Hubungan Nilai Spirometri dengan Lean Body Mass Index pada Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil Di RS Tembakau Deli Medan

(1)

HUBUNGAN NILAI SPIROMETRI DENGAN LEAN BODY MASS INDEX PADA PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF

KRONIK STABIL DI RS TEMBAKAU DELI MEDAN

Oleh :

YOSER THAMTONO 080100056

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

HUBUNGAN NILAI SPIROMETRI DENGAN LEAN BODY MASS INDEX PADA PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF

KRONIK STABIL DI RS TEMBAKAU DELI MEDAN

KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran

Oleh :

YOSER THAMTONO 080100056

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Hubungan Nilai Spirometri dengan Lean Body Mass Index pada Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil Di RS Tembakau Deli Medan

Nama : YOSER THAMTONO

NIM : 080100056

Pembimbing Penguji I

( dr. Amira Permatasari, SpP ) ( dr. Deske Muhadi Rangkuti, SpPD) NIP. 196911071999032002 NIP. 197112272005011002

Penguji II

( dr. Jessy Chrestella, SpPA ) NIP. 198201132008012006

Medan, Desember 2011 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

( Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH ) NIP. 195402201980111001


(4)

ABSTRAK

Latar Belakang: Selain gangguan saluran pernapasan, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit sistemik yang mempunyai hubungan antara keterlibatan metabolik dan otot rangka. Setengah dari penderita PPOK ditemukan akan mengalami penurunan massa otot, yang pada akhirnya juga akan menimbulkan penurunan berat badan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara derajat obstruksi saluran pernapasan yang diukur dengan spirometri pada pasien PPOK dengan nilai lean body mass index sebagai massa bebas lemak.

Metode: Rancangan penelitian ini adalah cross sectional dengan consecutive sampling yang dilakukan pada 42 orang pasien PPOK stabil di RS Tembakau Deli.

Hasil: Rata-rata usia sampel adalah 64.64 tahun dengan sampel termuda berusia 50 tahun dan sampel tertua berusia 70 tahun. Indeks massa tubuh rata-rata sampel 20.08 kg/m2 (SD= 3.80) dan rata-rata LBMI dari seluruh sampel adalah 16.76 kg/m2 (SD=1.92). Sebagian besar subyek (45.2%) memiliki derajat keparahan PPOK tingkat berat. Dari hasil analisis dua arah Korelasi Pearson, terdapat hubungan bermakna antara nilai spirometri VEP1 dengan lean body mass index (r= 0,323; p= 0,037). Sementara itu, tidak terdapat hubungan antara nilai spirometri VEP1 dengan Indeks Massa Tubuh (r=0.289, p=0.063).

Kesimpulan: Pada pasien PPOK terjadi kehilangan massa bebas lemak yang ditunjukkan oleh rendahnya nilai lean body mass index. Selain itu, dapat disimpulkan pula bahwa lean body mass index merupakan variabel keparahan penyakit PPOK yang lebih tepat digunakan daripada Indeks Massa Tubuh.


(5)

ABSTRACT

Background: Beside causing respiratory tract disorders, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is also regarded as a systemic disease that involve metabolic system, skeletal muscle, and molecular genetics. Half of all patients with COPD was found to have decreased muscle mass, which in turn will also cause weight loss.. This study aims to determine the relationship between the degree of airway obstruction measured by spirometry in COPD patients with a value of lean body mass index as fat-free mass index.

Methods: The study design was cross sectional study with consecutive sampling conducted in 42 stable COPD patients in Tembakau Deli Hospital.

Results: The average age of the sample was 64.64 years with youngest sample at 50-year-and oldest samples aged 70 years. The average BMI of the sample is 20:08 kg/m2 (SD = 3.80) and the average LBMI is 16.76 kg/m2 (SD = 1.92). Most of the subjects (45.2%) had severe COPD. From the analysis of two-way Pearson correlation, there is a significant relationship between spirometric value FEV1 with lean body mass index (r = 0.323, p = 0.037). Meanwhile, there is no relationship between the spirometric value FEV1 with body mass index (r = 0289, p = 0063).

Conclusions: Depletion of fat-free mass occurred in COPD patients indicated by the low value of lean body mass index. Beside, it can be concluded also that LBMI seems to be more accurate in expressing variables of disease severity, compared to BMI.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyelesaian penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penuliis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu dr. Amira Permata Sari Tarigan, Sp.P, selaku Dosen Pembimbing yang dengan sepenuh hati telah meluangkan waktu untuk mendukung, membimbing dan mengarahkan penulis hingga memberikan rekomendasi yang sangat berguna selama pelaksanaan penelitian ini.

3. Bapak dr. Harry Agoestaf Asroel, Sp.THT-KL selaku Dosen Penasehat Akademis yang telah membimbing penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Kedokteran USU.

4. Bapak dr. Deske Muhadi Rangkuti, SpPD selaku dosen penguji I serta Ibu dr. dr. Jessy Chrestella, Sp.PA selaku dosen penguji II yang telah bersedia menguji, memberikan masukan dan saran kepada penulis.

5. Seluruh staff dan jajaran pegawai RS Tembakau Deli Medan atas bantuannya selama peneliti melaksanakan penelitian.

6. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

7. Ibunda dan Ayahanda tercinta peneliti yang dengan curahan kasih sayang mereka senantiasa menjadi motivasi penulis dalam menyelesaikan pendidikan. Dalam do’a mereka terkandung harapan kesuksesan bagi penulis.


(7)

8. Seluruh subjek penelitian dalam penelitian ini atas partisipasinya dalam proses pengumpulan data penelitian ini.

9. Teman-teman seperjuangan Winny, Marianto, Citra Aryanti, Rizky Indah Putri, Syifa Khairunissa Nasution, Ami Utamiati, teman-teman lain di SCORE PEMA FK USU yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

10.Standing Committee on Research Exchange Pemerintahan Mahasiswa (SCORE-PEMA) FK USU, yang telah berjasa besar mengenalkan peneliti pada dunia kepenulisan dan kepenelitian.

Untuk seluruh bantuan baik moril ataupun materil yang diberikan kepada penulis selama ini, penulis ucapkan terima kasih dan semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan pahala yang sebesar-besarnya.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat berguna bagi kita semua.

Medan, Desember 2011 Penulis

Yoser Thamtono 080100056


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Persetujuan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

Daftar Lampiran... xi

Daftar Singkatan ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik... 5

2.1.1. Definisi... ... 5

2.1.2. Faktor Resiko... 5

2.1.3. Patogenesis... .... 6

2.1.4. Diagnosis... ... 8

2.1.5. Klasifikasi... ... 10

2.2. Nilai Spirometri ... 11

2.3. Lean body mass ... 12

2.4. Penurunan Massa Sel Tubuh pada PPOK ... 14


(9)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 20

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 20

3.2. Definisi Operasional ... 20

3.3. Hipotesis ... 23

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 24

4.1 Jenis Penelitian ... 24

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 24

4.3. Populasi dan Sampel ... 24

4.3.1. Populasi ... 24

4.3.2. Sampel ... 24

4.4. Metode Pengumpulan Data... 26

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 27

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 30

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 30

5.2. Karakteristik Individu ... 30

5.2.1. Distribusi Sampel berdasarkan Umur ... 30

5.2.2. Distribusi Sampel berdasarkan Tinggi Badan .... 31

5.2.3. Distribusi Sampel berdasarkan Berat Badan ... 32

5.2.4. Distribusi Sampel berdasarkan Indeks Massa Tubuh ... 32

5.2.5. Distribusi Sampel berdasarkan Lean Body Mass Index ... 33

5.2.6. Distribusi Sampel berdasarkanDerajat Keparahan PPOK ... 34

5.3. Hasil Analisis Data ... 34

5.3.1. Hubungan Nilai Spirometri dengan Indeks Massa Tubuh ... 34

5.2.2. Hubungan Nilai Spirometri dengan Lean Body Mass Index ... 36


(10)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45 4.1 Kesimpulan ... 45 4.2. Saran ... 45


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 4.1. Interpretasi tingkat hubungan koefisien korelasi ... 27

Tabel 5.1. Distribusi sampel berdasarkan umur ... 31

Tabel 5.2. Distribusi sampel berdasarkan tinggi badan ... 31

Tabel 5.3. Distribusi sampel berdasarkan berat badan ... 32

Tabel 5.4. Distribusi sampel berdasarkan Indeks Massa Tubuh .... 33

Tabel 5.5. Distribusi sampel berdasarkan lean body mass index .... 33

Tabel 5.6. Distribusi sampel berdasarkan derajat keparahan PPOK 34 Tabel 5.7. Analisis Uji Korelasi Pearson Hubungan Nilai Spirometri dengan Indeks Massa Tubuh ... 36

Tabel 5.8. Analisis Uji Korelasi Pearson Hubungan Nilai Spirometri dengan Lean Body Mass Index ... 38

Tabel 5.8. Hasil Analisis Regresi Linier Hubungan Nilai Spirometri dengan Lean Body Mass Index ... 38


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman Gambar 2.1. Perbandingan hasil perhitungan LBM menggunakan rumus

James dan Janmahasatian... 14 Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian... . 20 Gambar 4.1. Alur Penelitian... 29 Gambar 5.1. Diagram Tebar (Scatter plot) dari hubungan nilai spirometri dan Indeks Massa Tubuh ... 35 Gambar 5.2. Diagram Tebar (Scatter plot) dari hubungan nilai spirometri dan Lean Body Mass Index ... 38


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar Riwayat Hidup 2. Lembar Penjelasan

3. Lembar Persetujuan Penelitian

4. Lembar Rekam Medik Hasil Pemeriksaan 5. Data Induk

6. Output Data Hasil Penelitian 7. Surat Izin Penelitian


(14)

DAFTAR SINGKATAN

ATP : Adenosine triphosphate

ATS : American Thoracic Society

BB : Berat badan

BIA : Bioimpedance analysis

CRP : C-reactive protein

CI : Confidence interval

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Dirjen PPM & PL : Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan

DXA : Dual- energy X-ray absorptiometry

ERS : European Respiratory Society

FFM : Fat free mass

FFMI : Fat free mass index

GOLD : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

IGFs : Insulin-like growth factors

IL-1β : Interleukin-1 beta

IL-6 : Interleukin-6

IMT : Indeks Massa Tubuh

Kg : Kilogram

KVP : Kapasitas vital paru LBM : Lean body mass

LBMI : Lean body mass index

MyoD : Myoblast determination protein-1

NF-kB : Nuclear factor-kappa B

PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronik RNS : Reactive nitrogen species

ROS : Reactive oxygen species


(15)

TB : Tinggi badan

TNF-α : Tumor necrosis factor-alpha

VEP1 : Volume ekspirasi paksa detik pertama WHO : World Health Organization


(16)

ABSTRAK

Latar Belakang: Selain gangguan saluran pernapasan, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit sistemik yang mempunyai hubungan antara keterlibatan metabolik dan otot rangka. Setengah dari penderita PPOK ditemukan akan mengalami penurunan massa otot, yang pada akhirnya juga akan menimbulkan penurunan berat badan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara derajat obstruksi saluran pernapasan yang diukur dengan spirometri pada pasien PPOK dengan nilai lean body mass index sebagai massa bebas lemak.

Metode: Rancangan penelitian ini adalah cross sectional dengan consecutive sampling yang dilakukan pada 42 orang pasien PPOK stabil di RS Tembakau Deli.

Hasil: Rata-rata usia sampel adalah 64.64 tahun dengan sampel termuda berusia 50 tahun dan sampel tertua berusia 70 tahun. Indeks massa tubuh rata-rata sampel 20.08 kg/m2 (SD= 3.80) dan rata-rata LBMI dari seluruh sampel adalah 16.76 kg/m2 (SD=1.92). Sebagian besar subyek (45.2%) memiliki derajat keparahan PPOK tingkat berat. Dari hasil analisis dua arah Korelasi Pearson, terdapat hubungan bermakna antara nilai spirometri VEP1 dengan lean body mass index (r= 0,323; p= 0,037). Sementara itu, tidak terdapat hubungan antara nilai spirometri VEP1 dengan Indeks Massa Tubuh (r=0.289, p=0.063).

Kesimpulan: Pada pasien PPOK terjadi kehilangan massa bebas lemak yang ditunjukkan oleh rendahnya nilai lean body mass index. Selain itu, dapat disimpulkan pula bahwa lean body mass index merupakan variabel keparahan penyakit PPOK yang lebih tepat digunakan daripada Indeks Massa Tubuh.


(17)

ABSTRACT

Background: Beside causing respiratory tract disorders, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is also regarded as a systemic disease that involve metabolic system, skeletal muscle, and molecular genetics. Half of all patients with COPD was found to have decreased muscle mass, which in turn will also cause weight loss.. This study aims to determine the relationship between the degree of airway obstruction measured by spirometry in COPD patients with a value of lean body mass index as fat-free mass index.

Methods: The study design was cross sectional study with consecutive sampling conducted in 42 stable COPD patients in Tembakau Deli Hospital.

Results: The average age of the sample was 64.64 years with youngest sample at 50-year-and oldest samples aged 70 years. The average BMI of the sample is 20:08 kg/m2 (SD = 3.80) and the average LBMI is 16.76 kg/m2 (SD = 1.92). Most of the subjects (45.2%) had severe COPD. From the analysis of two-way Pearson correlation, there is a significant relationship between spirometric value FEV1 with lean body mass index (r = 0.323, p = 0.037). Meanwhile, there is no relationship between the spirometric value FEV1 with body mass index (r = 0289, p = 0063).

Conclusions: Depletion of fat-free mass occurred in COPD patients indicated by the low value of lean body mass index. Beside, it can be concluded also that LBMI seems to be more accurate in expressing variables of disease severity, compared to BMI.


(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif non-reversibel atau reversibel parsial. PPOK merupakan salah satu penyumbang kesakitan dan kematian di dunia yang cukup tinggi. Secara epidemiologi, PPOK merupakan penyebab kematian keempat tertinggi di dunia dan diperkirakan akan menjadi penyebab kematian ke-3 di dunia pada tahun 2020 (ATS & ERS, 2004). Pada Tahun 2004 diestimasi terdapat 64 juta penderita PPOK di seluruh dunia, dan lebih dari 3 jutanya meninggal pada tahun 2005, setara dengan 5% dari total kematian global di tahun tersebut. Hampir 90% dari seluruh kematian karena PPOK terjadi di negara miskin dan berkembang (WHO, 2008).

Di Indonesia sendiri, tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik, dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Hasil survei penyakit tidak menular oleh Dirjen PPM & PL di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2004).

Berbeda dengan asma, penyakit PPOK menyebabkan obstruksi saluran pernapasan yang non-reversibel. Pada penderita PPOK terdapat gangguan mekanis dan pertukaran gas di sistem pernapasan dan mengakibatkan menurunnya aktivitas fisik pada kehidupan sehari-hari. Obstruksi saluran napas yang kronis mengakibatkan volume udara keluar dan masuk tidak seimbang sehingga terjadi

air trapping. Kondisi obstruksi saluran pernapasan yang terus menerus ini akan menyebabkan diafragma mendatar, gangguan kontraksi saluran pernapasan


(19)

sehingga fungsinya sebagai otot utama pernapasan berkurang. Sebagai kompensasinya, terjadi pemakaian terus menerus otot-otot interkostal dan otot inspirasi tambahan sehingga menimbulkan gejala sesak napas pada pasien PPOK (Agustin & Yunus, 2008).

Selain gangguan saluran pernapasan, penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit sistemik yang mempunyai hubungan antara keterlibatan metabolik, otot rangka, dan genetik molekular. Inflamasi sistemik dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular merupakan berbagai manifestasi sistemik yang dapat ditemukan pada penderita PPOK. Selain itu, pasien PPOK juga sering mengalami penurunan berat badan. Kehilangan massa otot diduga merupakan inti permasalahan dari penurunan berat badan tersebut sementara kehilangan massa lemak diperkirakan mendapat porsi yang lebih kecil (Martua, 2010). Setengah dari penderita PPOK ditemukan akan mengalami penurunan massa otot, yang pada akhirnya juga akan menimbulkan penurunan berat badan (Khader, 2008). Dengan bertambah beratnya penyakit, penderita PPOK akan kehilangan banyak otot, khususnya otot paha dan lengan atas. Selanjutnya penderita kehilangan kekuatan latihan dan mengeluh lemah, sesak napas, dan berkurang aktifitas (Sin & Man, 2006). Penelitian membuktikan adanya penurunan massa otot signifikan, kelemahan otot pernapasan, dan penurunan kekuatan otot ekstremitas pada pasien PPOK dibandingkan individu yang sehat (Silvia et al., 2008). Dengan mempertimbangkan hal tersebut, terapi rehabilitasi otot seharusnya mendapat porsi yang lebih penting dalam terapi dasar pada pasien PPOK. Jika benar adanya bahwa pasien-pasien PPOK akan mengalami penurunan massa otot seiring dengan perjalanan penyakitnya, maka terapi rehabilitasi otot semenjak dini tentunya dapat mencegah penurunan kualitas hidup pada pasien PPOK nantinya akibat dari disfungsi otot yang dialaminya. Namun begitupun, sampai sekarang penderita PPOK yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal, namun masih disertai: gejala pernafasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat, dan kualitas hidup yang menurun (PDPI, 2003).


(20)

Dalam penelitian sebelumnya telah terbukti penurunan indeks massa tubuh menjadi faktor prognostik negatif berdasarkan derajat disfungsi saluran pernapasannya, yang artinya semakin berat disfungsi saluran pernapasan pada seorang pasien PPOK maka indeks massa tubuhnya akan semakin berkurang pula (Vestbo et al., 2006). Namun menurut penelitian terbaru, nilai lean body mass index atau disebut juga fat free mass index lebih tepat digunakan sebagai variabel keparahan penyakit pada PPOK (Ischaki et al., 2007). Lean body mass adalah berat massa tubuh tanpa lemak (storage lipid). Sementara lean body mass index

adalah distribusi lean body mass per m2 tinggi badan (Ischaki et al., 2007). Dengan mempertimbangkan kehilangan massa otot yang merupakan penyebab utama penurunan berat badan, maka nilai lean body mass index dapat menjadi prediktor yang lebih tepat daripada indeks massa tubuh dalam mengukur kehilangan massa otot pada pasien-pasien PPOK (Ischaki et al., 2007).

Sejalan dengan hal tersebut, berbagai penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa pada pasien PPOK sering didapati penurunan lean body mass. Selain itu, beberapa hasil penelitian juga melaporkan adanya hubungan antara derajat keparahan penyakit yang diukur dengan alat spirometri pada pasien PPOK dengan lean body mass index-nya (Schols et al., 2005; Ischaki et al., 2007). Namun demikian, masih terdapat kontroversi dimana masih terdapat sejumlah penelitian yang tidak menemukan adanya hubungan antara nilai spirometri pada pasien PPOK dengan lean body mass index-nya (Silvia et al., 2008). Mempertimbangkan hal tersebut, maka masih diperlukan studi lanjutan untuk menguji hubungan antara derajat keparahan penyakit dengan lean body mass index pada pasien PPOK. Atas dasar inilah, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui apakah ada hubungan antara nilai spirometri dengan nilai lean body mass index pada pasien PPOK.

1.2. Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:


(21)

Adakah hubungan antara nilai spirometri dengan lean body mass index pada pasien penyakit paru obstruktif kronik?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara antara nilai spirometri dengan lean body mass index pada pasien penyakit paru obstruktif kronik.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui hubungan antara nilai faal paru VEP1 dengan lean body mass index pada pasien penyakit paru obstruktif kronik. 2. Mengetahui hubungan antara nilai faal paru VEP1 dengan indeks

massa tubuh pada pasien penyakit paru obstruktif kronik.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam:

1. Memberikan informasi tentang hubungan antara nilai spirometri dengan nilai lean body mass index pada pasien penyakit paru obstruktif kronik agar dapat digunakan sebagai dasar penentuan terapi oleh praktisi medis, terutama terkait rehabilitasi otot dini sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup pasien penyakit paru obstruktif kronik.

2. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan memperkokoh landasan teoritis ilmu kedokteran khususnya di bidang penyakit paru obstruktif kronik.

3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang ingin menggali dan memperdalam lebih jauh topik-topik tentang penyakit paru obstruktif kronik.


(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Penyakit paru obstruktif kronis 2.1.1. Definisi

Menurut PDPI (2003), PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif non-reversibel atau reversibel parsial. Sementara menurut Wilson (2006), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.

2.1.2. Faktor Resiko

a. Faktor pejamu (host)

Faktor pejamu (host) meliputi faktor genetik. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa-1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor (Depkes RI, 2008).

b. Perilaku (kebiasaan merokok)

Kebiasaan merokok merupakan penyebab yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya (PDPI, 2003). c. Faktor lingkungan (polusi udara)

Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok, asap kompor, asap kayu bakar, asap obat nyamuk bakar, dan lain-lain; serta polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas buangan industri, gas buangan kendaraan bermotor, debu jalanan, kebakaran hutan, gunung meletus, dan polusi di tempat kerja (bahan kimia, debu/zat iritasi, dan gas beracun). Peran polusi luar ruangan (outdoor polution) masih


(23)

belum jelas tapi lebih kecil dibandingkan asap rokok (Parhusip, 2008).

d. Infeksi

Riwayat infeksi berat semasa anak–anak berhubungan dengan penurunan faal paru dan meningkatkan gangguan pernapasan saat dewasa (Depkes RI, 2008).

e. Status sosioekonomi.

Status sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada rumah tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi (Depkes RI, 2008).

f. Komorbiditas

Penyakit penyerta, khususnya asma dikatakan merupakan faktor resiko terjadinya PPOK, dengan penderita asma memiliki resiko 12 kali lebih tinggi (Parhusip, 2008).

2.1.3. Patogenesis

Ada dua faktor yang berperan penting dalam patogenesis PPOK yaitu faktor endogen (herediter) dan eksogen misalnya iritasi karena asap rokok, bahan-bahan polutan dan infeksi paru (Amin, 1996). Secara umum, patogenesis PPOK dapat melibatkan beberapa mekanisme, antara lain: A. Ketidakseimbangan protease dan anti protease

Jaringan ikat adalah bahan utama yang menyangga parenkim paru. Enzim proteolitik (protease) akan merusak serat-serat elastin sehingga menimbulkan kelemahan dinding saluran pernapasan dengan akibat melebarnya saluran pernapasan yang lazim disebut sebagai emfisema. Enzim proteolitik tersebut pada orang normal berada dalam keadaan keseimbangan dengan faktor-faktor anti proteolitik (antiprotease), dengan demikian kerusakan jaringan paru tidak akan terjadi. Akan tetapi, pada keadaan yang menyebabkan aktivitas proteolitik yang berlebihan atau bila aktivitias antiproteolitik berkurang, maka akan


(24)

terjadi destruksi jaringan paru. Kedua proses ini dapat merupakan akibat proses inflamasi atau sebagai pengaruh lingkungan (komponen oksidatif rokok) atau genetik seperti defisiensi alfa-1 antitripsin. (Amin, 1996).

B. Hubungan rokok dengan kejadian PPOK

Pada perokok, neutrofil dan makrofag berkumpul di alveolus. Mekanisme peradangan masih belum sepenuhnya jelas, tetapi mungkin melibatkan efek kemoatraktan langsung dari nikotin serta efek spesies oksigen reaktif yang terdapat di dalam asap rokok. Hal ini mengaktifkan transkripsi nuclear factor-kB(NF-kB), yang mengaktifkan gen untuk faktor nekrosis tumor (TNF) dan interleukin-8 (IL-8). Hal ini kemudian menarik dan mengaktifkan neutrofil. Neutrofil yang berkumpul mengalami pengaktivan dan membebaskan granulanya, yang kaya akan beragam protease sel (elastase neutrofil, proteinase 3, dan katepsin G) sehingga terjadi kerusakan jaringan. Selain itu, merokok juga meningkatkan aktivitas elastase di makrofag dan memperpanjang ketidakseimbangan okidan-antioksidan (Robbins et al., 2007).

C. Hubungan antara inflamasi paru dengan PPOK

Berdasarkan penelitian histopatologi, sebagian besar inflamasi pada PPOK terjadi di bronkiolus dan parenkim paru. Obstruksi bronkiolus disebabkan oleh fibrosis dan infiltrasi makrofag dan limfosit T, dengan didominasi oleh limfosit T CD8+. Hasil biopsi bronkus memperlihatkan hasil yang sama, yaitu infiltrasi oleh peningkatan makrofag dan neutrofil secara nyata. Neutrofil dan makrofag melepaskan berbagai proteinase yang merusak jaringan ikat parenkim paru menyebabkan terjadi emfisema dan merangsang sekresi mukus (Prajoso, 2004). Selain itu, pada pasien PPOK juga dijumpai peningkatan neutrofil, makrofag, dan sel-sel dendritik di beberapa tempat di paru (Currie, 2011).


(25)

D. Stress oksidatif

Sumber peningkatan oksidan termasuk asap rokok dan spesies oksigen dan nitrogen reaktif yang dilepaskan dari sel-sel inflamasi. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan (stress oksidatif) yang dapat menyebabkan inaktivasi dari antiproteinase dan stimulasi produksi mukus (Currie, 2011).

2.1.4. Diagnosis

Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat (PPOK ringan, PPOK sedang, PPOK berat, dan PPOK sangat berat) (Depkes RI, 2008)

1) Anamnesis:

a) Ada faktor risiko 1. Usia (pertengahan) 2. Riwayat pajanan

a. Asap rokok b. Polusi udara c. Polusi tempat kerja b) Gejala:

Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan.

1. Batuk kronik

Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan


(26)

2. Berdahak kronik

Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk

3. Sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas 2) Pemeriksaan fisik:

Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama pada PPOK ringan, karena belum terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat bahkan dapat terlihat perubahan cara bernapas dan perubahan bentuk anatomi toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut:

Inspeksi

a) Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)

b) Terdapat cara bernapas pursed lips breathing (seperti orang meniup)

c) Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas d) Pelebaran sela iga

Perkusi

a) Hipersonor Auskultasi

a) Fremitus melemah

b) Suara nafas vesikuler melemah atau normal c) Ekspirasi memanjang

d) Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi) 3) Pemeriksaan penunjang:

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain:

a) Radiologi (foto toraks) b) Spirometri

c) Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik)


(27)

d) Analisa gas darah

e) Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi eksaserbasi)

Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan, tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.

Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan: a) Paru hiperinflasi atau hiperlusen

b) Diafragma mendatar

c) Corakan bronkovaskuler meningkat d) Bulla

e) Jantung pendulum

Penegakan diagnosis PPOK dapat secara klinis dilaksanakan di puskesmas atau rumah sakit tanpa menggunakan fasilitas spirometri karena ketidaktersediaan alat. Sedangkan penegakkan diagnosis dan penentuan klasifikasi (derajat) PPOK berdasarkan ketentuan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI)/GOLD, harus menggunakan spirometri (Depkes RI, 2008).

2.1.5. Klasifikasi

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dibagi atas 4 derajat berdasarkan tingkat keparahannya, yakni:

1. Derajat 1 (PPOK ringan)

Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk dan produksi sputum). Keterbatasan aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.


(28)

2. Derajat 2 (PPOK sedang)

Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% < VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam tingkat ini, pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya.

3. Derajat 3 (PPOK berat)

Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% < VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan, dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien. 4. Derajat 4 (PPOK sangat berat)

Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan.

2. 2. Nilai spirometri

Spirometri adalah alat untuk mengukur faal paru dengan mengukur volume udara yang dapat dikeluarkan dari paru-paru sesudah inspirasi maksimal. Spirometri merupakan baku emas dalam mendiagnosis penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan dalam menilai derajat keparahan penyakit pada PPOK (Currie, 2011). Dalam mendiagnosis PPOK, yang dinilai adalah kapasitas vital paru (KVP), volume ekspirasi paksa detik pertama(VEP1) dan rasio VEP1/KVP. Hasil spirometri dinyatakan dalam liter dan % prediksi (didasarkan atas jenis kelamin, umur, ras, berat badan dan tinggi badan).

Kapasitas vital paru (KVP) adalah volume maksimal udara yang dihembuskan secara paksa setelah inhalasi maksimal. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) adalah volume udara yang dapat dikeluarkan dalam waktu 1 detik pertama dengan ekspirasi paksa kuat dan cepat setelah inspirasi maksimal. Nilai VEP1 prediksi dinyatakan dalam persen (%), dan dihitung secara otomatis oleh spirometri digital (Prajoso, 2004).


(29)

Untuk menegakkan diagnosis PPOK, nilai volume ekspirasi paksa dalam 1 detik pertama (VEP1) / kapasitas vital paksa (KVP) harus dibawah 70% dan VEP1 <80% dari prediksi. Jika VEP1 adalah ≥ 80% dari prediksi, diagnosis PPOK hanya dibuat dengan mempertimbangkan adanya gejala pernafasan yang khas, misalnya adanya sesak napas atau batuk yang progresif dan non-reversibel (Currie, 2011).

2. 3. Lean body mass index

Lean body mass index adalah distribusi lean body mass per m2 tinggi badan yang dihitung dengan formulasi lean body mass dibagi kuadrat tinggi badan (m2) (Ischaki et al., 2007). Sementara lean body mass adalah berat massa tubuh tanpa lemak cadangan (storage lipid) (Schols et al., 2005).

Pada dasarnya, massa tubuh total dapat dibagi 2 yaitu massa lemak dan massa tubuh bebas lemak (fat free mass/FFM). FFM mencakup massa otot, tulang, organ vital dan cairan ekstraselular. Secara teknis, LBM berbeda dengan FFM karena kandungan lipid dalam membran sel, sistem saraf pusat dan sumsum tulang masih disertakan dalam LBM, tapi tidak dalam FFM. Namun begitupun, kandungan lemak dalam kompartemen-kompartemen tersebut hanya mencakup sebagian kecil dari massa tubuh total (3% pada pria dan 5% pada wanita), sehingga dalam klinisnya istilah LBM dan FFM dapat dianggap sama (Janmahasatian et al., 2005). Lean body mass dapat diukur dengan skin-fold anthropometry, bioimpedance analysis, dan dual- energy X-ray absorptiometry

(DXA) (Hallin, 2009).

Penggunaan skin-fold, BIA atau bahkan DXA untuk mengukur LBM terlalu rumit untuk praktek klinis sehari-hari. Berbagai formula sudah divalidasi untuk menghitung LBM, seperti rumus James (1976) dan rumus Janmahasatian et al.

(2005). Salah satu perhitungan yang banyak digunakan secara luas adalah rumus James (1976) (Hallynck et al., 1980).


(30)

Adapun rumus James itu adalah sebagai berikut: LBMlaki-laki = 1. 10 x BB - 128 x (BB2/TB2) LBM perempuan = 1.07 x BB - 148 x (BB2/TB2)

dimana:

LBM = lean body mass dalam kg BB=berat badan dalam kg

TB= tinggi badan dalam cm

Perhitungan LBM dengan rumus James mempunyai kelemahan pada orang berat badan yang berlebihan (Janmahasatian et al., 2005). Perhitungan dengan rumus James menunjukkan adanya distribusi nilai yang membentuk kurva parabola inversi, yang berarti bahwa pada titik berat badan tertentu (critical weight), nilai lean body mass akan mulai berkurang (Colla et al., 2010), bahkan mencapai negatif (Han et al., 2007).

Untuk mengatasi kelemahan rumus James, suatu perhitungan LBM baru diperkenalkan oleh Janmahasatian pada tahun 2005. Adapun rumus dari Janmahasatian itu adalah sebagai berikut:

LBM laki-laki = 9270 x BB (kg) 6680 + 216 x IMT (kg/m2)

LBMwanita = 9270 x BB (kg) 8780 + 244 x IMT (kg/m2)

Sementara IMT adalah indeks massa tubuh yang memiliki formula berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m2).

Distribusi nilai LBM dengan rumus Janmahasatian et al. (2005) pada kurva menunjukkan nilai yang konsisten terhadap peninggian berat badan, sedangkan pada rumus James ditunjukkan adanya kurva yang membentuk parabola (Colla et al., 2010).


(31)

Gambar 2.1. Perbandingan hasil perhitungan LBM menggunakan rumus James dan Janmahasatian (Colla et al., 2010).

Mitchell (2009) melakukan studi untuk menyelidiki kegunaan dari rumus

lean body mass Janmahasatian et al. pada populasi lansia >65 tahun. Hasilnya menunjukkan rumus ini dapat menjadi alat yang tepat untuk menghitung lean body mass dalam keadaan DXA tidak tersedia.

Janmahasatian (2005) sebelumnya juga telah melakukan studi validasi terhadap penggunaan rumus ini. Hasilnya nilai lean body mass perhitungan berkorelasi kuat dengan nilai lean body mass dari hasil pengukuran oleh DXA yang merupakan baku emas dalam pengukuran LBM (r2=0.93; CI 95%).

2. 4. Penurunan massa sel tubuh pada PPOK

Penurunan massa sel tubuh merupakan manifestasi sistemik yang penting pada PPOK. Perubahan massa sel tubuh diketahui melalui penurunan berat badan dan penurunan massa bebas lemak. Massa bebas lemak yang hilang mempengaruhi proses pernapasan, fungsi otot perifer, kapasitas latihan, dan status kesehatan. Penurunan berat badan mempunyai efek negatif terhadap prognosis penderita PPOK. Schols et al. (2005) melakukan penelitian retrospektif terhadap 400 penderita PPOK. Penelitian ini menemukan bahwa indeks massa tubuh (IMT)


(32)

yang kurang dari 25 kg/m2, umur, dan PaO2 rendah merupakan prediktor yang bermakna terhadap peningkatan angka kematian pada pasien PPOK (Fitriani et al., 2007).

Secara umum beberapa mekanisme yang dianggap paling berperan dalam penurunan massa sel tubuh pada PPOK adalah:

A. Peningkatan penggunaan energi saat istirahat

Pada PPOK terjadi obstruksi saluran udara sehingga kerja pernapasan meningkat. Akibat dari hal ini terjadi hipermetabolisme pada pasien PPOK (Wagner, 2008). Menurut Sergil et al. (2006) dalam Wagner (2008), konsumsi energi istirahat (Resting energy expenditure) ditemukan 10% lebih tinggi pada pasien PPOK daripada subyek normal. Konsumsi oksigen selama latihan juga ditemukan lebih tinggi daripada orang normal. Tanpa penyesuaian peningkatan asupan kalori, pasien tak terelakkan akan kehilangan berat badan karena obstruksi yang non-reversibel. Mendukung teori ini, penggunaan ventilasi tekanan noninvasif positif telah terbukti meningkatkan lean body mass (Wagner, 2008).

B. Atropi otot karena tidak digunakan

Pasien dengan PPOK memiliki aktivitas tubuh yang sangat terbatas. Hal ini diduga berperan dalam terjadinya kakhesia pada pasien PPOK(Wagner, 2008). Inaktivitas dapat meningkatkan aktivitas jalur ubiquitin-proteasome dan mengurangi produksi dan daya tanggap terhadap IGFs (Debigare et al., 2001)

C. Inflamasi sistemik

Peradangan sistemik telah menjadi fokus utama penelitian penyebab kakhesia pada pasien PPOK. Beberapa molekul dalam inflamasi sistemik yang diduga berperan pada kakhesia antara lain TNF-α, IL-1β, IL-6, C-reactive protein, Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS). Mungkin juga ada hubungan antara sitokin proinflamasi dengan rendahnya kadar leptin (Wagner, 2008)

Mekanisme terjadinya kerusakan otot yang paling dimengerti saat ini adalah jalur adenosine triphosphate (ATP) dependent ubiquitin-proteasome


(33)

yang berperan dalam peningkatan proteolisis pada berbagai tipe atropi otot (Fitriani, 2007). Sistem ini dapat diaktivasi oleh sitokin, glukokortikoid, asidosis, inaktivitas, atau kadar insulin yang rendah (Martua, 2010). Meskipun sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan IL-6 dapat mengaktivasi jalur

ubiquitin-proteasome, namun tidak bisa menurunkan massa tubuh secara langsung. Dalam hal ini aktivasi nuclear factor-kappa B (NF-kB) merupakan kunci pada langkah intermedietnya. Pada otot, NF-kB dapat menginhibisi ekspresi dari MyoD, yang merupakan faktor transkripsi yang penting dan spesifik untuk diferensiasi otot rangka dan memperbaikinya. Pencegahan secara langsung pada NF-kB pada binatang percobaan dapat mencegah kakhesia (Debigare et al., 2001).

Selain itu, sitokin proinflamasi juga dapat memainkan peranan mengurangi masa otot melalui peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS). Protein otot skelet dapat dimodifikasi oleh ROS sehingga mudah didegradasi oleh proteasome. Pemberian antioksidan dapat mencegah terjadinya degradasi otot pada binatang percobaan yang diberi TNF-α. Inflamasi dan ROS mempunyai interaksi dan sinergisme dalam menimbulkan proteolisis otot (Martua, 2010). Mendukung teori inflamasi sistemik ini, suatu penelitian oleh Eid et al. (2001) menyatakan pasien dengan indeks massa tubuh normal dan pengurangan massa otot rangka mempunyai peningkatan kadar IL-6, reseptor IL-6, dan TNF-α secara signifikan. Sementara itu, kadar CRP ditemukan tidak berbeda antara pasien PPOK dengan pengurangan massa otot dan pasien PPOK tanpa pengurangan massa otot, namun kadarnya ditemukan lebih tinggi daripada subjek normal.

Kadar leptin darah juga ditemukan berkurang pada pasien PPOK, tapi apakah ini berlaku untuk semua pasien PPOK atau hanya dengan pasien PPOK yang mengalami kakhesia masih tidak jelas. Menurut Takabatake et al.

(1999) dalam Wagner (2008), kadar leptin berkurang umumnya terkait dengan kehilangan berat badan, tapi ini mungkin terutama disebabkan efek pengurangan lemak daripada otot. Sesuai dengan konsep ini, Schols et al.


(34)

dengan IMT rendah daripada yang memiliki IMT yang lebih tinggi. Namun, massa bebas lemak sama dalam dua kelompok, yang artinya kadar leptin ini lebih ditentukan oleh massa lemak. Oleh karena itu, leptin sepertinya kurang berperan dalam kakhesia pada PPOK seperti yang didefinisikan oleh pengurangan massa bebas lemak. Sebaliknya, leptin secara signifikan menggambarkan massa lemak (Wagner, 2008).

2. 3. Hubungan PPOK dengan lean body mass index

Salah satu manifestasi sistemik utama pada pasien PPOK adalah disfungsi otot dan pengurangan massa otot. Dengan bertambah beratnya penyakit, penderita PPOK kehilangan banyak otot, khususnya otot paha dan lengan atas. Selanjutnya penderita kehilangan kekuatan latihan dan mengeluh lemah, sesak napas dan berkurang aktifitas (Sin & Man, 2006). Kakhesia adalah suatu keadaan kelainan metabolisme patologis yang ditandai penurunan berat badan yang ekstrim akibat kehilangan massa otot dengan atau tanpa kehilangan massa lemak. Kakhesia sering ditemukan pada penyakit PPOK dan angka kejadiannya meningkat sesuai derajat PPOK. Ditemukan terjadi pengurangan massa sel otot dan kelemahan otot sebagai hasil dari apoptosis dan atropi otot karena tidak digunakan (GOLD, 2006). Massa otot yang rendah akan berhubungan dengan kelemahan otot perifer dan penurunan status fungsional, sehingga menurunkan kualitas hidup penderita. Dengan menggunakan IMT, kakhesia didefinisikan sebagai IMT < 21 kg/m2. Yang menjadi masalah dengan menggunakan IMT adalah bahwa tidak dapat dibedakannya dua orang dengan IMT yang sama tetapi komposisi tubuh yang berbeda. Pada seorang penderita PPOK bisa mengalami kehilangan massa otot yang bermakna namun memiliki cadangan lemak yang berlebih sebagai akibat dari kurangnya aktivitas fisik, sehingga menghasilkan IMT yang sama (Martua, 2010).

Sesuai dengan definisi kakhesia dimana kehilangan massa otot lebih dominan dibandingkan kehilangan lemak, maka perhitungan massa tubuh harus dengan pengurangan massa lemak, hal ini dikenal dengan lean body mass (LBM) (Schols, 2005). Massa tubuh tanpa lemak dapat dinyatakan dalam (kg) sebagai


(35)

lean body mass atau fat free mass (% of body mass) atau dalam (kg/m2) sebagai

lean body mass index. Lean body mass index (LBMI) atau disebut juga fat free mass index (FFMI) dihitung dengan lean body mass dibagi kuadrat tinggi badan (dalam m2) (Ischaki et al., 2005). Batas bawah normal untuk LBMI adalah 16kg/m2 untuk laki-laki dan 15 kg/m2 untuk perempuan (Hallin, 2009).

Lean body mass sendiri adalah berat massa tubuh tanpa lemak (storage lipid). Dengan menggunakan LBMI, kakhesia didefinisikan sebagai lean body mass index di bawah 16 kg/m2 untuk laki-laki dan di bawah 15 kg/m2 untuk perempuan (Wagner, 2008). LBMI disarankan dalam penilaian komposisi tubuh sebagai penanda sistemik keparahan penyakit pada PPOK. LBMI ditemukan lebih spesifik daripada IMT ketika digunakan untuk menilai derajat keparahan penyakit dan stadium keparahan (Hallin, 2009). Sejalan dengan hal itu pula sebuah penelitian oleh Ischaki et al. (2007) membuktikan LBMI lebih akurat dalam menggambarkan keparahan penyakit daripada IMT. Dalam penelitian tersebut, ditemukan korelasi yang lebih besar antara LBMI dan nilai VEP1 (r2=0,18; p=0.001) daripada korelasi IMT dan nilai VEP1 (r2=0.05; p=0.49).

Semakin berat derajat keparahan penyakit pada pasien PPOK, maka semakin berat pula kakhesia yang dialaminya. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Schols et al. (2005) yang membuktikan bahwa lean body mass index

berkaitan dengan derajat keparahan (GOLD stage of disease severity) pada pasien PPOK. Penelitian yang dilakukan pada 71 subjek PPOK dengan GOLD derajat II, 134 pasien dengan GOLD derajat III dan 207 subjek PPOK dengan GOLD derajat IV tersebut menunjukkan bahwa angka kakhesia secara signifikan lebih tinggi pada subjek dengan GOLD derajat IV daripada derajat II dan III (p=0.001). Sebuah penelitian di Eindhoven, Belanda yang dilakukan pada 127 subjek pasien PPOK derajat III GOLD dan 53 subjek dengan derajat IV GOLD juga membuktikan hal yang serupa. Penelitian ini membuktikan bahwa pasien dengan GOLD III mempunyai rata-rata nilai LBMI lebih rendah daripada derajat GOLD II (17.0 kg/m² vs 17.8 kg/m², p <0.05) (Wetering et al., 2008).

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka diperkirakan semakin berat derajat obstruksi pernapasan pasien PPOK, maka semakin berkurang pula massa


(36)

ototnya, maka makin berkurang pula lah lean body mass-nya. Hal ini diperkuat pula oleh suatu penelitian pada 100 orang subjek PPOK dengan 20 subjek kontrol dan masing-masing 20 subjek pada GOLD I-IV, yang menunjukkan adanya korelasi kuat antara lean body mass index dengan nilai spirometri VEP1 (r2= 0.18 (p=0.001)), dan nilai VEP1/KVP (r2= 0.21 (p=0.007)) (Ischaki et al., 2007)

Sungguhpun demikian, sebuah penelitian yang dilakukan pada 12 pasien PPOK dengan derajat obstruksi pernapasan sedang (VEP1 52+17%) tidak berhasil menemukan adanya korelasi yang signifikan antara lean body mass index dengan nilai spirometri VEP1 (p>0.05) (Silvia, 2008). Oleh karena itu, masih diperlukan studi lanjutan untuk menguji hubungan antara nilai spirometri dengan lean body mass pada pasien PPOK.


(37)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

= variabel yang tidak diteliti = variabel yang diteliti Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian

3.2. Definisi Operasional 3.2.1. Pasien PPOK stabil

Pasien PPOK stabil adalah penderita dengan satu atau lebih gejala: - batuk kronik hilang timbul selama 3 bulan yang tidak sembuh

dengan pengobatan yang diberikan - berdahak kronik

- sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

disertai dengan nilai spirometri menunjukkan obstruksi saluran pernapasan (VEP1/KVP < 0,7) dan tidak sedang mengalami

Pasien PPOK

Peningkatan REE Atropi otot Inflamasi sistemik

Penurunan massa tubuh (Indeks Massa Tubuh ) Obstruksi saluran

pernapasan

Lean body mass index


(38)

eksaserbasi. Sementara, eksaserbasi adalah kondisi dengan satu atau lebih gejala: sesak bertambah, volume sputum meningkat, dan sputum menjadi purulen.

3.2.1. Nilai spirometri a. Definisi

Nilai spirometri adalah nilai tertinggi yang didapat dari 3 kali pemeriksaan spirometri dengan menggunakan alat spirometer pada subjek penelitian. Dalam percobaan ini nilai spirometri diperoleh dari data pengukuran sebelumnya yang telah dilakukan pada bulan April 2011 di Rumah Sakit Tembakau Deli Medan.

b. Cara ukur

- Menyambungkan mouth piece ke spirometri

- Mengisi data pasien meliputi: nama, umur, berat badan, tinggi badan, ras dan jenis kelamin.

- Pasien berdiri tegak lurus menghadap ke depan, pakaian dilonggarkan dan memasang nose clips pada hidung pasien - Pasien memasukkan mouth piece, dan melakukan inspirasi

dan ekspirasi secara normal sebanyak 2 kali diikuti inspirasi dalam dan kemudian ekspirasi dengan cepat dalam waktu 1 detik.

- Pasien melakukan prosedur selama 3 kali

- Hasil yang terbaik diambil sebagai nilai spirometri c. Alat ukur

Alat ukur yang digunakan adalah dengan menggunakan spirometri Chest GraphHI 701.

d. Hasil Pengukuran

Hasil pengukuran nilai spirometri yang digunakan adalah nilai faal paru VEP1 yaitu volume udara yang dapat dikeluarkan dalam waktu 1 detik pertama dengan ekspirasi paksa kuat dan


(39)

cepat setelah inspirasi maksimal. Nilai VEP1 dinyatakan dalam persen (%), dan dihitung secara otomatis oleh spirometri digital.

e. Skala Ukur

Nilai spirometridinyatakan dalam skala numerik.

3.2.2. Lean body mass index a. Defenisi

Lean body mass index adalah distribusi lean body mass per m2 tinggi badan.

b. Cara ukur

- Pengukuran lean body mass index dihitung dengan cara lean body mass dibagi kuadrat tinggi badan (m2).

- Pengukuran lean body mass menggunakan rumus Janmahasatian, yaitu sebagai berikut:

LBM laki-laki = 9270 x BB (kg) 6680 + 216 x IMT (kg/m2)

LBMwanita = 9270 x BB (kg) 8780 + 244 x IMT (kg/m2)

- IMT adalah indeks massa tubuh diukur dengan formula berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m2).

c. Skala Ukur

Nilai lean body mass index dinyatakan dalam skala numerik.

3.2.3. Indeks Massa Tubuh a. Defenisi

Indeks Massa Tubuh adalah salah satu cara penilaian status gizi seseorang berdasarkan antropometri.


(40)

- Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu dengan hasil perhitungan Berat Badan (dalam kg) dibagi (Tinggi Badan)2 (dalam meter).

c. Skala Ukur

Nilai Indeks Massa Tubuh dinyatakan dalam skala numerik dengan satuan kg/m2. Sementara itu, WHO mengkategorikan

Indeks Massa Tubuh untuk orang Asia dewasa menjadi underweight (BMI <18.5), normal range (BMI 18.5-22.9), dan overweight (BMI ≥23.0). Overweight dibagi menjadi tiga yaitu at risk (BMI 23.0-24.9), obese 1 (BMI 25-29.9), dan obese 2 (BMI ≥30.0).

3.3. Hipotesis

Dengan mempertimbangkan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

Ada hubungan antara nilai spirometri dengan lean body mass pada pasien PPOK.


(41)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain potong lintang (cross-sectional) untuk menilai hubungan antara nilai spirometri dengan lean body mass index pasien PPOK.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 7 Juli-11 Agustus 2011 pada pasien-pasien PPOK di RS. Tembakau Deli, Medan. Adapun pertimbangan peneliti dalam memilih lokasi tersebut adalah dikarenakan pasien PPOK berobat di Poliklinik Paru RS. Tembakau Deli Medan relatif banyak untuk dijadikan sampel penelitian.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi target dalam penelitian ini adalah semua pasien PPOK, sedangkan yang menjadi populasi terjangkau adalah seluruh pasien PPOK stabil yang datang berobat jalan ke Poliklinik Paru RS Tembakau Deli Medan.

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian adalah seluruh pasien penderita PPOK stabil yang datang berobat di Poliklinik Paru RS. Tembakau Deli Medan pada bulan Juli dan Agustus tahun 2011. Pengambilan sampel adalah berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam peneltian ini adalah: a. Kriteria Inklusi

1. Seluruh pasien yang menderita penyakit paru obstruktif kronis yang stabil.


(42)

3. Berjenis kelamin laki-laki 4. Usia 50-80 tahun

5. Bersedia menjadi sampel penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan setelah penjelasan (informed consent)

b. Kriteria Eksklusi

1. Pasien PPOK dengan penyakit paru lainnya seperti tuberkulosis, bronkiektasis, atau asma.

2. Pasien PPOK dengan penyakit jantung 3. Pasien PPOK dengan penyakit sistemik berat 4. Pasien dengan kelumpuhan ekstremitas

Teknik pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling

dimana semua sampel yang didapat dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi (Madiyono, 2008). Adapun jumlah sampel yang diperlukan dihitung berdasarkan rumus di bawah ini:

dimana:

n = jumlah sampel minimum

= nilai distribusi normal baku menurut tabel Z pada α tertentu = nilai distribusi normal baku menurut tabel Z pada β tertentu r = perkiraan koefisien korelasi (ditetapkan dari literatur)

Pada penelitian ini, ditetapkan nilai α sebesar 0,05 (tingkat kepercayaan 95%) sehingga untuk uji hipotesis dua arah diperoleh nilai

sebesar 1,96. Nilai β yang digunakan adalah 0,2 atau dengan kata lain besarnya kekuatan (power) dalam penelitian ini adalah 80%, sehingga


(43)

diperoleh nilai sebesar 0,84. Penentuan nilai r merujuk pada penelitian terdahulu yang menghasilkan angka koefisien korelasi (r) sebesar 0,424 dengan p value = 0,001 (Ischaki, 2007). Berdasarkan rumus di atas, besarnya sampel yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:

Dengan demikian besar sampel minimal yang diperlukan adalah 41,28 orang, dibulatkan menjadi 42 orang

4.4. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang didapat langsung dari masing-masing sampel penelitian indeks massa tubuh dan lean body mass index. Sementara data nilai spirometri diperoleh dari data sekunder, yakni dari data hasil pengukuran sebelumnya yang telah dilakukan pada April 2011 di Rumah Sakit Tembakau Deli Medan.

Sementara itu, pengumpulan data indeks massa tubuh dan lean body mass index dilakukan dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan, data yang terkumpul kemudian dimasukkan ke dalam perhitungan indeks massa tubuh dan

lean body mass index menurut rumus Janmahasatian. Data pengukuran nilai spirometri, indeks massa tubuh dan lean body mass index yang didapat berupa data diskrit kontinu.


(44)

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah terkumpul dari hasil pengukuran dalam penelitian ini kemudian ditabulasi untuk kemudian diolah lebih lanjut dengan menggunakan program Statistic Package for Social Science (SPSS) 17.0.

Data kemudian dianalisis melalui perhitungan statistik untuk melakukan uji hipotesis dengan metode uji Korelasi Pearson dan Regresi Linier. Metode statistik ini dipilih karena baik variabel bebas (nilai spirometri) maupun variabel terikat (lean body mass index) merupakan data berskala numerik (Tumbuleka et al., 2008).

Analisis data diawali dengan membuat suatu diagram tebar (scatter plot)

guna melihat bagaimana pola hubungan antara kedua variabel numerik tersebut. Data nilai spirometri ditampilkan pada sumbu X (aksis), sementara data lean body mass index disajikan pada sumbu Y (ordinat) sedemikian sehingga setiap pengamatan diwakili oleh satu titik.

Setelah didapatkan gambaran pola hubungan kedua variabel, analisis dilanjutkan dengan menguji kekuatan hubungan antara nilai spirometri dan lean body mass index yang dinyatakan dengan koefisien korelasi Pearson (r). Selain itu sebagai pembanding, dilakukan pula pengukuran nilai korelasi antara nilai spirometri dengan indeks massa tubuh. Nilai r terletak antara 0 sampai 1 dengan kemaknaan tersendiri sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.1. Interpretasi tingkat hubungan koefisien korelasi (r)

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,0 – 0,199 Sangat rendah

0,2 – 0,399 Rendah

0,4 – 0,599 Sedang

0,6 – 0,799 Kuat

0,8 – 1,0 Sangat Kuat

Dengan menggunakan bantuan program SPSS akan didapatkan besarnya p value untuk menentukan signifikansi hasil penelitian. Karena penelitian ini


(45)

menggunakan tingkat kemaknaan (α) sebesar 5%, maka nilai p < 0,05 dinilai bermakna atau dengan kata lain ada hubungan antara nilai spirometri dan lean body mass index.

Dari koefisien korelasi (r) yang didapat, akan dianalisis lebih lanjut ketergantungan satu variabel dengan variabel lainnya melalui analisis regresi linier sedemikian sehingga didapatkan suatu persamaan berbentuk:

y = a + bx dimana:

y = lean body mass index

a = konstanta

b = koefisien variabel bebas x = nilai spirometri

Dengan demikian, dapat diketahui besarnya perubahan variabel y (lean body mass index) bila variabel x (nilai spirometri) berubah sebesar satu satuan.


(46)

Tinggi badan, Berat badan Penilaian data Spirometri

Perhitungan lean body mass index dan IMT

Hasil

Analisa data Alur Penelitian

Subjek dengan PPOK

Gambar 4.1 Alur Penelitian Kriteria Inklusi

1. Pasien PPOK stabil

2. Riwayat merokok 3. Laki-laki 4. Usia 50-80

Kriteria Eksklusi 1. Penderita penyakit

paru lain

2. Penderita penyakit jantung

3. Penderita penyakit sistemik berat 4. Kelumpuhan


(47)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Proses pengambilan data untuk penelitian ini dilakukan 7 Juli-11 Agustus 2011 di Rumah Sakit Tembakau Deli Medan. Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan, maka dapat disimpulkan hasil penelitian dalam paparan di bawah ini.

5. 1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Tembakau Deli Medan merupakan rumah sakit milik PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) yang terletak di Kota Medan. Rumah Sakit Tembakau Deli Medan didirikan untuk melayani pelayanan kesehatan karyawan, namun pada perkembangannya Rumah Sakit Tembakau Deli Medan juga diperuntukan pada masyarakat umum. Saat ini Rumah Sakit Tembakau menempati areal seluas 38.619 M2 dengan jumlah tempat tidur 200 buah. Rumah Sakit Umum Tembakau Deli pada awalnya bernama Rumah Sakit VEREGNIDE DELI MAATSCHAPY (RSVDM) yang didirikan oleh NV. VDM pada tahun 1908. Pada Periode 20 November 1958 s/d 31 Mei 1960, NV. VDM berubah nama menjadi PPN (Perusahaan Perkebunan Nasional) sedang RS. VDM beberapa kali mengalami perubahan nama, yang akhirnya menjadi Rumah Sakit Umum Tembakau Deli.

5. 2. Karakteristik Individu

Sampel penelitian yang ikut serta dalam penelitian ini terdiri dari 42 orang yang semuanya merupakan pasien PPOK stabil yang berobat jalan di RS Tembakau Deli Medan.

5.2.1. Distribusi Sampel berdasarkan Umur

Sampel dalam penelitian ini berumur 50-79 tahun dengan distribusi terbanyak berada pada rentang umur 65-69 tahun sebanyak 13 orang (31%), kemudian diikuti dengan 8 orang di rentang umur 55-59 tahun (19%), 7 orang


(48)

berada di rentang umur 70-74 tahun (16.7%), 6 orang berada di rentang umur 60-64 tahun (14.3%), dan masing-masing 9.5% (4 orang) pada rentang umur 50-54 tahun dan 75-80 tahun. Rata-rata umur sampel adalah 64.64 tahun dengan sampel termuda berusia 50 tahun dan sampel tertua berusia 70 tahun (SD=7.663).

Tabel 5.1 Distribusi Sampel berdasarkan Umur

Umur (tahun) Frekuensi (orang) Persentase (%)

50-54 tahun 55-59 tahun 60-64 tahun 65-69 tahun 70-74 tahun 75-80 tahun 4 8 6 13 7 4 9.5 19.0 14.3 31.0 16.7 9.5

Total 42 100.0

5.2.2. Distribusi Sampel berdasarkan Tinggi Badan

Jika ditinjau dari tinggi badan, sampel penelitian dapat dibagi menjadi 3 kelompok interval tinggi badan. Hasil penelitian memperoleh kelompok sampel terbanyak adalah pada kelompok dengan interval tinggi badan 160-169 cm. Sedangkan kelompok sampel paling sedikit adalah pada kelompok dengan interval tinggi badan 170-179 cm. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.2

Tabel 5.2 Distribusi sampel berdasarkan tinggi badan

Tinggi Badan Frekuensi (orang) Persentase (%)

150-159cm 160-169cm 170-179cm 11 28 3 26.2 66.7 7.1


(49)

Sementara itu, rata-rata tinggi badan dari seluruh sampel adalah 162.6 cm dengan tinggi badan minimal sebesar 150cm dan maksimal, yaitu 171 cm (SD= 5.32 cm).

5.2.3. Distribusi Sampel berdasarkan Berat Badan

Berdasarkan berat badannya, juga terdapat variasi pada sampel penelitian. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas sampel berada pada kelompok dengan interval berat badan 41-50 dan 51-60 kg. Sementara kelompok dengan interval tinggi badan 31-40 kg memiliki jumlah sampel paling sedikit. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.2

Tabel 5.3. Distribusi sampel berdasarkan berat badan

Umur (tahun) Frekuensi (orang) Persentase (%)

31-40 kg 41-50 kg 51-60 kg 61-70 kg 71-80 kg

4 14 14 5 5

9.5 33.3 33.3 11.9 11.9

Total 42 100.0

Rata-rata berat badan dari seluruh sampel adalah 53.17 kg dengan berat badan minimal sebesar 34 kg dan maksimal, yaitu 73 kg (SD=10.80).

5.2.4. Distribusi Sampel berdasarkan Indeks Massa Tubuh

Jika ditinjau dari Indeks Massa Tubuhnya, dari 42 sampel yang menjadi sampel penelitian terdapat 42.9 persen diantaranya atau sebanyak 18 orang yang termasuk kategori normal. Kategori underweight sekitar 35.7% dari total sampel atau sebanyak 15 orang, 9.5% atau 4 orang yang termasuk at risk, dan 11.9% sampel atau 5 orang yang termasuk dalam kelompok obese I. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.4.


(50)

Tabel 5.4. Distribusi sampel berdasarkan Indeks Massa Tubuh

IMT (kg/m2) Kategori Frekuensi (orang) Persentase (%) <18.5 18.5-22.9 23-24.9 25-29.9 > 30 Underweight Normoweight At risk Obese I Obese II 15 18 4 5 0 35.7 42.9 9.5 11.9 0

Total 42 100.0

Sementara itu, rata-rata Indeks Massa Tubuh dari seluruh sampel adalah 20.08 kg/m2 dengan IMT minimal sebesar 12.80 kg/m2 dan maksimal, yaitu 29.24 kg/m2 (SD=3.80).

5.2.5. Distribusi Sampel berdasarkan Lean body mass index

Jika ditinjau dari Lean body mass index-nya, dari 42 sampel yang menjadi sampel penelitian terdapat 35.7 persen diantaranya atau sebanyak 15 orang lean body mass index-nya dibawah 16 kg/m2 dan sisanya sebanyak 64.3% atau 27 orang memiliki lean body mass index > 16 kg/m2. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5. Distribusi sampel berdasarkan lean body mass index

IMT (kg/m2) Frekuensi (orang) Persentase (%)

<16 >16 15 27 35.7 64.3

Total 42 100.0

Sementara itu, rata-rata LBMI dari seluruh sampel adalah 16.76 kg/m2 dengan LBMI minimal sebesar 12.56 kg/m2 dan maksimal, yaitu 20.86 kg/m2 (SD=1.92).


(51)

5.2.6. Distribusi Sampel berdasarkan Derajat Keparahan PPOK

Sementara itu jika dilihat dari derajat keparahan PPOK, terdapat 45.2 persen dari seluruh sampel atau sebanyak 19 orang yang merupakan penderita PPOK berat. Selain itu, terdapat 13 orang (31%) penderita PPOK sangat berat, 10 orang (23.8%) penderita PPOK sedang, dan tidak terdapat penderita PPOK yang masih dalam derajat ringan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.6.

Tabel 5.6. Distribusi sampel berdasarkan derajat keparahan PPOK

Umur (tahun) Frekuensi (orang) Persentase (%)

PPOK ringan PPOK sedang PPOK berat PPOK sangat berat

0 10 19 13

0 23.8 45.2 31.0

Total 42 100.0

5. 3. Hasil Analisis Data

5.3.1. Hubungan Nilai Spirometri dengan Indeks Massa Tubuh

Sebanyak 42 sampel dalam penelitian ini diperiksa tinggi badan dan berat badannya apabila telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Selanjutnya dari data tersebut dihitung Indeks Massa Tubuh. Data yang telah dikumpulkan dianalisis melalui uji hipotesis Korelasi Pearson yang dilanjutkan dengan Regresi Linier.

Untuk mengetahui hubungan nilai spirometri dengan indeks massa tubuh,

diawali dengan membuat suatu diagram tebar (scatter plot). Dari diagram ini dapat diketahui pola hubungan antara kedua variabel numerik tersebut. Data nilai spirometri ditampilkan pada sumbu X (axis), sementara data Indeks Massa Tubuh disajikan pada sumbu Y (ordinat). Nilai spirometri yang digunakan yakni nilai VEP1 karena paling tepat untuk menggambarkan derajat keparahan penyakit.


(52)

Setiap pengamatan diwakili oleh satu titik. Dari hasil diagram tebar (scatter plot)

didapatkan pola hubungan yang linear.

Gambar 5.1. Diagram tebar (Scatter plot) dari hubungan nilai spirometri dan Indeks Massa Tubuh

Gambar di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang linier antara variabel bebas (VEP1) dengan variabel terikat (indeks massa tubuh). Dengan demikian data tersebut memungkinkan untuk dapat dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan uji Korelasi Pearson guna mengetahui kekuatan hubungan diantara kedua variabel tersebut. Untuk menggunakan uji korelasi Pearson, data yang diuji harus memenuhi syarat uji parametrik, yakni distribusi data harus normal (Dahlan, 2011). Data dalam penelitian berjumlah <50, maka untuk menilai normalitas data digunakan uji Saphiro-Wilk. Dari hasil uji Saphiro-Wilk untuk IMT diperoleh nilai p=0.379, sementara untuk VEP1 diperoleh nilai p=0.266. Karena nilai p>0.05


(53)

maka dapat diambil kesimpulan bahwa “distribusi data normal” sehingga uji Korelasi Pearson dapat digunakan.

Adapun hasil uji Korelasi Pearson pada kedua variabel dalam penelitian ini dapat dinyatakan melalui tabel berikut:

Tabel 5.7. Analisis Uji Korelasi Pearson

Hubungan Nilai Spirometri dengan Indeks Massa Tubuh

Variabel Mean p value Nilai korelasi

VEP1 IMT

38.12 (SD 13.48) 20.08 (SD 3.80)

0.063 0.289

Tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata VEP1 sampel adalah 38.12% dengan standard deviasi (SD) 13.48 dan rata-rata indeks massa tubuh sampel adalah 20,08 tahun dengan SD 3,80. Penelitian ini menggunakan hipotesis dua arah (two-tailed) dengan tingkat kepercayaan 95%, yang berarti jika didapati nilai p < 0,05, berarti hipotesis nol penelitian ditolak. Setelah dianalisis, didapati nilai p

= 0.063. Karena nilai p yang diperoleh lebih besar dari 0,05, maka hipotesis nol dalam penelitian ini diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara nilai spirometri dengan indeks massa tubuh pada pasien PPOK (p > 0,05).

5.3.2. Hubungan Nilai Spirometri dengan Lean Body Mass Index

Data Lean body mass index dihitung berdasarkan rumus LBM laki-laki menurut rumus Janmahasatian. Sebagaimana dengan indeks massa tubuh, data yang telah dikumpulkan dianalisis hubungannya dengan nilai spirometri melalui uji hipotesis Korelasi Pearson yang dilanjutkan dengan Regresi Linier.

Untuk mengetahui hubungan nilai spirometri dengan indeks massa tubuh,

dibuat suatu diagram tebar (scatter plot). Data nilai spirometri VEP1 ditampilkan pada sumbu X (axis), sementara data nilai lean body mass index disajikan pada


(54)

sumbu Y (ordinat). Dari hasil diagram tebar (scatter plot) didapatkan pola hubungan yang linear.

Gambar 5.2. Diagram tebar (Scatter plot) dari hubungan nilai spirometri dan Lean Body Mass Index

Gambar di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang linier antara variabel bebas (VEP1) dengan variabel terikat (Lean body mass index). Untuk mengetahui signifikan tidaknya hubungan kedua variabel tersebut, dilakukan uji Korelasi Pearson antara kedua variabel tersebut. Dari hasil uji normalitas Saphiro-Wilk untuk lean body mass index didapatkan nilai p=0.734, sementara untuk VEP1 nilai p=0.266. Karena p>0.5 maka dapat diambil kesimpulan bahwa “data berdistribusi normal”

Adapun hasil uji Korelasi Pearson pada kedua variabel dalam penelitian ini dapat dinyatakan melalui tabel berikut:


(55)

Tabel 5.8. Analisis Uji Korelasi Pearson

Hubungan Nilai Spirometri dengan Lean Body Mass Index

Variabel Mean p value Nilai korelasi

VEP1 LBMI

38.12 (SD 13.48) 16,76 (SD 1.92)

0.037 0.323

Tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata VEP1 sampel adalah 38.12% dengan standard deviasi (SD) 13.48 dan rata-rata lean body mass index (LBMI)

sampel adalah 16.76 kg/m2 dengan SD 1.92. Dari hasil uji hitung, p value yang didapat sebesar 0,037. Karena nilai p yang diperoleh lebih kecil dari 0,05, maka hipotesis nol dalam penelitian ini ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara nilai spirometri VEP1 dengan nilai lean body mass index. Selanjutnya, dilakukan uji kekuatan hubungan antara VEP1 dan LBMI dengan menggunakan uji korelasi pearson. Hasil uji korelasi pearson hubungan VEP1 dan LBMI yaitu sebesar 0,323. Hal ini menyatakan derajat keeratan tingkat rendah. Setelah memperoleh nilai r, analisis dilanjutkan dengan uji Regresi Linier guna mendapatkan pola persamaan linier yang mencerminkan ketergantungan antara nilai spirometri VEP1 dengan lean body mass index (LBMI). Adapun hasil regresi linier antara nilai spirometri VEP1 dengan lean body mass index tersebut dapat dilihat melalui tabel berikut:

Tabel 5.9. Hasil Analisis Regresi Linier

Hubungan Nilai Spirometri VEP1 dengan Lean Body Mass Index Variabel Koefisien Koefisien korelasi p value VEP1

Konstanta

0.046 15.006

0.323 0.037

Data dalam tabel berikut dapat dijelaskan sebgai berikut. Untuk nilai r = 0,323 maka didapati persamaan sebagai berikut:


(56)

dimana:

y = Lean Body Mass Index (LBMI) x = VEP1

sedemikian sehingga diperoleh persamaan:

Lean Body Mass Index = 15,006 + (0.046 x VEP1)

Dengan adanya persamaan ini, maka dapat dilakukan prediksi Lean Body Mass Index seorang penderita PPOK berdasarkan nilai spirometri VEP1-nya. Untuk menilai layak tidaknya persamaan tersebut digunakan, dilihat dari nilai p pada uji ANOVA. Dikatakan layak jika nilai p<0.05 (Dahlan, 2011). Pada uji ANOVA didapatkan nilai p pada penelitian ini 0.037 sehingga persamaan ini layak digunakan.

5. 4. Pembahasan

Penelitian tentang PPOK semakin berkembang, seiring berkembangnya wacana bahwa PPOK yang pada awalnya merupakan suatu penyakit saluran napas yang proses inflamasinya merupakan proses self limiting menjadi suatu proses inflamasi sistemik. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa pada pasien PPOK sering ditemukan berbagai kelainan klinis lain seperti abnormalitas metabolik, penurunan berat badan, kelemahan otot dan kakhesia, penyakit kardiovaskular (atherotrombosis, penyakit jantung iskemik, stroke dan penyakit jantung koroner), depresi, osteoporosis, dan anemia (Rennard, 2007).

Kelainan gizi, seperti perubahan dalam asupan kalori, tingkat metabolisme basal, dan komposisi tubuh merupakan hal yang umum terjadi pada pasien PPOK. Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan terjadi pada sekitar 50% dari pasien dengan PPOK yang berat dan sangat berat, serta sekitar 10 sampai 15% dari pasien dengan derajat PPOK ringan sampai sedang. Mekanisme pasti yang mendasari penurunan berat badan pada pasien PPOK sebenarnya masih belum jelas. Berbagai penelitian membuktikan penurunan berat badan pada pasien PPOK pada dasarnya diperantarai oleh kakhesia yang dialaminya, sehingga massa otot


(57)

akan lebih berkurang pada pasien PPOK daripada massa lemaknya (Ischaki et al.,

2007). Penelitian lain sebaliknya justru membuktikan tidak adanya penurunan fat free mass index atau massa bebas lemak secara signifikan pada pasien PPOK (Silvia et al., 2008) sehingga peran muscle wasting dalam penurunan berat badan pada pasien PPOK masih belum jelas.

Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menemukan hubungan antara lean body mass index atau massa tubuh bebas lemak dengan keparahan penyakit pada pasien PPOK. Sebanyak 42 subjek PPOK stabil 50-79 tahun disertakan dalam penelitian yang berlangsung dari 7 Juli-11 Agustus 2011 di Rumah Sakit Tembakau Deli Medan. Jika ditinjau dari Indeks Massa Tubuhnya, dari 42 subjek yang menjadi sampel penelitian terdapat hanya 42.9 persen diantaranya atau sebanyak 18 orang yang termasuk kategori normal, sementara subjek yang termasuk kategori underweight mencapai sekitar 35.7% dari total sampel atau sebanyak 15 orang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dourado et al. (2006) bahwa prevalensi malnutrisi pada pasien PPOK bervariasi sekitar 26% sampai dengan 47% dari seluruh pasien PPOK.

Terdapat beberapa hal yang diduga menimbulkan kekurangan gizi pada pasien dengan PPOK. Namun, mekanisme yang pasti terlibat belum diketahui. Ketidakseimbangan antara asupan energi dan pengeluaran energi, karena asupan berkurang atau pengeluaran yang meningkat, tampaknya menjadi faktor yang terlibat dalam kebanyakan kasus (Dourado et al., 2006). Faktor lain yang berperan penting juga kakhesia pada pasien PPOK (Wagner, 2008). Kakhesia sendiri didefinisikan sebagai lean body mass index (LBMI) < 16 kg/m2 pada laki-laki dan <17 kg/m2 pada perempuan (Schols et al., 2005). Dengan demikian dari ke-42 subjek pada penelitian ini terdapat 35.7 persen yang termasuk dalam kelompok kakhesia. Kembali hal ini sesuai dengan pernyataan Wagner (2006) bahwa prevalensi kakhesia pada pasien PPOK bervariasi antara 20-40% dari seluruh pasien PPOK. Sebagaimana disebutkan oleh Wagner (2008) terdapat berbagai mekanisme yang terkait dengan timbulnya kakhesia pada pasien PPOK diantaranya seperti peningkatan penggunaan energi saat istirahat, dimana pada pasien PPOK, konsumsi energi basal (Resting Energy Expenditure)-nya


(58)

dilaporkan 15-20% lebih tinggi daripada orang sehat, dan peningkatan kebutuhan energi untuk bernapas normal diduga menjadi kunci penyebabnya (Ezzel dan Jensen, 2000). Selain itu, berbagai hal seperti atropi otot yang tidak digunakan, inflamasi sistemik, peningkatan Reactive Oxygen Species oleh sitokin-sitokin proinflamasi memainkan peranan penting dalam timbulnya kakhesia pada pasien PPOK (Wagner et al., 2008)

Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh keparahan penyakit dengan penurunan status nutrisional pasien PPOK, dilakukan studi korelasional dalam penelitian ini. Untuk mengetahui hubungan derajat keparahan penyakit dengan kejadian malnutrisi pada pasien PPOK dilakukan dengan menilai korelasi VEP1 dan IMT pada seluruh subjek. Sementara untuk mengetahui pengaruh derajat keparahan penyakit terhadap timbulnya kakhesia serta penurunan massa bebas lemak, digunakan korelasi VEP1 dengan LBMI (lean body mass index). Uji korelasi VEP1 dengan dengan IMT menunjukkan tidak adanya korelasi yang bermakna diantara kedua kelompok tersebut (p>0.05). Dengan kata lain, tidak ada hubungan antara derajat keparahan penyakit PPOK dengan Indeks Massa Tubuh. Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian Ischaki et al (2007) yang menunjukkan masih terdapat hubungan antara nilai VEP1 dengan nilai IMT pada pasien PPOK meskipun nilai korelasi yang dihasilkan sangat lemah yakni dengan nilai r=0.07 dan p=0.49. Hasil yang sama dengan penelitian Ischaki et al juga ditemukan pada penelitian Hansen et al (2001) yang menunjukkan nilai korelasi r=0.18 dengan p=0.001 pada penelitiannya. Beberapa hal yang dapat menimbulkan perbedaan nilai koefisien korelasi (r) dalam penelitian ini diantaranya:

a. Jumlah sampel pada penelitian ini hanya terbatas sebesar 42 orang mengingat keterbatasan waktu dan populasi yang akan diteliti. Sementara pada penelitian Ischaki et al (2007) digunakan sampel sebanyak 100 pasien PPOK stabil, dan pada penelitian Hansen et al digunakan 1586 pasien PPOK.

b. Sampel pada penelitian ini terdiri dari 42 penderita PPOK stabil, dimana 19 orang (45.2%) diantaranya merupakan penderita PPOK berat; 13 orang (31%) penderita PPOK sangat berat; 10 orang (23.8%) penderita PPOK sedang, namun tidak terdapat penderita PPOK yang masih dalam derajat ringan. Hal


(59)

ini diperkirakan akan mempengaruhi nilai hasil penelitian mengingat subjek PPOK stadium ringan sebagian besar masih asimtomatik termasuk dalam hal belum terdapatnya penurunan berat badan secara bermakna akibat penyakit PPOK yang dideritanya, sementara pada penelitian Ischaki terdapat masing-masing 20 sampel pada 4 kelompok berdasarkan derajat penyakitnya, ditambah dengan 1 kelompok kontrol yang tidak menderita PPOK.

c. Perbedaan proporsi tubuh pada sampel diduga juga mempengaruhi hasil penelitian. Semua subjek dalam penelitian ini adalah penduduk asli Indonesia dan termasuk Ras Mongoloid. Sementara itu, subjek penelitian pada penelitian Ischaki et al (2007) merupakan penduduk Amerika. Begitu pula dengan penelitian Hansen et al (2001) yang dilaksanakan di Copenhagen, Denmark. Pada dasarnya orang Asia memiliki IMT yang lebih rendah daripada orang Barat dan memiliki lemak subkutan yang lebih tebal daripada orang Barat (Wang, 1994).

Sementara itu, dari hasil korelasi nilai spirometri VEP1 dengan lean body mass index didapatkan hubungan yang signifikan, dengan nilai korelasi r=0.323 dengan p=0.037. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Weni et al

(2008) yang juga menemukan korelasi bermakna antara LBMI dengan VEP1 dengan nilai r=0.367; p=0.010. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa lean body mass index pada dasarnya lebih menggambarkan variabel keparahan penyakit daripada Indeks Massa Tubuh, sebagaimana yang disebutkan oleh Ischaki et al

(2007). Adapun kekuatan hubungan antara kedua variabel tersebut dinyatakan dengan notasi r (koefisien korelasi). Dalam penelitian ini didapati nilai r = 0,323 yang berarti kekuatan hubungan antara VEP1 dengan LBMI adalah rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Weni et al (2008), namun berbeda dengan penelitian Ischaki et al (2001) yang mendapatkan nilai r = 0.424 (p value = 0,001) atau dengan kata lain hubungan antara kedua variabel adalah sedang. Selain dari jumlah sampel yang berbeda, faktor ras kembali diduga berperan dalam menimbulkan perbedaan nilai koefisien korelasi (r) yang didapatkan pada penelitian ini dengan penelitian Ischaki et al (2007). Subjek penelitian ini


(60)

merupakan penduduk asli Indonesia, sementara penelitian Ischaki et al dilakukan pada penduduk Amerika. Perbedaan komposisi tubuh antara orang Asia dengan Barat dapat mempengaruhi hasil penelitian yang didapat. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa penelitian sejenis yang sebelumnya pernah dilakukan di Indonesia oleh Weni et al (2008) juga mendapatkan korelasi antara VEP1 dan LBMI yang rendah (r=0.367; p=0.010). Selain hal tersebut, masih terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, diantaranya sebagai berikut:

a. Pengukuran lean body mass index pada penelitian ini masih menggunakan perhitungan antopometrik, sehingga faktor berat badan dan tinggi badan masih mempengaruhi nilai lean body mass index yang dihasilkan. Sementara pada penelitian Ischaki et al., perhitungan lean body mass index sudah menggunakan gold standard pengukuran lean body mass index yaitu

bioelectrical impedance analysis.

b. Penelitian ini dilakukan secara cross sectional mengingat keterbatasan waktu dimana pengumpulan data penelitian hanya dalam satu kali pengamatan. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, akan lebih baik bila dilakukan penelitian secara cohort dimana tiap-tiap sampel diikuti seiring dengan perjalanan penyakitnya. Dengan metode ini, akan didapati hubungan yang lebih akurat antara perjalanan penyakit PPOK dengan lean body mass index

maupun Indeks Massa Tubuhnya.

c. Data nilai spirometri dalam penelitian ini menggunakan data rekam medik, sehingga kurang mewakili nilai spirometri pada saat dilakukan penelitian. Namun menimbang perburukan nilai spirometri pada pasien PPOK berjalan sangat lambat dan berlangsung kronik, diasumsikan hasil spirometri dalam data rekam medik dapat mewakili nilai spirometri subjek penelitian.

d. Beberapa variasi sampel seperti usia dan frekuensi olahraga tidak dapat disamakan pada penelitian ini, sementara hal tersebut dapat pula mempengaruhi lean body mass seseorang. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, akan lebih baik bila sampel yang dipilih berusia sama atau pada


(1)

c.

Berat badan

Berat badan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 31-40 kg 4 9.5 9.5 9.5

41-50 kg 14 33.3 33.3 42.9

51-60 kg 14 33.3 33.3 76.2

61-70 kg 5 11.9 11.9 88.1

71-80 kg 5 11.9 11.9 100.0

Total 42 100.0 100.0

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 150-159cm 11 26.2 26.2 26.2

160-169cm 28 66.7 66.7 92.9

170-179cm 3 7.1 7.1 100.0

Total 42 100.0 100.0

Statistics

Berat badan

N Valid 42

Missing 0

Mean 53.167

Std. Deviation 10.7956

Minimum 34.0


(2)

d.

Indeks Massa Tubuh

Statistics

Indeks Massa Tubuh

N Valid 42

Missing 0

Mean 20.0776

Median 19.2951

Std. Deviation 3.79856

Minimum 12.80

Maximum 29.24

Indeks Massa Tubuh

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Underweight 15 35.7 35.7 35.7

Normoweight 18 42.9 42.9 78.6

Pre-Obese 4 9.5 9.5 88.1

Obese I 5 11.9 11.9 100.0

Total 42 100.0 100.0

e.

Lean Body Mass Index

Statistics

Lean Body Mass Index

N Valid 42

Missing 0

Mean 16.7554

Std. Deviation 1.91684

Minimum 12.56


(3)

LBMI kelompok

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid LBMI<16 15 35.7 35.7 35.7

LBMI>=16 27 64.3 64.3 100.0

Total 42 100.0 100.0

f.

Derajat Keparahan PPOK

3.

Diagram Tebar

a.

Diagram tebar VEP1-IMT

Derajat PPOK

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid PPOK sedang 10 23.8 23.8 23.8

PPOK berat 19 45.2 45.2 69.0

PPOK sangat berat 13 31.0 31.0 100.0


(4)

b.

Diagram tebar VEP1-LBMI

4.

Analisa Korelasi Pearson

a.

Korelasi VEP1 dengan IMT

Correlations

Indeks Massa

Tubuh VEP1

Indeks Massa Tubuh Pearson Correlation 1 .289

Sig. (2-tailed) .063

N 42 42

VEP1 Pearson Correlation .289 1

Sig. (2-tailed) .063

N 42 42

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N Indeks Massa Tubuh 20.0776 3.79856 42


(5)

b.

Korelasi VEP1 dengan LBMI

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

VEP1 38.1219 13.48457 42

Lean Body Mass Index 16.7554 1.91684 42

Correlations

VEP1 Lean Body Mass Index

VEP1 Pearson Correlation 1 .323*

Sig. (2-tailed) .037

N 42 42

Lean Body Mass Index Pearson Correlation .323* 1

Sig. (2-tailed) .037

N 42 42

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

5.

Analisis Uji Regresi Linier

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .323a .104 .082 1.83678

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 15.695 1 15.695 4.652 .037a

Residual 134.951 40 3.374

Total 150.646 41

a. Predictors: (Constant), VEP1

b. Dependent Variable: Lean Body Mass Index


(6)

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

T Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 15.006 .859 17.468 .000

VEP1 .046 .021 .323 2.157 .037