4. Pembahasan Hubungan Nilai Spirometri dengan Lean Body Mass Index

dimana: y = Lean Body Mass Index LBMI x = VEP 1 sedemikian sehingga diperoleh persamaan: Lean Body Mass Index = 15,006 + 0.046 x VEP 1 Dengan adanya persamaan ini, maka dapat dilakukan prediksi Lean Body Mass Index seorang penderita PPOK berdasarkan nilai spirometri VEP 1 -nya. Untuk menilai layak tidaknya persamaan tersebut digunakan, dilihat dari nilai p pada uji ANOVA. Dikatakan layak jika nilai p0.05 Dahlan, 2011. Pada uji ANOVA didapatkan nilai p pada penelitian ini 0.037 sehingga persamaan ini layak digunakan.

5. 4. Pembahasan

Penelitian tentang PPOK semakin berkembang, seiring berkembangnya wacana bahwa PPOK yang pada awalnya merupakan suatu penyakit saluran napas yang proses inflamasinya merupakan proses self limiting menjadi suatu proses inflamasi sistemik. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa pada pasien PPOK sering ditemukan berbagai kelainan klinis lain seperti abnormalitas metabolik, penurunan berat badan, kelemahan otot dan kakhesia, penyakit kardiovaskular atherotrombosis, penyakit jantung iskemik, stroke dan penyakit jantung koroner, depresi, osteoporosis, dan anemia Rennard, 2007. Kelainan gizi, seperti perubahan dalam asupan kalori, tingkat metabolisme basal, dan komposisi tubuh merupakan hal yang umum terjadi pada pasien PPOK. Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan terjadi pada sekitar 50 dari pasien dengan PPOK yang berat dan sangat berat, serta sekitar 10 sampai 15 dari pasien dengan derajat PPOK ringan sampai sedang. Mekanisme pasti yang mendasari penurunan berat badan pada pasien PPOK sebenarnya masih belum jelas. Berbagai penelitian membuktikan penurunan berat badan pada pasien PPOK pada dasarnya diperantarai oleh kakhesia yang dialaminya, sehingga massa otot Universitas Sumatera Utara akan lebih berkurang pada pasien PPOK daripada massa lemaknya Ischaki et al., 2007. Penelitian lain sebaliknya justru membuktikan tidak adanya penurunan fat free mass index atau massa bebas lemak secara signifikan pada pasien PPOK Silvia et al., 2008 sehingga peran muscle wasting dalam penurunan berat badan pada pasien PPOK masih belum jelas. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menemukan hubungan antara lean body mass index atau massa tubuh bebas lemak dengan keparahan penyakit pada pasien PPOK. Sebanyak 42 subjek PPOK stabil 50-79 tahun disertakan dalam penelitian yang berlangsung dari 7 Juli-11 Agustus 2011 di Rumah Sakit Tembakau Deli Medan. Jika ditinjau dari Indeks Massa Tubuhnya, dari 42 subjek yang menjadi sampel penelitian terdapat hanya 42.9 persen diantaranya atau sebanyak 18 orang yang termasuk kategori normal, sementara subjek yang termasuk kategori underweight mencapai sekitar 35.7 dari total sampel atau sebanyak 15 orang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dourado et al. 2006 bahwa prevalensi malnutrisi pada pasien PPOK bervariasi sekitar 26 sampai dengan 47 dari seluruh pasien PPOK. Terdapat beberapa hal yang diduga menimbulkan kekurangan gizi pada pasien dengan PPOK. Namun, mekanisme yang pasti terlibat belum diketahui. Ketidakseimbangan antara asupan energi dan pengeluaran energi, karena asupan berkurang atau pengeluaran yang meningkat, tampaknya menjadi faktor yang terlibat dalam kebanyakan kasus Dourado et al., 2006. Faktor lain yang berperan penting juga kakhesia pada pasien PPOK Wagner, 2008. Kakhesia sendiri didefinisikan sebagai lean body mass index LBMI 16 kgm 2 pada laki-laki dan 17 kgm 2 pada perempuan Schols et al., 2005. Dengan demikian dari ke-42 subjek pada penelitian ini terdapat 35.7 persen yang termasuk dalam kelompok kakhesia. Kembali hal ini sesuai dengan pernyataan Wagner 2006 bahwa prevalensi kakhesia pada pasien PPOK bervariasi antara 20-40 dari seluruh pasien PPOK. Sebagaimana disebutkan oleh Wagner 2008 terdapat berbagai mekanisme yang terkait dengan timbulnya kakhesia pada pasien PPOK diantaranya seperti peningkatan penggunaan energi saat istirahat, dimana pada pasien PPOK, konsumsi energi basal Resting Energy Expenditure-nya Universitas Sumatera Utara dilaporkan 15-20 lebih tinggi daripada orang sehat, dan peningkatan kebutuhan energi untuk bernapas normal diduga menjadi kunci penyebabnya Ezzel dan Jensen, 2000. Selain itu, berbagai hal seperti atropi otot yang tidak digunakan, inflamasi sistemik, peningkatan Reactive Oxygen Species oleh sitokin-sitokin proinflamasi memainkan peranan penting dalam timbulnya kakhesia pada pasien PPOK Wagner et al., 2008 Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh keparahan penyakit dengan penurunan status nutrisional pasien PPOK, dilakukan studi korelasional dalam penelitian ini. Untuk mengetahui hubungan derajat keparahan penyakit dengan kejadian malnutrisi pada pasien PPOK dilakukan dengan menilai korelasi VEP 1 dan IMT pada seluruh subjek. Sementara untuk mengetahui pengaruh derajat keparahan penyakit terhadap timbulnya kakhesia serta penurunan massa bebas lemak, digunakan korelasi VEP 1 dengan LBMI lean body mass index. Uji korelasi VEP 1 dengan dengan IMT menunjukkan tidak adanya korelasi yang bermakna diantara kedua kelompok tersebut p0.05. Dengan kata lain, tidak ada hubungan antara derajat keparahan penyakit PPOK dengan Indeks Massa Tubuh. Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian Ischaki et al 2007 yang menunjukkan masih terdapat hubungan antara nilai VEP 1 dengan nilai IMT pada pasien PPOK meskipun nilai korelasi yang dihasilkan sangat lemah yakni dengan nilai r=0.07 dan p=0.49. Hasil yang sama dengan penelitian Ischaki et al juga ditemukan pada penelitian Hansen et al 2001 yang menunjukkan nilai korelasi r=0.18 dengan p=0.001 pada penelitiannya. Beberapa hal yang dapat menimbulkan perbedaan nilai koefisien korelasi r dalam penelitian ini diantaranya: a. Jumlah sampel pada penelitian ini hanya terbatas sebesar 42 orang mengingat keterbatasan waktu dan populasi yang akan diteliti. Sementara pada penelitian Ischaki et al 2007 digunakan sampel sebanyak 100 pasien PPOK stabil, dan pada penelitian Hansen et al digunakan 1586 pasien PPOK. b. Sampel pada penelitian ini terdiri dari 42 penderita PPOK stabil, dimana 19 orang 45.2 diantaranya merupakan penderita PPOK berat; 13 orang 31 penderita PPOK sangat berat; 10 orang 23.8 penderita PPOK sedang, namun tidak terdapat penderita PPOK yang masih dalam derajat ringan. Hal Universitas Sumatera Utara ini diperkirakan akan mempengaruhi nilai hasil penelitian mengingat subjek PPOK stadium ringan sebagian besar masih asimtomatik termasuk dalam hal belum terdapatnya penurunan berat badan secara bermakna akibat penyakit PPOK yang dideritanya, sementara pada penelitian Ischaki terdapat masing- masing 20 sampel pada 4 kelompok berdasarkan derajat penyakitnya, ditambah dengan 1 kelompok kontrol yang tidak menderita PPOK. c. Perbedaan proporsi tubuh pada sampel diduga juga mempengaruhi hasil penelitian. Semua subjek dalam penelitian ini adalah penduduk asli Indonesia dan termasuk Ras Mongoloid. Sementara itu, subjek penelitian pada penelitian Ischaki et al 2007 merupakan penduduk Amerika. Begitu pula dengan penelitian Hansen et al 2001 yang dilaksanakan di Copenhagen, Denmark. Pada dasarnya orang Asia memiliki IMT yang lebih rendah daripada orang Barat dan memiliki lemak subkutan yang lebih tebal daripada orang Barat Wang, 1994. Sementara itu, dari hasil korelasi nilai spirometri VEP 1 dengan lean body mass index didapatkan hubungan yang signifikan, dengan nilai korelasi r=0.323 dengan p=0.037. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Weni et al 2008 yang juga menemukan korelasi bermakna antara LBMI dengan VEP 1 dengan nilai r=0.367; p=0.010. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa lean body mass index pada dasarnya lebih menggambarkan variabel keparahan penyakit daripada Indeks Massa Tubuh, sebagaimana yang disebutkan oleh Ischaki et al 2007. Adapun kekuatan hubungan antara kedua variabel tersebut dinyatakan dengan notasi r koefisien korelasi. Dalam penelitian ini didapati nilai r = 0,323 yang berarti kekuatan hubungan antara VEP 1 dengan LBMI adalah rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Weni et al 2008, namun berbeda dengan penelitian Ischaki et al 2001 yang mendapatkan nilai r = 0.424 p value = 0,001 atau dengan kata lain hubungan antara kedua variabel adalah sedang. Selain dari jumlah sampel yang berbeda, faktor ras kembali diduga berperan dalam menimbulkan perbedaan nilai koefisien korelasi r yang didapatkan pada penelitian ini dengan penelitian Ischaki et al 2007. Subjek penelitian ini Universitas Sumatera Utara merupakan penduduk asli Indonesia, sementara penelitian Ischaki et al dilakukan pada penduduk Amerika. Perbedaan komposisi tubuh antara orang Asia dengan Barat dapat mempengaruhi hasil penelitian yang didapat. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa penelitian sejenis yang sebelumnya pernah dilakukan di Indonesia oleh Weni et al 2008 juga mendapatkan korelasi antara VEP 1 dan LBMI yang rendah r=0.367; p=0.010. Selain hal tersebut, masih terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, diantaranya sebagai berikut: a. Pengukuran lean body mass index pada penelitian ini masih menggunakan perhitungan antopometrik, sehingga faktor berat badan dan tinggi badan masih mempengaruhi nilai lean body mass index yang dihasilkan. Sementara pada penelitian Ischaki et al., perhitungan lean body mass index sudah menggunakan gold standard pengukuran lean body mass index yaitu bioelectrical impedance analysis. b. Penelitian ini dilakukan secara cross sectional mengingat keterbatasan waktu dimana pengumpulan data penelitian hanya dalam satu kali pengamatan. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, akan lebih baik bila dilakukan penelitian secara cohort dimana tiap-tiap sampel diikuti seiring dengan perjalanan penyakitnya. Dengan metode ini, akan didapati hubungan yang lebih akurat antara perjalanan penyakit PPOK dengan lean body mass index maupun Indeks Massa Tubuhnya. c. Data nilai spirometri dalam penelitian ini menggunakan data rekam medik, sehingga kurang mewakili nilai spirometri pada saat dilakukan penelitian. Namun menimbang perburukan nilai spirometri pada pasien PPOK berjalan sangat lambat dan berlangsung kronik, diasumsikan hasil spirometri dalam data rekam medik dapat mewakili nilai spirometri subjek penelitian. d. Beberapa variasi sampel seperti usia dan frekuensi olahraga tidak dapat disamakan pada penelitian ini, sementara hal tersebut dapat pula mempengaruhi lean body mass seseorang. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, akan lebih baik bila sampel yang dipilih berusia sama atau pada Universitas Sumatera Utara rentang usia yang lebih sempit, selain itu frekuensi olahraga subjek perlu juga diperhatikan dalam pemilihan sampel. Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara nilai spirometri VEP 1 sebagai indeks keparahan penyakit seorang pasien PPOK dengan lean body mass index-nya. Berkebalikan dengan hal tersebut, ternyata tidak terdapat hubungan antara nilai spirometri VEP 1 seorang pasien PPOK dengan Indeks Massa Tubuhnya. Sebagai massa tubuh bebas lemak, lean body mass index pada dasarnya lebih mencerminkan massa otot seorang pasien Ischaki et al., 2007. Hal ini patut menjadi perhatian mengingat terapi rehabilitasi otot maupun olahraga masih belum menjadi baku tetap penatalaksanaan pasien PPOK sampai sekarang. Sampai sekarang penderita PPOK yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal, namun masih disertai: gejala pernafasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat, dan kualitas hidup yang menurun PDPI, 2003. Jika mengingat terdapatnya korelasi positif antara VEP 1 dan LBMI, yang artinya semakin parah derajat obstruksi saluran pernapasan seorang pasien PPOK, semakin berkurang pula massa tubuh bebas lemaknya maka terapi rehabilitasi seyogyanya sudah dapat dilakukan bahkan sewaktu pasien PPOK masih dalam derajat ringan sebagai upaya pencegahan kakhesia pada pasien PPOK nantinya. Banyak terapi yang dapat diterapkan sebagai upaya pencegahan dan penatalaksanaan kakhesia pada pasien PPOK. Terapi nutrisi, olahraga, obat anti inflamasi dan antioksidan, serta beberapa hormon anabolik seperti growth hormone dan insulin-like growth factor merupakan beberapa contoh terapi yang bisa digunakan pada pasien PPOK baik yang sudah maupun yang belum mengalami kakhesia Wagner, 2008. Selain itu, berbagai program rehabilitasi fisik seperti fisioterapi berupa latihan pernapasan serta fisioterapi otot dapat menjadi pilihan bagi pasien-pasien PPOK dengan kakhesia berat yang sudah mengalami kesulitan melakukan aktivitas fisik ataupun pada mereka yang sudah mengalami disabilitas fisik. Universitas Sumatera Utara BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6. 1. Kesimpulan