IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Gambaran Umum Sektor Properti Pasca Krisis
Pada saat terkena badai krisis ekonomi sebelas tahun lalu, industri properti di Indonesia termasuk salah satu industri yang pertama kali terkena dampaknya.
Hal tersebut bisa dikatakan terjadi karena akumulasi kesalahan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku dalam industri properti sendiri. Saat itu perbankan demikian
gencar menyalurkan kredit ke sektor properti yang umumnya bersifat jangka panjang dengan ditopang dana yang bersifat jangka pendek. Sementara
pengawasan dari Bank Indonesia masih sangat lemah sehingga praktik pelanggaran legal lending limit batas maksimum pemberian kredit atau BMPK
dan mark up nilai proyek sangat lazim dilakukan. Pada saat itu, hal ini tidak menjadi masalah karena kondisi perekonomian Indonesia sedang stabil Diredja,
2007. Namun ketika krisis mata uang yang awalnya terjadi di Thailand kemudian
berimbas ke Indonesia, tidak dipungkiri hal ini menjadi pemicu jatuhnya bank- bank yang berperan besar dalam pembiayaan bisnis properti. Para pengembang-
pun ikut merasakan dampak dari jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Sebagian besar dari mereka berurusan dengan Badan
Penyehatan Perbankan Nasional BPPN karena tidak dapat memenuhi kewajiban mereka kepada pihak perbankan. Ketika itu banyak kalangan yang
memperkirakan industri properti akan lama untuk bisa pulih kembali.
Namun, pada tahun 1999-2000, beberapa pengembang yang kebal krisis mulai menekuni kembali bisnis properti. Restrukturisasi utang pengembang
melalui BPPN tahun 2001 menjadi stimulus dan landasan berpijak baru bagi para pengembang untuk kembali menekuni proyek-proyek propertinya. Sejak itu pula
bisnis properti bergerak kembali dan bahkan menjadi lokomotif yang menggerakkan gerbong perekonomian nasional pasca krisis.
Tahun 2003, pertumbuhan bisnis properti nasional tidak bisa dibendung lagi. Akibatnya, nilai kapitalisasi proyek properti nasional mengalami lonjakan
yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Puncaknya terjadi tahun 2005, dengan nilai kapitalisasi proyek properti Rp 91,01 triliun, atau meningkat hampir sepuluh kali
lipat dibandingkan dengan nilai kapitalisasi tahun 2000 yang sebesar Rp 9,51 triliun. Jika menyimak proyek pembangunan properti nasional sebagaimana yang
terlihat pada Tabel 4.1, terlihat pada tahun 2003 nilai kapitalisasi proyek properti di Indonesia mencapai angka Rp 49,3 triliun kemudian tumbuh secara konsisten
menjadi Rp 77,1 triliun pada tahun 2007. Berdasarkan pengamatan terhadap kinerja serta kondisi faktor-faktor
pendukung industri properti, maka diperkirakan pertumbuhan bisnis properti masih propektif di tahun-tahun kedepan. Bahkan menurut salah seorang pengamat
properti di Indonesia mengatakan bahwa puncak siklus bisnis properti masih akan terjadi pada tahun 2010-2011 Panangian Simanungkalit, 2008.
Tabel 4.1 Proyek Pembangunan Properti dalam Miliar Rupiah No
Nama Proyek Tahun
2002 2003
2004 2005
2006 2007
1 Proyek Pusat
Perbelanjaan Modern
Jabotabek 9.804
15.536 20.029 31.984 23.130 14.300 2
Proyek Pusat Perbelanjaan
Modern Daerah 4.152
13.440 16.539
18.358 10.155
7.225 3
Proyek Apartemen
Jabotabek 1.484
4.022 7.688
7.945 8.445
9.786 4
Proyek Apartemen
Daerah 249
362 236
1.412 3.509
3.326 5
Proyek Perkantoran
Jabotabek 106
577 871
2.659 3.313
4.023 6
Proyek Hotel Nasional
59 885
1.320 3.108
3.043 3.536
7 Proyek
Perumahan Nasional
7.159 8.883
10.823 17.730
17.561 22.977
8 Proyek Ruko
Rukan Nasional 3.938
5.583 5.953
7.812 9.132
11.948 Kapitalisasi Proyek
Properti Nasional 26.952
49.289 63.459
91.008 78.288
77.123
Sumber: PSPI, 2008
4.2. Gambaran Umum Variabel Makro