Rumusan Masalah Infeksi Status sosioekonomi. Kerangka Konsep Penelitian Alat ukur Hipotesis Jenis Penelitian

Dalam penelitian sebelumnya telah terbukti penurunan indeks massa tubuh menjadi faktor prognostik negatif berdasarkan derajat disfungsi saluran pernapasannya, yang artinya semakin berat disfungsi saluran pernapasan pada seorang pasien PPOK maka indeks massa tubuhnya akan semakin berkurang pula Vestbo et al., 2006. Namun menurut penelitian terbaru, nilai lean body mass index atau disebut juga fat free mass index lebih tepat digunakan sebagai variabel keparahan penyakit pada PPOK Ischaki et al., 2007. Lean body mass adalah berat massa tubuh tanpa lemak storage lipid. Sementara lean body mass index adalah distribusi lean body mass per m 2 tinggi badan Ischaki et al., 2007. Dengan mempertimbangkan kehilangan massa otot yang merupakan penyebab utama penurunan berat badan, maka nilai lean body mass index dapat menjadi prediktor yang lebih tepat daripada indeks massa tubuh dalam mengukur kehilangan massa otot pada pasien-pasien PPOK Ischaki et al., 2007. Sejalan dengan hal tersebut, berbagai penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa pada pasien PPOK sering didapati penurunan lean body mass. Selain itu, beberapa hasil penelitian juga melaporkan adanya hubungan antara derajat keparahan penyakit yang diukur dengan alat spirometri pada pasien PPOK dengan lean body mass index-nya Schols et al., 2005; Ischaki et al., 2007. Namun demikian, masih terdapat kontroversi dimana masih terdapat sejumlah penelitian yang tidak menemukan adanya hubungan antara nilai spirometri pada pasien PPOK dengan lean body mass index-nya Silvia et al., 2008. Mempertimbangkan hal tersebut, maka masih diperlukan studi lanjutan untuk menguji hubungan antara derajat keparahan penyakit dengan lean body mass index pada pasien PPOK. Atas dasar inilah, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui apakah ada hubungan antara nilai spirometri dengan nilai lean body mass index pada pasien PPOK.

1.2. Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Universitas Sumatera Utara Adakah hubungan antara nilai spirometri dengan lean body mass index pada pasien penyakit paru obstruktif kronik? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara antara nilai spirometri dengan lean body mass index pada pasien penyakit paru obstruktif kronik.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui hubungan antara nilai faal paru VEP 1 dengan lean body mass index pada pasien penyakit paru obstruktif kronik. 2. Mengetahui hubungan antara nilai faal paru VEP 1 dengan indeks massa tubuh pada pasien penyakit paru obstruktif kronik.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam: 1. Memberikan informasi tentang hubungan antara nilai spirometri dengan nilai lean body mass index pada pasien penyakit paru obstruktif kronik agar dapat digunakan sebagai dasar penentuan terapi oleh praktisi medis, terutama terkait rehabilitasi otot dini sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup pasien penyakit paru obstruktif kronik. 2. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan memperkokoh landasan teoritis ilmu kedokteran khususnya di bidang penyakit paru obstruktif kronik. 3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang ingin menggali dan memperdalam lebih jauh topik-topik tentang penyakit paru obstruktif kronik. Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Penyakit paru obstruktif kronis

2.1.1. Definisi

Menurut PDPI 2003, PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif non-reversibel atau reversibel parsial. Sementara menurut Wilson 2006, Penyakit Paru Obstruktif Kronik PPOK merupakan suatu istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.

2.1.2. Faktor Resiko

a. Faktor pejamu host Faktor pejamu host meliputi faktor genetik. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa-1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor Depkes RI, 2008. b. Perilaku kebiasaan merokok Kebiasaan merokok merupakan penyebab yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya PDPI, 2003. c. Faktor lingkungan polusi udara Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan indoor seperti asap rokok, asap kompor, asap kayu bakar, asap obat nyamuk bakar, dan lain-lain; serta polusi di luar ruangan outdoor, seperti gas buangan industri, gas buangan kendaraan bermotor, debu jalanan, kebakaran hutan, gunung meletus, dan polusi di tempat kerja bahan kimia, debuzat iritasi, dan gas beracun. Peran polusi luar ruangan outdoor polution masih Universitas Sumatera Utara belum jelas tapi lebih kecil dibandingkan asap rokok Parhusip, 2008.

d. Infeksi

Riwayat infeksi berat semasa anak–anak berhubungan dengan penurunan faal paru dan meningkatkan gangguan pernapasan saat dewasa Depkes RI, 2008.

e. Status sosioekonomi.

Status sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada rumah tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi Depkes RI, 2008.

f. Komorbiditas

Penyakit penyerta, khususnya asma dikatakan merupakan faktor resiko terjadinya PPOK, dengan penderita asma memiliki resiko 12 kali lebih tinggi Parhusip, 2008.

2.1.3. Patogenesis

Ada dua faktor yang berperan penting dalam patogenesis PPOK yaitu faktor endogen herediter dan eksogen misalnya iritasi karena asap rokok, bahan-bahan polutan dan infeksi paru Amin, 1996. Secara umum, patogenesis PPOK dapat melibatkan beberapa mekanisme, antara lain: A. Ketidakseimbangan protease dan anti protease Jaringan ikat adalah bahan utama yang menyangga parenkim paru. Enzim proteolitik protease akan merusak serat-serat elastin sehingga menimbulkan kelemahan dinding saluran pernapasan dengan akibat melebarnya saluran pernapasan yang lazim disebut sebagai emfisema. Enzim proteolitik tersebut pada orang normal berada dalam keadaan keseimbangan dengan faktor-faktor anti proteolitik antiprotease, dengan demikian kerusakan jaringan paru tidak akan terjadi. Akan tetapi, pada keadaan yang menyebabkan aktivitas proteolitik yang berlebihan atau bila aktivitias antiproteolitik berkurang, maka akan Universitas Sumatera Utara terjadi destruksi jaringan paru. Kedua proses ini dapat merupakan akibat proses inflamasi atau sebagai pengaruh lingkungan komponen oksidatif rokok atau genetik seperti defisiensi alfa-1 antitripsin. Amin, 1996. B. Hubungan rokok dengan kejadian PPOK Pada perokok, neutrofil dan makrofag berkumpul di alveolus. Mekanisme peradangan masih belum sepenuhnya jelas, tetapi mungkin melibatkan efek kemoatraktan langsung dari nikotin serta efek spesies oksigen reaktif yang terdapat di dalam asap rokok. Hal ini mengaktifkan transkripsi nuclear factor- kB NF- kB , yang mengaktifkan gen untuk faktor nekrosis tumor TNF dan interleukin-8 IL-8. Hal ini kemudian menarik dan mengaktifkan neutrofil. Neutrofil yang berkumpul mengalami pengaktivan dan membebaskan granulanya, yang kaya akan beragam protease sel elastase neutrofil, proteinase 3, dan katepsin G sehingga terjadi kerusakan jaringan. Selain itu, merokok juga meningkatkan aktivitas elastase di makrofag dan memperpanjang ketidakseimbangan okidan-antioksidan Robbins et al., 2007. C. Hubungan antara inflamasi paru dengan PPOK Berdasarkan penelitian histopatologi, sebagian besar inflamasi pada PPOK terjadi di bronkiolus dan parenkim paru. Obstruksi bronkiolus disebabkan oleh fibrosis dan infiltrasi makrofag dan limfosit T, dengan didominasi oleh limfosit T CD8 + . Hasil biopsi bronkus memperlihatkan hasil yang sama, yaitu infiltrasi oleh peningkatan makrofag dan neutrofil secara nyata. Neutrofil dan makrofag melepaskan berbagai proteinase yang merusak jaringan ikat parenkim paru menyebabkan terjadi emfisema dan merangsang sekresi mukus Prajoso, 2004. Selain itu, pada pasien PPOK juga dijumpai peningkatan neutrofil, makrofag, dan sel-sel dendritik di beberapa tempat di paru Currie, 2011. Universitas Sumatera Utara D. Stress oksidatif Sumber peningkatan oksidan termasuk asap rokok dan spesies oksigen dan nitrogen reaktif yang dilepaskan dari sel-sel inflamasi. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan stress oksidatif yang dapat menyebabkan inaktivasi dari antiproteinase dan stimulasi produksi mukus Currie, 2011.

2.1.4. Diagnosis

Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang foto toraks, spirometri dan lain-lain. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat PPOK ringan, PPOK sedang, PPOK berat, dan PPOK sangat berat Depkes RI, 2008 1 Anamnesis: a Ada faktor risiko 1. Usia pertengahan 2. Riwayat pajanan a. Asap rokok b. Polusi udara c. Polusi tempat kerja b Gejala: Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan. 1. Batuk kronik Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan Universitas Sumatera Utara 2. Berdahak kronik Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk 3. Sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas 2 Pemeriksaan fisik: Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama pada PPOK ringan, karena belum terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat bahkan dapat terlihat perubahan cara bernapas dan perubahan bentuk anatomi toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut: Inspeksi a Bentuk dada: barrel chest dada seperti tong b Terdapat cara bernapas pursed lips breathing seperti orang meniup c Terlihat penggunaan dan hipertrofi pembesaran otot bantu nafas d Pelebaran sela iga Perkusi a Hipersonor Auskultasi a Fremitus melemah b Suara nafas vesikuler melemah atau normal c Ekspirasi memanjang d Mengi biasanya timbul pada eksaserbasi 3 Pemeriksaan penunjang: Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain: a Radiologi foto toraks b Spirometri c Laboratorium darah rutin timbulnya polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik Universitas Sumatera Utara d Analisa gas darah e Mikrobiologi sputum diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi eksaserbasi Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan, tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien. Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan: a Paru hiperinflasi atau hiperlusen b Diafragma mendatar c Corakan bronkovaskuler meningkat d Bulla e Jantung pendulum Penegakan diagnosis PPOK dapat secara klinis dilaksanakan di puskesmas atau rumah sakit tanpa menggunakan fasilitas spirometri karena ketidaktersediaan alat. Sedangkan penegakkan diagnosis dan penentuan klasifikasi derajat PPOK berdasarkan ketentuan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia PDPIGOLD, harus menggunakan spirometri Depkes RI, 2008.

2.1.5. Klasifikasi

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease GOLD, penyakit paru obstruktif kronis PPOK dibagi atas 4 derajat berdasarkan tingkat keparahannya, yakni: 1. Derajat 1 PPOK ringan Dengan atau tanpa gejala klinis batuk dan produksi sputum. Keterbatasan aliran udara ringan VEP 1 KVP 70; VEP 1 80 Prediksi. Pada derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal. Universitas Sumatera Utara 2. Derajat 2 PPOK sedang Semakin memburuknya hambatan aliran udara VEP 1 KVP 70; 50 VEP 1 80, disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam tingkat ini, pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya. 3. Derajat 3 PPOK berat Ditandai dengan keterbatasan hambatan aliran udara yang semakin memburuk VEP 1 KVP 70; 30 VEP 1 50 prediksi. Terjadi sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan, dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien. 4. Derajat 4 PPOK sangat berat Keterbatasan hambatan aliran udara yang berat VEP1 KVP 70; VEP 1 30 prediksi atau VEP 1 50 prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan. 2. 2. Nilai spirometri Spirometri adalah alat untuk mengukur faal paru dengan mengukur volume udara yang dapat dikeluarkan dari paru-paru sesudah inspirasi maksimal. Spirometri merupakan baku emas dalam mendiagnosis penyakit paru obstruktif kronik PPOK dan dalam menilai derajat keparahan penyakit pada PPOK Currie, 2011. Dalam mendiagnosis PPOK, yang dinilai adalah kapasitas vital paru KVP, volume ekspirasi paksa detik pertama VEP 1 dan rasio VEP 1 KVP. Hasil spirometri dinyatakan dalam liter dan prediksi didasarkan atas jenis kelamin, umur, ras, berat badan dan tinggi badan. Kapasitas vital paru KVP adalah volume maksimal udara yang dihembuskan secara paksa setelah inhalasi maksimal. Volume ekspirasi paksa detik pertama VEP 1 adalah volume udara yang dapat dikeluarkan dalam waktu 1 detik pertama dengan ekspirasi paksa kuat dan cepat setelah inspirasi maksimal. Nilai VEP 1 prediksi dinyatakan dalam persen , dan dihitung secara otomatis oleh spirometri digital Prajoso, 2004. Universitas Sumatera Utara Untuk menegakkan diagnosis PPOK, nilai volume ekspirasi paksa dalam 1 detik pertama VEP 1 kapasitas vital paksa KVP harus dibawah 70 dan VEP 1 80 dari prediksi. Jika VEP 1 adalah ≥ 80 dari prediksi, diagnosis PPOK hanya dibuat dengan mempertimbangkan adanya gejala pernafasan yang khas, misalnya adanya sesak napas atau batuk yang progresif dan non-reversibel Currie, 2011.

2. 3. Lean body mass index

Lean body mass index adalah distribusi lean body mass per m 2 tinggi badan yang dihitung dengan formulasi lean body mass dibagi kuadrat tinggi badan m 2 Ischaki et al., 2007. Sementara lean body mass adalah berat massa tubuh tanpa lemak cadangan storage lipid Schols et al., 2005. Pada dasarnya, massa tubuh total dapat dibagi 2 yaitu massa lemak dan massa tubuh bebas lemak fat free massFFM. FFM mencakup massa otot, tulang, organ vital dan cairan ekstraselular. Secara teknis, LBM berbeda dengan FFM karena kandungan lipid dalam membran sel, sistem saraf pusat dan sumsum tulang masih disertakan dalam LBM, tapi tidak dalam FFM. Namun begitupun, kandungan lemak dalam kompartemen-kompartemen tersebut hanya mencakup sebagian kecil dari massa tubuh total 3 pada pria dan 5 pada wanita, sehingga dalam klinisnya istilah LBM dan FFM dapat dianggap sama Janmahasatian et al., 2005. Lean body mass dapat diukur dengan skin-fold anthropometry, bioimpedance analysis, dan dual- energy X-ray absorptiometry DXA Hallin, 2009. Penggunaan skin-fold, BIA atau bahkan DXA untuk mengukur LBM terlalu rumit untuk praktek klinis sehari-hari. Berbagai formula sudah divalidasi untuk menghitung LBM, seperti rumus James 1976 dan rumus Janmahasatian et al. 2005. Salah satu perhitungan yang banyak digunakan secara luas adalah rumus James 1976 Hallynck et al., 1980. Universitas Sumatera Utara Adapun rumus James itu adalah sebagai berikut: LBM laki-laki = 1. 10 x BB - 128 x BB 2 TB 2 LBM perempuan = 1.07 x BB - 148 x BB 2 TB 2 dimana: LBM = lean body mass dalam kg BB=berat badan dalam kg TB= tinggi badan dalam cm Perhitungan LBM dengan rumus James mempunyai kelemahan pada orang berat badan yang berlebihan Janmahasatian et al., 2005. Perhitungan dengan rumus James menunjukkan adanya distribusi nilai yang membentuk kurva parabola inversi, yang berarti bahwa pada titik berat badan tertentu critical weight, nilai lean body mass akan mulai berkurang Colla et al., 2010, bahkan mencapai negatif Han et al., 2007. Untuk mengatasi kelemahan rumus James, suatu perhitungan LBM baru diperkenalkan oleh Janmahasatian pada tahun 2005. Adapun rumus dari Janmahasatian itu adalah sebagai berikut: LBM laki-laki = 9270 x BB kg 6680 + 216 x IMT kgm 2 LBM wanita = 9270 x BB kg 8780 + 244 x IMT kgm 2 Sementara IMT adalah indeks massa tubuh yang memiliki formula berat badan kg dibagi kuadrat tinggi badan m 2 . Distribusi nilai LBM dengan rumus Janmahasatian et al. 2005 pada kurva menunjukkan nilai yang konsisten terhadap peninggian berat badan, sedangkan pada rumus James ditunjukkan adanya kurva yang membentuk parabola Colla et al., 2010. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.1. Perbandingan hasil perhitungan LBM menggunakan rumus James dan Janmahasatian Colla et al., 2010. Mitchell 2009 melakukan studi untuk menyelidiki kegunaan dari rumus lean body mass Janmahasatian et al. pada populasi lansia 65 tahun. Hasilnya menunjukkan rumus ini dapat menjadi alat yang tepat untuk menghitung lean body mass dalam keadaan DXA tidak tersedia. Janmahasatian 2005 sebelumnya juga telah melakukan studi validasi terhadap penggunaan rumus ini. Hasilnya nilai lean body mass perhitungan berkorelasi kuat dengan nilai lean body mass dari hasil pengukuran oleh DXA yang merupakan baku emas dalam pengukuran LBM r 2 =0.93; CI 95.

2. 4. Penurunan massa sel tubuh pada PPOK

Penurunan massa sel tubuh merupakan manifestasi sistemik yang penting pada PPOK. Perubahan massa sel tubuh diketahui melalui penurunan berat badan dan penurunan massa bebas lemak. Massa bebas lemak yang hilang mempengaruhi proses pernapasan, fungsi otot perifer, kapasitas latihan, dan status kesehatan. Penurunan berat badan mempunyai efek negatif terhadap prognosis penderita PPOK. Schols et al. 2005 melakukan penelitian retrospektif terhadap 400 penderita PPOK. Penelitian ini menemukan bahwa indeks massa tubuh IMT Universitas Sumatera Utara yang kurang dari 25 kgm 2 , umur, dan PaO 2 rendah merupakan prediktor yang bermakna terhadap peningkatan angka kematian pada pasien PPOK Fitriani et al., 2007. Secara umum beberapa mekanisme yang dianggap paling berperan dalam penurunan massa sel tubuh pada PPOK adalah: A. Peningkatan penggunaan energi saat istirahat Pada PPOK terjadi obstruksi saluran udara sehingga kerja pernapasan meningkat. Akibat dari hal ini terjadi hipermetabolisme pada pasien PPOK Wagner, 2008. Menurut Sergil et al. 2006 dalam Wagner 2008, konsumsi energi istirahat Resting energy expenditure ditemukan 10 lebih tinggi pada pasien PPOK daripada subyek normal. Konsumsi oksigen selama latihan juga ditemukan lebih tinggi daripada orang normal. Tanpa penyesuaian peningkatan asupan kalori, pasien tak terelakkan akan kehilangan berat badan karena obstruksi yang non-reversibel. Mendukung teori ini, penggunaan ventilasi tekanan noninvasif positif telah terbukti meningkatkan lean body mass Wagner, 2008. B. Atropi otot karena tidak digunakan Pasien dengan PPOK memiliki aktivitas tubuh yang sangat terbatas. Hal ini diduga berperan dalam terjadinya kakhesia pada pasien PPOKWagner, 2008. Inaktivitas dapat meningkatkan aktivitas jalur ubiquitin-proteasome dan mengurangi produksi dan daya tanggap terhadap IGFs Debigare et al., 2001 C. Inflamasi sistemik Peradangan sistemik telah menjadi fokus utama penelitian penyebab kakhesia pada pasien PPOK. Beberapa molekul dalam inflamasi sistemik yang diduga berperan pada kakhesia antara lain TNF- α, IL-1β, IL-6, C-reactive protein, Reactive Oxygen Species ROS dan Reactive Nitrogen Species RNS. Mungkin juga ada hubungan antara sitokin proinflamasi dengan rendahnya kadar leptin Wagner, 2008 Mekanisme terjadinya kerusakan otot yang paling dimengerti saat ini adalah jalur adenosine triphosphate ATP dependent ubiquitin-proteasome Universitas Sumatera Utara yang berperan dalam peningkatan proteolisis pada berbagai tipe atropi otot Fitriani, 2007. Sistem ini dapat diaktivasi oleh sitokin, glukokortikoid, asidosis, inaktivitas, atau kadar insulin yang rendah Martua, 2010. Meskipun sitokin proinflamasi seperti TNF- α dan IL-6 dapat mengaktivasi jalur ubiquitin-proteasome, namun tidak bisa menurunkan massa tubuh secara langsung. Dalam hal ini aktivasi nuclear factor-kappa B NF-kB merupakan kunci pada langkah intermedietnya. Pada otot, NF-kB dapat menginhibisi ekspresi dari MyoD, yang merupakan faktor transkripsi yang penting dan spesifik untuk diferensiasi otot rangka dan memperbaikinya. Pencegahan secara langsung pada NF-kB pada binatang percobaan dapat mencegah kakhesia Debigare et al., 2001. Selain itu, sitokin proinflamasi juga dapat memainkan peranan mengurangi masa otot melalui peningkatan Reactive Oxygen Species ROS. Protein otot skelet dapat dimodifikasi oleh ROS sehingga mudah didegradasi oleh proteasome. Pemberian antioksidan dapat mencegah terjadinya degradasi otot pada binatang percobaan yang diberi TNF- α. Inflamasi dan ROS mempunyai interaksi dan sinergisme dalam menimbulkan proteolisis otot Martua, 2010. Mendukung teori inflamasi sistemik ini, suatu penelitian oleh Eid et al. 2001 menyatakan pasien dengan indeks massa tubuh normal dan pengurangan massa otot rangka mempunyai peningkatan kadar IL-6, reseptor IL-6, dan TNF- α secara signifikan. Sementara itu, kadar CRP ditemukan tidak berbeda antara pasien PPOK dengan pengurangan massa otot dan pasien PPOK tanpa pengurangan massa otot, namun kadarnya ditemukan lebih tinggi daripada subjek normal. Kadar leptin darah juga ditemukan berkurang pada pasien PPOK, tapi apakah ini berlaku untuk semua pasien PPOK atau hanya dengan pasien PPOK yang mengalami kakhesia masih tidak jelas. Menurut Takabatake et al. 1999 dalam Wagner 2008, kadar leptin berkurang umumnya terkait dengan kehilangan berat badan, tapi ini mungkin terutama disebabkan efek pengurangan lemak daripada otot. Sesuai dengan konsep ini, Schols et al. 2005 menemukan bahwa kadar leptin berkurang pada pasien emfisema Universitas Sumatera Utara dengan IMT rendah daripada yang memiliki IMT yang lebih tinggi. Namun, massa bebas lemak sama dalam dua kelompok, yang artinya kadar leptin ini lebih ditentukan oleh massa lemak. Oleh karena itu, leptin sepertinya kurang berperan dalam kakhesia pada PPOK seperti yang didefinisikan oleh pengurangan massa bebas lemak. Sebaliknya, leptin secara signifikan menggambarkan massa lemak Wagner, 2008.

2. 3. Hubungan PPOK dengan

lean body mass index Salah satu manifestasi sistemik utama pada pasien PPOK adalah disfungsi otot dan pengurangan massa otot. Dengan bertambah beratnya penyakit, penderita PPOK kehilangan banyak otot, khususnya otot paha dan lengan atas. Selanjutnya penderita kehilangan kekuatan latihan dan mengeluh lemah, sesak napas dan berkurang aktifitas Sin Man, 2006. Kakhesia adalah suatu keadaan kelainan metabolisme patologis yang ditandai penurunan berat badan yang ekstrim akibat kehilangan massa otot dengan atau tanpa kehilangan massa lemak. Kakhesia sering ditemukan pada penyakit PPOK dan angka kejadiannya meningkat sesuai derajat PPOK. Ditemukan terjadi pengurangan massa sel otot dan kelemahan otot sebagai hasil dari apoptosis dan atropi otot karena tidak digunakan GOLD, 2006. Massa otot yang rendah akan berhubungan dengan kelemahan otot perifer dan penurunan status fungsional, sehingga menurunkan kualitas hidup penderita. Dengan menggunakan IMT, kakhesia didefinisikan sebagai IMT 21 kgm2. Yang menjadi masalah dengan menggunakan IMT adalah bahwa tidak dapat dibedakannya dua orang dengan IMT yang sama tetapi komposisi tubuh yang berbeda. Pada seorang penderita PPOK bisa mengalami kehilangan massa otot yang bermakna namun memiliki cadangan lemak yang berlebih sebagai akibat dari kurangnya aktivitas fisik, sehingga menghasilkan IMT yang sama Martua, 2010. Sesuai dengan definisi kakhesia dimana kehilangan massa otot lebih dominan dibandingkan kehilangan lemak, maka perhitungan massa tubuh harus dengan pengurangan massa lemak, hal ini dikenal dengan lean body mass LBM Schols, 2005. Massa tubuh tanpa lemak dapat dinyatakan dalam kg sebagai Universitas Sumatera Utara lean body mass atau fat free mass of body mass atau dalam kgm 2 sebagai lean body mass index. Lean body mass index LBMI atau disebut juga fat free mass index FFMI dihitung dengan lean body mass dibagi kuadrat tinggi badan dalam m 2 Ischaki et al., 2005. Batas bawah normal untuk LBMI adalah 16kgm 2 untuk laki-laki dan 15 kgm 2 untuk perempuan Hallin, 2009. Lean body mass sendiri adalah berat massa tubuh tanpa lemak storage lipid. Dengan menggunakan LBMI, kakhesia didefinisikan sebagai lean body mass index di bawah 16 kgm 2 untuk laki-laki dan di bawah 15 kgm 2 untuk perempuan Wagner, 2008. LBMI disarankan dalam penilaian komposisi tubuh sebagai penanda sistemik keparahan penyakit pada PPOK. LBMI ditemukan lebih spesifik daripada IMT ketika digunakan untuk menilai derajat keparahan penyakit dan stadium keparahan Hallin, 2009. Sejalan dengan hal itu pula sebuah penelitian oleh Ischaki et al. 2007 membuktikan LBMI lebih akurat dalam menggambarkan keparahan penyakit daripada IMT. Dalam penelitian tersebut, ditemukan korelasi yang lebih besar antara LBMI dan nilai VEP 1 r 2 =0,18; p=0.001 daripada korelasi IMT dan nilai VEP 1 r 2 =0.05; p=0.49. Semakin berat derajat keparahan penyakit pada pasien PPOK, maka semakin berat pula kakhesia yang dialaminya. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Schols et al. 2005 yang membuktikan bahwa lean body mass index berkaitan dengan derajat keparahan GOLD stage of disease severity pada pasien PPOK. Penelitian yang dilakukan pada 71 subjek PPOK dengan GOLD derajat II, 134 pasien dengan GOLD derajat III dan 207 subjek PPOK dengan GOLD derajat IV tersebut menunjukkan bahwa angka kakhesia secara signifikan lebih tinggi pada subjek dengan GOLD derajat IV daripada derajat II dan III p=0.001. Sebuah penelitian di Eindhoven, Belanda yang dilakukan pada 127 subjek pasien PPOK derajat III GOLD dan 53 subjek dengan derajat IV GOLD juga membuktikan hal yang serupa. Penelitian ini membuktikan bahwa pasien dengan GOLD III mempunyai rata-rata nilai LBMI lebih rendah daripada derajat GOLD II 17.0 kgm² vs 17.8 kgm², p 0.05 Wetering et al., 2008. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka diperkirakan semakin berat derajat obstruksi pernapasan pasien PPOK, maka semakin berkurang pula massa Universitas Sumatera Utara ototnya, maka makin berkurang pula lah lean body mass-nya. Hal ini diperkuat pula oleh suatu penelitian pada 100 orang subjek PPOK dengan 20 subjek kontrol dan masing-masing 20 subjek pada GOLD I-IV, yang menunjukkan adanya korelasi kuat antara lean body mass index dengan nilai spirometri VEP 1 r 2 = 0.18 p=0.001, dan nilai VEP 1 KVP r 2 = 0.21 p=0.007 Ischaki et al., 2007 Sungguhpun demikian, sebuah penelitian yang dilakukan pada 12 pasien PPOK dengan derajat obstruksi pernapasan sedang VEP 1 52+17 tidak berhasil menemukan adanya korelasi yang signifikan antara lean body mass index dengan nilai spirometri VEP 1 p0.05 Silvia, 2008. Oleh karena itu, masih diperlukan studi lanjutan untuk menguji hubungan antara nilai spirometri dengan lean body mass pada pasien PPOK. Universitas Sumatera Utara BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: = variabel yang tidak diteliti = variabel yang diteliti Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Pasien PPOK stabil

Pasien PPOK stabil adalah penderita dengan satu atau lebih gejala: - batuk kronik hilang timbul selama 3 bulan yang tidak sembuh dengan pengobatan yang diberikan - berdahak kronik - sesak dengan atau tanpa bunyi mengi disertai dengan nilai spirometri menunjukkan obstruksi saluran pernapasan VEP 1 KVP 0,7 dan tidak sedang mengalami Pasien PPOK Peningkatan REE Atropi otot Inflamasi sistemik Penurunan massa tubuh Indeks Massa Tubuh Obstruksi saluran pernapasan Lean body mass index Nilai spirometri Universitas Sumatera Utara eksaserbasi. Sementara, eksaserbasi adalah kondisi dengan satu atau lebih gejala: sesak bertambah, volume sputum meningkat, dan sputum menjadi purulen.

3.2.1. Nilai spirometri

a. Definisi Nilai spirometri adalah nilai tertinggi yang didapat dari 3 kali pemeriksaan spirometri dengan menggunakan alat spirometer pada subjek penelitian. Dalam percobaan ini nilai spirometri diperoleh dari data pengukuran sebelumnya yang telah dilakukan pada bulan April 2011 di Rumah Sakit Tembakau Deli Medan. b. Cara ukur - Menyambungkan mouth piece ke spirometri - Mengisi data pasien meliputi: nama, umur, berat badan, tinggi badan, ras dan jenis kelamin. - Pasien berdiri tegak lurus menghadap ke depan, pakaian dilonggarkan dan memasang nose clips pada hidung pasien - Pasien memasukkan mouth piece, dan melakukan inspirasi dan ekspirasi secara normal sebanyak 2 kali diikuti inspirasi dalam dan kemudian ekspirasi dengan cepat dalam waktu 1 detik. - Pasien melakukan prosedur selama 3 kali - Hasil yang terbaik diambil sebagai nilai spirometri

c. Alat ukur

Alat ukur yang digunakan adalah dengan menggunakan spirometri Chest Graph HI 701. d. Hasil Pengukuran Hasil pengukuran nilai spirometri yang digunakan adalah nilai faal paru VEP 1 yaitu volume udara yang dapat dikeluarkan dalam waktu 1 detik pertama dengan ekspirasi paksa kuat dan Universitas Sumatera Utara cepat setelah inspirasi maksimal. Nilai VEP 1 dinyatakan dalam persen , dan dihitung secara otomatis oleh spirometri digital.

e. Skala Ukur

Nilai spirometri dinyatakan dalam skala numerik.

3.2.2. Lean body mass index

a. Defenisi Lean body mass index adalah distribusi lean body mass per m 2 tinggi badan. b. Cara ukur - Pengukuran lean body mass index dihitung dengan cara lean body mass dibagi kuadrat tinggi badan m 2 . - Pengukuran lean body mass menggunakan rumus Janmahasatian, yaitu sebagai berikut: LBM laki-laki = 9270 x BB kg 6680 + 216 x IMT kgm 2 LBM wanita = 9270 x BB kg 8780 + 244 x IMT kgm 2 - IMT adalah indeks massa tubuh diukur dengan formula berat badan kg dibagi kuadrat tinggi badan m 2 .

c. Skala Ukur

Nilai lean body mass index dinyatakan dalam skala numerik.

3.2.3. Indeks Massa Tubuh

a. Defenisi Indeks Massa Tubuh adalah salah satu cara penilaian status gizi seseorang berdasarkan antropometri. b. Cara ukur Universitas Sumatera Utara - Pengukuran Indeks Massa Tubuh IMT yaitu dengan hasil perhitungan Berat Badan dalam kg dibagi Tinggi Badan 2 dalam meter. c. Skala Ukur Nilai Indeks Massa Tubuh dinyatakan dalam skala numerik dengan satuan kgm 2 . Sementara itu, WHO mengkategorikan Indeks Massa Tubuh untuk orang Asia dewasa menjadi underweight BMI 18.5, normal range BMI 18.5-22.9, dan overweight BMI ≥23.0. Overweight dibagi menjadi tiga yaitu at risk BMI 23.0-24.9, obese 1 BMI 25-29.9, dan obese 2 BMI ≥30.0.

3.3. Hipotesis

Dengan mempertimbangkan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan antara nilai spirometri dengan lean body mass pada pasien PPOK. Universitas Sumatera Utara BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain potong lintang cross-sectional untuk menilai hubungan antara nilai spirometri dengan lean body mass index pasien PPOK.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian