42 Tabel 13. Koefisien untuk Menghitung Faktor Emisi N
2
O Tidak LangsungIndirect dari Manajemen Manur Menggunakan Model II
No. Jenis Ternak PRP
Nex Nadj
EF FNv
EFv FNIr
EFIr 1.
Sapi Potong Brahman
Jantan Dewasa 40
0,3 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Betina Dewasa 40
0,6 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Pedet Betina 40
0,3 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Betina Muda 40
1 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Pedet Jantan 40
1 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Jantan Muda 40
0,6 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Brangus Jantan Dewasa
40 1
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Betina Dewasa
40 1
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Pedet Betina
40 0,3
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Betina Muda
40 0,6
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Pedet Jantan
40 0,3
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Jantan Muda
40 0,6
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Limosin
Jantan Dewasa 40
1 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Betina Dewasa 40
1 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Pedet Betina 40
0,3 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Betina Muda 40
0,6 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Pedet Jantan 40
0,3 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Jantan Muda 40
0,6 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
PO Jantan Dewasa
30 40
1 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Betina Dewasa 30
40 1
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Pedet Betina
30 40
0,3 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Betina Muda 30
40 0,6
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Pedet Jantan
30 40
0,3 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Jantan Muda 30
40 0,6
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Simbra
Jantan Dewasa 40
1 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Betina Dewasa 40
1 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Pedet Betina 40
0,3 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Betina Muda 40
0,6 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Pedet Jantan 40
0,3 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Jantan Muda 40
0,6 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Simental Jantan Dewasa
40 1
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Betina Dewasa
40 1
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Pedet Betina
40 0,3
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Betina Muda
40 0,6
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Pedet Jantan
40 0,3
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Jantan Muda
40 0,6
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075
2. Sapi Perah
10 60
1 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
43
Lanjutan Tabel 13.
No. Jenis Ternak PRP
Nex Nadj
EF FNv
EFv FNIr
EFIr 3.
Kerbau Kerbau kerja
Jantan Dewasa 90
40 1
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Betina Dewasa
90 40
1 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Pedet Betina 40
0,3 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Betina Muda 40
0,6 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Pedet Jantan 40
0,3 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Jantan Muda 40
0,6 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Kerbau Potong Jantan Dewasa
40 1
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Betina Dewasa
40 1
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Pedet Betina
40 0,3
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Betina Muda
40 0,6
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Pedet Jantan
40 0,3
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075 Jantan Muda
40 0,6
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075
4. Kuda
40 1
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075
5. Babi
16 1
0,02 0,2
0,01 0,3
0,0075
6. Domba
50 12
1 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
7. Kambing
50 40
1 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
8. Unggas 0,6
1 0,02
0,2 0,01
0,3 0,0075
Emisi Gas Rumah Kaca di Provinsi Jawa Barat
Setelah melalui perhitungan populasi dikalikan dengan faktor emisi di atas maka diperoleh nilai emisi gas rumah kaca di Provinsi Jawa Barat. Pada penelitian
ini digunakan populasi Jawa Barat Tahun 2004-2008 dengan rumus yang ada di metode. Hasil perhitungan emisi metan dari fermentasi enterik dan manajemen
manur berdasarkan tiap jenis ternak disajikan oleh Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14 menunjukkan bahwa pada model I emisi metan dari
fermentasi enterik tertinggi dimiliki oleh ternak domba yaitu sebesar 24,9 Gg CH
4
. Kualitas pakan yang diberikan ke domba masih rendah sehingga menghasilkan emisi
metan yang tinggi. Pada model II emisi metan dari fermentasi enterik tertinggi dimiliki oleh ternak sapi potong yaitu sebesar 30,5 Gg CH
4
karena pada ternak sapi potong faktor emisi yang tinggi dimiliki oleh ternak dewasa baik jantan maupun
betina di mana populasi ternak dewasa baik jantan maupun betina di Provinsi Jawa Barat jauh lebih tinggi dari pada ternak muda dan pedet.
44 Tabel 14. Emisi Metan dari Fermentasi Enterik dan Manajemen Manur untuk Tiap
Jenis Ternak di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008
No. Jenis ternak
Emisi ton CH
4
Fermentasi Enterik Manajemen Manur
Total Model I
Model II Model I
Model II Model I
Model II
1 Sapi Potong 12,7
30,5 0,6
0,6 13,3
31,1
2 Sapi Perah 4,6
13,6 2,2
0,5 6,8
14,1
3 Kerbau 8,0
10,4 0,4
0,4 8,4
10,8
4 Kuda 0,2
0,2 0,0
0,0 0,2
0,2
5 Kambing 7,0
7,0 0,3
0,3 7,3
7,3
6 Domba 24,9
24,9 1,0
1,0 25,9
25,9
7 Babi 0,0
0,0 0,1
0,1 0,1
0,1
8 Ayam Buras 0,0
0,0 0,1
0,1 0,1
0,1
9 Ayam Ras
Petelur 0,0
0,0 0,2
0,2 0,2
0,2
10 Ayam Ras
Pedaging 0,0
0,0 0,2
0,2 0,2
0,2
11 Itik 0,0
0,0 0,2
0,2 0,2
0,2 Total
56,4 86,6
5,4 3,7
61,8 90,3
Hasil perhitungan yang ditunjukkan oleh Lampiran 20 untuk daerah di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2008 yang memiliki emisi metan dari fermentasi
enterik tertinggi menggunakan model II adalah Kabupaten Garut yaitu sebesar 8,697 Gg CH
4
dengan populasi ternak tertinggi adalah ternak domba yaitu sebesar 2,948 Gg CH
4
. Perhitungan menggunakan Model I emisi tertinggi terdapat pada Kabupaten Karawang yaitu sebesar 7,55 Gg CH
4
dengan populasi ternak penghasil metan tertinggi adalah ternak domba yaitu sebesar 4,35 Gg CH
4
. Berdasarkan Tabel 14 emisi metan dari manajemen manur tertinggi pada
model I adalah sapi perah sebesar 2,2 Gg CH
4
sedangkan pada model II emisi tertinggi adalah domba sebesar 1,0 Gg CH
4
. Pada model I emisi tertinggi adalah sapi perah karena manajemen manur di Provinsi Jawa Barat masih sangat sederhana,
peternak biasanya hanya menumpuk kotoran sapi perah ataupun mengalirkan kotoran sapi perah. Ada juga yang memanfaatkan kotoran sapi perah menjadi pupuk. Karena
45 produksi kotoran sapi perah yang cukup tinggi pada umumnya peternak hanya
menumpuk kotoran ternak sehingga menjadi pupuk. Selain itu, pada model II faktor emisi tertinggi dimiliki oleh ternak domba. menggembalakan domba di ladang
pastura dan sebagian peternak ada yang memanfaatkan kotoran domba menjadi kompos secara ekstensif. Tingginya emisi metan dari ternak domba juga dikarenakan
populasi ternak domba di Provinsi Jawa Barat yang cukup tinggi. Hasil perhitungan yang ditunjukkan oleh Lampiran 21 untuk daerah di
Provinsi Jawa Barat pada tahun 2008 yang memiliki emisi metan dari manajemen manur tertinggi adalah Kabupaten Bandung baik model I maupun model II yaitu
sebesar 0,88 Gg CH
4
di mana ternak yang menghasilkan emisi metan tertinggi adalah ternak sapi perah yaitu sebesar 0,73 Gg CH
4
pada model I dan 0,18 Gg CH
4
pada model II. Kabupaten Bandung memiliki ternak sapi perah yang tinggi dikarenakan
udara di Kabupaten Bandung sangat cocok untuk beternak sapi perah. Tetapi hal ini tidak diimbangi dengan manajemen manur yang baik yaitu hanya mengalirkan manur
dan menumpuknya saja. Ada beberapa peternak yang sudah memanfaatkan manur menjadi bahan baku biogas. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan peternak di
Pengalengan, Bandung. Penurunan dan kenaikan emisi metan ditunjukkan oleh Gambar 4 dan Gambar 5.
Gambar 4. Grafik Emisi Metan dari Fermentasi Enterik Tahun 2004-2008
Menggunakan Model I dan Model II
46 Gambar 5. Grafik Emisi Metan dari Manajemen Manur Tahun 2004-2008
Menggunakan Model I dan Model II Berdasarkan Gambar 4 dan Gambar 5 emisi metan dari fermentasi enterik
lebih tinggi daripada manajemen manur. Dari tahun 2004 sampai tahun 2008 emisi metan terus meningkat baik yang berasal dari fermentasi enterik maupun yang
berasal dari manajemen manur. Emisi metan dari fermentasi enterik menggunakan model I lebih rendah daripada menggunakan model II sedangkan emisi metan dari
manajemen manur menggunakan model I lebih tinggi daripada perhitungan menggunakan model II.
Emisi dinitrogen oksida di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 rumus-rumus yang dijelaskan di metode penelitian didapatkan hasil emisi dinitrogen oksida untuk
tiap jenis ternak yang disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 menunjukkan bahwa emisi dinitrogen oksida secara langsung dari manajemen manur tertinggi dihasilkan oleh
ternak sapi perah dengan menggunakan model I adalah ternak domba yaitu sebesar 1,0 Gg N
2
O sedangkan pada model II emisi dinitrogen oksida secara langsung dari manajemen manur tertinggi dihasilkan oleh ternak ayam ras petelur . Ternak domba
menghasilkan feces yang mengandung N yang tinggi. Hal ini sesuai dengan default IPCC bahwa ternak yang menghasilkan N tertinggi adalah ternak domba. Ternak
ayam ras petelur memiliki populasi yang cukup tinggi dan lama pemeliharaan tahunan serta ternak ayam ras petelur menghasilkan feses yang cukup tinggi sehingga
memiliki kandungan N yang cukup tinggi. Selain itu ayam ras petelur selama seminggu awal pemeliharaan menggunakan litter yang menghasilkan emisi
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00 7.00
8.00
2004 2005
2006 2007
2008 Model I
Model II
47 dinitrogen oksida tambahan. Emisi N
2
O dari manur dengan beddinglitter lebih tinggi dari pada emisi N
2
O dari manur tanpa beddinglitter. Tabel 15. Emisi Dinitrogen Oksida untuk Tiap Jenis Ternak di Provinsi Jawa Barat
Tahun 2008
No Jenis ternak Emisi N
2
O dari Manajemen Manur ton
N
2
O
Direct Langsung Indirect Tidak
langsung Total
Model I Model II
Model I Model II
Model I
Model II
1 Sapi Potong 0,3
0,2 0,0
0,0 0,3
0,2 2 Sapi Perah
0,1 0,1
0,0 0,0
0,1 0,1
3 Kerbau 0,0
0,1 0,2
0,1 0,2 0,2
4 Kuda 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 5 Kambing
0,9 0,9
1,1 1,1
2,0 2,0
6 Domba 0,9
0,9 1,1
1,1 2,0
2,0 7 Babi
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
8 Ayam Buras
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
9 Ayam Ras Petelur
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
10 Ayam Ras Pedaging
0,1 0,1
0,0 0,0
0,1 0,1
11 Itik 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 Total
2,6 2,5
2,4 2,3
5,0 4,8
Berdasarkan perhitungan emisi dinitrogen oksida secara langsung direct dari manajemen manur yang terdapat pada Lampiran 22 menunjukkan bahwa daerah
yang menghasilkan emisi dinitrogen oksida secara langsung tertinggi baik menggunakan model I maupun model II terdapat pada Kabupaten Karawang yaitu
sebesar 0,51 Gg N
2
O dengan jenis ternak penghasil emisi dinitrogen oksida tertinggi adalah ternak kambing yaitu sebesar 0,30 Gg N
2
O. Manur kambing mengandung N yang cukup tinggi. Hal ini berdasarkan Tabel 1 yang menyatakan bahwa Nrata-rata
tahunan tertinggi pada ternak kambing. Pada Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 terdapat populasi ternak kambing yang cukup tinggi yang tidak diimbangi dengan
48 manajemen manur yang baik. Manur kambing pada umumnya dijadikan kompos
secara ekstensif.
Tabel 15 menunjukkan bahwa emisi dinitrogen oksida secara tidak langsung dari manajemen manur tertinggi dimiliki oleh ternak kambing yaitu sebesar 0,37 Gg
N
2
O pada model I dan model II. Hal ini dikarenakan selain populasi ternak
kambing yang cukup tinggi, manajemen manur kambing mayoritas digembalakan di ladang pastura. Nilai Nrata-rata tahunan domba berdasarkan default-IPCC juga
cukup tinggi. Sebagian besar peternak tidak mengolah kotoran ternak sehingga kotoran ternak bereaksi dengan tanah dan menghasilkan emisi dinitrogen oksida.
Berdasarkan perhitungan emisi dinitrogen oksida secara tidak langsung dari manajemen manur terdapat pada Lampiran 23 menunjukkan bahwa daerah yang
menghasilkan emisi dinitrogen oksida tertinggi baik menggunakan model I maupun model II terdapat pada Kabupaten Karawang yaitu sebesar 0,57 Gg N
2
O dengan jenis ternak penghasil emisi dinitrogen oksida tertinggi adalah ternak kambing yaitu
sebesar 0,37 Gg N
2
O. Sebagian peternak menggembalakan kambing sehingga feces kambing langsung jatuh di lahan penggembalaan dan menghasilkan emisi dinitrogen
oksida yang cukup tinggi. Gambar 6 menunjukkan emisi N
2
O tertinggi berasal dari manajemen manur secara langsung menggunakan model II dan terendah berasal dari manajemen manur
secara tidak langsung menggunakan model II. Emisi N
2
O dari manajemen manur secara langsung dan tidak langsung terus meningkat dari tahun 2004 sampai tahun
2008. Perhitungan emisi N
2
O secara langsung dan tidak langsung dari manajemen manur menggunakan model I dan model II memiliki jumlah yang hampir sama.
49 Gambar 6. Grafik Emisi N
2
O dari Manajemen Manur Tahun 2004-2008 Menggunakan Model I dan Model II
Emisi total di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008 didapatkan dari penjumlahan emisi metan dan emisi dinitrogen oksida. Sebelumnya emisi metan dan
emisi dinitrogen oksida dikonversikan menjadi karbon. Setiap gas rumah kaca mempunyai potensi pemanasan global Global Warming Potential - GWP yang
diukur secara relatif berdasarkan emisi CO
2
dengan nilai satu. Indeks GWP mencerminkan potensi setiap komponen GRK untuk menyebabkan pemanasan
global, yang nilainya dipengaruhi oleh masa tinggal di atmosfer dan kemampuannya dalam penyerapan sinar infra merah. Makin besar nilai GWP makin bersifat merusak.
Menurut IPCC 2001 indeks GWP untuk CH
4
dan N
2
O masing-masing sebesar 23 dan 296. Nilai GWP yang dikeluarkan oleh IPCC berdasarkan lamanya gas CH
4
maupun N
2
O selama 100 tahun di atmosfer. Sebagai dasar penilaian fluks CH
4
dan N
2
O pada peternakan digunakan potensi pemanasan global sebagai penjumlahan dari hasil kali total fluks masing-masing gas terhadap indeks GWPnya. Pada penelitiam
ini konversi metan dan dinitrogen oksida ke karbon menggunakan indeks GWP dimana satu GWP sama dengan satu karbon sehingga pengali untuk CH
4
dan N
2
O masing-masing sebesar 23 dan 296. Setelah dikonversi ke karbon didapatkan hasil
emisi total dalam satuan gigagram karbon berdasarkan jenis ternak menggunakan model I dan model II yang dihasilkan dengan Tabel 16. Emisi total berdasarkan
sumber emisi disajikan pada Tabel 16.
50 Berdasarkan Tabel 16 penghasil emisi tertinggi dimiliki oleh ternak domba
baik pada model I maupun model II yaitu sebesar 1.211,5 Gg CO
2
sedangkan emisi terendah dimiliki ternak babi menggunakan perhitungan model I maupun model II
yaitu sebesar 3,7 Gg CO
2
. Pada ternak unggas untuk penghasil emisi tertinggi adalah ternak ayam ras petelur baik menggunakan model I maupun model II yaitu sebesar
22,5 Gg CO
2
. Emisi terendah pada model I maupun model II dimiliki oleh ternak ayam buras yaitu sebesar 14,2 Gg CO
2
. Tabel 16. Emisi Total Berdasarkan Jenis Ternak di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008
No Jenis ternak
Emisi Gg CO
2
Model I Model II
Total
1. Sapi Potong