Manfaat dan Potensi Embriogenesis Somatik Sagu (Metroxylon Sagu Rottbol) Metode Kultur Cair Untuk Pengembangan Teknologi Perbanyakan Benih Bermutu

Kelebihan benih embriogenesis somatik tanaman adalah mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang di lapangan dengan baik dan kokoh. Hal ini karena embrio somatik mempunyai poros bipolar yang menghubungkan titik tumbuh bagian atas dan titik tumbuh bagian bawah. Titik tumbuh bagian atas atau SAM shoot apical meristem akan mendorong pertumbuhan dan perkembangan tunas, sedangkan titik tumbuh bagian bawah berupa RAM root apical meristem akan mendorong pertumbuhan dan perkembangan perakaran. Melalui poros tersebut, titik tumbuh bagian atas akan mendukung dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perakaran sehingga akar tumbuh dan berkembang secara kokoh Tahardi et al. 2002; Deo et al. 2010. Hal ini mirip seperti pertumbuhan dan perkembangan dari biji yang mempunyai perakaran utama yang kokoh. Perakaran yang kokoh akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman di lapangan sehingga berpengaruh pada hasil panen. Proses pembentukan atau induksi embrio somatik dimulai dengan mengulturkan bahan tanam berupa eksplan explants yang berupa sel, jaringan ataupun organ. Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua jalur, yaitu secara langsung maupun tidak langsung melewati fase kalus. Keberhasilan induksi embrio somatik dipengaruhi oleh sifat embriogenisitas pada kalus atau sel dengan ciri-ciri sebagai berikut: sel berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil-kecil dan mengandung butir pati Purnamaningsih 2002; Deo et al. 2010. Keuntungan atau kelebihan teknologi embriogenesis somatik dibandingkan dengan perbanyakan tanaman konvensional adalah dapat diperoleh benih yang bersifat klonal seragam dalam waktu relatif singkat dengan jumlah atau skala yang lebih massal Tahardi et al. 2002; Deo et al. 2010. Keberhasilan embriogenesis somatik tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu komposisi media, jenis eksplan dan genotipe tanaman, penggunaan zat pengatur tumbuh ZPT, lingkungan mikro seperti aerasi, intensitas cahaya dan temperatur Tahardi et al. 2002; Alkhateeb 2006; Deo et al. 2010. Faktor yang paling berpengaruh adalah komposisi dan konsentrasi dari jenis ZPT yang digunakan dalam media. Biasanya untuk menginduksi embrio somatik diperlukan auksin dalam konsentrasi rendah yang dikombinasikan dengan sitokinin yang sama atau lebih tinggi namun hal ini tergantung pada jenis tanaman. Ada beberapa tanaman yang dapat diinduksi embrio somatiknya hanya dengan menggunakan sitokinin saja. Konsentrasi auksin yang lebih tinggi akan mendorong pertumbuhan kalus dan justru akan menghambat induksi embriogenesis. Intensitas cahaya yang terlalu rendah atau kondisi gelap akan menghambat proses induksi embriogenesis somatik. Pemberian ABA dalam konsentrasi rendah atau sangat rendah dengan peningkatan konsentrasi sitokinin dan tanpa pemberian auksin akan mendorong pendewasaan embrio somatik Tahardi et al. 2002; Deo et al. 2010. Penelitian teknologi embriogenesis somatik telah berhasil dikembangkan pada beberapa tanaman dikotil maupun monokotil Deo et al. 2010. Khusus pada tanaman palma, pengembangan embriogenesis somatik juga telah berhasil seperti pada kelapa sawit Rival et al. 1997, kelapa Saenz et al. 2006, kurma Alkhateeb 2006, pejibaye atau peach palm Steinmacher et al. 2007 dan sagu Tahardi et al. 2002. Teknologi embriogenesis somatik pada tanaman sagu yang dikembangkan oleh Tahardi et al. 2002 menggunakan sistem kultur media padat dengan eksplan berupa jaringan pucuk meristem dari tunas anakan muda sucker. Eksplan dikulturkan pada medium MS Murashige dan Skoog 1962 yang modifikasi untuk mendapatkan kalus. Selanjutnya, embrio somatik diinduksi dari kalus embriogenik yang merupakan hasil perkembangan kalus tersebut. Perkembangan embrio somatik tanaman sagu pada medium padat juga telah dilaporkan oleh Riyadi et al. 2005. Dari kalus awal seberat 0.3 g dapat dihasilkan sebanyak 130-200 embrio somatik pada berbagai fase perkembangan dalam waktu 4 minggu. Embrio somatik telah berhasil tumbuh dan berkembang menjadi planlet. Planlet yang telah mempunyai sistem perakaran baik atau sempurna maka selanjutnya diaklimatisasi pada komposisi media yang sesuai. Planlet yang tumbuh dan berkembang menjadi benih dalam sungkup dan pre- nursery selanjutnya ditransfer ke pesemaian main-nursery sampai menjadi benih yang siap tanam di lapang Riyadi dan Sumaryono 2010. Namun, dalam perkembangannya terutama untuk tujuan produksi skala lebih besar, sistem kultur media padat tersebut masih memiliki beberapa kendala. Beberapa masalah atau kendala kultur media padat sagu antara lain: 1. Adanya variasi embrio somatik yang meliputi warna, ukuran dan tahap perkembangan Kasi dan Sumaryono 2006 yang kemungkinan diakibatkan oleh perbedaan tingkat penyerapan nutrisi dari media padat. 2. Terdapat planlet yang dihasilkan masih kurang vigor Sumaryono et al. 2009 sehingga pertumbuhannya menjadi lambat. 3. Kapasitas produksi embrio somatik masih terbatas. 4. Memerlukan peralatan, bahan media dan tenaga yang relatif banyak. Hal ini mendorong dikembangkannya penelitian embriogenesis somatik sagu yang lebih efisien untuk produksi sagu dalam jumlah yang lebih massal dengan waktu yang relatif lebih singkat. Teknik kultur in vitro dengan embriogenesis somatik menggunakan kultur cair telah banyak dikembangkan. Teknik kultur cair memiliki beberapa kelebihan dibandingkan kultur media padat yaitu: bersifat lebih massal Etienne dan Berthouly 2002; Hvoslef-Eide et al. 2003; Jones et al. 2007, lebih efisien dalam penggunaan bahan media, peralatan dan tenaga kultur, serta lebih praktis dan ringan proses pengerjaannya. Selain sistem kultur suspensi, teknik kultur cair lain adalah sistem perendaman periodik yang dikenal dengan sistem perendaman sesaat SPS atau temporary immersion system TIS. Pada sistem ini perendaman berlangsung tidak terus menerus sehingga transfer oksigen cukup, pencampuran memadai, kontaminasi rendah, dan biaya relatif murah Teisson et al. 1999; Etienne dan Berthouly 2002. Perbedaan utama kondisi kultur antara metode media padat, suspensi dan TIS adalah frekuensi dan lama kontak eksplan dengan media. Eksplan pada kultur media padat mengalami kontak dengan media secara terus-menerus namun eksplan tetap diam berada pada tempat semula sehingga tingkat penyerapan media dan oksigen pada setiap bagian eksplan tidak sama gradien nutrisi. Pada kultur suspensi, eksplan terendam dalam media secara terus-menerus dan mengalami pengocokan sehingga tingkat penyerapan media dan oksigen lebih merata dibandingkan dengan kultur media padat. Kultur SPS merupakan modifikasi kultur suspensi dengan mengatur interval dan lama perendaman media sehingga tingkat sirkulasi oksigen aerasi, penyerapan media lebih baik dibandingkan dengan kultur media padat dan tidak mengalami perendaman media secara terus- menerus seperti pada kultur suspensi.