau dalam

Binaan Pemasyarakatan Tahun 2011...................................................

5. Pedoman Wawancara ..............................................................

6. Catatan Lapangan dengan Narapidana residivis .....................

7. Catatan Lapangan dengan Petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta..........................................................

8. Catatan Lapangan dengan Pembina Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta..........................................................

9. Catatan Lapangan dengan Perwakilan dari Narapidana Residivis .................................................................................

10. Foto-Foto Hasil Observasi ......................................................

11. Trianggulasi Data ....................................................................

12. Trianggulasi Metode ..............................................................

13. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi Kepada Dekan FKIP UNS ...............................................................................

14. Surat Keputusan Dekan FKIP UNS Tentang Ijin Penyusunan Skripsi ................................................................

15. Surat Permohonan Ijin Research/ Penelitian Kepada Rektor UNS .............................................................................

16. Surat Permohonan Pengantar Ijin Penelitian Kepada

Lampiran

Lampiran

Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah di Semarang ...

18. Surat Ijin Masuk untuk Mengadakan Penelitian di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ...........................................

19. Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. ..........................................

334

335

336

A. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum atau rechstaat. Dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) disebutkan dengan tegas bahwa

Pasal tersebut mengandung arti bahwa, hukum

memegang kekuasaan tertinggi. Setiap warga negara Indonesia wajib menjunjung tinggi hukum dan berhak untuk memperoleh persamaan dalam hukum dan pemerintahan. Hal tersebut dipertegas dalam bunyi pasal 27 ayat (1) warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib

Selanjutnya, dalam bunyi pasal 28 D ayat (1) yang disebutkan bahwa orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, memegang peranan yang sangat penting dalam penegakan keadilan.

Hukum merupakan salah satu pranata yang dibutuhkan untuk mengantisipasi perkembangan yang pesat dalam kehidupan manusia yang menetapkan apa yang harus dilakukan atau apa yang boleh serta dilarang dalam rangka menjaga ketertiban dan keteraturan masyarakat. Selain itu, hukum diperlukan guna mengantisipasi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam masyarakat. Timbulnya kejahatan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor individu saja melainkan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan masyarakat. Pada awalnya, manusia dalam melangsungkan kehidupan berawal dari hasrat untuk memenuhi kebutuhan pokok dan seseorang dalam keadaan ekonomi buruk akan kesulitan memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, manusia terdorong melakukan perbuatan menyimpang yaitu melakukan kejahatan. Kejahatan tersebut menyebabkan terganggunya kenyamanan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat pada khususnya dan kehidupan negara pada umumnya. Pada dasarnya, segala macam bentuk kejahatan menimbulkan dampak buruk yang merugikan baik terhadap diri pelaku kejahatan tersebut maupun masyarakat luas. Oleh sebab Hukum merupakan salah satu pranata yang dibutuhkan untuk mengantisipasi perkembangan yang pesat dalam kehidupan manusia yang menetapkan apa yang harus dilakukan atau apa yang boleh serta dilarang dalam rangka menjaga ketertiban dan keteraturan masyarakat. Selain itu, hukum diperlukan guna mengantisipasi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam masyarakat. Timbulnya kejahatan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor individu saja melainkan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan masyarakat. Pada awalnya, manusia dalam melangsungkan kehidupan berawal dari hasrat untuk memenuhi kebutuhan pokok dan seseorang dalam keadaan ekonomi buruk akan kesulitan memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, manusia terdorong melakukan perbuatan menyimpang yaitu melakukan kejahatan. Kejahatan tersebut menyebabkan terganggunya kenyamanan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat pada khususnya dan kehidupan negara pada umumnya. Pada dasarnya, segala macam bentuk kejahatan menimbulkan dampak buruk yang merugikan baik terhadap diri pelaku kejahatan tersebut maupun masyarakat luas. Oleh sebab

Seiring dengan perkembangan masalah-masalah pemidanaan yang terjadi di dunia barat, pandangan dan sikap hidup bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai masalah dalam negara khususnya kepenjaraan baru diwujudkan pada tahun 1963 dengan mengubah sistem kepenjaraannya menjadi sistem pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan adalah salah satu pranata hukum yang tidak dapat dipisahkan dalam kerangka besar bangunan hukum di Indonesia, khususnya dalam kerangka hukum pidana. Tujuan pembinaan dalam pemidanaan adalah agar narapidana tidak mengulangi kembali perbuatannya dan bisa menemukan kembali kepercayaan dirinya serta dapat diterima kembali menjadi bagian dari anggota masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Dwidja Priyatno (2006: 53-54) mengatakan bahwa,

danaan meliputi

pencegahan, pembinaan, keseimbangan masyarakat, dan pembebasan rasa bersalah Hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Pencegahan berarti mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2. Pembinaan berarti memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna. Pembinaan dilakukan dengan merehabilitasi tetapi juga meresosiliasi terpidana dan mengintegrasikan yang bersangkutan ke dalam masyarakat.

mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat tindak pidana yang telah dilakukan.

4. Pembebasan rasa bersalah berarti membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Tujuannya bersifat spiritual yang dicerminkan dalam Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya, disebutkan pula dalam UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dalam pasal 2 dinyatakan bahwa: Tujuan pemasyarakatan adalah sistem pemasyarakatan diselenggarakan

dalam rangka membentuk warga negara binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. (Dwidja Priyatno, 2006: 180).

Pola pembinaan terhadap narapidana di Indonesia didasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan alenia kedua ditegaskan bahwa:

Secara umum dapat dikatakan bahwa pembinaan dan bimbingan pemasyarakatan haruslah ditingkatkan melalui pendekatan pembinaan mental (agama, Pancasila dan sebagainya) meliputi pemulihan harga diri sebagai pribadi maupun warga negara yang meyakini pribadinya masih memiliki potensi produktif bagi pembangunan bangsa (Ismail Sholeh, 1990: 3).

Berdasarkan peraturan tersebut maka, pola pembinaan di lembaga pemasyarakatan diberikan melalui pembinaan mental seperti pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti. Arah pembinaan di lembaga pemasyarakatan harus dimulai dengan membentuk moral narapidana sebab, moral yang baik akan menangkal seseorang untuk melakukan perbuatan jahat. Sebagaimana yang diungkapkan menurut filosof Jerman Kenith dalam Miqdad Yaljan (2004:21) Berdasarkan peraturan tersebut maka, pola pembinaan di lembaga pemasyarakatan diberikan melalui pembinaan mental seperti pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti. Arah pembinaan di lembaga pemasyarakatan harus dimulai dengan membentuk moral narapidana sebab, moral yang baik akan menangkal seseorang untuk melakukan perbuatan jahat. Sebagaimana yang diungkapkan menurut filosof Jerman Kenith dalam Miqdad Yaljan (2004:21)

Pembinaan yang terbaik bagi keberhasilan warga binaan sangat tergantung oleh faktor narapidana itu sendiri, bentuk pembinaan, dan pranata hukum. Selama ini, perhatian banyak diberikan terhadap lembaga-lembaga hukum yang bergerak langsung dalam penegakan hukum baik di lembaga pembuat undang-undang maupun pihak yang bertanggung jawab dalam hal pelaksanaannya seperti polisi, hakim ataupun jaksa. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah peran serta masyarakat yang diharapkan dapat membantu pelaksanaan pembinaan narapidana. Masyarakat memiliki peranan yang sangat berarti dalam proses resosialisasi narapidana yang saat ini masih sulit dilaksanakan. Hal ini dikarenakan, setelah narapidana selesai menjalani hukumannya kemudian siap kembali ke masyarakat, tidak jarang muncul permasalahan misalnya dikarenakan kurang siapnya masyarakat menerima mantan narapidana serta sulitnya narapidana memperoleh pekerjaan. Perhatian tersebut dirasa kurang oleh lembaga pemasyarakatan. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat keberhasilan dalam suatu lembaga pemasyarakatan yang masih kurang. Salah satu diantaranya masih ditemukan residivis atau pelaku pidana yang pernah menjalani pemidanaan dalam suatu lembaga pemasyarakatan dan kemudian mengulangi kembali tindak pidana.

Berdasarkan data yang penulis peroleh dari berbagai sumber informasi ternyata, masih banyak residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana setelah keluar dari dari lembaga pemasyarakatan khususnya di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Adapun data-data narapidana residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana adalah sebagai berikut:

Operasi Sikat Lindas Bandar (Silindar) yang digelar dalam setahun terakhir, terdapat 117 pengedar dan pengguna narkotika dan obat terlarang (narkoba) ditangkap petugas Polresta Surakarta. Ratusan tersangka yang berasal

Php/read/news). Fakta lainnya dalam sebuah media massa yang menyebutkan ditemukan seorang residivis di Solo, Jawa Tengah, kembali berurusan dengan polisi karena mencuri beberapa handphone tempat counter di kawasan Sumber, Banjarsari pada hari Selasa (10/2/2011). Tersangka bernama, Agus Waluyo sebenarnya baru saja keluar dari penjara satu bulan lalu karena mencuri. (Antara News, tanggal 10 Maret 2011 dikutip dalam http://antaranews.hileud.com/ hileudnews /title=residivis kembali berurusan dengan polisi &id =226380 ).

Fakta selanjutnya menyebutkan seorang residivis kembali diciduk aparat Satuan Reskrim Polres Karanganyar, Jawa Tengah, karena memiliki 0,2 gram shabu. Tersangka bernama Sardi Haryanto alias Penguk, ditangkap di rumahnya di Dusun Jumog, Desa Jaten, Karanganyar. Sebelumnya, Sardi pernah mendekam di Rumah Tahanan Klas 1 Surakarta karena kasus narkoba pada tahun 2005. ( Harian

12 April 2010 dikutip dalam http://harian.joglosemar.com ). Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat diketahui bahwa banyak kejahatan yang dilakukan residivis. Hal ini menunjukkan bahwa, para pelaku tindak pidana yang dikategorikan residivis belum jera setelah mereka menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan. Kenyataan ini kemudian mengantarkan kita pada sebuah pertanyaan bahwa, bagaimana sebenarnya pelaksanaan pembinaan yang diberikan lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana residivis selama ini. Sampai dimanakah efek positif yang di dapat dari proses pembinaan yang pernah diberikan petugas pemasyarakatan kepada pelaku kejahatan khususnya narapidana residivis. Tindak kejahatan yang dilakukan berulang-ulang oleh residivis mungkin ada yang salah dalam mekanisme pembinaan sehingga tujuan dari pemidanaan dalam upaya mencegah narapidana residivis untuk tidak mengulangi tindak pidana kembali belum tercapai. Pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh residivis menunjukkan bahwa residivis mengalami masalah moral. Dikatakan demikian

pengulangan tindak pidana. Kondisi inilah yang menjadi tantangan besar bagi khususnya Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta untuk melaksanakan pembinaan moral bagi narapidana residivis dalam upaya membentuk perilaku moral yang baik sehingga pada akhirnya setelah ia keluar dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mampu menjadi manusia normal yang mengemban tugasnya sebagai warga negara yang baik dalam memajukan pembangunan nasional. Pembinaan terhadap narapidana residivis diharapkan menjadi perhatian khusus oleh pembina pemasyarakatan. Pembina pemasyarakatan diharapkan memiliki metode pembinaan yang tepat bagi narapidana kambuhan seperti residivis.

Narapidana residivis sebagai warga negara yang hilang kemerdekaannya di lembaga pemasyarakatan merupakan insan dan sumber daya manusia yang masih memiliki potensi untuk dikembangkan dalam kemajuan pembangunan negara. Dalam pasal 31 UUD 1945 ayat (1) berbunyi bahwa etiap warga negara

setiap warga negara berhak mendapat pendidikan tidak terkecuali bagi narapidana residivis. Dengan harapan setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, ia dapat melaksanakan perannya sebagai warga negara yang baik (good citizen) untuk berpartisipasi dalam pembangunan negara. Untuk menjadi warga negara yang baik, memerlukan sejumlah kompetensi kewarganegaraan yang meliputi pengetahuan kewarganegaraan, keterampilan kewarganegaraan, dan nilai warga negara (civic knownladge, civic skills, dan civic value). Bagi narapidana, penguasaan mengenai kompetensi kewarganegaraan dapat diperoleh melalui pembinaan yang diberikan lembaga pemasyarakatan.

Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sebagai lembaga pemasyarakatan melaksanakan pembinaan moral berdasarkan pemasyarakatan. Tujuan pembinaan diarahkan agar narapidana dapat memperbaiki diri, dan tidak mengulangi kembali perbuatan tindak pidana, serta mampu berintegrasi dengan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sebagai lembaga pemasyarakatan melaksanakan pembinaan moral berdasarkan pemasyarakatan. Tujuan pembinaan diarahkan agar narapidana dapat memperbaiki diri, dan tidak mengulangi kembali perbuatan tindak pidana, serta mampu berintegrasi dengan

Menurut keterangan Kepala Seksi Pelayanan Tahanan Rumah Tahanan Negara Klas I Surakarta, Bapak Agustiyar Ekantoro di Solo menjelaskan bahwa, pondok pesantren yang didirikan di dalam Rutan Klas 1 Surakarta merupakan yang pertama di Indonesia. Pendirian pesantren tersebut, merupakan proyek percontohan Departemen Hukum dan HAM dalam pembinaan narapidana. Program dari pesantren diharapkan dapat sinergi dengan proram rehabilitasi yang dimiliki Rutan. Sementara itu, pendiri Yayasan Wisata Hati, Ustad Mansur mengatakan bahwa pendirian pesantren di dalam Rutan ini, merupakan keinginan dari para narapidana yang menjadi warga binaan Rutan Klas I Surakarta. Respon untuk mendirikan pesantren tersebut oleh pihak Rutan dan Departemen Hukum dan HAM sangat berguna sekali dalam membantu narapidana agar lebih bisa diterima kembali oleh masyarakat ketika masa pidana narapidana telah berakhir. (Antara News, tanggal 13 Oktober 2009 halaman 7).

Pembinaan yang diberikan kepada narapidana bertujuan membentuk mental narapidana agar memiliki moral yang baik diharapkan dapat membentuk watak dan mampu menyerap nilai-nilai positif dari program-program pembinaan yang telah diberikan. Watak yang dimaksud disini merupakan kualitas individu dalam mengaktualisasikan potensinya berupa sikap atau perilaku sesuai tuntutan hidup atas dasar nilai, norma, dan moral yang menjadi komitmennya. Menurut W. L Dewarant dalam Miqdad Yaljan (2004: 76) menyampaikan bahwa

faktor yang dapat membangun dan menjaga peradaban adalah akhlak. Andaikata faktor-faktor ini hilang dapat dipastikan bahwa dasar-dasar peradaban atau negara

tersebut mengandung arti bahwa, untuk dapat membangun suatu

peradaban dalam hal ini negara maka, harus dimulai dari akhlak atau moral yang baik yang dimulai dari setiap warga negara atau masyarakat.

Bertitik tolak dari uraian di atas maka, penulis merasa tertarik untuk mengambil skripsi dengan judul

Moral Narapidana Residivis

dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1

1. Bagaimanakah moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pengulangan tindak pidana yang dilakukan?

2. Bagaimana pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ?

3. Faktor apa sajakah yang menjadi pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen?

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian tentunya mempunyai tujuan yang telah ditetapkan. Tanpa tujuan maka, penelitian yang dilakukan tidak akan memberikan manfaat. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pengulangan tindak pidana yang dilakukan.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.

3. Untuk mengetahui faktor yang menjadi pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain sebagai berikut: Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain sebagai berikut:

b. Sebagai bahan masukan dan referensi bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan masukan yang bermanfaat bagi pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait dengan pembinaan moral terhadap narapidana residivis untuk memperbaiki akhlak atau moral sehingga tidak mengulangi tindak pidana kembali dan mampu berbaur dengan masyarakat.

b. Dengan penelitian ini, diharapkan akan lebih meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta kepada narapidana residivis agar lebih efektif. Sehingga arah pembentukan good citizen dapat terwujud yaitu narapidana residivis mampu mengembangkan kompetensi kewarganegaraan yang berguna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

c. Memotivasi para residivis agar lebih percaya diri untuk berintegrasi dengan masyarakat setelah keluar dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.

a. Tahap-Tahap Perkembangan Moral

Menurut L. Kohlberg dalam K. Bertens (2007: 80-84) mengemukakan enam tahap perkembangan moral yang dikaitkan satu sama lain dalam tiga tingkat (levels) berturut-

Keenam tahap perkembangan moral dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). Tingkat prakonvensional Pada tingkat ini, seseorang mengakui adanya aturan-aturan yang baik dan Keenam tahap perkembangan moral dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). Tingkat prakonvensional Pada tingkat ini, seseorang mengakui adanya aturan-aturan yang baik dan

b) The instrumental relatives orientation yaitu patuh sekedar memuaskan orang lain. Perbuatan adalah baik, jika instrumen atau alat dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain.

2). Tingkat konvensional Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa, biasanya anak mulai beralih ke tingkat ini antara umur sepuluh dan tiga belas tahun. Di sini perbuatan- perbuatan mulai dinilai atas dasar norma-norma umum, kewajiban, dan otoritas yang dijunjung tinggi. Dalam tingkat ini, anak mampu mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosialnya beserta norma- normanya. Tingkat ke dua ini juga mencakup dua tahap:

a) Interpersonal concordance good boy-nice girl orientation (penyesuaian dengan kelompok dan orientasi menjadi anak manis). Dalam tahap ini, anak cenderung mengarahkan diri pada keinginan serta harapan dari para anggota keluarga atau kelompok lain (sekolah di sini tentu penting). Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan dan membantu orang lain serta disetujui oleh mereka. Anak mengambil sikap: saya adalah anak manis (good boy-nice girl) sebagaimana diharapkan oleh orang tua, guru dan sebagainya ia ingin bertingkah laku secara wajar artinya, menurut norma-norma yang berlaku. Jika ia melanggar norma-norma kelompoknya, ia merasa malu dan bersalah.

b) Law and order orientation (orientasi hukum dan ketertiban). Dalam tahap ini anak mampu menyesuaikan diri dengan otoritas kelompok. Perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya,

3). Tingkat pascakonvensional

(principled level). Pada tingkat ketiga ini, hidup moral dipandang sebagai penerimaan tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam batin. Norma-norma yang ditentukan dalam masyarakat tidak dengan sendirinya berlaku, tetapi harus dinilai atas dasar prinsip-prinsip dari kebebasan pribadi. Tingkat ketiga ini mempunyai dua tahap yaitu:

a) Social contract legalistik orientation (orientasi kontrak-sosial legalistis). Di sini disadari relativisme nilai-nilai, pendapat-pendapat pribadi, dan kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus. Disamping apa yang disetujui secara demokratis, baik buruknya tergantung pada nilai- nilai, dan pendapat pribadi. Segi hukum ditekankan tetapi diperhatikan secara khusus kemungkinan untuk mengubah hukum, asal hal itu terjadi demi kegunaan sosial.

b) Universal ethical principle orientation (orientasi prinsip etika yang universal). Dalam tahap ini, orang mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal. Pada dasarnya prinsip-prinsip ini menyangkut keadilan, kesediaan membantu satu sama lain, persamaan hak manusia, dan hormat untuk martabat manusia. Orang yang melanggar prinsip-prinsip hati nurani ini akan mengalami penyesalan yang mendalam (remorse). Ia mengutuk dirinya, karena tidak mengikuti keyakinan moralnya sendiri. Menurut Kohlberg, penelitiannya telah menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang mencapai tahap keenam ini.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, dari ketiga tingkatan tersebut terdapat enam tahap perkembangan moral dengan berbagai motif. Dengan adanya perkembangan moral, seseorang akan memiliki

seseorang menjadi salah bertindak. Pada tingkat ini, seseorang berusaha mendapatkan perumusan mengenai nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan baik yang berasal dari individu atau kelompok. Dalam tingkat ini, seseorang akan mengetahui benar-salahnya tindakan yang ia lakukan. Karena hal tersebut ditentukan oleh keputusan suara hati nurani manusia sebagai individu. Pada intinya keputusan tersebut berkaitan dengan prinsip keadilan, kesamaan hak asasi, dan hormat pada harkat (nilai) manusia sebagai pribadi. Berdasarkan permasalahan yang peneliti teliti yaitu berkaitan dengan harkat dan martabat manusia sebagai pribadi yang bermoral.

Melihat perkembangan moral manusia di atas, maka tentu akan ada sebuah proses yang tidak lepas dari perkembangan moral itu sendiri. Proses yang dimaksud adalah dengan pembinaan moral. Pembinaan moral sangat penting diberikan kepada narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas

1 Surakarta agar mereka menghargai dirinya sendiri sebagai manusia yang bermoral. Dengan adanya pembinaan moral yang efektif, akan membawa perubahan sikap yang positif bagi peserta didiknya (narapidana residivis sebagai warga binaan). Sebaliknya, dengan pembinaan moral yang dinilai kurang efektif akan membawa perubahan yang negatif bagi peserta didik yang bahkan dapat melakukan penyimpangan-penyimpangan.

A.Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan tentang Moral

b. Pengertian Moral

Menurut Bambang Daroeso (1988: 22) menjelaskan pengertian moral adalah sebagai berikut:

mos

mores

yang berarti adat istiadat, kebiasaan, atau tingkah laku. Dalam bahasa Yunani moral dikenal dengan kata ethos

yang selanjutnya dikenal dengan budi pekerti. Dalam bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku baku dalam hidup.

Menurut Magnis Suseno dalam Asri Budiningsih (2008: 24) disebutkan bahwa manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari

Dalam jurnal ilmu pendidikan oleh Masganti Sit (2010: 3) dinyatakan bahwa: Kata moral selalu dipandang memiliki makna yang tumpang tindih dengan

kata akhlak, etika, budi pekerti dan nilai. Namun, pada hakekatnya ada beberapa perbedaan diantara kelima istilah ini. Akhlak menekankan perbuatan baik yang dilakukan dalam berhubungan dengan Allah, manusia, dan alam untuk mencari keridhoan Allah. Etika adalah bagian dari filsafat yang membicarakan perbuatan baik dan buruk. Budi pekerti adalah kumpulan tata krama yang dipandang baik dalam budaya tertentu. Nilai merupakan rujukan dalam menentukan keputusan dalam melakukan suatu perbuatan. Sedangkan moral adalah perbuatan baik yang mensejahterakan kehidupan manusia. Persamaan kelima istilah ini terletak pada inti pembicaraannya tentang perbuatan terpuji yang seharusnya dilakukan manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Menurut Kaelan (2004: 93) dinyatakan bahwa ajaran-ajaran ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan

Definisi lain menurut Poerwodarminta dalam Hamid Darmadi (2009:

50) mengatakan bahwa,

Dalam jurnal ilmu pendidikan oleh Halim yang mengutip para pakar ilmu-ilmu sosial dalam Sabar Budi Raharjo (2010: 233) dinyatakan bahwa akhlak atau moral mempunyai empat makna yaitu:

1) Moral adalah sekumpulan kaidah perilaku yang diterima dalam satu zaman atau sekelompok orang.

2) Moral adalah sekumpulan kaidah perilaku yang dianggap baik berdasarkan kelayakan bukan berdasarkan syarat.

3) Moral adalah teori akal tentang kebaikan dan keburukan menurut filsafat.

4) Tujuan-tujuan kehidupan yang mempunyai warna humanisme yang kental, yang tercipta dengan adanya hubungan-hubungan sosial.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, moral adalah kumpulan peraturan tentang bagaimana manusia harus bertingkah laku yang baik dalam hidup atau dengan kata lain perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik dan buruk. Moral pada dasarnya tumbuh dan berkembang dalam pergaulan dengan sesama manusia dan masyarakat, akhirnya terbentuklah moral dengan melalui tahap-tahap perkembangan.

c. Tahap-Tahap Perkembangan Moral

Menurut L. Kohlberg dalam K. Bertens (2007: 80-84) mengemukakan enam tahap perkembangan moral yang dikaitkan satu sama lain dalam tiga tingkat (levels) berturut-

Keenam tahap perkembangan moral dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). Tingkat prakonvensional Pada tingkat ini, seseorang mengakui adanya aturan-aturan yang baik dan Keenam tahap perkembangan moral dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). Tingkat prakonvensional Pada tingkat ini, seseorang mengakui adanya aturan-aturan yang baik dan

d) The instrumental relatives orientation yaitu patuh sekedar memuaskan orang lain. Perbuatan adalah baik, jika instrumen atau alat dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain.

2). Tingkat konvensional Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa, biasanya anak mulai beralih ke tingkat ini antara umur sepuluh dan tiga belas tahun. Di sini perbuatan- perbuatan mulai dinilai atas dasar norma-norma umum, kewajiban, dan otoritas yang dijunjung tinggi. Dalam tingkat ini, anak mampu mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosialnya beserta norma- normanya. Tingkat ke dua ini juga mencakup dua tahap:

c) Interpersonal concordance good boy-nice girl orientation (penyesuaian dengan kelompok dan orientasi menjadi anak manis). Dalam tahap ini, anak cenderung mengarahkan diri pada keinginan serta harapan dari para anggota keluarga atau kelompok lain (sekolah di sini tentu penting). Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan dan membantu orang lain serta disetujui oleh mereka. Anak mengambil sikap: saya adalah anak manis (good boy-nice girl) sebagaimana diharapkan oleh orang tua, guru dan sebagainya ia ingin bertingkah laku secara wajar artinya, menurut norma-norma yang berlaku. Jika ia melanggar norma-norma kelompoknya, ia merasa malu dan bersalah.

d) Law and order orientation (orientasi hukum dan ketertiban). Dalam tahap ini anak mampu menyesuaikan diri dengan otoritas kelompok. Perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya,

3). Tingkat pascakonvensional

(principled level). Pada tingkat ketiga ini, hidup moral dipandang sebagai penerimaan tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam batin. Norma-norma yang ditentukan dalam masyarakat tidak dengan sendirinya berlaku, tetapi harus dinilai atas dasar prinsip-prinsip dari kebebasan pribadi. Tingkat ketiga ini mempunyai dua tahap yaitu:

c) Social contract legalistik orientation (orientasi kontrak-sosial legalistis). Di sini disadari relativisme nilai-nilai, pendapat-pendapat pribadi, dan kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus. Disamping apa yang disetujui secara demokratis, baik buruknya tergantung pada nilai- nilai, dan pendapat pribadi. Segi hukum ditekankan tetapi diperhatikan secara khusus kemungkinan untuk mengubah hukum, asal hal itu terjadi demi kegunaan sosial.

d) Universal ethical principle orientation (orientasi prinsip etika yang universal). Dalam tahap ini, orang mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal. Pada dasarnya prinsip-prinsip ini menyangkut keadilan, kesediaan membantu satu sama lain, persamaan hak manusia, dan hormat untuk martabat manusia. Orang yang melanggar prinsip-prinsip hati nurani ini akan mengalami penyesalan yang mendalam (remorse). Ia mengutuk dirinya, karena tidak mengikuti keyakinan moralnya sendiri. Menurut Kohlberg, penelitiannya telah menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang mencapai tahap keenam ini.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, dari ketiga tingkatan tersebut terdapat enam tahap perkembangan moral dengan berbagai motif. Dengan adanya perkembangan moral, seseorang akan memiliki

seseorang menjadi salah bertindak. Pada tingkat ini, seseorang berusaha mendapatkan perumusan mengenai nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan baik yang berasal dari individu atau kelompok. Dalam tingkat ini, seseorang akan mengetahui benar-salahnya tindakan yang ia lakukan. Karena hal tersebut ditentukan oleh keputusan suara hati nurani manusia sebagai individu. Pada intinya keputusan tersebut berkaitan dengan prinsip keadilan, kesamaan hak asasi, dan hormat pada harkat (nilai) manusia sebagai pribadi. Berdasarkan permasalahan yang peneliti teliti yaitu berkaitan dengan harkat dan martabat manusia sebagai pribadi yang bermoral.

Melihat perkembangan moral manusia di atas, maka tentu akan ada sebuah proses yang tidak lepas dari perkembangan moral itu sendiri. Proses yang dimaksud adalah dengan pembinaan moral. Pembinaan moral sangat penting diberikan kepada narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas

1 Surakarta agar mereka menghargai dirinya sendiri sebagai manusia yang bermoral. Dengan adanya pembinaan moral yang efektif, akan membawa perubahan sikap yang positif bagi peserta didiknya (narapidana residivis sebagai warga binaan). Sebaliknya, dengan pembinaan moral yang dinilai kurang efektif akan membawa perubahan yang negatif bagi peserta didik yang bahkan dapat melakukan penyimpangan-penyimpangan.

d. Pribadi yang bermoral

Ronal Durka menyebutkan tentang ciri-ciri orang yang matang secara moral (morally nature person) adalah sebagai berikut:

1) Mampu memperbaiki situasi moral dan memposisikan diri atas perbuatan yang telah disepakati sehingga mereka akan bertindak sesuai dengan norma dalam masyarakat.

2) Mengetahui perbuatan mana yang baik dan buruk sehingga seseorang

4) Mengetahui perbuatan yang paling baik tentang apa yang akan atau seharusnya dilakukan.

5) Kemampuan untuk mengolah sebab-sebab moral (Hamid Darmadi, 2009: 30-31).

Kesimpulan dari uraian di atas adalah bahwa seseorang yang matang secara moral adalah orang yang bertindak sesuai dengan aturan yang ada. Dalam hal ini, berarti orang tersebut sudah menjadi pribadi yang terdidik secara moral.

Menurut Cheppy Haricahyono (1988: 110-111) disebutkan bahwa, Pribadi yang terdidik secara moral adalah seseorang yang belajar (di sekolah atau dimanapun juga) untuk hidup dalam satu cara yang merefleksikan kesan dan praktik kewajiban untuk mengembangkan norma-norma dan cita-cita

Higgins dan Gilingan dalam Hamid Darmadi (2009: 31) dikemukakan bahwa: Ciri orang bermoral ialah selalu merasakan adanya moral basesand

(tuntutan dan keharusan moral) untuk selalu bertanggung jawab terhadap atau akan adanya yaitu 1) Needs and welfare of the individual and others,

2) The involpment and implication of the self and consequences of outher,

3) Intrinsik value of sosial relationships.