47
Islam mengalami kombinasi kategoris yakni: 1 Kelompok tradisional kultural, 2 Kelompok tradisional struktural, 3 Kelompok tradisional mobilitas, 4
Kelompok modern kultural, 5 Kelompok modern strukrural, dan 6 Kelompok modern mobilitas.
Gerakan Islam kontemporer di luar gerakan NU, Muhammadiyah, PERSIS dan lain-lain yang sudah lebih dulu eksis sebelum gerakan ini, antara
lain; Jamaah Tarbiyah, Hizbut Tahrir HT, Salafi, Jamaah Tabligh JT, Dewan Dakwah Islam Indonesia DDII, Majlis Mujahidin Indonesia MMI, Front
Pembela Islam FPI, dan Hidayatullah. Beragam kelompok keagamaan tersebut dalam aktualisasi sosialnya memliliki karakter dan tradisi keilmuan yang yang
berbeda-beda dalam mengaplikasikan Islam di masyarakat. Dan sebagai langkah kongritnya dalam tradisi keilmuan mereka mendirikan pesantren dan lembaga
pusat pengkajian Islam untuk mengkaji masalah keagamaan dan merespon kondisi demokratisasi yang sifatnya lokal maupun Internasional. Sejalan dengan proses
pengembangan keilmuan itulah proses transmisi-internasionalisasi pemikiran gerakan-gerakan Islam bersimbiosis dan menjadi kebutuhan para pelajarsantri.
Majalah Sabili, 2000: 71.
2.3.2 Pesantren sebagai Akar Gerakan Sosial Agama
Sistem nilai dan jiwa kedisiplinan yang diterapkan di pesantren menurut Zarkasyi 2003: 117 setidaknya dapat diklasifikasikan menjadi lima, yakni
keikhlasan, kesederhanaan, persaudaraan, kemandirian dan kebebasan. Kelima sistem nilai tersebut mempunyai peran penting dalam meletakan dasar pembinaan
48
dan untuk mentransformasi pemikiran dan sikap santri sehingga setelah mengenyam pendidikan di pesantren mampu menjadi agen perubahan di
masyarakat. Meskipun masih ada yang mempertahankan tradisi keislaman klasik,
namun kini keberadaan pesantren dalam tradisi keilmuan mulai merambah sebagai laboratorium pengembangan dan pembaruan Islam. Sementara agama Islam
sebagai ajaran yang berumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam implementasinya mengalami keragaman penafsiran. Demikian pula sudut pandang
Islam yang biasa digunakan kelompok Islam dalam menganalisa dan mengaktualisasikan gerakan sosial berikut transformasi sosialnya. Secara tegas
bahwa dasar dalam merubah kondisi dan krisis yang menimpa umatnya adalah konsep Amar ma’ruf Nahi munkar perintah menjalankan kebaikan dan menjauhi
kemungkaran. Namun tafsir dan aktualisasi Amar ma’ruf Nahi munkar itu sendiri dilaksanakan secara berbeda-beda. Seperti dikatakan Eickelman dan Piscatori
bahwa salah satu ciri politik Muslim sekarang ini adalah adanya perlombaan dan persaingan penafsiran simbol dan kontrol antara lembaga baik formal maupun
informal. Purnomo, 2003: 3. Keragaman ini salah satunya disebabkan oleh karena adanya hegemoni
penafsiran satu kelompok keagamaan yang telah memperoleh legitimasi negara ataupun karena kemapanan posisi. Hegemoni dan legitimasi atas penafsiran
agama di Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir khususnya pasca era Reformasi, menurut Purnomo kondisi semacam itu telah menimbulkan dampak munculnya
protes dengan cara mendirikan kelompok keagamaan sejenis, tentunya dengan
49
garis-garis besar haluan yang berbeda. Pembedaan gerakan di luar otoritas NU dan Muhammadiyah dalam eskalasi politik nasional memang lebih didominasi
tokoh-tokoh baru pergerakan Islam, dan lebih memerankan agregasi keagamaan untuk menjaga keutuhan Islam dalam hal moralitas – sosial politik – yakni
kembalinya Khilafah Islamiyah. Purnomo, 2003: 1. Hegemoni dan legitimasi atas tafsir agama dilakukan oleh pemegang
otoritas keagamaan ulama. Dalam hal ini Bryan 1984 sebagaimana dikutip Purnomo 2003: 2 membagi para ulama dalam istilah Faqih dan Qadi. Faqih
adalah ulama yang ada di luar pemerintahan, ia bebas dan tidak terikat dalam memberikan kritik dan saran terhadap negara. Sedangkan Qadi adalah ulama yang
masuk secara struktural dalam pemerintahan. Qaradhawy 1997: 148 dalam bukunya “Fiqih Negara” pada salah satu
babnya mengemukakan adanya perdebatan guna menjawab pertanyaan siapa yang berhak mencegah kemungkaran. Kelompok pertama diwakili oleh ulama yang
merupakan bagian dari birokrasi penguasa negara, mereka mengatakan bahwa mencegah kemungkaran adalah kewajiban negara bukan individu. Sedangkan
kelompok yang kedua adalah kelompok yang banyak mewakili kalangan muda yang mengatakan bahwa selain menjadi tugas negara maka individu juga punya
kewajiban mencegah kemungkaran. Sebab tidak jarang negara sendiri terlibat dalam aksi kemungkaran tersebut.
50
2.3.3 Integrasi Keilmuan Pendidikan Pesantren.