2 4
6 8
10 12
Kontrol Kinetin 1
Kinetin 3 Kinetin 5
Kinetin 1 + TDZ 1
Kinetin 3 + TDZ 1
Kinetin 5 + TDZ 1
Pertumbu h
a n
bio m
a ss
a m
L, d
a la
m C
V S
Komposisi dan konsentrasi ZPT mg L
-1
Kultur-2 Kultur-1
ab ab
ab ab
b b
a A
A A
A A
A
A
Fenomena pertumbuhan dan perkembangan kultur suspensi sagu ini mirip dengan hasil penelitian kultur suspensi kina yang dilakukan oleh Sumaryono dan
Riyadi 2005, yang menunjukkan bahwa pada tahap kultur awal terjadi peningkatan biomassa pesat karena sedang berlangsung tahap proliferasi sel
membentuk agregat sel yang lebih besar. Selanjutnya, pada tahap perkembangan membentuk embrio somatik akan menurunkan laju pertumbuhan biomassa.
Secara umum, pada kultur kedua subkultur masih menunjukkan adanya peningkatan biomassa kalus yang hampir sama dan tidak berbeda nyata antar
perlakuan. Pertumbuhan biomassa pada kultur kedua tertinggi dicapai pada perlakuan kinetin dikombinasikan dengan TDZ pada konsentrasi masing-masing
sebesar 1 mg L
-1
dan terendah pada perlakuan kinetin 1 mg L
-1
dikombinasikan dengan TDZ 1 mg L
-1
Gambar 3.4
Huruf kapital atau non kapital yang sama pada diagram yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji j
arak berganda Duncan pada α = 0.05.
Gambar 3.4 Pertumbuhan biomassa kultur suspensi sagu dalam CVS mulai dari kultur pertama dan kultur kedua subkultur.
Peningkatan bobot segar biomassa sagu saat panen ditunjukkan pada Tabel 3.1. Bobot segar tertinggi dicapai oleh perlakuan kinetin dikombinasikan dengan
TDZ pada konsentrasi masing-masing sebesar 1 mg L
-1
4.2 gErlenmeyer namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hasil ini menunjukkan kesesuaian
dengan hasil pengamatan metode CVS. Namun, ada beberapa perlakuan yang tidak sama hasilnya yaitu pada perlakuan kinetin 5 mg L
-1
dikombinasikan dengan TDZ 1 mg L
-1
yang menghasilkan hasil CVS terendah namun hasil bobot segar lebih tinggi tidak terendah yaitu sebesar 3.6 gErlenmeyer yang nilainya lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol yang hanya menghasilkan bobot segar 3.1 gErlenmeyer. Hal ini berarti nilai biomassa CVS tertinggi tidak menjamin bobot
segar tertinggi karena masih dipengaruhi tingkat kerapatan agregat sel pada kalus atau embrio somatik sagu.
3.3.1.2 Kecenderungan Perubahan Warna
Pada awal kultur, kalus berwarna kekuningan Gambar 3.5.a. Seiring dengan perkembangan kultur dari kalus berdiferensiasi menjadi embrio somatik,
terjadi perubahan warna dominan pada permukaan pro embrio dan embrio somatik. Perubahan warna ini sesuai dengan perubahan bentuk fase dan ukuran
embrio somatik. Pada kultur pertama kultur 6 minggu, terlihat perubahan warna dari kekuningan menjadi warna yang lebih pekat atau keputih-putihan dengan
terjadinya perubahan bentuk dan ukuran yang membulat. Selanjutnya, pada saat subkultur atau kultur kedua kultur 10 minggu, perubahan kalus semakin jelas
dengan membentuk membulat menjadi bentuk globular dengan warna permukaan yang semakin jelas yang disebut sebagai pro embrio dan embrio globular. Pada
saat panen, telah dihasilkan beberapa fase embrio yang lebih dewasa yaitu elongated dan scutellar Gambar 3.5.a-d.
Gambar 3.5 Embrio somatik pada kultur suspensi sagu umur 10 minggu: a.
Pengukuran pertumbuhan biomassa metode CVS, b. Agregat embrio somatik diamati dari dasar erlenmeyer, c. Penyaringan
embrio somatik dari suspensi, d. Embrio somatik setelah disaring, dan e. Penampang membujur embrio somatik fase early
elongated
. Bar = 1 cm kecuali pada no. e. SAM: Shoot Apical
Meristem
, RAM: Root Apical Meristem.
Pada saat panen, sebagian besar embrio somatik yang terbentuk menunjukkan warna krem atau putih-kekuningan pada semua perlakuan. Ada
beberapa embrio somatik yang berwarna kecoklatan terutama pada bentuk yang lebih besar, khususnya pada perlakuan perlakuan kinetin 3 mg L
-1
dikombinasikan
a b
c
d e
SAM
RAM
9 8
9 9
7 8
8
2 4
6 8
10
Kontrol Kinetin 1
Kinetin 3 Kinetin 5
Kinetin 1 + TDZ 1
Kinetin 3 + TDZ 1
Kinetin 5 + TDZ 1
Peri o
d e
ku ltu
r mi
n g
g u
Komposisi dan konsentrasi ZPT mg L
-1
dengan TDZ 1 mg L
-1
dan perlakuan kinetin 5 mg L
-1
dikombinasikan dengan TDZ 1 mg L
-1
Tabel 3.1. Perubahan warna kalus menjadi embrio somatik ataupun embrio somatik fase muda berkembang menjadi fase lebih dewasa biasa
terjadi pada kultur tanaman. Hal ini juga terjadi pada kultur sagu pada media padat yang dilakukan oleh Kasi dan Sumaryono 2006 yang menunjukkan
perubahan warna dari kekuningan menjadi kemerahan atau kecoklatan pada tahap perkembangan pendewasaan embrio somatik.
Tabel 3.1 Bobot segar dan warna dominan kultur suspensi sagu pada saat panen
umur 10 minggu. Perlakuan
Rerata bobot segar g
Warna dominan Kinetin
mg L
-1
TDZ mg L
-1
3.1 + 0.402 Krem
1 3.2 + 0.736
Putih-kekuningan 3
3.7 + 0.736 Krem
5 3.7 + 0.572
Krem 1
1 4.2 + 0.221
Krem 3
1 3.8 + 0.247
Kecoklatan 5
1 3.7 + 0.434
Kecoklatan
Nilai rata-rata ± SE dari 10 ulangan per perlakuan. Bobot segar awal kultur: 0.3 gErlenmeyer.
3.3.1.3 Induksi Embrio Somatik
Proses pembentukan embrio somatik mulai terlihat pada umur 7 – 9 minggu setelah kultur. Kalus yang berwarna putih berubah menjadi putih-
kekuningan atau kehijauan dengan struktur yang lebih kompak yang disebut sebagai embrio globular terjadi pada saat proses embriogenesis somatik Gambar
3.5.a. Konsentrasi kinetin 1 mg L
-1
dikombinasikan dengan TDZ 1 mg L
-1
dapat mendorong proses inisiasi embrio somatik lebih cepat dan lebih banyak. Semua
kultur membentuk embrio somatik pada umur 9 minggu atau lebih Gambar 3.6.
Gambar 3.6 Rerata lama waktu inisiasi embrio somatik pada kultur suspensi sagu.
b a
a
b a
ab ab
20 40
60 80
100 120
140 160
180
Kontrol Kinetin 1
Kinetin 3 Kinetin 5
Kinetin 1 + TDZ 1
Kinetin 3 + TDZ 1
Kinetin 5 + TDZ 1
Ju ml
a h
embri o
s o
matik b
u a
h
Komposisi dan konsentrasi ZPT mg L
-1
Perolehan embrio somatik tertinggi dicapai oleh perlakuan kinetin 1 mgL
-1
dikombinasikan dengan TDZ 1 mg L
-1
sebesar 133.7 buah yang berbeda nyata dengan perlakuan kinetin 5 mg L
-1
dikombinasikan dengan TDZ 1 mg L
-1
dan kontrol, namun tidak berbeda nyata dengan beberapa perlakuan lainnya. Perlakuan
kinetin 1 mg L
-1
merupakan perlakuan paling efisien karena dapat menghasilkan rerata embrio somatik yang cukup banyak 123.9 buahbejana yang secara
statistik hasilnya sama dengan perlakuan kinetin 1 mg L
-1
+ TDZ 1 mg L
-1
. Perolehan embrio somatik terendah terdapat pada kontrol sebesar 39.9 buah. Pada
perlakuan kombinasi kinetin dengan TDZ mampu menghasilkan embrio somatik lebih fase dewasa elongated dan scutellar lebih banyak dibandingkan dengan
perlakuan kinetin secara tunggal Gambar 3.7. Semua perlakuan menghasilkan embrio somatik meskipun berbeda waktu
inisiasi, jumlah dan fase perkembangan embrio somatik yang terbentuk. Terlihat perbedaan ukuran embrio somatik fase muda awal dengan fase yang lebih lanjut.
Embrio somatik yang muda terlihat keputih-putihan dan krem, sedangkan embrio somatik fase lebih lanjut terlihat kemerahan, krem tua dan kecoklatan Gambar
3.5.a-d.
Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji jarak bergandaDuncan pada α = 0.05.
Gambar 3.7 Rerata jumlah embrio somatik hasil induksi embriogenesis somatik pada semua perlakuan ZPT teknik kultur suspensi pada umur 10
minggu. Penggunaan sikoninin berupa kinetin dan TDZ akan mendorong terjadinya
proses embriogenesis somatik. Penggunaan sitokinin yang akurat baik jenis, konsentrasi maupun kombinasi antar sitokinin dapat meningkatkan induksi embrio
somatik. Kombinasi kinetin dan TDZ mampu menginduksi embrio somatik lebih cepat dan banyak dibandingkan penggunaan secara tunggal. Penggunaan
kombinasi sitokinin dengan jenis dan konsentrasi yang akurat akan mendorong proses embriogenesis yang lebih baik karena proses stimulasi enzim yang
mendorong proses embriogenesis somatik lebih baik kuat. Hal ini karena proses fisiologi sel dalam mengatur energi lebih difokuskan dalam pembentukan
embriogenesis somatik akibat pengaruh enzim-enzim yang berperan dalam embriogenesis somatik.
Kinetin dan TDZ juga telah berhasil menginduksi embriogenesis somatik pada tanaman Limoniumsinensis menggunakan TDZ 4.54 µM Dam et al. 2010,
Coffea canephora P ex Fr. menggunakan kinetin 0.93 µM Ramakrishna et al.
2011, Echinacea purpurea L. menggunakan TDZ 2.5 µM Jones et al. 2007. Pada penelitian sagu ini, penggunaan kombinasi kinetin dan TDZ dengan
konsentrasi masing-masing 1 mg L
-1
akan meningkatkan dan mempercepat proses embriogenesis somatik.
3.3.1.4 Studi Histologi
Sampel embrio somatik yang diseleksi untuk diamati histologi adalah fase perkembangan globular atau early elongated. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa, susunan sel pada embrio somatik terlihat rapat dan warna lebih pekat. Hal ini menunjukkan salah satu ciri embrio somatik yang mengandung susunan sel
yang rapat dengan isi sel terlihat lebih pekat karena banyak mengandung pati yang akan digunakan sebagai sumber untuk proses perkembangan lebih lanjut El
Dawayati et al. 2012. Pada pengamatan preparat hasil potongan secara membujur, terlihat atau terdapat dua kutub perkembangan bipolar berupa SAM
shoot apical meristem dan RAM root apical meristem. Preparat embrio
somatik yang telah diwarnai staining dengan FAA dan Fastgreen menunjukkan adanya SAM dan RAM dengan pengamatan mikroskop Nikon Eclipse model
E100 dengan perbesaran 4 X 10 menggunakan software Optilab Gambar 3.5.e. Embrio somatik yang telah mengandung SAM dan RAM mencirikan
embrio somatik tersebut normal dan mempunyai potensi besar untuk berkembang ke fase lebih lanjut dan akhirnya berkecambah menjadi planlet. SAM akan
menginisiasi tumbuhnya primordia tunas plumulae, sedangkan RAM akan menginisiasi tumbuhnya primordia akar radiculae. Pada proses perkecambahan
embrio somatik, kedua primordia tersebut akan tumbuh dan berkembang menjadi tunas dan akar sehingga terbentuk planlet sempurna El Dawayati et al. 2012;
Alcantara et al. 2014.
3.3.2 Embriogenesis Somatik dengan Tiga Metode Kultur
3.3.2.1 Proliferasi Kalus dan Pertumbuhan Biomassa
Kalus yang dikulturkan pada semua perlakuan mengalami proliferasi yang cukup pesat. Pertumbuhan biomassa kalus meningkat cukup tinggi 500 dari
bobot segar awal setelah 6 minggu kultur kultur 6 minggu. Setelah disubkultur, pertumbuhan biomassa masih meningkat pesat khususnya pada perlakuan metode
kultur suspensi Gambar 3.8. Pada kultur 6 minggu, proliferasi kalus yang diukur berdasarkan pada
bobot segar tertinggi dicapai oleh perlakuan metode kultur suspensi dengan penambahan 2,4-D 15 mg L
-1
+ kinetin 0.1 mg L
-1
dengan rerata bobot segar 7.1 gbejana atau 14 kali lipat dari bobot basah pada saat awal kultur 0.5 gbejana
yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya kecuali perlakuan metode kultur
4 8
12 16
20
5 10
15 5
10 15
5 10
15
Bob ot
seg a
r g
Perlakuan metode kultur dan konsentrasi 2,4-D mg L
-1
Lama kultur: 12 minggu Lama kultur: 6 minggu
a c
c c
c A
DE DE
DE E
CD CD
CD BC
AB CD
BC
a ab
a bc
bc c
bc TIS
Media padat Suspensi
suspensi Gambar 3.8. Proliferasi terendah diperoleh oleh perlakuan metode kultur TIS dengan penambahan 2,4-D 15 mg L
-1
+ kinetin 0.1 mg L
-1
dengan rerata bobot segar 2.1 gbejana atau empat kali lipat dari bobot segar awal kultur.
Huruf kapital atau non kapital yang sama pada diagram yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji j
arak berganda Duncan pada α = 0.05.
Gambar 3.8 Proliferasi dan pertumbuhan biomassa sagu pada periode kultur 6
dan 12 minggu pada kombinasi perlakuan konsentrasi ZPT dengan ketiga bentuk kultur.
Pada kultur 12 minggu, proliferasi kalus dan pertumbuhan biomassa tertinggi masih dicapai oleh perlakuan metode kultur suspensi dengan
penambahan 2,4-D 15 mg L
-1
+ kinetin 0.1 mg L
-1
yang menghasilkan bobot segar sebanyak 12.0 gbejana atau 22 kali lipat dari kultur awalinisiasi sebanyak 0.5
gbejana. Secara umum biomassa mengalami pertumbuhan pada semua perlakuan, namun lajunya sudah mulai menurun dibandingkan pada kultur 6
minggu Gambar 3.8. Adanya penurunan laju biomassa sagu ini karena terjadi perkembangan kalus embriogenik membentuk embrio somatik, sehingga energi
yang ada pada kalus digunakan untuk perkembangan menginduksi embrio somatik. Hal ini mirip pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Zhao et al.
2015 mengenai induksi embriogenesis somatik pada tanaman karet yang menunjukkan adanya penurunan laju biomassa seiring adanya inisiasi embrio
somatik pada media MS dengan penambahan 2,4-D 1 mg L
-1
+ 1 mg L
-1
6-BA + 1 mg L
-1
kinetin + 0.5 GA
3
+ 0.1 mg L
-1
ABA.
3.3.2.2 Induksi Embriogenesis Somatik
Pada kultur 6 minggu, perolehan embrio somatik hasil induksi menunjukkan kondisi yang berlainan dengan peubah proliferasi kalus. Meskipun
pada metode TIS menghasilkan proliferasi kalus terendah, namun perolehan rata- rata embrio somatiknya merupakan tertinggi dibandingkan dengan metode
50 100
150 200
250 300
350 400
450
5 10
15 5
10 15
5 10
15
Jum la
h e
mbrio soma
ti k
buah
Perlakuan metode kultur dan konsentrasi 2,4-D mg L
-1
Lama kultur: 12 minggu Lama kultur: 6 minggu
d bcd
cd bcd
bcd a
bc bcd
cd b
cd d
C A
BC AB
C BC
BC BC
C C
C C
Suspensi TIS
Media padat
suspensi maupun media padat dengan hasil yang berbeda nyata secara statistik Gambar 3.9.
Pada kultur 12 minggu, perkembangan induksi embrio somatik semakin pesat. Meskipun metode kultur suspensi pada kultur 6 minggu menghasilkan
embrio somatik paling sedikit, namun pada kultur 12 mampu menghasilkan embrio somatik yang banyak dan jauh di atas kedua metode kultur lainnya.
Perolehan embrio somatik tertinggi sebesar 384.7 embrio dicapai oleh metode kultur suspensi dengan media yang mengadung 2,4-D 5 mg L
-1
+ kinetin 0.1 mg L
-1
yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya kecuali metode kultur suspensi dengan media yang mengadung 2,4-D 15 mg L
-1
+ kinetin 0.1 mg L
-1
Gambar 3.9. Metode kultur TIS menghasilkan embrio somatik lebih tinggi dibandingkan
dengan kultur media padat.
Huruf kapital atau non kapital yang sama pada diagram yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji j
arak berganda Duncan pada α = 0.05.
Gambar 3.9 Induksi embrio somatik sagu pada periode kultur 6 dan 12 minggu pada kombinasi perlakuan konsentrasi ZPT dengan ketiga bentuk
kultur. Adanya induksi embriogenesis somatik yang sangat pesat pada metode
suspensi ini juga akibat pengaruh pertumbuhan biomassa yang sangat pesat pada tahap kultur 6 minggu. Hal ini karena kultur suspensi memberikan peluang kalus
dalam penyerapan media yang paling banyak dibandingkan metode kultur lainnya. Pada saat kultur 12 minggu, sejalan dengan perkembangan menjadi embrio
somatik yang didorong pengaruh ZPT 2,4-D konsentrasi relatif rendah 5 mg L
-1
dikombinasikan dengan kinetin 0.1 mg L
-1
, maka sebagian besar biomassa yang besar tadi berkembang menjadi embrio somatik sehingga perolehan embrio
somatik menjadi paling besar. Pada kultur berikutnya, kalus tersebut akan diinduksi menjadi embrio somatik yang dipacu dengan penambahan 2,4-D 5 mg
L
-1
dan kinetin 0.1 mg L
-1
. Fenomena ini mirip pada tahapan embriogenesis somatik tanaman kurma yang menggunakan 2,4-D konsentrasi 1 – 100 mg L
-1
yang dikombinasikan dengan BAP 1 mg L
-1
Alkhateeb 2006; Boufis et al. 2014.
Metode kultur suspensi dapat menghasilkan embrio somatik tertinggi dibanding kedua metode kultur lainnya karena pada kultur suspensi, proses penyerapan
nutrisi dari media ke dalam sel-sel kalus paling intensif dan tidak terjadi gradien nutrisi seperti pada media padat. Hal ini disebabkan semua permukaan kalus dapat
menyerap nutrisi dan oksigen secara merata dan optimal setiap saat. Proses pengocokan di atas shaker dapat mendorong proses pertukaran gas dalam bejana
lebih baik yaitu gas CO
2
dari dalam media dapat dikeluarkan dari media ke udara dalam bejana. Demikian juga, proses pertukaran gas O
2
dari udara dalam bejana yang masuk ke dalam media cair juga dapat berjalan lebih baik. Proses fisiologi
yang dipengaruhi dari iklim mikro dalam bejana ini sangat berperan penting dalam metabolisme sel-sel yang dapat meningkatkan proses penyerapan ZPT dan
nutrisi sehingga proses pembentukan energi lebih baik yang akan digunakan untuk proses embriogenesis somatik. Kondisi metabolisme yang baik juga dapat
mendorong aktivasi enzim-enzim yang terkait dengan proses metabolisme dan fisiologi dalam sel termasuk proses aktifitas enzim yang mendrorong proses
embriogenesis somatik. Perolehan embrio somatik sagu yang tinggi ini juga disebabkan adanya
pembentukan embrio somatik sekunder atau SSE secondary somatic embryos yang dipengaruhi oleh 2,4-D konsentrasi relatif rendah 5 mg L
-1
yang dikombinasikan dengan kinetin 0.1 mg L
-1
. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian induksi dan proliferasi embrio somatik sekunder atau SSE pada tanaman
Cyclamen persicum yang dapat mencapai 3306 embriog bobot segar dengan
penambahan 2,4-D 2 mg L
-1
dikombinasikan dengan 0.2 mg L
-1
BA You et al. 2011. Peranan 2,4-D atau auksin lainnya yang dikombinasikan dengan sitokinin
akan memacu proliferasi kalus dan embrio somatik dengan pembentukan embrio somatik sekunder yang lebih pesat sehingga produksi embrio somatik secara
keseluruhan lebih banyak. 3.3.2.3 Persentase Hidup Kultur
Persentase hidup sagu pada kultur 6 minggu dan kultur 12 minggu terdapat sedikit perbedaan. Secara umum, persentase hidup pada kultur 12 minggu
mengalami peningkatan dibandingkan pada kultur 6 minggu kecuali pada metode kultur TIS. Sebaliknya, pada metode kultur suspensi mengalami peningkatan yang
sangat baik bahkan mencapai 100 pada semua perlakuan Tabel 3.2. Secara umum, persentase hidup kultur sagu tertinggi dicapai pada metode
kultur suspensi, baik kultur 6 minggu maupun kultur 12 minggu Tabel 3.2. Hal ini disebabkan metode kultur suspensi merupakan teknik yang paling praktis,
lebih singkat dalam proses pengerjaan kultur serta mempunyai tutup yang rapat bersifat statis sehingga tidak ada pertukaran dengan udara luar seperti pada
metode TIS. Adanya konstruksi yang paling rapat pada metode kultur suspensi ini lebih menjamin bebas dari kontaminasi karena celah dan peluang kontaminasi
paling sedikit dibandingkan dengan metode TIS dan media padat. Konstruksi TIS mempunyai susunan yang paling rumit dan banyak celah yang dapat berpeluang
terkontaminasi. Metode media padat dalam botol jar mempunyai celah dan peluang rentan kontaminasi yaitu antara tutup dengan drat botol jar. Metode kultur
suspensi tidak ada celah penyebab kontaminasi karena tutup bejana atau Erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil dengan diikat karet sehingga sangat
rapat dan lebih kedap udara. Udara yang masih bisa masuk dalam bejana kultur
merupakan penyebab utama kontaminasi. Dengan demikian, metode kultur suspensi merupakan metode yang paling efektif dan efisien dibandingkan dengan
kedua metode lainnya. Tabel 3.2 Persentase hidup kultur sagu pada kombinasi perlakuan metode kultur
dengan konsentrasi 2,4-D. No
Perlakuan Persentase hidup
Metode kultur
2,4-D mg L
-1
Kinetin mg L
-1
Kultur 6 minggu
Kultur 12 minggu
1 Suspensi 0.0
87.5 ab 100.0 a 2 Suspensi
5 0.1
100.0 b 100.0 a
3 Suspensi 10
0.1 75.0 b
100.0 a 4 Suspensi
15 0.1
62.5 b 100.0 a
5 TIS 0.0
62.5 b 60.0 b
6 TIS 5
0.1 100.0 a
37.5 c 7 TIS
10 0.1
75.0 b 50.0 b
8 TIS 15
0.1 100.0 a
50.0 b 9 Media padat
0.0 70.0 b
85.7 ab 10 Media padat
5 0.1
80.0 ab 100.0 a 11 Media padat
10 0.1
100.0 a 80.0 ab
12 Media padat 15
0.1 100.0 a
100.0 a
Angka dalam kolom sama diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada α = 0.05.
Persentase hidup kultur sagu sangat dipengaruhi oleh kontaminasi akibat bakteri maupun fungi. Namun, sebagian besar kontaminasi kultur sagu tersebut
disebabkan oleh bakteri. Oleh karena itu, perbedaan daya hidup pada semua kultur ini bukan disebabkan oleh faktor internal eksplan yang dikulturkan ataupun
respon pertumbuhan dan perkembangan dari media yang digunakan. Namun secara teknis dan proses kultur, metode TIS merupakan teknik yang paling rentan
kontaminasi terkait dengan bentuk bejana dan perangkatnya yang lebih rumit yang banyak menggunakan udara luar yang dipompa dan sambungan bagian kultur
meskipun digunakan milipore dengan ukuran mesh sangat halus 0.22 µm. Proses kultur sagu ini diatur dalam kondisi yang sama dan homogen yang meliputi
sumber eksplan, kondisi laminar air flow, peralatan kultur spatula, pinset, jarum, dll dan kondisi ruangan tempat kultur. Hal ini untuk membuat kondisi yang
homogen dan menjaga dari kontaminasi dari faktor eksternal. Namun, untuk metode kultur TIS kondisinya tidak bisa sama persis dengan metode kultur
suspensi dan media padat. Hal ini disebabkan kultur TIS masih menggunakan udara dari luar yang masih mengandung kontaminan meskipun sudah digunakan
filter berupa millipore berukuran 0.22 µm. Bila kondisi millipore tersebut sudah tidak optimal, maka akan meningkatkan potensi kontaminasi pada kultur TIS.
3.3.2.4 Kecenderungan Warna Dominan Kultur
Seiring pertumbuhan dan perkembangan kalus menjadi embrio somatik, juga terjadi perkembangan atau perubahan warna dominan pada permukaan kalus
yang akan membentuk embrio somatik. Kecenderungan perubahan warna
dominan tersebut agak bervariasi dari warna kuning muda pada saat inisiasi berubah semakin berwarna pekat tergantung fase perkembangan dan metode
kultur. Secara umum, sebagian besar berwarna krem dan sebagian kekuningan atau kuning-keputihan pada kultur 6 minggu Tabel 3.3.
Pada kultur 12 minggu, perubahan warna dominan tidak terlalu kontras dibandingkan pada kultur 6 minggu. Kecenderungan warna dominan pada kultur
12 minggu hampir semua berwarna krem, sedikit putih-kekuningan Tabel 3.3. Semakin banyak embrio somatik terbentuk, maka warna dominan terlihat semakin
pekat dengan permukaan halus smooth dan mengkilap shiny sehingga dapat dibedakan antara kalus dan embrio somatik Gambar 3.10 3.11. Kondisi ini
hampir sama dengan hasil penelitian Cai et al. 2009 pada tanaman obat Gentiana straminea
Maxim.yang menghasilkan kalus dan embrio somatik berwarna kekuningan dan hijau-kekuningan.
Tabel 3.3 Perkembangan perubahan warna dominan kultur sagu pada kombinasi perlakuan konsentrasi 2,4-D dengan ketiga metode kultur.
No Perlakuan
Kecenderungan warna dominan Metode kultur
2,4-D mg L
-1
Kultur 6 minggu
Kultur 12 minggu
1 Suspensi
Krem Krem
2 Suspensi 5
Krem Krem
3 Suspensi 10
Krem Krem
4 Suspensi 15
Kuning Krem
5 TIS
Krem Krem
6 TIS 5
Krem Putih-kekuningan
7 TIS 10
Krem Krem
8 TIS 15
Krem Krem
9 Media padat
Krem Krem
10 Media padat 5
Krem Krem
11 Media padat 10
Kuning Putih-kekuningan
12 Media padat 15
Kuning Krem
Perubahan warna kalus berkaitan dengan adanya perubahan embrio somatik. Semakin tinggi atau dewasa tingkat perkembangan embrio somatik akan
menunjukkan perubahan warna yang semakin pekat ke arah krem, keputihan, kekuningan, kehijauan dan kemerahan Riyadi dan Sumaryono 2009.
3.3.2.5 Perkembangan Embrio Somatik
Pada kultur 6 minggu, ketiga metode kultur telah menghasilkan embrio somatik pada akhir kultur umur 6 minggu. Fase perkembangan embrio somatik
hampir semuanya masih dalam tahap globular Gambar 3.10. Pada metode kultur media padat, beberapa kultur sudah menghasilkan fase perkembangan embrio
somatik lebih lanjut yaitu elongated dan scutellar namun jumlahnya sedikit Gambar 3.10.a. Pada metode kultur TIS dan suspensi menghasilkan embrio
somatik yang lebih homogenseragam baik ukuran maupun fase perkembangan embrio somatik yaitu stadium globular Gambar 3.10.b-d. Berdasarkan pada
ukuran embrio somatik, tingkat homogenitas embrio somatik tertinggi diperoleh pada metode kultur TIS Gambar 3.10.b.
Gambar 3.10 Pertumbuhan dan perkembangan kalus menjadi embrio somatik pada ketiga metode kultur pada umur 6 minggu : a. Kultur media
padat, b. Kultur TIS, c. kultur suspensi, d. Penyaringan atau pengambilan embrio somatik saat panen pada metode kultur
suspensi. Bar = 1 cm. K : kalus, ES : embrio somatik. Pada kultur 12 minggu, perkembangan embrio somatik pada ketiga metode
kultur dengan kandungan ZPT yang sama menunjukkan bentuk dan pola yang hampir sama. Sedikit perbedaan yang nampak adalah ukuran embrio somatik yang
dihasilkan. Embrio somatik pada kultur TIS sebagian besar memperlihatkan ukuran yang lebih kecil dibandingkan pada kedua metode kultur lainnya Gambar
3.11.b. Sebaliknya, embrio somatik pada kultur suspensi menunjukkan ukuran yang lebih besar dibandingkan pada kedua metode kultur lainnya Gambar
3.11.a. Sedangkan embrio somatik pada media padat menunjukkan ukuran yang lebih variatif, sebagian besar terlihat berukuran agak besar namun ada juga yang
agak kecil Gambar 3.11.c. Semua perlakuan telah menghasilkan embrio somatik dengan fase perkembangan atau stadium yang lengkap meskipun jumlahnya
berbeda tergantung pada perlakuan. Fase perkembangan embrio somatik yang telah dihasilkan terlihat jelas pada pengamatan di bawah mikroskop model Zeiss
dengan perbesaran 4 x 10 Gambar 3.11.f. Perkembangan embrio somatik pada setiap stadium tersebut dapat dibedakan secara jelas berdasar bentuk dan arah
Media padat TIS
Suspensi
a b
c d
ES K
ES ES
ES
K K
perkembangan plumulae calon tunas dan radicle calon akar yang dapat diperhatikan pada ujung dan pangkal embrio somatik tersebut Gambar 3.11.f.
Gambar 3.11 Perkembangan kalus menjadi embrio somatik pada ketiga metode kultur umur 12 minggu: a. Kultur suspensi, b. Kultur TIS, c.
Kultur media padat, d. Penampang membujur embrio somatik stadium Scutellar bagian pangkal calon akar, e. Penampang
membujur embrio somatik stadium Scutellar bagian ujung calon tunas, dan f. Embrio somatik berbagai fase perkembangan
stadium mulai dari kiri ke kanan: globular-elongated-scutellar- coleoptilar
hasil panen dengan kekuatan perbesaran mikroskop 4 x 10. Bar = 1 cm kecuali pada no. f sebesar 1 mm.
Hasil pengamatan histologi menunjukkan bahwa, embrio somatik sagu yang dihasilkan terdapat dua kutub perkembangan bipolar berupa SAM shoot
apical meristem dan RAM root apical meristem. Preparat embrio somatik yang
telah diwarnai staining dengan FAA dan Fastgreen menunjukkan adanya SAM dan RAM dengan pengamatan mikroskop Nikon Eclipse model E100 dengan
perbesaran 4 X 10 menggunakan software Optilab Gambar 3.11.d e. Karena
SAM RAM
Suspensi
Media padat TIS
a b
c d
e f
posisi SAM dan RAM tidak bisa terlihat dalam satu bidang pandang, maka pengambilan gambar dijadikan dua yaitu bagian SAM Gambar 3.11.e dan
bagian RAM Gambar 3.11.d secara terpisah. Berdasarkan preparat embrio somatik stadium scutellar Gambar 3.11.d
e, terlihat adanya tempat spot yang menunjukkan SAM maupun RAM dengan ciri-ciri warna yang lebih gelap dengan susunan sel yang lebih padat, rapat dengan
ukuran sel yang lebih homogen dan relatif lebih kecil Gambar 3.11.d-e. Hal ini mirip dengan hasil pengamatan histologi pada Arabidopsis Takada et al. 2001
dan tanaman obat Gentiana straminea Maxim. Cai et al. 2009 yang menunjukkan adanya susunan sel yang lebih padat, rapat dengan ukuran relatif
lebih kecil pada meristematic zone untuk perkembangan proembrio dan embrio. Hasil pengamatan histologi embrio somatik normal sagu tersebut menunjukkan
kecenderungan susunan sel yang sama dengan tanaman kurma cv. Gundila El Dawayati et al. 2012, dan tebu Alcantara et al. 2014.
3.4 Kesimpulan
Perlakuan terbaik dan efisien pada kultur suspensi untuk proses induksi embriogenesis somatik tidak langsung adalah media yang mengandung kinetin 1
mg L
-1
yang menghasilkan embrio somatik sebanyak 123.9 buah, pertumbuhan biomassa 4.6 mLErlenmeyer dan bobot segar 3.2 gErlenmeyer. Seiring dengan
proses perkembangagn kalus membentuk embrio somatik, terjadi perubahan warna dari kekuningan menjadi krem dan kecoklatan.
Secara keseluruhan kultur selama 12 minggu, proses proliferasi kalus embriogenik dan induksi embrio somatik sagu terbaik dicapai pada perlakuan
metode kultur suspensi dengan media yang mengandung 2,4-D 5 mg L
-1
dikombinasikan dengan kinetin 0.1 mg L
-1
yang menghasilkan bobot segar sebanyak 9.8 gwadah dan menghasilkan embrio somatik sebanyak 384.7
buahErlenmeyer. Secara histologi maupun morfologi, embrio somatik yang dihasilkan mempunyai potensi tumbuh dan berkembang secara normal karena
memiliki SAM shoot apical meristem atau calon tunas dan RAM root apical meristem
atau calon akar.
4 DIFERENSIASI KALUS SAGU Metroxylon
sagu Rottbol MEMBENTUK EMBRIO SOMATIK MENGGUNAKAN
TIGA METODE KULTUR
Abstrak
Aplikasi zat pengatur tumbuh yang tepat dapat mendorong proses diferensiasi kalus membentuk embrio somatik maupun proses pendewasaannya
pada proses embriogenesis somatik tanaman. Penelitian ini mempunyai dua tujuan utama yaitu menentukan konsentrasi TDZ dikombinasikan dengan kinetin terbaik
dalam proses diferensiasi kalus membentuk embrio somatik dan menentukan konsentrasi ABA yang dikombinasikan dengan kinetin terbaik dalam proses
pendewasaan embrio somatik tanaman sagu pada tiga metode kultur. Bahan tanam penelitian yang digunakan berupa kalus embriogenik Percobaan Tahap 1 dan
embrio somatik fase perkembangan globular Percobaan Tahap 2 tanaman sagu asal kultur meristem pucuk dari anakan sagu jenis Alitir. Kalus dikulturkan pada
media dengan penambahan ZPT berupa TDZ dengan konsentrasi 0.1, 0.5 dan 1.0 mg L
-1
dikombinasikan dengan kinetin dengan konsentrasi 0.5 mg L
-1
selama 12 minggu yang disubkultur pada umur 6 minggu Percobaan Tahap 1. Selanjutnya,
embrio somatik globular dikulturkan pada media dengan penambahan ABA dengan konsentrasi 0.01, 0.05 dan 0.1 mg L
-1
dikombinasikan dengan kinetin 1.0 mg L
-1
selama 6 minggu Percobaan Tahap 2. Media yang digunakan adalah MS yang dimodifikasi. Metode kultur yang digunakan terdiri atas tiga macam yaitu:
kultur suspensi, temporary immersion system TIS dan media padat. Total perlakuan dari kedua percobaan terdiri atas 12 kombinasi perlakuan yang masing-
masing unit percobaan menggunakan empat ulangan. Hasil penelitian Percobaan Tahap 1 menunjukkan bahwa rerata jumlah embrio somatik tertinggi dicapai pada
perlakuan kultur SPS dengan TDZ 1.0 mg L
-1
dikombinasikan dengan kinetin 0.5 mg L
-1
baik pada umur kultur 6 minggu 167.3 buah maupun umur 12 minggu 389.2 buah. Rerata bobot segar tertinggi juga diperoleh pada perlakuan kultur
TIS dengan TDZ 1.0 mg L
-1
dikombinasikan dengan kinetin 0.5 mg L
-1
baik pada umur kultur 6 minggu 18.4 g maupun umur 12 minggu 29.1 g. Analisis
histologi embrio somatik stadium muda menunjukkan adanya susunan sel yang rapat dan kompak yang menyusun semacam poros atau berkas titik tumbuh tunas
atau SAM shoot apical meristem maupun akar atau RAM root apical mersitem yang saling terhubung. Hasil penelitian Percobaan Tahap 2 menunjukkan bahwa
rata-rata jumlah embrio somatik fase dewasa scutellar dan coleoptilar tertinggi dicapai oleh perlakuan kultur suspensi dengan ABA 0.05 mg L
-1
dikombinasikan dengan kinetin 1.0 mg L
-1
sebanyak 69.3 buah. Rata-rata bobot segar tertinggi juga diperoleh pada perlakuan kultur suspensi dengan ABA 0.05 mg L
-1
dikombinasikan dengan kinetin 1.0 mg L
-1
sebesar 7.3 g. Analisis histologi embrio somatik stadium dewasa menunjukkan adanya susunan sel yang rapat, kompak
dengan warna yang lebih gelap seperti poros atau berkas yang menyusun dan menghubungkan bakal tunas plumulae maupun bakal akar radiculae.
Kata kunci:
ABA, fase perkembangan embrio somatik, kalus embriogenik, metode kultur, RAM, SAM, sitokinin, TDZ.
4.1 Pendahuluan
Untuk penyediaan benih sagu unggul secara massal, penting untuk dikembangkan teknik perbanyakan in vitro menggunakan embriogenesis somatik.
Penelitian embriogenesis somatik tanaman sagu telah berhasil dikembangkan oleh Tahardi et al. 2002 yang menggunakan sistem kultur media padat. Namun,
untuk pengembangan secara massal, teknik media padat tersebut masih memiliki beberapa kendala terutama tingkat efisiensi produksi yang masih rendah. Untuk
peningkatan efektifitas dan efisiensi dalam produksi embriogenesis somatik, maka penelitian embriogenesis somatik sagu dengan teknik media cair penting untuk
dikembangkan. Penerapan kultur cair ditujukan untuk otomatisasi dan scale-up serta meningkatkan pertumbuhan dan keseragaman kultur Muruganantham et al.
2010; Jova et al. 2011; Gupta et al. 2014. Metode kultur cair potensial yang dapat dikembangkan adalah temporary immersion system TIS dan kultur
suspensi suspension culture. Hasil penelitian pada kelapa sawit menggunakan metode kultur TIS
menunjukkan bahwa produksi embrio somatik dari kalus noduler cukup tinggi dan embrio somatik yang dihasilkan lebih seragam Tahardi 1998. Kultur TIS telah
digunakan untuk pengembangan tanaman pisang Ul-Haq dan Dahot 2007, Rhodophiala
Species Munoz et al. 2009, tebu Mordoco et al. 2009. Demikian juga, metode kultur suspensi telah berhasil dilakukan pada tanaman
Echinacea purpurea
L Jones et al. 2007. Tingkat keberhasilan diferensiasi kalus membentuk embrio somatik
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat meristematis sel eksplan yang digunakan, zat pengatur tumbuh ZPT yang digunakan khususnya jenis dan
konsentrasi yang akurat, ketepatan media tumbuh yang digunakan serta faktor- faktor fisiologi sel maupun mikro klimat kultur yang bersangkutan Jones et al.
2007; Verma dan Bansa 2014. Penggunaan ZPT khususnya golongan sitokinin dapat meningkatkan ekspresi dan regenerasi embrio somatik. Thidiazuron TDZ
merupakan salah satu golongan sitokinin yang cukup efektif dalam proses ekspresi embriogenesis somatik tanaman Jones et al. 2007; Verma dan Bansa
2014. Selain TDZ, kinetin juga sering digunakan untuk ekspresi dan regenerasi terutama tanaman Palma Tahardi 1998; Riyadi dan Sumaryono 2009; Riyadi
2010. Penggunaan jenis sitokinin dan konsentrasi yang akurat untuk ekspresi embriogenesis somatik yang disesuaikan tanaman yang dikulturkan penting untuk
diteliti dan dikembangkan. Proses pendewasaan embrio somatik dipengaruhi oleh penggunaan ZPT
khususnya golongan inhibitor seperti ABA Tahardi et al. 2002. Selain ZPT, kandungan karbon dan nitrogen dalam media juga dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik tanaman Asemota et al. 2007. Pendewasaan embrio somatik tanaman sagu telah berhasil dilakukan pada media
padat Riyadi et al. 2005 maupun media cair metode TIS Riyadi dan Sumaryono 2009. Penggunaan media cair metode TIS dapat menghasilkan jumlah embrio
somatik dewasa lebih banyak dan lebih seragam dibandingkan dengan kultur media padat. Namun, pendewasaan embrio somatik tanaman sagu pada metode
kultur suspensi belum dilaporkan. Penggunaan ABA yang dikombinasikan dengan kinetin dengan konsentrasi tepat dapat mendorong keberhasilan dalam proses
pendewasaan embrio somatik pada metode kultur yang digunakan.