BAB I PENDAHULUAN
I. A. Latar Belakang Masalah
Sejak awal lahirnya, manusia adalah makhluk sosial. Hal ini berarti bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dari dunianya karena manusia selalu ada
dan harus hidup dalam ikatan lingkungan sosial seperti keluarga, kerabat, tetangga dan masyarakat. Keadaan ini juga disebabkan karena menurut kodratnya, manusia
merupakan makhluk yang memiliki keterbatasan sehingga memerlukan orang lain sebagai mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak atau untuk mengisi,
melengkapi dan menyempurnakan keterbatasan tersebut Nurdin, 1990. Crumbaugh dalam Bastaman, 1996 menyatakan bahwa membina
hubungan yang mendalam encounter dengan sesama manusia merupakan penerapan prinsip pelayanan memberi dan menerima take and give yakni
berusaha mengetahui apa yang diperlukan orang lain dan kemudian memenuhinya. Proses memenuhi give ini dilakukan berdasarkan naluri
kemanusiaan yaitu melalui usaha tolong menolong karena pada hakekatnya, sesuai pandangan biologis, manusia memiliki dorongan menolong bawaan Hogg,
2002. Oleh sebab itu, agar kegiatan ini dapat dijalankan dengan lebih efektif maka pada abad ke-19 di Amerika Serikat, kegiatan ini secara formal didirikan
menjadi suatu profesi yang disebut sebagai pekerjaan sosial Morales Sheafor, 1980. Ali 2001, menyatakan bahwa suatu kegiatan dapat disebut sebagai
profesi apabila telah memiliki kode etik sebagai sarana pengatur norma-norma
Universitas Sumatera Utara
profesi dan adanya organisasi profesi sebagai wadah yang berfungsi memberikan pengajaran dan pembinaan kualitas profesi. Demikian juga halnya dengan
pekerjaan sosial yang memiliki kode etik dan organisasi profesi. Oleh sebab itu maka layaklah pekerjaan sosial disebut sebagai suatu profesi.
Menurut Siporin; Morales Sheafor dalam Suharto, 1997, definisi pekerjaan sosial adalah suatu profesi pertolongan kemanusiaan yang tujuan
utamanya adalah membantu keberfungsian sosial individu, keluarga dan masyarakat dalam melaksanakan peran-peran sosialnya. Sedangkan Skidmore,
Thackery Farley 1994, menyatakan bahwa pekerjaan sosial adalah suatu usaha profesional untuk menolong orang memecahkan dan mencegah masalah-
masalah dalam fungsi sosial, memperkuat hubungan sosial dan meningkatkan cara-cara hidup mereka dimana orang-orang yang melakukan profesi tersebut
disebut sebagai pekerja sosial Adi, 2004. Secara konvensional, pekerjaan sosial biasanya dipandang sebagai suatu
profesi yang menangani permasalahan kesejahteraan sosial baik pada lingkungan lembaga maupun masyarakat. Dalam lingkungan lembaga, pekerja sosial biasanya
bekerja pada institusi-institusi pelayanan sosial seperti lembaga rehabilitasi sosial, pengasuhan anak, perawatan orang tua, penampungan korban narkoba dan lain
sebagainya. Sementara, pada lingkungan masyarakat, umumnya pekerja sosial menangani permasalahan sosial yang berkaitan dengan pembangunan lokal
pedesaan dan perkotaan, pengentasan kemiskinan atau perancang proyek-proyek usaha ekonomis produktif Suharto, 1997.
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia sendiri, sering terjadi kerancuan tentang siapa yang disebut sebagai pekerja sosial. Dalam masyarakat, ada tiga pandangan tentang pekerja
sosial. Pandangan pertama melihat pekerja sosial sebagai setiap orang yang
melakukan kegiatan menolong orang lain tanpa pamrih, tanpa mengharapkan
imbalan, berdasarkan rasa kemanusiaan dan ajaran agama. Pandangan kedua melihat pekerja sosial sebagai orang yang menduduki jabatan fungsional pekerja
sosial yang diperuntukkan khusus bagi Pegawai Negeri Sipil PNS. Sedangkan pandangan ketiga melihat pekerja sosial sebagai lulusan atau alumni perguruan
tinggi jurusan kesejahteraan sosial atau pekerjaan sosial yang mengikuti pendidikan formal minimal strata satu S1 atau Diploma IV yang dapat bekerja di
lembaga pemerintahan, swasta maupun praktik mandiri Thoyib, 2006.
Pada era pemerintahan presiden Suharto, didirikan Himpunan Pekerja Sosial Indonesia HIPSI yang sayangnya lebih banyak didominasi oleh orang-
orang yang bukan berlatar belakang dari bidang pekerjaan sosial ataupun ilmu kesejahteraan sosial tetapi orang-orang yang berasal dari berbagai latar pendidikan
lain Adi, 2004. Hidayat 2004, menyatakan bahwa pekerja sosial memiliki arti secara luas, yaitu pihak-pihak yang melaksanakan usaha kesejahteraan sosial baik
yang berasal dari pemerintahan birokrasi maupun dari kalangan masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat LSM.
Dunham dalam Adi, 1994 menyatakan, karakteristik untuk menjadi pekerja sosial adalah mereka tahu bahwa pekerjaan sosial yang dilakukannya
adalah kegiatan pemberian bantuan helping profession, lebih mengutamakan kegiatan yang non-profit dalam artian lebih mementingkan pelayanan service
Universitas Sumatera Utara
daripada mencari keuntungan profit, dan mereka bertindak sebagai perantara agar masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya yang ada di masyarakat.
Sedangkan, mandat utama pekerja sosial adalah memberikan pelayanan sosial baik kepada individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat yang
membutuhkannya sesuai nilai-nilai, pengetahuan, dan keterampilan profesional pekerjaan sosial Adi, 1994. Fungsi utama pekerja sosial adalah melakukan
restorasi, penyediaan sumber-sumber bagi individu dan masyarakat serta mencegah disfungsi sosial Skidmore dalam Adi, 1994.
Setiap profesi yang digeluti memiliki dampak negatif dan positif. Seorang pekerja sosial terkadang menghadapi berbagai dampak negatif, salah
satunya adalah trauma sekunder. Trauma sekunder adalah masalah-masalah khusus akibat pekerjaan misalnya trauma tidak langsung akibat membantu orang
lain yang mengalami trauma atau memiliki bentuk-bentuk reaksi yang sama dengan subyek yang didampingi misalnya mengalami mimpi buruk, gelisah dan
ketakutan. Dampak lain adalah stres dan kelelahan kepedulian caregiver fatigue dikarenakan beberapa faktor misalnya tuntutan atau beban kerja yang sangat berat,
tidak adanya masa istirahat dan kelekatan yang sangat besar pada individu yang didampingi Pulih, 2006 serta terjadinya burn out terutama pada pekerja sosial
perempuan yang telah menikah karena konflik peran yang dialami antara tanggung jawab pada keluarga atau karir sebagai pekerja sosial Morales
Sheafor, 1980. Selain itu, tidak jarang pekerja sosial juga mengalami bias dan prasangka sosial dari individu atau masyarakat terhadap segala aktivitas yang
mereka lakukan. Hal ini dapat terlihat dari kutipan seperti di bawah ini:
Universitas Sumatera Utara
“Dibayar berapa kamu kesini? Kalian orang-orang luar hanya memanfaatkan kami karena bencana ini memobilisasi uang dan
menciptakan proyek-proyek” Pulih, 2006.
Sebenarnya, merupakan hal yang wajar bila masyarakat memiliki prasangka terhadap para pekerja sosial. Hal ini terbukti dari sejak terjadinya
bencana tsunami di kawasan paling barat Indonesia Aceh membuat kondisi negara kian terpuruk sehingga mengundang banyak orang untuk membantu dan
terjadi pembludakan pekerja sosial baik dari dalam maupun luar negeri, yang terlatih dan terorganisir maupun yang dadakan Pitaloka, 2005. Pada saat genting
seperti ini, banyak orang mengaku sebagai pekerja sosial namun orientasi sebenarnya adalah proyek Koentjoro, 2003. Banyak pekerja sosial yang terampil
dari LSM lokal di Aceh tertarik untuk direkrut oleh Non-Government Organizations NGO, atau di Indonesia biasa dinamakan sebagai LSM
internasional, dimana mereka menawarkan gaji yang tinggi dan melampaui standar upah minimum regional sehingga tidak jarang kehidupan pekerja sosial
telah menempatkan mereka sebagai konsumen kelas tinggi dan hidup mewah Kompas, 2005.
Selain memiliki dampak negatif, menjadi pekerja sosial juga memiliki dampak positif yaitu adanya perasaan dibutuhkan dan merasa puas apabila dapat
menolong orang lain Morales Sheafor, 1980, tersalurkannya perilaku prososial dalam pekerjaan sosial karena manusia memiliki sense of competence
dan social responsibility dalam menolong orang Whrightsman Deaux, 1993 serta adanya dorongan atau motif untuk mengaktualisasikan diri dengan
melakukan suatu kegiatan sosial Nurdin, 1990.
Universitas Sumatera Utara
Di negara-negara yang sedang berkembang developing countries seperti Indonesia, menjadi seorang pekerja sosial, belum mempunyai porsi yang
mapan karena profesi ini belum begitu dikenal masyarakat dan belum mendapat prioritas yang signifikan dari lembaga pemerintahan Adi, 2004 seperti
Departemen Sosial yang kurang memberikan penghargaan terhadap profesi pekerjaan sosial ini atau seperti ada kesan ambivalen dalam memberikan
penghargaan pada profesi pekerja sosial Koentjoro, 2003. Pada saat pekerja sosial melakukan praktek pekerjaan sosial, mereka
dituntut untuk melakukannya dengan semaksimal mungkin dan menggunakan seperangkat nilai yang merupakan sarana pemandu dalam praktik pekerjaan
sosial. Adapun seperangkat nilai tersebut adalah pelayanan, keadilan sosial, martabat dan keberhargaan manusia, hubungan antara manusia, integritas, dan
kompetensi NASW, 2005. Nilai-nilai ini merupakan bentuk operasionalisasi dari nilai makna hidup karena berdasarkan definisinya nilai adalah alat yang esensial
untuk memilah-milah pengetahuan dan mengindikasikan apa yang sesuai dengan kepercayaan sehingga tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus
melakukannya Morales Sheafor, 1980 dan apabila berhasil merealisasikannya maka akan dapat menemukan makna hidup.
Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap penting serta berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan dalam
kehidupan purpose of life. Tujuan hidup bersinonim dengan makna hidup yang merujuk pada memiliki sasaran dan misi dalam hidup serta memiliki arah hidup
dari masa lalu, sekarang dan masa akan datang Reker dalam De Klerk,2005.
Universitas Sumatera Utara
Bila makna hidup tidak berhasil terpenuhi akan menyebabkan kehidupan ini tidak bermakna meaningless, tetapi bila berhasil memenuhinya maka akan
menyebabkan seseorang merasa kehidupan ini berguna, berharga dan berarti meaningful dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia happiness.
Dalam ilmu psikologi penelitian mengenai kebahagiaan dan ketidakbahagiaan dikenal sebagai psychological well-being.
Ryff dalam Halim Atmoko, 2005 mendefinisikan psychological well-being sebagai hasil evaluasi atau penilaian seseorang terhadap dirinya yang
merupakan evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya. Pada intinya psychological well-being merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai
aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya sampai ke kondisi
mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri Bradburn dalam Ryff Keyes, 1995.
Berdasarkan fenomena di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran psychological well-being pada pekerja sosial?
I.B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran psychological well-being pada pekerja sosial
Universitas Sumatera Utara
I.C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada pekerja sosial.
I.D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis.
I.D.1. Manfaat Teoritis Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang Psikologi
khususnya Psikologi Klinis dan Psikologi Sosial yaitu mengenai psychological well-being pada pekerja sosial
I.D.2. Manfaat Praktis
a. Memberi informasi deskriptif untuk penelitian berikutnya yang
berhubungan dengan psychological well-being serta pekerja sosial. b. Membantu pekerja sosial lebih memahami psychological well-being-nya
sehingga dapat membenahi diri untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik lagi pada klien atau pengguna jasanya
c. Memberi informasi pada lembaga-lembaga sosial tentang psychological well-being pekerja sosialnya sehingga dapat mengupayakan perbaikan
psychological well-being pekerja sosial yang kurang baik dan megoptimalkan psychological well-being yang baik yang dapat
berpengaruh ketika berkecimpung atau melakukan praktik pekerjaan
Universitas Sumatera Utara
sosial dapat lebih maksimal dan berorientasi kepada kepentingan klien atau pengguna jasa.
I.E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah: Bab I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika
penulisan. Bab II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori- teori yang dinyatakan adalah teori-teori yang
berhubungan dengan sumber makna hidup dan pekerja sosial Bab III : Metode Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian,
subjek penelitian, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda butir pernyataan dan reliabilitas, serta metode
analisis data. Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian
Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian,
Universitas Sumatera Utara
hasil penelitian dan juga membahas data-data penelitian ditinjau dari teori yang relevan.
Bab V : Bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperolah dari penelitian, diskusi hasil penelitian,
serta saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan penelitian atau untuk
penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB II LANDASAN TEORI