3. Hubungan PPOK dengan Klasifikasi

dengan IMT rendah daripada yang memiliki IMT yang lebih tinggi. Namun, massa bebas lemak sama dalam dua kelompok, yang artinya kadar leptin ini lebih ditentukan oleh massa lemak. Oleh karena itu, leptin sepertinya kurang berperan dalam kakhesia pada PPOK seperti yang didefinisikan oleh pengurangan massa bebas lemak. Sebaliknya, leptin secara signifikan menggambarkan massa lemak Wagner, 2008.

2. 3. Hubungan PPOK dengan

lean body mass index Salah satu manifestasi sistemik utama pada pasien PPOK adalah disfungsi otot dan pengurangan massa otot. Dengan bertambah beratnya penyakit, penderita PPOK kehilangan banyak otot, khususnya otot paha dan lengan atas. Selanjutnya penderita kehilangan kekuatan latihan dan mengeluh lemah, sesak napas dan berkurang aktifitas Sin Man, 2006. Kakhesia adalah suatu keadaan kelainan metabolisme patologis yang ditandai penurunan berat badan yang ekstrim akibat kehilangan massa otot dengan atau tanpa kehilangan massa lemak. Kakhesia sering ditemukan pada penyakit PPOK dan angka kejadiannya meningkat sesuai derajat PPOK. Ditemukan terjadi pengurangan massa sel otot dan kelemahan otot sebagai hasil dari apoptosis dan atropi otot karena tidak digunakan GOLD, 2006. Massa otot yang rendah akan berhubungan dengan kelemahan otot perifer dan penurunan status fungsional, sehingga menurunkan kualitas hidup penderita. Dengan menggunakan IMT, kakhesia didefinisikan sebagai IMT 21 kgm2. Yang menjadi masalah dengan menggunakan IMT adalah bahwa tidak dapat dibedakannya dua orang dengan IMT yang sama tetapi komposisi tubuh yang berbeda. Pada seorang penderita PPOK bisa mengalami kehilangan massa otot yang bermakna namun memiliki cadangan lemak yang berlebih sebagai akibat dari kurangnya aktivitas fisik, sehingga menghasilkan IMT yang sama Martua, 2010. Sesuai dengan definisi kakhesia dimana kehilangan massa otot lebih dominan dibandingkan kehilangan lemak, maka perhitungan massa tubuh harus dengan pengurangan massa lemak, hal ini dikenal dengan lean body mass LBM Schols, 2005. Massa tubuh tanpa lemak dapat dinyatakan dalam kg sebagai Universitas Sumatera Utara lean body mass atau fat free mass of body mass atau dalam kgm 2 sebagai lean body mass index. Lean body mass index LBMI atau disebut juga fat free mass index FFMI dihitung dengan lean body mass dibagi kuadrat tinggi badan dalam m 2 Ischaki et al., 2005. Batas bawah normal untuk LBMI adalah 16kgm 2 untuk laki-laki dan 15 kgm 2 untuk perempuan Hallin, 2009. Lean body mass sendiri adalah berat massa tubuh tanpa lemak storage lipid. Dengan menggunakan LBMI, kakhesia didefinisikan sebagai lean body mass index di bawah 16 kgm 2 untuk laki-laki dan di bawah 15 kgm 2 untuk perempuan Wagner, 2008. LBMI disarankan dalam penilaian komposisi tubuh sebagai penanda sistemik keparahan penyakit pada PPOK. LBMI ditemukan lebih spesifik daripada IMT ketika digunakan untuk menilai derajat keparahan penyakit dan stadium keparahan Hallin, 2009. Sejalan dengan hal itu pula sebuah penelitian oleh Ischaki et al. 2007 membuktikan LBMI lebih akurat dalam menggambarkan keparahan penyakit daripada IMT. Dalam penelitian tersebut, ditemukan korelasi yang lebih besar antara LBMI dan nilai VEP 1 r 2 =0,18; p=0.001 daripada korelasi IMT dan nilai VEP 1 r 2 =0.05; p=0.49. Semakin berat derajat keparahan penyakit pada pasien PPOK, maka semakin berat pula kakhesia yang dialaminya. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Schols et al. 2005 yang membuktikan bahwa lean body mass index berkaitan dengan derajat keparahan GOLD stage of disease severity pada pasien PPOK. Penelitian yang dilakukan pada 71 subjek PPOK dengan GOLD derajat II, 134 pasien dengan GOLD derajat III dan 207 subjek PPOK dengan GOLD derajat IV tersebut menunjukkan bahwa angka kakhesia secara signifikan lebih tinggi pada subjek dengan GOLD derajat IV daripada derajat II dan III p=0.001. Sebuah penelitian di Eindhoven, Belanda yang dilakukan pada 127 subjek pasien PPOK derajat III GOLD dan 53 subjek dengan derajat IV GOLD juga membuktikan hal yang serupa. Penelitian ini membuktikan bahwa pasien dengan GOLD III mempunyai rata-rata nilai LBMI lebih rendah daripada derajat GOLD II 17.0 kgm² vs 17.8 kgm², p 0.05 Wetering et al., 2008. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka diperkirakan semakin berat derajat obstruksi pernapasan pasien PPOK, maka semakin berkurang pula massa Universitas Sumatera Utara ototnya, maka makin berkurang pula lah lean body mass-nya. Hal ini diperkuat pula oleh suatu penelitian pada 100 orang subjek PPOK dengan 20 subjek kontrol dan masing-masing 20 subjek pada GOLD I-IV, yang menunjukkan adanya korelasi kuat antara lean body mass index dengan nilai spirometri VEP 1 r 2 = 0.18 p=0.001, dan nilai VEP 1 KVP r 2 = 0.21 p=0.007 Ischaki et al., 2007 Sungguhpun demikian, sebuah penelitian yang dilakukan pada 12 pasien PPOK dengan derajat obstruksi pernapasan sedang VEP 1 52+17 tidak berhasil menemukan adanya korelasi yang signifikan antara lean body mass index dengan nilai spirometri VEP 1 p0.05 Silvia, 2008. Oleh karena itu, masih diperlukan studi lanjutan untuk menguji hubungan antara nilai spirometri dengan lean body mass pada pasien PPOK. Universitas Sumatera Utara BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian