Nalgen volume 500 mL Gambar 3.2.c dan media padat menggunakan botol jar Gambar 3.2.d. Secara rinci, terdapat 12 kombinasi perlakuan yang diuji.
Proses kultur sagu ini diatur dalam kondisi yang sama dan homogen yang meliputi sumber eksplan, kondisi laminar air flow, peralatan kultur spatula,
pinset, jarum dan kondisi ruangan tempat kultur. Hal ini untuk membuat kondisi yang homogen dan menjaga dari kontaminasi dari faktor eksternal. Penelitian ini
terdiri atas dua kultur yang berkesinambungan yaitu kultur 6 minggu dan kultur 12 minggu. Pada kultur awal atau kultur 6 minggu, sebanyak 0.5 g kalus remah
tanaman sagu jenis Alitir dimasukkan dalam bejanawadah sesuai dengan perlakuan dengan volume media masing-masing sebanyak 50 mL Gambar 3.2.a.
Pada tahap kultur 12 minggu, semua hasil kultur 6 minggu langsung disubkultur sebagai eksplan.
Gambar 3.2 Kultur awal kalus remah sagu inisiasi embriogenesis somatik pada ketiga metode kultur: a. Eksplan kalus remah sebelum dikulturkan,
b. Kultur suspensi di atas orbital shaker, c. Kultur TIS, dan d. Kultur media padat di dalam botol jar. Bar = 1 cm.
3.2.2.3 Pelaksanaan Kegiatan Penelitian
Eksplan kalus remah sagu Alitir dikulturkan pada medium padat MS Murashige dan Skoog 1962 yang dimodifikasi MMS seperti dilaporkan oleh
Tahardi et al. 2002 sampai terbentuk kalus. Kalus yang dihasilkan dijadikan eksplan untuk menginduksi embrio somatik sesuai perlakuan yang diuji. Tingkat
keasaman medium diatur pada pH 5.7 selanjutnya ditambahkan Gelrite 3 g L
-1
khusus pada media padat, sedangkan media untuk TIS ditambahkan antibiotik berupa Rifampicin dan Tetracyclin dengan konsentrasi masing-masing 15 mg L
-1
Media padat TIS
Suspensi
a b
c d
untuk menjaga kontaminasi dari bakteri. Selanjutnya media tersebut beserta zat antibiotik yang terkandung disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121
C dengan tekanan 1 kg cm
-2
selama 20 menit. Kalus sagu pada semua perlakuan dikulturkan di dalam ruang terang di
bawah lampu TL dengan intensitas cahaya 30 μmol foton m
-2
s
-1
dan lama penyinaran 12 jam dengan suhu ruangan 26 + 1
C selama 6 minggu kultur 6 minggu. Percobaan pertama dilakukan subkultur dengan media dan perlakuan
ZPT yang sama pada umur 6 minggu kultur 6 minggu, selanjutnya durasi subkultur kultur 10 minggu selama 4 minggu sehingga dipanen pada umur 10
minggu. Pada percobaan kedua, setelah diamati pada umur 6 minggu kultur 6 minggu selanjutnya semua kultur disubkultur kultur 12 minggu selama 6
minggu lagi pada media yang sama sehingga total kultur selama 12 minggu. Kultur suspensi ditempatkan pada shaker dengan kecepatan 80 rpm. Kultur TIS
diatur dengan timer merk AUTONIC yang mengatur interval perendaman setiap 6 jam selama tiga menit per perendaman media.
Sampel untuk pengamatan histologi adalah embrio somatik pada stadium scutellar
. Sampel tersebut difiksasi dengan formaldehidasam asetatalkohol FAA dengan konsentrasi 50 vv selama 48 jam menurut protocol Johansen
1940. Selanjutnya, sampel tersebut ditransfer ke dalam etanol 70 dan didehidrasi dalam seri etanol. Sampel direndam di dalam parafin dengan
temperatur 60 ºC. Selanjutnya, sampel dipotong secara melintang menggunakan mikrotom rotary microtom dengan mata pisau terbuat dari baja ketebalan 10 µm.
Hasil potongan ditempatkan di atas kaca objek slide dan diwarnai staining dengan Safranin dan Fast Green selama 10 menit O‟Brien et al. 1965. Kaca
objek permanen yang mengandung sampel tersebut ditutup dengan resin sintetik Entelan®. Pengambilan foto histologi embrio somatik menggunakan alat bantu
mikroskop kamera Nikon Eclipse model E100 dengan perbesaran 4 X 10 menggunakan software Optilab. Skala gambar diatur dengan memproyeksikan
pada kondisi optik yang sama. Peubah yang diamati pada penelitian ini terdiri atas aspek pertumbuhan
dan perkembangan, histologi embrio somatik serta persentase hidup survival rate
kultur in vitro. Secara rinci, peubah yang diamati yaitu: proliferasi kalus dihitung berdasarkan pertumbuhan biomassa berupa bobot segar [khusus untuk
percobaan pertama juga menggunakan metode CVS Cell Volume after Sedimentation
Gambar 2.c], jumlah embrio somatik yang terbentuk, persentase hidup total kultur dan perubahan warna dominan kultur. Pada alat CVS, telah
dipasang mistar dalam ukuran cm yang telah dikalibrasi ke volume dengan satuan mL.
3.3 Hasil dan Pembahasan
3.3.1 Embriogenesis Somatik pada Kultur Suspensi 3.3.1.1 Pertumbuhan Biomassa
Pertumbuhan biomassa meningkat cukup pesat dari awal kultur sampai dengan saat panen pada umur 10 minggu. Pertumbuhan biomassa mengalami
peningkatan pesat mulai umur tiga minggu setelah kultur dan mencapai puncak pada umur enam minggu Gambar 3.3. pertumbuhan biomassa terpesat dicapai
oleh perlakuan media yang mengandung kinetin dikombinasikan dengan TDZ
1 2
3 4
5 6
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
P e
rtu m
b u
h a
n b
ioma ssa
d a
la m
CV S
m L
Periode kultur minggu
Kontrol Kinetin 1 mg L-1
Kinetin 3 mg L-1 Kinetin 5 mg L-1
Kinetin 1 mg L-1 + TDZ 1 mg L-1 Kinetin 3 mg L-1 + TDZ 1 mg L-1
Kinetin 5 mg L-1 + TDZ 1 mg L-1
pada konsentrasi masing-masing sebesar 1 mg L
-1
. Pada saat akhir kultur waktu panen, pertumbuhan biomassa tertinggi sebesar 5.7 mLErlenmeyer yang dicapai
oleh perlakuan kinetin dikombinasikan dengan TDZ pada konsentrasi masing- masing sebesar 1 mg L
-1
diikuti oleh kinetin 3 mg L
-1
dikombinasikan dengan TDZ 1 mg L
-1
5.3 mLErlenmeyer. Pertumbuhan biomassa terendah diperoleh pada perlakuan kinetin 5 mg L
-1
dikombinasikan dengan TDZ 1 mg L
-1
sebesar 3.7 mLErlenmeyer Gambar 3.3.
Pertumbuhan biomassa mulai dari awal kultur 0.9 mLErlenmeyer sampai dengan tiga minggu terlihat hampir sama pada semua perlakuan. Namun,
setelah tiga minggu terjadi pertumbuhan biomassa yang pesat dan puncaknya pada umur 6 minggu khususnya pada perlakuan yang responsif yaitu kinetin
dikombinasikan dengan TDZ pada konsentrasi masing-masing sebesar 1 mg L
-1
yang mampu mencapai proliferasi sebesar tiga kali lipat dari umur tiga minggu atau enam kali lipat dari awal kultur. Setelah enam minggu setelah sub kultur,
laju pertumbuhan biomassa mengalami penurunan yang terjadi pada semua perlakuan Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Perkembangan laju pertumbuhan biomassa kultur sagu dalam CVS
mulai awal tanam sampai dengan panen umur 10 minggu.
Pada saat laju pertumbuhan biomassa mengalami penurunan, terjadi inisiasi embrio somatik. Pada saat proses induksi embrio somatik, sel-sel sagu
membutuhkan energi yang besar sehingga energi yang ada di sel difokuskan untuk proses induksi embrio somatik. Hal ini menyebabkan turunnya laju pertumbuhan
biomassa karena sel-sel dalam agregat kalus mulai berkembang untuk menginduksi embrio somatik. Pada saat proses induksi dan inisiasi embrio
somatik, sel-sel akan membutuhkan energi yang lebih banyak sehingga penyerapan nutrisi media akan digunakan untuk proses embriogenesis somatik
Jones et al. 2007; Dam et al. 2010.
2 4
6 8
10 12
Kontrol Kinetin 1
Kinetin 3 Kinetin 5
Kinetin 1 + TDZ 1
Kinetin 3 + TDZ 1
Kinetin 5 + TDZ 1
Pertumbu h
a n
bio m
a ss
a m
L, d
a la
m C
V S
Komposisi dan konsentrasi ZPT mg L
-1
Kultur-2 Kultur-1
ab ab
ab ab
b b
a A
A A
A A
A
A
Fenomena pertumbuhan dan perkembangan kultur suspensi sagu ini mirip dengan hasil penelitian kultur suspensi kina yang dilakukan oleh Sumaryono dan
Riyadi 2005, yang menunjukkan bahwa pada tahap kultur awal terjadi peningkatan biomassa pesat karena sedang berlangsung tahap proliferasi sel
membentuk agregat sel yang lebih besar. Selanjutnya, pada tahap perkembangan membentuk embrio somatik akan menurunkan laju pertumbuhan biomassa.
Secara umum, pada kultur kedua subkultur masih menunjukkan adanya peningkatan biomassa kalus yang hampir sama dan tidak berbeda nyata antar
perlakuan. Pertumbuhan biomassa pada kultur kedua tertinggi dicapai pada perlakuan kinetin dikombinasikan dengan TDZ pada konsentrasi masing-masing
sebesar 1 mg L
-1
dan terendah pada perlakuan kinetin 1 mg L
-1
dikombinasikan dengan TDZ 1 mg L
-1
Gambar 3.4
Huruf kapital atau non kapital yang sama pada diagram yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji j
arak berganda Duncan pada α = 0.05.
Gambar 3.4 Pertumbuhan biomassa kultur suspensi sagu dalam CVS mulai dari kultur pertama dan kultur kedua subkultur.
Peningkatan bobot segar biomassa sagu saat panen ditunjukkan pada Tabel 3.1. Bobot segar tertinggi dicapai oleh perlakuan kinetin dikombinasikan dengan
TDZ pada konsentrasi masing-masing sebesar 1 mg L
-1
4.2 gErlenmeyer namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hasil ini menunjukkan kesesuaian
dengan hasil pengamatan metode CVS. Namun, ada beberapa perlakuan yang tidak sama hasilnya yaitu pada perlakuan kinetin 5 mg L
-1
dikombinasikan dengan TDZ 1 mg L
-1
yang menghasilkan hasil CVS terendah namun hasil bobot segar lebih tinggi tidak terendah yaitu sebesar 3.6 gErlenmeyer yang nilainya lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol yang hanya menghasilkan bobot segar 3.1 gErlenmeyer. Hal ini berarti nilai biomassa CVS tertinggi tidak menjamin bobot
segar tertinggi karena masih dipengaruhi tingkat kerapatan agregat sel pada kalus atau embrio somatik sagu.