BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
non-reversibel atau reversibel parsial. PPOK merupakan salah satu penyumbang kesakitan dan kematian di dunia yang cukup tinggi. Secara epidemiologi, PPOK
merupakan penyebab kematian keempat tertinggi di dunia dan diperkirakan akan menjadi penyebab kematian ke-3 di dunia pada tahun 2020 ATS ERS, 2004.
Pada Tahun 2004 diestimasi terdapat 64 juta penderita PPOK di seluruh dunia, dan lebih dari 3 jutanya meninggal pada tahun 2005, setara dengan 5 dari total
kematian global di tahun tersebut. Hampir 90 dari seluruh kematian karena PPOK terjadi di negara miskin dan berkembang WHO, 2008.
Di Indonesia sendiri, tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga SKRT 1992 menunjukkan angka
kematian karena asma, bronkitis kronik, dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Hasil survei penyakit tidak
menular oleh Dirjen PPM PL di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan pada tahun
2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan 35, diikuti asma bronkial 33, kanker paru 30 dan lainnya
2 Depkes RI, 2004. Berbeda dengan asma, penyakit PPOK menyebabkan obstruksi saluran
pernapasan yang non-reversibel. Pada penderita PPOK terdapat gangguan mekanis dan pertukaran gas di sistem pernapasan dan mengakibatkan menurunnya
aktivitas fisik pada kehidupan sehari-hari. Obstruksi saluran napas yang kronis mengakibatkan volume udara keluar dan masuk tidak seimbang sehingga terjadi
air trapping. Kondisi obstruksi saluran pernapasan yang terus menerus ini akan menyebabkan diafragma mendatar, gangguan kontraksi saluran pernapasan
Universitas Sumatera Utara
sehingga fungsinya sebagai otot utama pernapasan berkurang. Sebagai kompensasinya, terjadi pemakaian terus menerus otot-otot interkostal dan otot
inspirasi tambahan sehingga menimbulkan gejala sesak napas pada pasien PPOK Agustin Yunus, 2008.
Selain gangguan saluran pernapasan, penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit sistemik yang mempunyai hubungan antara keterlibatan
metabolik, otot rangka, dan genetik molekular. Inflamasi sistemik dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular merupakan berbagai manifestasi
sistemik yang dapat ditemukan pada penderita PPOK. Selain itu, pasien PPOK juga sering mengalami penurunan berat badan. Kehilangan massa otot diduga
merupakan inti permasalahan dari penurunan berat badan tersebut sementara kehilangan massa lemak diperkirakan mendapat porsi yang lebih kecil Martua,
2010. Setengah dari penderita PPOK ditemukan akan mengalami penurunan massa otot, yang pada akhirnya juga akan menimbulkan penurunan berat badan
Khader, 2008. Dengan bertambah beratnya penyakit, penderita PPOK akan kehilangan banyak otot, khususnya otot paha dan lengan atas. Selanjutnya
penderita kehilangan kekuatan latihan dan mengeluh lemah, sesak napas, dan berkurang aktifitas Sin Man, 2006. Penelitian membuktikan adanya
penurunan massa otot signifikan, kelemahan otot pernapasan, dan penurunan kekuatan otot ekstremitas pada pasien PPOK dibandingkan individu yang sehat
Silvia et al., 2008. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, terapi rehabilitasi otot seharusnya mendapat porsi yang lebih penting dalam terapi dasar pada pasien
PPOK. Jika benar adanya bahwa pasien-pasien PPOK akan mengalami penurunan massa otot seiring dengan perjalanan penyakitnya, maka terapi rehabilitasi otot
semenjak dini tentunya dapat mencegah penurunan kualitas hidup pada pasien PPOK nantinya akibat dari disfungsi otot yang dialaminya. Namun begitupun,
sampai sekarang penderita PPOK yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal, namun masih
disertai: gejala pernafasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat, dan kualitas hidup yang menurun PDPI, 2003.
Universitas Sumatera Utara
Dalam penelitian sebelumnya telah terbukti penurunan indeks massa tubuh menjadi faktor prognostik negatif berdasarkan derajat disfungsi saluran
pernapasannya, yang artinya semakin berat disfungsi saluran pernapasan pada seorang pasien PPOK maka indeks massa tubuhnya akan semakin berkurang pula
Vestbo et al., 2006. Namun menurut penelitian terbaru, nilai lean body mass index atau disebut juga fat free mass index lebih tepat digunakan sebagai variabel
keparahan penyakit pada PPOK Ischaki et al., 2007. Lean body mass adalah berat massa tubuh tanpa lemak storage lipid. Sementara lean body mass index
adalah distribusi lean body mass per m
2
tinggi badan Ischaki et al., 2007. Dengan mempertimbangkan kehilangan massa otot yang merupakan penyebab
utama penurunan berat badan, maka nilai lean body mass index dapat menjadi prediktor yang lebih tepat daripada indeks massa tubuh dalam mengukur
kehilangan massa otot pada pasien-pasien PPOK Ischaki et al., 2007. Sejalan dengan hal tersebut, berbagai penelitian sebelumnya telah
membuktikan bahwa pada pasien PPOK sering didapati penurunan lean body mass. Selain itu, beberapa hasil penelitian juga melaporkan adanya hubungan
antara derajat keparahan penyakit yang diukur dengan alat spirometri pada pasien PPOK dengan lean body mass index-nya Schols et al., 2005; Ischaki et al., 2007.
Namun demikian, masih terdapat kontroversi dimana masih terdapat sejumlah penelitian yang tidak menemukan adanya hubungan antara nilai spirometri pada
pasien PPOK dengan lean body mass index-nya Silvia et al., 2008. Mempertimbangkan hal tersebut, maka masih diperlukan studi lanjutan untuk
menguji hubungan antara derajat keparahan penyakit dengan lean body mass index pada pasien PPOK. Atas dasar inilah, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian untuk mengetahui apakah ada hubungan antara nilai spirometri dengan nilai lean body mass index pada pasien PPOK.
1.2. Rumusan Masalah