28 Jawa Barat. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Robbani 2009 dalam
skripsinya dituliskan bahwa kerbau dipelihara semi intensif yaitu kerbau pada pagi sampai menjelang siang hari dipekerjakan untuk membajak sawah kemudian kerbau
siang hari dikandangkan sampai menjelang sore. Kerbau digembalakan sampai menjelang malam kemudian dikandangkan serta diberikan pakan pada malam hari.
Jadi, waktu yang dibutuhkan ternak kerbau untuk dipekerjakan sekitar 5 jam. Hal ini diestimasikan kepada ternak kerbau kerja dewasa dan sapi potong dewasa.
Pengolahan tanah sawah baik menggunakan sapi maupun kerbau dilakukan selama dua bulan dalam setahun sehingga dalam sehari dalam setahun waktu kerjanya
adalah 60hari365hari x 5 jam = 0,822 jamharitahun.
Sistem Pemeliharaan. Informasi detail tentang sistem pemeliharaan pada setiap
jenis ternak sangat dibutuhkan untuk menghitung emisi dari fermentasi enterik karena interpolasi antara sistem pemeliharaan merupakan hal yang penting untuk
menentukan koefisien faktor emisi. Sistem pemeliharaan intensif kandang dry lot menghasilkan emisi yang lebih tinggi daripada sistem pemeliharaan pasture
digembalakan. Hal ini dapat dilihat di bab selanjutnya yaitu faktor emisi yang dihasilkan. Pengukuran sistem pemeliharaan dilakukan berdasarkan wawancara
dengan peternak dan diestimasikan bahwa peternak di Provinsi Jawa Barat mayoritas melakukan sistem pemeliharaan tersebut.
Tabel 8. Data Sistem Pemeliharaan Sapi dan Kerbau Berdasarkan Bangsa, Umur Ternak dan Jenis Kelamin
No. Bangsa Ternak
Sistem Pemeli-
haraan
Sistem Pemeliharaan Berdasarkan Umur dan Jenis
Kelamin
Pedet Muda
Dewasa Jantan
Betina Jantan
Betina Jantan
Betina
1. Sapi PO
K G
70 30
70 30
70 30
70 30
70 30
70 30
2. Sapi Brahman
K 100
100 100
100 100
100
3. Sapi Limosin
K 100
100 100
100 100
100
4. Sapi Simental
K 100
100 100
100 100
100
5. Sapi Brangus
K 100
100 100
100 100
100
29
Lanjutan Tabel 8.
No. Bangsa Ternak
Sistem Pemeli-
haraan
Sistem Pemeliharaan Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
Pedet Muda
Dewasa Jantan
Betina Jantan
Betina Jantan
Betina
7. Sapi Perah
K 100
100 100
100 100
100
8. Kerbau
K G
50 50
50 50
50 50
50 50
50 50
50 50
Keterangan : K = dikandangkan; G = digembalakan Sumber : :PT.Lembu Jantan Perkasa , : Ridwan 2010, : Robbani 2009, : KPBS 2011
Rataan Produksi Susu Per Hari. Data produksi susu per hari pada umumnya
didapatkan dari data sapi perah dan kerbau. Data ini didapatkan dari rataan produksi susu per hari dalam setahun 365 hari atau laporan berdasarkan produksi susu harian
sepanjang laktasi dalam setahun atau estimasi menggunakan produksi susu dalam semusim dibagi hari dalam semusim. Data produksi susu sapi dan kerbau
menggunakan estimasi bahwa di Indonesia pada umumnya sapi perah memproduksi susu 10 liter per hari sedangkan untuk sapi potong dan kerbau diestimasikan
memiliki produksi susu yang rendah yaitu 3 liter karena susunya hanya digunakan untuk menyusui anak. Rataan produksi susu per hari menggambarkan tingkat
kebutuhan konsumsi ternak. Semakin tinggi produksi susu maka semakin tinggi kebutuhan konsumsinya sehingga meningkatkan emisi yang dihasilkan.
Kandungan Lemak Susu. Kandungan lemak susu dari sapi maupun kerbau dilihat
dari susu yang dijual di pasaran untuk dikonsumsi manusia dan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Pada penelitian ini kandungan lemak susu sapi maupun
kerbau berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Sirait 1991. Diestimasikan bahwa kandungan lemak susu sapi sama untuk setiap bangsa ternak sapi potong yaitu
3,45 sedangkan kandungan lemak susu kerbau adalah 9,65. Kandungan lemak susu menggambarkan pakan yang biasa dikonsumsi oleh ternak. Semakin tinggi
kandungan lemak susu maka semakin tinggi rasio hijauan yang dikonsumsi sehingga menunjukkan bahwa semakin tinggi emisi yang dihasilkan.
30
Persentase Betina Bunting dan Persentase Betina Laktasi. Pada umumnya untuk
ternak sapi maupun ternak kerbau persentase betina bunting lebih besar daripada betina laktasi. Hal ini dikarenakan ternak mengalami kebuntingan terlebih dahulu
kemudian mengalami masa laktasi. Selain itu untuk ternak sapi potong dan kerbau masa laktasinya lebih singkat daripada ternak sapi perah. Persentase betina bunting
dan laktasi untuk ternak sapi potong berdasarkan penelitian Setiawan 2005 pada skripsinya yang menyebutkan bahwa sapi potong di daerah Jawa Barat memiliki
persentase betina bunting sebesar 45 dan betina laktasi sebesar 40 sedangkan persentase betina bunting untuk ternak kerbau berdasarkan penelitian Robbani 2009
menyatakan bahwa kerbau di Prov. Jawa Barat memiliki persentase betina bunting sebesar 40 dan persentase betina laktasi sebesar 30.
Persentase Pakan yang Dicerna.
Nilai energi bruto Gross Energy dalam pakan yang tidak diekskresikan menjadi feses merupakan pakan yang dicerna. Pakan yang
dicerna pada umumnya dinyatakan dalam persentase GE atau TDN Total Digestable Nutrient. Ternak ruminansia di Indonesia pada umumnya memiliki nilai pakan yang
dicerna antara 55-75 untuk pastura yang baik, pengawetan hijauan yang baik, dan pakan berbasis hijauan dengan suplemen konsentrat. Variasi dalam pakan yang
dicerna dilaporkan dengan variasi pada umumnya dalam estimasi pakan yang dibutuhkan ternak dan saling berhubungan dengan emisi metan dan jumlah kotoran
ternak yang diekskresikan. Estimasi yang akurat dari DE sangat penting dalam menghitung konsumsi pakan dan emisi yang akan ditekankan. Dengan kesalahan
10 dari rataan persentase konsumsi pakan DE atau TDN akan menghasilkan emisi CH
4
yang dihasilkan dari tiap ternak yaitu antara 12-20 Deborah et al., 2006.
Data DE ternak Sapi dan Kerbau disajikan pada Tabel 9. Data ini berdasarkan estimasi bahwa peternak di Provinsi Jawa Barat menggembalakan ternaknya,
memberikan hijauan yang diawetkan dengan baik dan memberikan pakan berbasis hijauan dengan suplemen konsentrat.
31 Tabel 9. Data Pakan yang Dicerna Digestible Energy Ternak Sapi dan Kerbau
Berdasarkan Bangsa dan Klasifikasi Populasi Ternak
No. Bangsa Ternak Klasifikasi Ternak Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
Pedet Muda
Dewasa Jantan
Betina Jantan
Betina Jantan
Betina
1. Sapi PO