II. B. Dimensi-dimensi Psychological Well-Being
Ryff 1989 mengemukakan enam dimensi dari psychological well-being yaitu :
1. Penerimaan Diri self-acceptance
Penerimaan diri merupakan suatu ciri utama dari kesehatan mental yang sama dengan karakteristik individu yang mengaktualisasi diri, berfungsi optimal
dan memiliki ciri kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri baik segi positif maupun negatif. Individu yang
menerima dirinya sendiri akan bersikap positif tehadap penilaian dirinya. Ryff dalam Compton, 2005. Menurut Maslow dalam Calhoun Acocella, 1990
penerimaan diri merupakan salah satu karakter dari individu yang mengaktualisasikan dirinya dimana mereka dapat menerima dirinya apa adanya,
memberikan penilaian yang tinggi pada individualitas dan keunikan diri sendiri. 2.
Hubungan positif dengan orang lain positive relations with others Dimensi penting lain dari psychological well-being adalah kemampuan
individu untuk membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Individu yang matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk mencintai dan membina
hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar saling percaya. Individu juga memiliki perasaan empati dan kasih sayang yang kuat terhadap sesama manusia
dan mampu memberikan cinta, memiliki persahabatan yang mendalam, dan mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi orang lain dengan baik. Selain
itu, menurut teori perkembangan masa dewasa, individu juga perlu untuk memiliki kedekatan intimacy dengan orang lain dan mampu memberikan
Universitas Sumatera Utara
bimbingan dan arahan kepada orang lain generativity. Semua ciri yang ditekankan di atas merupakan karakteristik penting dari konsep psychological
well-being. 3.
Otonomi autonomy Dimensi otonomi menyangkut kemampuan untuk menentukan nasib
sendiri self-determination, bebas dan memiliki kemampuan untuk mengatur perilaku sendiri. Menurut Maslow dalam Calhoun Acocell, 1990 dalam
konsep aktualisasi diri, individu yang otonomi adalah individu yang memiliki rasa puas diri yang tinggi dan mampu untuk bertahan sendirian. Individu ini akan
bertahan pada pendapatnya sendiri meskipun yang lain tidak setuju. Kekuatan yang ada di dalam diri mampu membuat individu tersebut bertahan menghadapi
tekanan dan gangguan dari luar. Ryff 1989 menyatakan sependapat dengan pandangan Rogers yang menyatakan bahwa individu yang otonomi merupakan
individu yang dapat menentukan kondisi diri sendiri dalam bertindak. Dalam kondisi ini, individu mempunyai kepercayaan terhadap pengalaman sendiri
sebagai sumber dalam pengambilan keputusan. Konsekuensinya, individu itu akan mampu untuk bersikap mandiri dan tidak hanya mengandalkan norma-norma
sosial yang berlaku atau pendapat orang lain, sehingga berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu.
Jika dikaitkankan dengan konsep Frankl dalam Koeswara, 1992, mengemukakan bahwa manusia harus memiliki kebebasan untuk menemukan arti
dari keberadaan mereka. Kebebasan ini berarti bebas untuk memilih antara menerima atau menolak suatu hal.
Universitas Sumatera Utara
4. Penguasaan Lingkungan enviromental mastery
Kemampuan individu untuk memilih, menciptakan dan mengelola lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologisnya dalam rangka
mengembangkan diri. Ini merupakan definisi karakteristik dari kesehatan mental. Individu yang matang dalam konsep Allport, digambarkan segabai individu
yang mampu mengelola dan mengontrol lingkungan sekitarnya. Individu juga mampu mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik ataupun mental,
serta menggunakan setiap kesempatan yang ada di lingkungan sekitar. Partisipasi aktif dalam lingkungan dan penguasaan lingkungan merupakan
karakteristik penting dari psychological well-being. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa definisi dari dimensi
psychological well-being adalah sejauhmana pekerja sosial mampu mengelola berbagai aktivitas eksternalnya, mampu memanfaatkan setiap kesempatan yang
ada, mampu memilih dan mempunyai kompetensi untuk mengelola lingkungan yang cocok dengan kebutuhan pribadi.
5. Tujuan Hidup purpose in life
Adanya tujuan hidup yang jelas merupakan bagian penting dari karakteristik individu yang memiliki psychological well-being. Individu yang
berada dalam kondisi ini diasumsikan memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dan arah bagi hidupnya. Individu yang memiliki
psychological well-being perlu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidup yang dijalaninya, misalnya individu dapat mengabdikan dirinya pada
masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Pandangan Frankl dalam Koeswara, 1992 tentang kesehatan psikologis menekankan pada keinginan atau kehendak untuk bermakna the will to meaning.
Individu yang merasa kehilangan makna hidup meaningless, tanpa tujuan dan arah akan membuat individu tersebut merasa bosan dalam menjalani
kehidupannya. Perasaaan tidak bermakna merupakan perasaan dimana individu tidak berhasil menyadari arti hidup yang bermanfaat bagi dirinya. Apabila pekerja
sosial mengalami kondisi ini, maka ia tidak akan dapat mengisi pekerjaannya dengan baik, merasa bosan, jemu, kosong dan hampa.
6. Pertumbuhan Pribadi personal growth
Fungsi psikologis yang optimal tidak hanya mampu mencapai karakteristik-karektisitk pribadi dari pengalaman-pengalaman terdahulu,
melainkan juga mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya, tumbuh sebagai individu dapat berfungsi secara penuh fully functioning.
Individu yang dapat berfungsi secara penuh adalah individu yang dapat terbuka terhadap pengalaman sehingga akan lebih menyadari lingkungan sekitarnya.
II.A.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being
Melalui berbagai penelitian yang dilakukan, Ryff 1989 menemukan bahwa faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi
dan budaya mempengaruhi perkembangan psychological well-being seseorang. 1.
Usia Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ryff 1989, ditemukan
adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai
Universitas Sumatera Utara
kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat profil meningkat seiring dengan pertambahan usia. Semakin bertambah usia seseorang maka
semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai
dengan keadaan dirinya. Individu yang berada dalam usia dewasa akhir memiliki skor
psychological well-being yang lebih rendah dalam dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi; individu yang berada dalam usia dewasa madya memiliki
skor psychological well-being yang lebih tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan; individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki skor yang
lebih rendah dalam dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan dan memiliki skor psychological well-being yang lebih tinggi dalam dimensi pertumbuhan
pribadi. Dimensi penerimaan diri dan dimensi hubungan positif dengan orang lain tidak memperlihatkan adanya perbedaan seiring dengan pertambahan usia Ryff
dalam Ryan Deci, 2001. 2.
Jenis kelamin
Menurut Ryff 1989, satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan
orang lain. Sejak kecil, stereotipe jender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu perempuan
digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain Papalia dkk., 2001. Tidaklah mengherankan bahwa sifat-
sifat stereotipe ini akhirnya terbawa oleh individu sampai individu tersebut
Universitas Sumatera Utara
dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa untuk membina keadaan
harmoni dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat
mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain. 3.
Status sosial ekonomi
Ryff dkk., dalam Ryan Deci, 2001 mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan
lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang
memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya. 4.
Budaya
Ryff 1995 mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu
masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai
kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan
orang lain.
Universitas Sumatera Utara
II. B. Pekerja Sosial II.B.1. Pengertian Pekerja Sosial