Sapi Potong Sapi Perah Kerbau Kuda Kambing Domba Babi Ayam Buras Ayam Ras Petelur Ayam Ras Pedaging Itik Dinitrogen Metan Dinitrogen

50 Berdasarkan Tabel 16 penghasil emisi tertinggi dimiliki oleh ternak domba baik pada model I maupun model II yaitu sebesar 1.211,5 Gg CO 2 sedangkan emisi terendah dimiliki ternak babi menggunakan perhitungan model I maupun model II yaitu sebesar 3,7 Gg CO 2 . Pada ternak unggas untuk penghasil emisi tertinggi adalah ternak ayam ras petelur baik menggunakan model I maupun model II yaitu sebesar 22,5 Gg CO 2 . Emisi terendah pada model I maupun model II dimiliki oleh ternak ayam buras yaitu sebesar 14,2 Gg CO 2 . Tabel 16. Emisi Total Berdasarkan Jenis Ternak di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 No Jenis ternak Emisi Gg CO 2 Model I Model II Total

1. Sapi Potong

384,3 793,3 1.177,6

2. Sapi Perah

193,3 360,0 553,3

3. Kerbau

227,7 298,0 525,7

4. Kuda

6,1 6,1 12,2

5. Kambing

740,7 740,7 1.481,4

6. Domba

1.211,5 1.211,5 2.423,0

7. Babi

3,7 3,7 7,4

8. Ayam Buras

14,2 14,2 28,4

9. Ayam Ras Petelur

22,5 22,5 45,0

10. Ayam Ras Pedaging

14,6 14,6 29,2

11. Itik

17,3 17,3 34,6 Total 2.835,8 3.481,8 6.317,6 Tabel 17 menunjukkan bahwa penghasil emisi tertinggi dihasilkan dari emisi metan yang berasal dari fermentasi enterik baik menggunakan model I maupun model II. Setelah dikonversi menjadi bentuk karbon emisi tertinggi menggunakan model I dihasilkan dari emisi dinitrogen oksida secara langsung direct dari manajemen manur sedangkan bila menggunakan model II emisi tertinggi dihasilkan dari emisi metan yang berasal dari fermentasi enterik. Emisi total yang sudah dikonversi ke dalam bentuk karbon menggunakan perhitungan model I sebesar 2.835,8 Gg CO 2 sedangkan menggunakan perhitungan model II sebesar 3.481,8 Gg 51 CO 2 . Hal ini menunjukkann bahwa default-IPCC model I lebih rendah estimasinya daripada perhitungan enhanced model II. Tabel 17. Emisi Total Berdasarkan Sumber Emisi di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 No . GRK Model I Persen Model II Persen 1. Metan Fermentasi Enterik Gg CH 4 56,4 - 86,6 - Manajemen Manur Gg CH 4 5,4 - 3,7 -

2. Dinitrogen

oksida Directlangsung Gg N 2 O 2,4 - 2,5 - Indirecttidak langsung Gg N 2 O 2,4 - 2,3 - Setelah dikonversi ke dalam satuan Gg CO 2

1. Metan

Fermentasi Enterik 1.297,6 45,8 1.991,1 57,2 Manajemen Manur 124,2 4,3 84,2 2,4

2. Dinitrogen

oksida Direct langsung 705,3 24,9 727,4 20,9 Indirect tidak langsung 708,8 25,0 679,2 19,5 Total 2.835,8 100,0 3.481,8 100,0 Persentase emisi metan dengan dinitrogen oksida berdasarkan perhitungan menggunakan model I dan model II di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008 disajikan pada Gambar 7. Gambar 7. Persentase Emisi Total Tahun 2008 Menggunakan Model I dan Model II Metan Dinitrogen Oksida Model I Model II 40 60 50 50 52 Gambar 7 menunjukkan bahwa persentase emisi metan lebih besar daripada dinitrogen oksida. Pada emisi metan baik menggunakan model I default-IPCC maupun model II enhanced dan emisi dinitrogen oksida menggunakan model II enhanced pada tahun 2008 memiliki persentase yang sama. Emisi tertinggi dicapai oleh emisi metan walaupun dinitrogen oksida dikonversi dalam bentuk karbon jauh lebih besar daripada metan ke dalam bentuk karbon. Hal ini dikarenakan emisi dinitrogen oksida yang dihasilkan jauh lebih rendah daripada emisi metan yang dihasilkan. Tabel 18 menujukkan bahwa kabupaten tertinggi penghasil emisi adalah Kabupaten Karawang yaitu sebesar 502,59 Gg CO 2 pada model I dan 525,56 Gg CO 2 pada model II sedangkan emisi terendah dimiliki oleh Kota Cirebon yaitu sebesar 1,91 Gg CO 2 pada model I dan 2,41 Gg CO 2 pada model II. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Karawang sebaiknya melakukan perbaikan manajemen peternakan agar emisi yang dihasilkan dapat ditekan. Tabel 18. Emisi Total dalam Satuan Gg CO 2 Tiap KabupatenKota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 Menggunakan Model I dan Model II No KabupatenKota Emisi Total dalam Gg CO 2 Model I Model II 1 Kab. Bogor 177,33 221,66 2 Kab. Sukabumi 205,13 243,99 3 Kab. Cianjur 167,52 213,24 4 Kab. Bandung 171,10 253,34 5 Kab. Garut 272,70 332,60 6 Kab. Tasikmalaya 147,67 196,33 7 Kab. Ciamis 168,48 220,47 8 Kab. Kuningan 81,31 118,14 9 Kab. Cirebon 56,16 61,79 10 Kab. Majalengka 87,89 104,19 11 Kab. Sumedang 125,11 187,96 12 Kab. Indramayu 102,64 120,09 13 Kab. Subang 150,01 191,23 14 Kab. Purwakarta 227,84 257,86 53 15 Kab. Karawang 502,59 525,56 16 Kab. Bekasi 124,73 147,49 17 Kota Bogor 10,29 12,28 18 Kota Sukabumi 3,64 4,64 19 Kota Bandung 6,07 8,63 20 Kota Cirebon 1,91 2,41 21 Kota Bekasi 8,93 11,29 22 Kota Depok 14,30 18,00 23 Kota Cimahi 3,77 4,93 24 Kota Tasikmalaya 8,89 12,87 25 Kota Banjar 9,82 10,94 Jawa Barat 2.835,85 3.481,93 Tindakan Mitigasi yang Sudah Dilakukan Peternak Jawa Barat Mitigasi merupakan tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan untuk meningkatkan penyimpanan karbon dalam rangka mengatasi perubahan iklim. Mitigasi gas rumah kaca dari usaha peternakan antara lain: melakukan kontrol terhadap perubahan penggunaan lahan dari ekstensif ke intensif, perbaikan kualitas ternak secara genetik, perbaikan manajemen perkandangan dan peralatan serta perbaikan manajemen pakan, tanaman pakan ternak, dan pastura. Hal-hal yang dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca antara lain dengan meningkatkan teknologi pakan, pengembangan spesies yang adaptif terhadap lahan marjinal, pengawetanpenyimpanan C dan N pada pastura dan tanah pertanian, meningkatkan tanaman peneduh dan tanaman pagar pada peternakan dan sistem rotasi pastura. Emisi yang dihasilkan dari proses fermentasi enterik dapat diturunkan dengan memperbaiki formulasi pakan yang ditunjang dengan teknologi pakan dan dengan manipulasi kondisi rumen. Lanjutan Tabel 18. No KabupatenKota Emisi Total dalam Gg CO 2 Model I Model II 54 Berdasarkan hasil wawancara 33,33 peternak menggunakan mineral mix berupa urea molasses block dan tanaman legume yaitu kaliandra sebagai pakan tambahan. Suplementasi dengan UMBFeed Block dapat meningkatkan efesiensi pencernaan fermentasi yang kemudian menurunkan produksi gas metana sampai 30- 50 dari energi tercerna. Peternak memberikan pakan tambahan berupa mineral mix ketika ternak sakit dan dapat digunakan untuk menggemukkan ternak ataupun ketika ingin menambah produksi susu ternak. Peternak PT. Lembu Jantan Perkasa memberikan tambahan berupa kapur dan mineral mix berupa urea molasses block untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi potong. Berdasarkan hasil wawancara 50 peternak sapi perah Pengalengan-Bandung memberikan pakan leguminosa berupa Kaliandra Caliandra calotirtus. Alasan peternak menggunakan kaliandra sebagai pakan tambahan untuk memperbaiki produksi susu sapi. Kaliandra telah diperkenalkan sebagai tambahan pakan ternak oleh Koperasi Peternak Bandung Selatan KPBS sejak tahun 1980. Kaliandra merupakan salah satu leuguminosa pohon atau semak yang memiliki beberapa spesies, satu diantaranya yang paling banyak dikenal adalah jenis kaliandra bunga merah Calliandra calothyrsus. Peternak umumnya memberikan daun kaliandra dalam bentuk segar karena lebih disukai ternak, tetapi kadang kala dilayukan dahulu untuk menurunkan kadar tanninnya Jayadi, 1991. Kadar tannin pada daun kaliandra cukup tinggi yaitu sekitar 8 sehingga peternak disarankan untuk melayukan daun kaliandra sebelum diberikan ke ternak. Mekanisme penghambatan produksi metan pada ternak ruminansia oleh senyawa tannin digagas oleh Tavendale et. al 2005 yakni: secara langsung melalui penghambatan pada pencernaan serat yang mengurangi produksi H 2 dan secara tidak langsung yaitu dengan menghambat pertumbuhan dan aktivitas metanogen. Menurut penelitian Thalib 2004 tannin dapat mengurangi produksi gas metan. Semakin tinggi konsentrasi tannin maka produksi CH 4 akan menurun. Selain itu daun kaliandra merupakan protein baik bagi ternak ruminansia karena mengandung 20-25 protein kasar yang sangat bermanfaat bagi peningkatan produktivitas ternak. Selain digunakan sebagai hijauan pakan ternak, kaliandra juga banyak dimanfaatkan sebagai kayu bakar, produksi lebah madu, dan untuk konservasi lahan marginal. Kebanyakan tanaman kaliandra 55 dimanfaatkan sebagai tanaman untuk konservasi tanah marginal seperti tepi sungai, hutan, jalan, atau daerah lahan kritis yang ditumbuhi alang-alang Jayadi, 1991. Feed Block Supplement Urea Molasses BlockUMB merupakan pakan tambahan yang paling digemari oleh peternak karena dapat meningkatkan produktivitas ternak. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya pertambahan bobot badan dan produksi susu. Biasanya UMB diberikan dalam bentuk permen di mana ternak akan menjilat-jilat permen yang digantung ketika sapi merasa membutuhkan suplemen pakan. Ternak membutuhkan suplemen pakan ketika kualitas pakan kurang dari kebutuhan hidupnya. Penggunaan multinutrient block merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kecernaan pakan ternak ruminansia, khususnya pada musim kemarau yang berkepanjangan. Multinutrient block ini mengandung urea, mineral, dan kadang-kadang diberi protein by-pass Tolleng, 2002. Hartati 1998 melaporkan bahwa pemberian urea dapat menurunkan emisi gas metana dari 0,84 kg menjadi 0,126 kg per kg PBB. Selanjutnya dijelaskan bahwa, dari berbagai laporan hasil uji coba di berbagai negara, dapat dilihat bahwa pakan blok ini dapat meningkatkan produktivitas maupun tingkat reproduksi pada ternak ruminansia. Dari aspek produksi, blok ini dapat meningkatkan pertambahan bobot badan, dan produksi susu. Dari aspek reproduksi, blok ini dapat mempercepat munculnya berahi pertama setelah melahirkan dan dapat meningkatkan angka kebuntingan. Sekitar 83,33 peternak yang diwawancarai telah melakukan tindakan mitigasi dengan memanfaatkan kotoran ternak menjadi pupuk kandang sedangkan yang memanfaatkan kotoran ternak menjadi bahan baku biogas sekitar 66,67. Sebenarnya dengan membiarkan begitu saja di kandang, dalam waktu tertentu, kotoran ternak akan berubah menjadi pupuk kandang Setiawan, 1996. Pemanfaatan kotoran ternak dijadikan pupuk kandang terdiri dari dua jenis yaitu pupuk kandang dengan kompos ekstensif secara periodikjarang dan pupuk kandang dengan kompos intensif setiap hari. Pemanfaatan kotoran ternak menjadi pupuk kandang dapat mengurangi emisi metan dan dinitrogen oksida karena pupuk kandang merupakan upaya untuk menjaga kandungan bahan organik dalam tanah. Selain itu kotoran ternak dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku biogas dikarenakan kotoran ternak dominan akan bahan organik. Limbah organik ini dengan pengolahan 56 teknologi sederhana dapat diupayakan menghasilkan gasbio, dimana gas ini dapat digunakan sebagai bahan bakar menggunakan kompor gas seperti lazimnya pemanfaatan gas LPG Setiawan, 1996. Menurut Harahap et al. 1978 produksi gasbio dapat digunakan untuk memasak, penerangan, menyeterika dan mejalankan lemari es. Berdasarkan hasil wawancara, selain dimanfaatkan sebagai bahan bakar, biogas juga dimanfaatkan sebagai penerangan. 57 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai emisi metan CH 4 dan dinitrogen oksida N 2 O di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008. Model yang paling detail adalah model II yaitu perhitungan emisi berdasarkan klasifikasi populasi ternak dan bangsa ternak. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa perhitungan menggunakan model II enhanced menghasilkan emisi 3.481,8 Gg CO 2 lebih tinggi daripada menggunakan model I default IPCC 2.835,8 Gg CO 2 . Emisi Metan 50,1 pada model I dan 59,6 pada model II memiliki persentase lebih tinggi daripada emisi dinitrogen oksida 49,9 pada model I dan 40,4 pada model II. Jenis ternak di Provinsi Jawa Barat yang menghasilkan emisi tertinggi adalah ternak domba 1.211,5 Gg CO 2 pada model I dan model II dan penghasil emisi terendah adalah ternak babi 3,7 Gg CO 2 pada model I dan model II. Kabupaten tertinggi penghasil emisi adalah Kabupaten Karawang yaitu sebesar 502,59 Gg CO 2 pada model I dan 525,56 Gg CO 2 pada model II sedangkan emisi terendah dimiliki oleh Kota Cirebon yaitu sebesar 1,91 Gg CO 2 pada model I dan 2,41 Gg CO 2 pada model II. Tindakan mitigasi yang telah dilakukan peternak di Provinsi Jawa Barat mayoritas dilakukan dengan memperbaiki kualitas pakan antara lain dengan penambahan leguminosa salah satu contohnya Kaliandra dan suplemen berupa UMB Urea Molasses Block selain itu manur digunakan sebagai bahan baku biogas. Saran Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan perhitungan emisi yang dihasilkan oleh sektor peternakan terutama yang masih menggunakan koefisien dari default-IPCC seperti nilai perkiraan N untuk tiap jenis ternak, persentase digestable energy DE dari tiap jenis ternak dan data-data lainnya sehingga didapatkan nilai emisi yang paling benar. Selanjutnya ketika didapatkan nilai emisi maka dilakukan tindakan mitigasi sesuai dengan emisi yang dihasilkan. 58 UCAPAN TERIMA KASIH Penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam berkat nikmat iman, rahmat, dan ridhoNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Rasa syukur disampaikan karena dalam penyusunan Skripsi ini, penulis dapat menyelesaikannya tepat waktu sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Penulis tidak lupa menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada beberapa pihak yang telah dengan sukarela dan ikhlas membantu dalam penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Allah SWT yang memiliki segala isi di jagat raya ini dan berkat rahmat dan ridho-Nya pula penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Keluarga tercinta, Papa terbaik Mardi Santoso dan Mama tersayang Endang Sulistyowati yang telah melahirkan seorang anak dengan penuh kasih sayang, selalu memberikan motivasi, dan do’a yang tiada henti-hentinya. Kepada kakak- kakak perempuan penulis tersayang Ema Wita Eka Pratiwi dan Prettalysa Mega Fathawati dan adik lelaki penulis tersayang Rahmat Agung Arya Nata yang secara tidak langsung memberi semangat dan do’a dari jauh demi kelancaran studi penulis di IPB. 3. Dr. Ir. Idat Galih Permana M.Sc, Agr selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi atas curahan perhatian dalam membimbing, mengarahkan, mendidik, memberi motivasi, serta semangat kepada penulis agar dapat menyusun skripsi dengan baik dan dapat menyelesaikan tepat pada waktunya. 4. Dr. Ir. Suryahadi DEA sebagai dosen pembimbing skripsi atas pengarahan dan perhatiannya sehingga membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 5. Keluarga besar dari bapak dan ibu yang selalu memberikan do’a, motivasi, pujian, dan kasih sayang kepada penulis dalam menyelesaikan studinya. 59 6. Kepada Perdana Abdillah il mio angelo custode yang selalu memberikan do’a, semangat, motivasi, nasehat, kasih sayang dan segala perhatiannya kepada penulis. 7. Kepada Mas Derik, Mas Wahyu, Mas Urip, Mas Taswi, Mas Deni, Dendy, Danar yang selalu memberikan penulis inspirasi, semangat, dan motivasi. 8. Anggota SISPENA Siswa Pecinta Alam SMA N 1 Jember Angkatan 21, 27, 28, 29 dan 30 yang memberikan motivasi dan semangat kepada penulis. 9. Diah Irma Ayuningtyas yang selalu memberikan motivasi, do’a, dan bantuan materi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Serta teman-teman kosan As-Sakinah yaitu Sinta, Sumisih, Mbak Fahmi, Mbak Rika, Mbak Arin, Mbak Santi, Mbak Midha, Wiwit, Ana, Gebbi, Dina, Fitri, Iriana, Nenah, Aci, Mar’ah, Irma, Nita dan lainnya yang selalu memberikan motivasi, semangat, dan keceriaan kepada penulis. 10. Teman-teman Antrax 44 yang memberikan perhatian dan semangat kepada penulis. 11. Segala pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan masukkannya. Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. 60 DAFTAR PUSTAKA Asman, W.A.H., M.A. Sutton, J.K. Schjoerring. 1998. Ammonia: Emission, atmospheric transport and deposition. New Phytol. 139: 27-48. Brown, J.R., M. Christy, G.S. Smith. 2004. Nitrateinsoils and plants. University of Missouri. http:extension.missouri.edu. [30 Maret 2011] Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2005. Buku Saku Statistik Jawa Barat Tahun 2004. Badan Pusat Statistik. Bandung. Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2006. Buku Saku Statistik Jawa Barat Tahun 2005. Badan Pusat Statistik. Bandung. Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2007. Buku Saku Statistik Jawa Barat Tahun 2006. Badan Pusat Statistik. Bandung. Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2008. Buku Saku Statistik Jawa Barat Tahun 2007. Badan Pusat Statistik. Bandung. Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2009. Buku Saku Statistik Jawa Barat Tahun 2008. Badan Pusat Statistik. Bandung. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2009. Populasi ternak di Indonesia Tahun 2004-2008. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Crutzen, P.J, I.Aselmann, W. Seiler. 1986. Methane production by domestic animals, wild ruminants, other herbivorous fauna, and humans. Tellus. 38B:271-284. Deborah, B, D. Gibb J. H. Martin. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Emissions from Livestock and Manure Management. Washington, D.C. Dinas Peternakan Bogor. 2007. Buku Saku Populasi Ternak Kerbau Rawa. Bogor. Dinas Peternakan Tasikmalaya. 2004. Buku Saku Populasi Ternak Sapi Potong. Tasikmalaya. Djaja, W, S. Kuswaryan, U. H. Tanuwiria. 2007. Efek substitusi konsentrat oleh daun kering kaliandra dalam ransum sapi perah terhadap kuantitas dan kualitas susu, bobot badan, dan pendapatan peternak. Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran Jatinangor, Bandung. European Environmental Agency. 2002. Atmospheric Emission Inventory Guidebook. Copenhagen. 61 European Environmental Agency. 2004. About Air Pollution. Rome. Forest Resources Assessment. 2006. Statistical Database. Caracalla, Rome, Italy. http:www.fao.org.[ 24 September 2010 ] Harahap F. M., Apandi, S. Ginting. 1978. Teknologi Gasbio. Pusat Teknologi Pembangunan Institut Teknologi Bandung, Bandung. Hartati, E. 1998. Suplementasi minyak lemuru dan zeng ke dalam ransum yang mengandung silase pod kakao dan urea untuk memacu pertumbuhan Sapi Holstein jantan. Disertasi Program Pascasarjana, IPB, Bogor. Hooier, A., M. Silvius, H. Wosten, S. Page. 2006 . Peat-CO 2 , assessment of CO 2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943:29 IPCC Expert Group. 1997. Revised IPCC guidelines for national greenhouse inventories. IPCCOECDIEA. Paris. IPCC. 2001. Climate Change 2001: Mitigation of Climate Change. Contribution of Working Group III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change Cambridge. University Press, Cambridge, United Kingdom and New York. http:www.ipcc.ch. [ 24 September 2010] IPCC. 2007. Climate Change 2007: Mitigation of Climate Change. New York. Intergovermanental Panel on Climate Change IPCC. 2009. Emissions From Livestock and Manure Management. New York. Jayadi, S. 1991. Tanaman Makanan Ternak Tropika. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kasryno, F., P. Simatupang, I.W. Rusastra, A. Djatiharti, B. Irawan. 1989. Government policies and economic analysis of the livestock commodity System. J. Agr. Eko. 81: 1-36. Koperasi Peternak Bandung Selatan KPBS. 2011. Data bobot badan ternak sapi perah KPBS. Pengalengan. Bandung. Mide, M. Z. 2002. Teknik pembuatan urea molasses multinutrient block UMMB. Makalah kursus singkat penggunaan teknologi radio-immunoassay RIA dan urea molasses multinutrient block UMMB dalam biologi reproduksi ternak. Kerjasama Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Makassar. Mimuroto, Y. K. Koizumi. 2003. Global warming abatement and coal supply and demand, Institute of Energy Economics Japan IEEJ, Jepang. 62 Monteny, G.J. J.W. Erisman. 1998. Ammonia emissions from dairy cow buildings: A review of measurement techniques, influencing factors and possibilities for reduction. Neth. J. Agric. Sci. 46: 225-247. Ridwan. 2010. Jenis-jenis sapi potong. http:cahayaaqiqah.com . [2 Februari 2011] Risnandar, S.T. 2008. Mengenal IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change. http:kehutanan.risnandarweb.com . [ 24 September 2010 ] Robbani, A.R. 2009. Karakteristik fenotipik kerbau rawa Swamp Buffalo di Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Setiawan, A. I., 1996. Memanfaatkan Kotoran Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta. Setiawan, E. 2005. Analisis finansial usaha pemanfaatan limbah ternak sebagai pupuk organik bokashi Studi Kasus di Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya Antanan, Desa Cimande, Kec. Caringin, Bogor. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sihombing, D.T.H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah KegiatanUsaha Peternakan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Simbaya, J. 2002. Potential of fodder treeshrub legumes as a feed resource for dry season supplementation of smallholder ruminant animals. Proceedings of Development and Field Evaluation of Animal Feed Supplementation Packages. IEFA Technical Co-operation Regional AFRA Project organized by the Joint FAOIAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture and held in Cairo. Egypt. Sirait, C.H. 1991. Penggunaan susu sapi Fries Holland untuk pembuatan dadi suatu produk susu olahan tradisi Sumatera Utara. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soejono, M, E. Sutariningsih, P. Basuki, R. Utomo Harsoyo. 1990. Pengaruh amoniasi urea jerami padi terhadap kotoran sapi untuk produksi gas metan. PAU-Bioteknologi UGM, Yogyakarta. Sugiyono, A. 2006. Penanggulangan pemanasan global di sektor pengguna energi. J. Sains Tek. Mod. Cuaca. 72: 15-19. Suryahadi, A.R. Nugraha, A. Bey, R. Boer. 2002. Laju konversi metan dan faktor emisi metan pada kerbau yang diberi ragi tape lokal yang berbeda kadarnya 63 yang mengandung Saccharomyces cerevisiae. Ringkasan Seminar Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Susilorini, T.E, M.E. Sawitri, Muharlien. 2008. Budidaya 22 Ternak Potensial. Swadaya. Jakarta. Tangdilinting, F. K. 2002. Pakan Tambahan Supplement. Makalah Kursus Singkat Penggunaan Teknologi Radioimmunoassay RIA dan Urea Molasses Multinutrient Block UMMB dalam Biologi Reproduksi Ternak. Kerjasama Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Makassar. Tavendale, M.H, L.P. Meagher, D. Pacheco, N. Walker, G.T. Attwood S. Sivakumaran. 2005. Methane production from in vitro rumen incubation with Lotus pedunculatus and Medicago sativa, and effects of extractable condensed tannin fractions on methanogeneisi. Anim. Feed Sci. Technol. 123124: 403-419. Thalib, A. 2004. Uji efektivitas saponin buah Sapindus rarak sebagai inhibitor metanogenesis secara in vitro pada sistem pencernaan rumen. J. Ilmu Ternak Veteriner, 93: 164- 171. Tolleng, A.L. 2002. Perbaikan tingkat reproduski ternak ruminansia di daerah tropis melalui supplementasi pakan urea multinutrient molasses block UMMB. Makalah Kursus Singkat Penggunaan Teknologi Radioimmunoassay RIA dan Urea Molasses Multinutrient Block UMMB dalam Biologi Reproduksi Ternak. Kerjasama Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Makassar. Wilkie, A. C., 2000. Anaerob Digestion : Holistic vioprocessing of animal manures. in proceeding of the animal residuals management coference. p.1-12. Virginia. Woodbury, J.W. A. Hashimoto, 1993. Methane emissions from livestock manure in international methane emissions. US Environmental Protection Agency, Climate Change Devision. Washington, D.C. 64 LAMPIRAN 65 Lampiran 1. Pohon Keputusan untuk Karakterisasi Populasi Ternak Keterangan : 1: Kategori ini meliputi: Emisi CH 4 dari fermentasi enterik, emisi CH 4 dari manajemen manur kotoran ternak, dan Emisi N 2 O dari manajemen manur kotoran ternak. 2: Volume 1 Lihat Bab 4,”Metodologi Pilihan dan Identifikasi Kategori Kunci” mencatat Bagian 4.1.2 pada sumber daya terbatas, untuk diskusi tentang kategori kunci dan penggunaan pohon keputusan. Box 1 : Tier 1 default-IPCC Tidak Tidak Ya Ya Box 2 : Model 2 Ya Sumber : B, Deborah . D. Gibb , and J. H. Martin 2006 Mulai Identifikasi spesies ternak yang berlaku untuk setiap kategori Identifikasi, menggunakan default-IPCC atau enhanced untuk masing-masing spesies ternak berdasarkan tombol kategori analisis 2 Tinjauan nilai emisi dari metode emisi untuk masing-masing kategori 1 Meminta tiap kategori spesies ternak : data yang tersedia dapat memenuhi data yang dibutuhkan dalam Program Dapatkah data yang akan dikumpulkan mendukung tingkat karakterisasi? Mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk mendukung karakterisktik tersebut. Melakukan karakterisasi yang diperlukan pada tingkat yang lebih detail Mengatur tingkat karakterisasi dengan data yang tersedia 66 Lampiran 2. Pohon Keputusan Emisi CH 4 dari Fermentasi Enterik Ya ya tidak Box 3 : Model 3 tidak Tidak Box 1 : Model 1 ya Box 2 : Model 2 Keterangan : 1: Lihat Volume 1 Bab 4, Metodologi Pilihan dan identifikasi Kategori Kunci mencatat Bagian 4.1.2 pada sumber daya terbatas, untuk diskusi tentang kategori kunci dan penggunaan pohon keputusan. 2: Sebagai aturan praktis, sebuah spesies ternak akan signifikan jika menyumbang 25-30 atau lebih dari emisi dari sumber kategori. Sumber : B, Deborah . D. Gibb , and J. H. Martin 2006 Mulai Apakah data tersedia dengan detail untuk menggunakan model III enhanced Perkirakan emisi untuk tiap spesies ternak dengan menggunakan pendekatan Model III Apakah ternak yang ditingkatkan karakteristiknya tersedia? Apakah fermentasi enterik merupakan sebuah kategori 1 kunci dan merupakan spesies yang signifikan 2 ? Koleksi data karakteristik populasi ternakyang dikembangkan untuk pendekatan Model II Perkirakan emisi untuk tiap spesies ternak menggunakan pendekatan Model 2 Perkiraan emisi untuk tiap spesies ternak menggunakan pendekatan Model 1-default IPCC 67 Lampiran 3. Pohon Keputusan untuk Emisi CH 4 dari Manajemen Manur Ya tidak Box 3 : Tier 3 tidak ya semua atau beberapa ya tidak Box 2 : Model 2 Box 1 : Model 1 Keterangan : 1: Lihat Volume 1 Bab 4, Metodologi Pilihan dan identifikasi Kunci Kategori mencatat Bagian 4.1.2 pada sumber daya terbatas, untuk diskusi tentang kategori kunci dan penggunaan pohon keputusan. 2: Sebagai aturan praktis, sebuah spesies ternak akan signifikan jika menyumbang 25-30 atau lebih dari emisi dari sumber kategori. Sumber : B, Deborah . D. Gibb , and J. H. Martin 2006 Mulai Apakah pengguna program mempunyai data yang spesifik untuk tiap spesies ternak menggunakan model III? Apakah data karakterisasi populasi ternak tersedia dalam Model II dan apakah pengguna program memiliki data daerah tertentu terhadap nilai VS, nilai MCF, nilai-nilai Bo dan data sistem manajemen manur? Apakah CH 4 dari manajemen manur merupakan kategori 1 sumber utama dan merupakan data yang signifikan dari emisi-emisi 2 ? Perkirakan emisi dengan menggunakan model III Koleksi data untuk metode Model II Perkiraan emisi CH 4 menggunakan Model 1 - default IPCC Perkiraan emisi CH 4 menggunakan metode Model II menggunakan input data spesifik yang tersedia 68 Lampiran 4. Pohon Keputusan untuk emisi N 2 O dari Manajemen Manur ya Box 3 : Tier 3 tidak tidak ya ya ya tidak Ya Box 2 : Tier 2 Box 1 : Tier 1 Keterangan : 1 : emisi N 2 O dari system manajemen manur termasuk sumber langsung dan tidak langsung. 2 : lihat di Volume 1 Chapter 4, “ Methodological Choice and Identification of Key Categories” tidak ada di seksi 4.1.2 di sumber daya terbatas, untuk diskusi dari kategori kunci dan menggunakan pohon keputusan. 3 : aturan dari ibu jari, spesies ternak akan menjadi signifikan jika angka emisinya 25-30 atau lebih dari sumber kategori. Sumber : B, Deborah . D. Gibb , and J. H. Martin 2006 Mulai Apakah pengguna program mempunyai data yang spesifik untuk menggunakan model 3? Perkiraan nilai emisi menggunakan model 3 Ini adalah sebuah karakteristik populasi ternak yang menggunakan model 2, dan apakah pengguna program mempunyai data ekskresi N rata-rata yang spesifik tiap jenis ternak, data fraksi dari kehilangan N, EFs dan sistem manajemen kotoran ternak yang digunakan? Apakah N 2 O dari manajemen kotoran ternak merupakan kategori kunci 2 dan apakah tiap spesies berbagi emisi secara signifikan 3 ? Koleksi data menggunakan model 2 Perkiraan emisi N 2 O secara langsung dan tidak langsung menggunakan model 2 menggunakan input data yang tersedia dari tiap spesifik daerah Perkiraan emisi N 2 O secara langsung dan tidak langsung menggunakan Model 1- defaultIPCC 69 Lampiran 5. Definisi Sistem Manajemen Kotoran Ternak Sistem Definisi Padang rumput Range Paddock Kotoran ternak langsung jatuh ke padang rumput dan hewan penggembalaan yang tidak disimpan dan tidak dikelola. Penyebaran harian Kotoran hewan secara rutin dibuang dari kandang dan digunakan untuk lahan pertanian atau padang rumput sebagai pupuk kandang di mana ekskresi kotoran ternak dalam waktu 24 jam. Penyimpanan padatan Penyimpanan pupuk kandang, biasanya untuk jangka waktu beberapa bulan, ditumpuk saja. Pupuk kandang dapat ditumpuk karena adanya jumlah bahan tempat tidur ternak bedding yang cukup atau hilangnya kelembaban oleh proses evaporasi. Dry lot Sebuah area kandang beraspal atau beraspal terbuka tanpa tutupan vegetasi yang signifikan dimana pupuk terakumulasi bisa dibuang secara berkala. Cairbubur Pupuk disimpan sebagai hasil ekskresi atau dengan beberapa penambahan sedikit air baik dalam tangki atau kolam tanah di luar area perkandangan hewan, biasanya untuk jangka waktu kurang dari satu tahun. Laguna aerobic terbuka Jenis sistem penyimpanan kotoran hewan dalam bentuk cair yang dirancang dan dioperasikan untuk menggabungkan stabilisasi limbah pada proses penyimpanan. Laguna supernatan biasanya digunakan untuk menghilangkan kotoran dari fasilitas kandang yang terkait ke laguna. Laguna anaerobik dirancang dengan berbagai periode penyimpanan sampai satu tahun atau lebih, tergantung pada daerah, iklim, volatile solids loading rate, dan faktor operasional lainnya. Air dari laguna dapat didaur ulang sebagai air siram atau digunakan untuk mengairi dan pupuk ladang. Penyimpanan di bawah sumur, salah satu fasilitas kandang hewan Pengumpulan dan penyimpanan kotoran hewan biasanya dengan sedikit atau tanpa menambahkan air biasanya di bawah lantai berselat pada fasilitas kandang hewan tertutup, biasanya untuk jangka waktu kurang dari satu tahun. Pencernaan anaerob Kotoran hewan dengan atau tanpa jerami dikumpulkan dan dicerna secara anaerobik dalam penahanan kapal besar atau laguna tertutup. Digester dirancang dan dioperasikan untuk stabilisasi sampah dengan pengurangan mikroba senyawa organik kompleks menjadi CO 2 dan CH 4 , yang ditangkap dan menyala atau digunakan sebagai bahan bakar. Sebagai bahan bakar Kotoran dan urin diekskresikan dalam bidangnya. Matahari sebagai pengering kotoran hewan yang dibakar untuk bahan bakar. 70 Lanjutan Lampiran 5. Sistem Definisi Kotoran sapi dan babi bercampur dengan beddingalas tempat tidur ternak Sebagai pupuk terakumulasi, bedding terus ditambahkan untuk menyerap kelembaban selama siklus produksi dan mungkin selama 6 sampai 12 bulan. Sistem manajemen kotoran hewan juga dikenal sebagai sistem manajemen paket pupuk dengan bedding dan dapat digabungkan dengan jerami atau rumput. Pengomposan a - invessel Pengomposan, biasanya dalam saluran tertutup, di mana proses dekomposisi berlangsung secara mekanik, dan pencampuran berlangsung terus menerus. Pengomposan a – static pile Pengomposan dilakukan dengan menumpuk kotoran ternak di dalam pipa di mana ada penekanan udara tapi tidak ada pencampuran. Pengomposan a - intensive windrow Pengomposan dilakukan dengan proses pembalikan kotoran ternak secara periodik setidaknya setiap hari untuk proses pencampuran dan aerasi. Pengomposan a - passive windrow Pengomposan dilakukan dengan proses pembalikan kotoran ternak secara periodik jarang untuk proses pencampuran dan aerasi. Manur Unggas bercampur dengan litter Mirip dengan manajemen manur sapi dan babi di mana manur bercampur dengan bedding kecuali biasanya tidak dikombinasikan dengan rumput kering. Biasanya digunakan untuk semua peternak unggas dan untuk produksi ayam pedaging ayam pedaging dan unggas lainnya. Manur Unggas tanpa litter Mungkin mirip untuk membuka sumur di fasilitas kandang hewan tertutup atau mungkin dirancang dan dioperasikan untuk mengeringkan kotoran seperti yang terakumulasi. Yang terakhir ini dikenal sebagai sistem manajemen kotoran hewan bertingkat tinggi dan merupakan bentuk pasif pengomposan dilakukan pendayungan angin apabila didesain dan dioperasikan dengan benar. Perlakuan anaerob Oksidasi biologis dari kotoran dikumpulkan dalam bentuk cairan dengan baik, aerasi paksa atau alami. Aerasi alami terbatas pada kolam aerobik dan fakultatif dan sistem lahan basah dan terutama disebabkan fotosintesis. Oleh karena itu, sistem ini biasanya menjadi anoxic selama periode tanpa sinar matahari. Ket.: a = Pengomposan adalah oksidasi biologis dari limbah padat termasuk kotoran biasanya dengan bedding atau sumber karbon organik biasanya pada suhu termofilik yang dihasilkan oleh produksi panas mikroba. Sumber : B, Deborah et. al 2006 71 Lampiran 6. Nilai Faktor Konversi Sistem Manajemen Manur MCFs Berdasarkan Jenis Ternak No. Jenis Ternak Manur Manajemen Sistem MCFs dalam satuan persen Kompos Ektensif Pastura Pedok Lagoon Anaaerob Drylot Manur yang bercam- pur dengan litter Manur yang tidak bercam- pur dengan litter Penyim panan dalam bentuk padatan

1. Sapi Potong