Dampak Krisis Finansial Global terhadap Variabel Makro Ekomomi Indonesia

(1)

OLEH ADJI SUBEKTI

H14094005

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(2)

Oleh

ADJI SUBEKTI H14094005

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(3)

NRP : H14094005

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Idqan Fahmi, M.Ec. NIP. 19631111 198811 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP. 19641022 198903 1 003


(4)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN

Bogor, Oktober 2009

A d j i S u b e k t i H14094005


(5)

Ekonomi Indonesia (dibimbing oleh IDQAN FAHMI)

Bermula dari krisis kredit macet perumahan dengan resiko tinggi (subprime mortgage) di Amerika Serikat pada semester akhir 2007, tak terbayangkan jika secara tiba-tiba terjadi krisis finansial global. Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya moral hazard yang menyebabkan terbitnya deregulasi finansial yang kurang mengindahkan faktor keamanan sektor keuangan dalam jangka panjang, telah mengakibatkan pertumbuhan produk-produk finansial yang tidak didukung oleh aset riil yang memadai seperti subprime mortgage, sehingga membuat efek gelembung finansial global yang akhirnya meledak pada triwulan III tahun 2008.

Pemerintah negara-negara maju seperti di Amerika Serikat berusaha untuk melakukan penyelamatan sektor keuangan, termasuk diantaranya mengeluarkan paket stimulus guna mempercepat pemulihan ekonomi yang ternyata memerlukan biaya yang sangat besar. Lantas apa yang mendasari pemerintah negara-negara maju seperti Amerika Serikat melakukan penyelamatan terhadap sektor keuangan? Jawabannya adalah di belakang kebangkrutan sebuah perusahaan keuangan, risiko sistemik membayangi sektor keuangan. Hal ini karena adanya efek berantai dan berkesinambungan dari kejatuhan sebuah perusahaan terhadap perusahaan lain pada sektor perbankan.

Kebijakan stimulus guna mempercepat proses pemulihan negara-negara maju dikaitkan dengan kewajiban untuk menggunakan produk dalam negeri negara maju, sehingga proteksi melalui kebijakan yang persuasif tersebut akan semakin mengurangi permintaan produk-produk dari negara berkembang. Disamping juga pembiayaan proses penanggulangan krisis, termasuk biaya penyelamatan bank-bank di negara maju juga diarahkan untuk menarik aset-aset yang ada di luar negeri, dimana umumnya banyak diinvestasikan di negara-negara berkembang. Akibatnya banyak pasar modal di negara berkembang yang sudah terintegrasi dengan pasar modal global mengalami kontraksi akibat banyak terjadi aliran modal ke luar. Contoh nyata akibat kontraksi ini adalah kepanikan juga dilakukan Bursa Efek Indonesia yang menutup bursa di tengah jalan dengan alasan yang tidak pernah diungkapkan sebelumnya, serta kebijakan dari Bank Indonesia yang menaikan BIrate.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jalur perdagangan (trade channel) dan jalur finansial (financial channel) yang dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia terkait dengan dampak krisis finansial global, serta melihat respon dari kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia terhadap perekonomian Indonesia, dilihat dari kecepatan penyesuaian besaran makro ekonomi di pasar barang dan di pasar uang.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis dekriptif untuk melihat kondisi makro ekonomi Indonesia. Setelah itu digunakan analisis simultan dengan menggunakan Two Stage Least Squared (2SLS) untuk


(6)

Krisis finansial global menyebabkan permintaan ekspor atas produk Indonesia menurun, di sisi lain impor yang sebagian besar merupakan bahan baku untuk sektor industri manufaktur tetap tinggi karena tidak dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah. Akibatnya ekspor netto mengalami penurunan sehingga membuat rupiah tertekan.

Jalur finansial (financial channel) dapat memengaruhi perekonomian Indonesia melalui pasar saham domestik yang sudah cukup terintegrasi dengan pasar finansial internasional. Krisis finansial global mengakibat terjadinya penarikan modal asing, sehingga pasar saham domestik sempat berada dalam kontraksi. Di saat yang sama, ketika pasar saham domestik mengalami kontraksi, nilai tukar rupiah juga terdepresiasi cukup besar.

Hasil penelitian lainnya adalah respon pasar terhadap kebijakan, dimana terlihat bahwa pasar uang atau sektor moneter terlihat lebih responsif dalam menyesuaikan besaran moneter, artinya dalam kurun waktu tiga bulan telah terjadi kondisi saling mempengaruhi antar besaran moneter, sementara pada pasar barang atau sektor riil terjadi proses tertunda (delayed process) untuk menyesuaian besaran makro ekonomi di sektor riil.

Saran terhadap pemerintah Indonesia adalah dengan menyandang status negara dengan perekonomian kecil terbuka, Indonesia wajib untuk menjaga agar ekspor netto secara relatif besar dan stabil untuk menjaga stabilitas rupiah, utamanya terhadap dolar AS. Ekspor agar tidak hanya diarahkan ke negara-negara Asia, Amerika dan Eropa saja tetapi juga diarahkan ke negara-negara Afrika, Australia dan Oceania yang merupakan pasar yang potensial, sementara besarnya impor atas bahan baku dapat disiasati dengan kebijakan substitusi impor. Disamping itu perlu adanya intervensi pemerintah atau otoritas moneter atas pasar modal dengan membuat regulasi yang mengatur batas waktu minimal untuk penanaman modal asing untuk menjaga penarikan modal dengan seketika agar pasar saham tetap stabil. Terakhir, pihak otoritas moneter disarankan agar selalu berhati-hati dalam membuat paket kebijakan moneter karena ternyata kebijakan tersebut lebih responsif dibanding kebijakan fiskal dilihat dari kecepatan waktu besaran moneter untuk saling mempengaruhi dan segera menyesuaikan dalam periode triwulanan, termasuk juga tingkat sensitivitas dari besaran makro ekonomi di pasar uang serta dampak perubahannya terhadap pendapatan nasional serta tingkat suku bunga.


(7)

Penulis anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Soetadi Prawirowiyono dan Ariati Nurprestya Ningrum. Penulis menamatkan pendidikan dasar di Pelita Jakarta Timur kemudian melanjutkan ke SMPN 49 Jakarta Timur pada tahun 1986 dan lulus SMP pada tahun 1989. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Cilacap Jawa Tengah dan lulus pada tahun 1992.

Pada tahun 1994, penulis diterima menjadi mahasiswa Akademi Ilmu Statistik Jakarta dan menyelesaikan pendidikan DIII pada tahun 1997. Penulis kemudian bekerja di BPS Kabupaten Serang Provinsi Jawa Barat. Setelah bekerja kurang lebih 2 tahun, pada tahun 1999, penulis memperoleh kesempatan untuk tugas belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta dalam rangka menyelesaikan pendidikan DIV. Setelah menyelesaikan pendidikan DIV, pada tahun 2000 penulis kembali bertugas di BPS Kabupaten Serang tetapi kemudian bukan lagi bagian dari Provinsi Jawa Barat melainkan Provinsi Banten, karena pemekaran wilayah. Terhitung sejak tahun 2008, penulis beralih tugas dari sebelumnya di BPS Kabupaten Serang ke BPS Provinsi Banten.

Pada tahun 2009, penulis diterima menjadi mahasiswa program alih jenjang/matrikulasi di Sekolah Pasca Sarjana Departemen Ilmu Ekonomi melalui program beasiswa kerjasama Badan Pusat Statistik dengan Departemen Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor.


(8)

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul ” Dampak Krisis Finansial Global Terhadap Variabel Makro Ekonomi Indonesia”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi, Fakultas Ilmu Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Idqan Fahmi yang telah memberikan bimbingan baik teknis maupun non teknis dalam proses pembuatan skripsi ini. Ucapan terimakasih juga penulis tujukan pada dosen yang telah menguji karya tulis ini. Semua kritik dan saran penguji merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan tulisan ini.

Ucapan terimakasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada seluruh rekan-rekan kelas BPS angkatan 2 yang telah memberikan masukan demi perbaikan karya ini, baik pada saat Seminar Hasil Penelitian skripsi ini, maupun di luar forum seminar yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Tak lupa kepada rekan-rekan senior kelas BPS angkatan 1, khususnya kepada Mas Parno – Jateng, Mas Guntur, Mas Mukti dan Bang Evi, penulis juga mengucapkan terima kasih atas segala masukan dan bahan tulisan sehingga penulisan ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman BPS Pusat khususnya dari Direktorat Neraca Konsumsi; Direktorat Statistik Keuangan, Teknologi Informasi dan Pariwisata; dan Direktorat Statistik Harga serta seluruh teman-teman BPS Provinsi Banten, atas dukungan dan fasilitas yang diberikan demi selesainya penulisan ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan saudara-saudara penulis yang telah memberi dukungan moral dan spiritual, karena berkat kesabaran, dorongan, nasehat dan doa-doa mereka membuat penulis mampu menyelesaikan karya ini. Akhirnya terima kasih yang tak terhingga kepada istriku tercinta, Rosnawiyah, serta ketiga buah hatiku Damar Fatih Mahardhika, Radityo Hadi Nugraha dan Akhtar Rafif Waskita atas segala


(9)

penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, dalam memberikan bantuannya sehingga tulisan dapat diselesaikan. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2009

ADJI SUBEKTI H14084024


(10)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... iviii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... iiiix I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PENELITIAN ... 9

2.1. KrisisSubprime Mortgage ... 9

2.2. Mekanisme Transmisi ... 12

2.3. Model IS – LM ... 13

2.3.1. Kurva IS ... 14

2.3.1.1. Pengeluaran Konsumsi ... 15

2.3.1.2. Investasi ... 16

2.3.1.3. Pengeluaran Pemerintah ... 17

2.3.1.4. Ekspor Netto ... 18

2.3.2. Kurva LM... 19

2.3.2.1. Permintaan Uang ... 20

2.3.2.2. Penawaran Uang ... 21

2.3.2.3. Nilai Tukar ... 22

2.3.2.4. Tingkat Suku Bunga ... 23

2.4. Penelitian Terdahulu ... 25

2.5. Kerangka Pemikiran... 27

III. METODE PENELITIAN ... 30

3.1. Jenis dan Sumber Data... 30


(11)

3.3. Metode Analisis ... 38

3.2.1. Analisis Deskriptif ... 39

3.2.2. Analisis Simultan ... 39

IV. GAMBARAN UMUM MAKRO EKONOMI INDONESIA ... 47

4.1. Konsumsi ... 38

4.2. Investasi ... 40

4.3. Pengeluaran Pemerintah ... 42

4.4. Ekspor - Impor ... 44

4.5. Jumlah Uang Beredar ... 48

4.6. Nilai Tukar ... 50

4.7. Tingkat Suku Bunga ... 51

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 64

5.1. Analisis Model Konsumsi ... 64

5.2. Analisis Model Investasi ... 66

5.3. Analisis Model Pengeluaran Pemerintah ... 69

5.4. Analisis Model Ekspor ... 71

5.5. Analisis Model Impor ... 72

5.6. Analisis Model Permintaan Uang ... 74

5.7. Analisis Model Penawaran Uang ... 76

5.8. Analisis Model Nilai Tukar ... 78

5.9. Analisis Model Suku Bunga ... 80

5.9.1. Model Suku Bunga JIBOR ... 81

5.9.2. Model Suku Bunga Deposito ... 83

5.9.3. Model Suku Bunga Kredit Investasi ... 85

5.10. Analisis Model Mekanisme Transmisi ... 87

5.11. Simulasi Model IS–LM... 89

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

6.1. Kesimpulan ... 102

6.2. Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 105


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

3.1 Arah Hubungan Variabel Penjelas terhadap Variabel

yang Dijelaskan ... 35

3.2 Hasil Pengujian Identifikasi Model ... 46

4.1 Konsumsi Rumah Tangga dan Produk Domestik Bruto (PDB) Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000, Tahun 2000 – 2008... 47

4.2 Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) dan Produk Domestik Bruto (PDB) Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Tahun 2000 – 2008... 49

4.3 Pengeluaran Pemerintah dan Produk Domestik Bruto (PDB) Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Tahun 2000 – 2008 ... 52

4.4 Andil PDB dan Pangsa Pasar Ekspor Indonesia Menurut Kelompok Negara Tahun 2007 dan 2008... 55

5.1 Hasil Pengujian Statistik Model Konsumsi... 64

5.2 Hasil Pengujian Statistik Model Investasi... 66

5.3 Hasil Pengujian Statistik Model Pengeluaran Pemerintah ... 69

5.4 Hasil Pengujian Statistik Model Ekspor... 71

5.5 Hasil Pengujian Statistik Model Impor ... 72

5.6 Hasil Pengujian Statistik Model Permintaan Uang... 74

5.7 Hasil Pengujian Statistik Model Penawaran Uang ... 77

5.8 Hasil Pengujian Statistik Model Nilai Tukar ... 78

5.9 Hasil Pengujian Statistik Model Suku Bunga SBI... 81

5.10 Hasil Pengujian Statistik Model Suku Bunga Deposito ... 83

5.11 Hasil Pengujian Statistik Model Suku Bunga Investasi ... 85

5.12 Simulasi Model IS – LM dengan Variabel Makro Ekonomi Riil terhadap Pendapatan Nasional dan Suku Bunga secara Simultan ... 95

5.13 Rangkuman Hasil Simulasi Model IS – LM dengan Variabel Eksogen terhadap Pendapatan Nasional dan Suku Bunga secara Parsial ... 99


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1 Pergerakan IHSG dan Dolar AS Tahun 2007 – 2008... 3

1.2 Pergerakan BI Rate dan Suku Bunga Kredit (dalam persen) Tahun 2007 – 2008 ... 5

1.3 Gambar 1.3. Laju Pertumbuhan PDB dan Ekspor Triwulanan (dalam persen) Tahun 2004 – 2008 ... 6

2.1 Penurunan Kurva IS... 14

2.2 Penurunan Kurva LM ... 20

2.3 Kerangka Penelitian... 23

3.1 Diagram Arah Hubungan Variabel Makro Ekonomi Indonesia... 36

4.1 Proporsi Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Menurut Kelompok Pengeluaran Tahun 2000 – 2008 ... 39

4.2 Proporsi Pembentukan Modal Tetap Bruto Menurut Jenis Fisik Investasi Tahun 2000 – 2008... 42

4.3 Perkembangan Ekspor – Impor (dalam jutan $ US) Tahun 2007 – 2008 ... 44

4.4 Perkembangan Ekspor Non Migas Menurut Kelompok Negara Tujuan (dalam jutan $ US) Tahun 2007 – 2008 ... 45

4.5 Perkembangan Impor Menurut Jenis Barang/Jasa (dalam jutan $ US) Tahun 2000 – 2006 ... 47

4.6 Perkembangan Jumlah Uang Beredar (dalam triliun rupiah) Tahun 2007 – 2008 ... 49

4.7 Perkembangan Nilai Tukar Dolar dan Ekspor – Impor Indonesia Tahun 2007 – 2008 ... 51

4.8 Perkembangan Beberapa Tingkat Suku Bunga Simpanan (dalam persen) Agustus 2006 – Desember 2008 ... 52

4.9 Perkembangan Beberapa Tingkat Suku Bunga Pinjaman (dalam persen) Agustus 2006 – Desember 2008 ... 53

4.10 Jalur Mekanisme Transmisi Perekonomian Indonesia ... 77 4.11 Kurva IS dan Kurva LM Model Makro Ekonomi Indonesia . 83


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Fungsi Konsumsi ... 107

2 Fungsi Konsumsi (REVISI)... 108

3 Fungsi Investasi untuk Pembentukan Modal Tetap... 109

4 Fungsi Investasi untuk Pembentukan Modal Tetap (REVISI) ... 110

5 Fungsi Pengeluaran Pemerintah ... 111

6 Fungsi Pengeluaran Pemerintah (REVISI) ... 112

7 Fungsi Ekspor ... 113

8 Fungsi Ekspor (REVISI) ... 114

9 Fungsi Impor... 115

10 Fungsi Impor (REVISI) ... 116

11 Fungsi Permintaan Uang ... 117

12 Fungsi Permintaan Uang (REVISI) ... 118

13 Fungsi Penawaran Uang ... 119

14 Fungsi Nilai Tukar... 120

15 Fungsi Nilai Tukar (REVISI) ... 121

16 Fungsi Suku Bunga JIBOR... 122

17 Fungsi Suku Bunga Deposito ... 123

18 Fungsi Suku Bunga Deposito (REVISI)... 124


(15)

1.1. Latar Belakang

Bermula dari krisis kredit macet perumahan dengan resiko tinggi (subprime mortgage) di Amerika Serikat pada semester akhir 2007, tak terbayangkan jika secara tiba-tiba terjadi krisis finansial global. Hanya dalam hitungan bulan, dampak krisis finansial tersebut tidak hanya terjadi pada sektor keuangan tetapi sudah menyebar ke sektor riil. Akibat lebih lanjut dari krisis finansial global ini adalah ekonomi dunia yang mengalami perlambatan sangat tajam pada dua triwulan terakhir 2008. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang beserta beberapa negara maju lainnya akan mengalami fase resesi yang cukup serius pada tahun 2009.

Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya moral hazard yang menyebabkan terbitnya deregulasi finansial yang kurang mengindahkan faktor keamanan sektor keuangan dalam jangka panjang, telah mengakibatkan pertumbuhan produk-produk finansial yang tidak didukung oleh aset riil yang memadai seperti

subprime mortgage, sehingga membuat efek gelembung finansial global yang akhirnya meledak pada triwulan III tahun 2008. Sebagai konsekuensinya, biaya penanggulangan krisis, termasuk biaya penyelamatan bank-bank di negara maju dan biaya stimulus untuk mempercepat pemulihan ekonomi ternyata sangat besar. Dan pembiayaan yang sangat besar tersebut suatu saat akan menaikkan tingkat bunga internasional dan mengakibatkan semakin sulitnya negara berkembang mendapatkan akses kredit dan pasar uang.


(16)

Lalu apa yang sebenarnya mendasari pemerintah negara-negara maju seperti Amerika Serikat melakukan penyelamatan terhadap sektor keuangan? Jawabannya adalah dibelakang kebangkrutan sebuah perusahaan keuangan, risiko sistemik membayangi sektor keuangan. Hal ini karena adanya efek berantai dan berkesinambungan dari kejatuhan sebuah perusahaan terhadap perusahaan lain pada sektor perbankan. Berbeda dengan sektor lain dimana jika ada sebuah perusahaan bangkrut maka perusahaan lain posisinya bisa menjadi lebih kuat, pada sektor keuangan, jika perusahaan bangkrut maka perusahaan lain juga ikut terbawa. Penjelasan tersebut memberikan pandangan bahwa citigroup memang harus diselamatkan mengingat jika dia bangkrut maka kehancuran sektor keuangan global hanya tinggal menunggu waktu saja.

Kebijakan stimulus guna mempercepat proses pemulihan negara-negara maju sering dikaitkan dengan kewajiban untuk menggunakan produk dalam negeri negara maju, sehingga proteksi melalui kebijakan yang persuasif tersebut akan semakin mengurangi permintaan produk-produk dari negara berkembang. Kondisi menurunnya permintaan ekspor ini diperburuk dengan harga komoditi yang memperlihatkan tren yang terus menurun sehingga akibat penurunan permintaan dan harga komoditi tersebut nilai ekspor juga akan mengalami penurunan.

Disamping itu, pembiayaan proses penanggulangan krisis, termasuk biaya penyelamatan bank-bank di negara maju juga diarahkan untuk menarik aset-aset yang ada di luar negeri, dimana umumnya banyak diinvestasikan di negara-negara berkembang, mengingat imbal hasil investasi di negara-negara berkembang memberikan nilai yang lebih tinggi dibanding imbal hasil investasi yang diberikan


(17)

oleh negara-negara maju. Akibatnya banyak pasar modal di negara berkembang yang sudah terintegrasi dengan pasar modal global mengalami kontraksi akibat banyak terjadi aliran modal ke luar dari negara-negara berkembang. Contoh nyata akibat kontraksi ini adalah kepanikan juga dilakukan Bursa Efek Indonesia yang menutup bursa di tengah jalan dengan alasan yang tidak pernah diungkapkan sebelumnya, serta kebijakan dari Bank Indonesia yang menaikan BIrate.

Sumber : Bank Indonesia, Tahun 2008 – 2009

Gambar 1.1. Pergerakan IHSG dan Dolar AS Tahun 2007 – 2008

Dari sisi moneter salah satu besaran yang sangat menonjol dalam perekonomian Indonesia diperlihatkan oleh pergerakan IHSG yang drop cukup tajam dari level 2800 pada awal Januari 2008 sampai pada level 1.100, meski akhirnya ditutup pada level 1.355 pada akhir tahun. Jika dilihat dari besarnya IHSG yang dianggap sebagai leading indicator ekonomi tersebut, maka bisa dikatakan bahwa tahun 2009 merupakan tahun yang tidak bisa diharapkan.

0 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 14.000 Ja n -0 7 F e b -0 7 M a r-0 7 A p r-0 7 M e i-0 7 Ju n -0 7 Ju l-0 7 A g u st -0 7 S e p -0 7 O k t-0 7 N o p -0 7 D e s-0 7 Ja n -0 8 F e b -0 8 M a r-0 8 A p r-0 8 M e i-0 8 Ju n -0 8 Ju l-0 8 A g u st -0 8 S e p -0 8 O k t-0 8 N o p -0 8 D e s-0 8


(18)

Selanjutnya besaran moneter lainnya nilai tukar rupiah, terutama terhadap dollar Amerika Serikat (AS) dimana polanya hampir mengikuti pergerakan dari IHSG. Nilai tukar dollar AS terhadap rupiah yang cukup stabil pada level 9.000-an sejak J9.000-anuari 2006 – September 2008, mulai terdepresiasi sehingga mendekati level 11.000-an pada bulan Oktober, dan bahkan beberapa kali sempat menyentuh level 12.000-an pada bulan November 2008, meski pada akhir Desember 2008 kembali turun di bawah level 11.000. Berdasarkan keterkaitan antara IHSG dan nilai tukar dollar AS tersebut, dapat dilihat bahwa akibat terjadinya aliran modal keluar negeri, sebagaimana diperlihatkan oleh IHSG sebagai indikator pada pasar modal domestik, yang notebenenya sudah cukup terintegrasi dengan pasar global (survei Bank Indonesia dalam Laporan Perekonomian Indornesia 2008), nilai rupiah sempat mengalami tekanan dalam triwulan terakhir 2008.

Penyebab tekanan terhadap rupiah lainnya, yang merupakan penyebab tidak langsung adalah penurunan tingkat permintaan dari negara-negara maju terhadap produk-produk dari negara berkembang dengan melakukan proteksi melalui anjuran penggunaan produk-produk domestik sehingga dapat menekan impor dari negara-negara maju atas barang-barang yang berasal dari luar negeri terutama dari negara-negara berkembang.

Hal lain yang masih perlu dikhawatirkan dari sektor moneter adalah masih tingginya BI rate (tingkat suku bunga acuan), yang berimbas pada tingginya tingkat bunga kredit (suku bunga kredit modal kerja dan suku bunga kredit investasi) yang diberikan. Strategi dari Bank Indonesia yang tujuan utamanya untuk membendung aliran modal keluar negeri dengan iming-iming imbal hasil


(19)

investasi yang relatif tinggi tersebut tidak memberikan dampak positif, mengingat pada masa krisis aliran modal keluar untuk ditarik ke negara investor asal ternyata mustahil untuk dicegah, karena secara rasional hal tersebut pasti akan terjadi. Kebijakan Bank Indonesia yang cukup mengejutkan tersebut juga menjadi strategi yang janggal terkait dengan tingkat bunga acuan negara lain yang telah dipangkas habis-habisan untuk memberikan kegairahan dalam hal berinvestasi.

Sumber : Bank Indonesia, Tahun 2008 – 2009

Gambar 1.2. Pergerakan BIRatedan Suku Bunga Kredit (dalam persen) Tahun 2007 – 2008

BI sendiri tidak dapat disalahkan jika tidak menurunkan tingkat suku bunga acuan tersebut mengingat tingkat inflasi yang masih relatif tinggi. Hal yang perlu dikhawatirkan adalah perangkap likuiditas yang muncul pada perekonomian Indonesia. Jangan sampai penurunan suku bunga acuan tetap tidak membuat pembangunan sektor riil bergerak ke arah yang positif. Namun setidaknya dengan penurunan suku bunga, masyarakat dapat diberikan sedikit ruang gerak untuk mengembangkan investasinya ke depan agar Indonesia sendiri tidak mengalami tekanan yang semakin besar.

7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Ja n -0 7 F e b -0 7 M a r-0 7 A p r-0 7 M e i-0 7 Ju n -0 7 Ju l-0 7 A g u st -0 7 S e p -0 7 O k t-0 7 N o p -0 7 D e s-0 7 Ja n -0 8 F e b -0 8 M a r-0 8 A p r-0 8 M e i-0 8 Ju n -0 8 Ju l-0 8 A g u st -0 8 S e p -0 8 O k t-0 8 N o p -0 8 D e s-0 8


(20)

Akibat krisis finansial global yang kemudian menyebar ke sektor riil, dimana selanjutnya menyebabkan negara-negara maju masuk dalam fase resesi ekonomi tersebut tentunya akan semakin memperlemah posisi negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekspor pada triwulan keempat 2008 yang nilainya negatif, dan selama lima tahun terakhir merupakan pertumbuhan ekspor negatif yang terbesar, sebagaimana diperlihatkan oleh Gambar 1.3. Disamping ekspor yang mengalami pertumbuhan negatif, dari Gambar 1.3 dapat dilihat pula bahwa PDB mengalami pertumbuhan negatif yang cukup besar, dan sepanjang lima tahun terakhir, pertumbuhan ini merupakan negatif yang terbesar.

Sumber : Badan Pusat Statistik

Gambar 1.3. Laju Pertumbuhan PDB dan Ekspor Triwulanan (dalam persen) Tahun 2004 – 2008

-6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Q 1 -0 4 Q 2 -0 4 Q 3 -0 4 Q 4 -0 4 Q 1 -0 5 Q 2 -0 5 Q 3 -0 5 Q 4 -0 5 Q 1 -0 6 Q 2 -0 6 Q 3 -0 6 Q 4 -0 6 Q 1 -0 7 Q 2 -0 7 Q 3 -0 7 Q 4 -0 7 Q 1 -0 8 Q 2 -0 8 Q 3 -0 8 Q 4 -0 8


(21)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya maka permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana krisis finansial global dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penelitian dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana krisis finansial global dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia melalui jalur perdagangan (trade channel).

2. Bagaimana krisis finansial global dapat juga mempengaruhi perekonomian Indonesia melalui jalur finansial (financial channel).

3. Bagaimana respon kecepatan penyesuaian besaran makro ekonomi Indonesia di pasar barang dan di pasar uang dalam merespon krisis.

1.3. Tujuan Penelitian

Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Menganalisa dampak krisis finansial global melalui jalur perdagangan

(trade channel) terhadap perekonomian Indonesia.

2. Menganalisa dampak krisis finansial global melalui jalur finansial (financial channel) terhadap perekonomian Indonesia.

3. Menganalisa kecepatan penyesuaian besaran makro ekonomi Indonesia di pasar barang dan di pasar uang dalam merespon krisis


(22)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, yaitu :

1. Bagi penulis yaitu meningkatkan pengetahuan, wawasan dan memberikan pemahaman yang semakin mendalam tentang dampak krisis finansial global, serta jalur-jalur utama yang dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia.

2. Bagi pemerintah, diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam mempertimbangkan kebijakan terbaik yang harus dilakukan dalam rangka menghadapi krisis finansial global yang nampaknya belum segera berakhir pada waktu dekat.

3. Bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat membuka cakrawala berfikir pembaca serta memberikan pengertian mengenai dampak krisis finansial global terhadap perekonomian Indonesia.


(23)

2.1. Krisis Subprime Mortgage

Mortgageadalah hutang untuk membeli properti di mana properti tersebut kemudian dipakai sebagai jaminan, contohnya adalah Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Indonesia. Peminjaman mortgage bisa dibagi menjadi prime mortgage

dan subprime mortgage. Prime mortgage biasanya diberikan kepada peminjam yang memiliki sejarah kredit yang bagus, misalnya tidak pernah bangkrut, tidak terlambat membayar cicilan, dan sebagainya, serta dapat menunjukan kapasitas untuk membayar kembali hutangnya, seperti memiliki pendapatan yang besar, rasio dari pinjaman terhadap nilai properti yang rendah, dan lain-lain. Sementara

subprime mortgage diberikan kepada peminjam yang tidak memenuhi kedua persyaratan di atas, dengan demikian mempunyai resiko lebih tinggi.

Munculnya industri subprime mortgagememungkinkan orang-orang yang tadinya tidak bisa membeli rumah menjadi bisa membeli rumah. Namun demikian, karena resiko subprime mortage yang lebih tinggi, maka bunga yang dikenakan kepada peminjam juga lebih tinggi. Akibatnya sudah diduga, secara rata-rata tingkat gagal bayar subprime mortgage menjadi lebih tinggi, karena orang yang lebih susah membayar hutang harus membayar bunga yang lebih tinggi. Selama tahun 2004 – 2006, tercatat sekitar 22 – 25 persen dari total pemberian pinjaman mortgage per tahunnya merupakan subprime mortgage

(Loan Performance Estimates). Di samping itu, tercatat pula bahwa proporsi


(24)

meningkat pesat. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan mortgage dalam lembaga keuangan di Amerika Serikat semakin tinggi.

Dari tahun 2001 sampai akhir 2005, proporsi aset mortgagedari aset bank komersial terus meningkat. Tak heran jika pada periode tersebut tingkat pembangunan rumah di Amerika Serikat juga meningkat pesat: housing boom. Periode ini juga bertepatan dengan turunnya tingkat suku bunga Amerika Serikat sejak akhir tahun 2000. Maret 2000 adalah awal dari runtuhnya saham-saham teknologi (burst of internet bubble). Untuk mengurangi resiko resesi, bank sentral Amerika menurunkan target suku bunga secara agresif. Dengan suku bunga bank sentral yang rendah, maka suku bunga mortgage juga rendah. Tak heran bila

mortgageterus meningkat, semakin banyak rumah dibangun. Dalam kondisi suku bunga yang rendah dan harga rumah yang terus naik, pemberi mortgage seolah melupakan resiko gagal bayar peminjammortgage.

Karena saingan yang ketat, berbagai strategi marketing pun dilancarkan. Salah satunya adalah dengan tawaran bunga yang harus dibayar peminjam selama 2 tahun pertama sangat rendah dan setelahnya bunga yang dibayar langsung melonjak naik, atau dengan kata lain bunganya diatur kembali (di-reset) setelah tahun kedua. Tawaran dengan iming-iming bunga yang rendah selama 2 tahun pertama membuat banyak orang tergoda untuk mengambil mortgage, pasalnya dengan harga rumah yang terus naik, ada harapan sebelum tahun kedua rumah bisa dijual untuk membayar sisamortgage.

Lantas apa yang akan terjadi ketika suku bungamortagedi-reset, sebagian pasti tidak akan sanggup membayar bunga itu. Sudah tentu subprime mortgage


(25)

yang proporsi gagal bayarnya lebih banyak. Beban akibat reset suku bunga mortgage juga semakin berat karena sebagian suku bunga mortgage diambangkan (floating), sementara harga rumah anjlok, sehingga pengambilmortgagetidak bisa menjual rumahnya untuk menutup hutangnya. Akibat naiknya suku bunga di Amerika Serikat sejak awal tahun 2004 dalam rangka kebijakan credit tightening, tingkat gagal bayarsubprime mortgage mulai naik tajam, sementara tingkat gagal bayarprime mortgagemasih rendah, paling tidak sampai akhir 2006.

Seharusnya masalah prime mortgage tersebut hanya krisis internal di Amerika Serikat saja, tetapi mengapa sampai terjadi krisis finansial global. Kembali lagi, ternyata ini merupakan “dosa kedua” dari para pemberi subprime mortgage(subprime lenders) yaitu dengan mengumpulkan berbagaimortgagedan menjual sekumpulan mortgage tersebut kepada bank komersial, setelah sebelumnya melakukan “dosa pertama”, dengan memberikan mortgage pada orang yang memiliki resiko gagal bayar lebih tinggi.

Bank komersial kemudian menjual sebagian portfolio mortgage tersebut kepada investment bank. Subprime mortgage itu bisa juga dikumpulan dan dikemas ulang dalam bentuk Mortgage-Backed Securitites (MBS). MBS merupakan aset yang memiliki pendapatan: yaitu ketika peminjam mortgage

membayar bunga mortgage dan ketika mereka melunasi hutangnya. Beberapa MBS ini, bersama instrumen utang lainnya, kemudian dikemas ulang lagi menjadi

Collateralized Debt Obligations (CDOs). Sama seperti MBS, CDO juga merupakan aset dengan berbagai sumber pendapatan: dari pendapatan MBS, dan dari pendapatan instrumen hutang lainnya. Diperkirakan ada 100 milyar dollar AS


(26)

aset CDOs dari perkiraan total CDOs sebesar 375 milyar dollar AS, yang kalau dirunut balik dijamin oleh subprime mortgages. CDOs ini kemudian dijual ke berbagai bank, perusahaan asuransi, reksa dana, dan perusahaan lainnya baik di Amerika Serikat maupun di luar. Akhirnya resiko subprime mortgagetersebar ke mana-mana.

2.2. Mekanisme Transmisi

Mekanisme transmisi adalah suatu rangkaian proses dimana perilaku pasar mempengaruhi kegiatan ekonomi. Dalam perekonomian tertutup, kejadian di pasar uang domestik akan mempengaruhi pasar barang yang pada akhirnya berdampak pada kegiatan ekonomi secara makro. Pada cakupan yang lebih luas, dalam kondisi perekonomian terbuka sebagai konsekuensi logis dari globalisasi, terjadi pula mekanisme transmisi dari pasar internasional ke dalam pasar domestik dan sudah pasti akan mempengaruhi kegiatan ekonomi domestik.

Terkait dengan krisis finansial global yang kemudian berpengaruh pada kondisi perekonomian global, sesungguhnya telah terjadi proses mekanisme transmisi dari pasar uang internasional ke dalam pasar barang global yang kemudian menyebabkan perekonomian global tertulari krisis yang terlebih dahulu terjadi di pasar uang internasional, sehingga kemudian berakibat pada

retrenchment (pengkerutan) ekonomi global. Mekanisme transmisi dari pasar internasional tersebut selanjutnya adalah secara langsung maupun tidak langsung akan memberi pengaruh pada kinerja pasar uang domestik dan pada tahap selanjutnya berpengaruh pada pasar barang dan kegiatan ekonomi secara makro.


(27)

Lebih lanjut pembahasan mengenai mekanisme transmisi pasar uang domestik ke dalam pasar barang domestik, terdapat dua mahzab besar yaitu mahzab monetaris yang menyederhanakan mekanisme transmisi melalui hubungan langsung antara pasar uang pada kegiatan ekonomi tanpa melihat prosesnya dan mahzab Keynesian yang menggunakan pendekatan model struktural. Setelah melalui serangkaian perdebatan yang panjang, pada akhirnya Keynes dan pengikutnya tetap berpegang pada pendekatan struktural, utamanya melalui jalur suku bunga karena merupakan kunci dari proses mekanisme transmisi dari pasar uang ke pasar barang dalam kerangka IS – LM penganut Keynesian (Mishkin, 2004). Kerangka/model analisis IS – LM sendiri merupakan sebuah sintesis dari Hicks-Hansen, yang diterima baik oleh penganut mahzab monetaris maupun mahzab Keynesian (Samuelson, 1973). Melalui analisis model ini, pengaruh mekanisme kebijaksanaan fiskal dan kebijaksanaan moneter dapat diterangkan dengan baik.

2.3. Model IS – LM

Model IS – LM dibangun berdasarkan dua buah kurva, yaitu kurva IS dan kurva LM merupakan kondisi yang mewakili terjadinya keseimbangan/ ekuilibrium serentak yang terjadi pada pasar barang dan pasar uang. Kurva IS adalah kurva yang mewakili kondisi keseimbangan pada pasar barang/ jasa yang dinyatakan dalam kombinasi hubungan antara output agregat dan tingkat suku bunga dimana total jumlah barang yang diproduksi sama dengan total jumlah barang/jasa yang diminta. Sementara`kurva LM adalah kondisi keseimbangan di pasar uang berdasarkan kombinasi hubungan antara tingkat suku bunga dan output


(28)

agregat dimana permintaan uang (money demand) sama besar dengan penawaran uang (money supply). Model ini menggunakan asumsi harga tetap/konstan (sticky price) sejalan dengan Keynesian yang menggunakannya untuk analisis dalam jangka pendek (short run).

2.2.1. Kurva IS

Prinsip dasar dalam menyusun kurva IS adalah besarnya investasi sama dengan besarnya tabungan (saving), atau dinotasikan sebagai I = S sebagaimana disintesakan oleh Hicks – Hansen pada tahun 1930-an (Miskhin, 2006). Lebih lanjut, prinsip dasar ini kemudian dikembangkan menjadi model pertumbuhan Solow (Solow’s growth model) oleh Robert Solow pada tahun 1950-an.

Berdasarkan prinsip dasar di atas, kurva IS kemudian disusun berdasarkan pengembangan model dasar perpotongan Keynesian (Keynesian cross). Model dasar perpotongan Keynesian tersebut adalah perpotongan antara fungsi pengeluaran aktual (actual expenditure) dan fungsi pengeluaran yang direncanakan (planned expenditure), dimana fungsi pengeluaran yang direncanakan terdiri dari pengeluaran konsumsi, pengeluaran pemerintah dan investasi (Mankiw, 2007). Dalam model perekonomian terbuka, fungsi pengeluaran yang direncanakan kemudian ditambahkan dengan ekspor netto (Dornbusch, Fischer and Startz, 2004). Adapun persamaan dari fungsi pengeluaran yang direncanakan adalah sebagai berikut

Yad= C + I + G + NX (1)


(29)

Yad = pengeluaran yang direncanakan

C = pengeluaran konsumsi (consumption)

I = investasi

G = pengeluaran pemerintah (government expenditure)

NX = ekspor netto

Dari persamaan (1) di atas, kemudian dikembangkan lebih lanjut dengan merinci komponen pembentuk fungsi pengeluaran yang direncanakan.

2.2.1.1. Pengeluaran Konsumsi

Besarnya konsumsi pada periode berjalan (t) ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan pada periode yang sama tetapi juga dipengaruhi oleh pendapatan dan besarnya konsumsi pada periode sebelumnya (t-1). Pendapat ini merujuk pada model konsumsi yang dicetuskan oleh Irving Fisher, dimana pengeluaran konsumsi dihadapkan pada kendala anggaran (Mankiw, 2007). Dengan adanya kendala anggaran (budget constraint) tersebut, besarnya konsumsi pada periode berjalan tidak hanya dipengaruhi pendapatan periode berjalan tetapi juga pendapatan dan konsumsi periode sebelumnya. Bahkan menurut Fisher, konsumsi juga dipengaruhi oleh besarnya tingkat suku bunga tabungan yang merupakanopportunity costdari kegiatan konsumsi.

Berdasarkan uraian di atas, maka untuk kasus perekonomian Indonesia fungsi konsumsi pada periode berjalan (t) dipengaruhi oleh pendapatan periode yang sama (t) termasuk juga pendapatan dan besarnya konsumsi pada periode sebelumnya (t-1). Sementara untuk suku bunga tabungan tidak dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi tingkat konsumsi, mengingat kenyataan pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pengaruh suku bunga


(30)

tersebut kecil terhadap tingkat konsumsi. Secara matematis persamaan fungsi konsumsi tersebut dinotasikan sebagai :

C(t)= c0+ c1Y(t)+ c2Y(t-1)+ c3C(t-1) (2) 2.2.1.2. Investasi

Mankiw (2007) menyatakan bahwa pengeluaran investasi dibagi menjadi 3 jenis yaitu investasi tetap perusahaan (business fixed investment), investasi untuk perumahan (residential investment) dan investasi untuk persediaan (inventory investment). Menurut teori investasi, besarnya investasi tetap perusahaan sangat dipengaruhi besarnya tingkat suku bunga pinjaman atau suku bunga kredit (r) yang merupakan cost of capital(biaya modal). Selanjutnya untuk investasi untuk perumahan, besarnya juga dipengaruhi oleh tingkat suku bunga kredit (r) yang merupakan cost of borrowing (biaya yang timbul dari pinjaman) dan tingkat pendapatan (Y). Sementara investasi untuk persediaan dipengaruhi oleh besarnya deviasi dari output (Ydev) dan tingkat suku bunga tabungan (r) yang merupakancost of holding inventories(biaya dari penyimpanan persediaan).

Berdasarkan penjelasan dari ketiga jenis investasi tersebut maka menurut faktor-faktor yang mempengaruhinya, investasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu investasi untuk pembentukkan modal tetap (fixed capital formation), yang terdiri dari investasi tetap perusahaan dan investasi untuk perumahan ; dan investasi untuk persediaan. Dengan demikian persamaan fungsi investasi yang dapat dibangun berdasarkan teori investasi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya adalah


(31)

IINV (t)= iI0(t)+ iIYdev(t)+ i2r(t) (4) Notasi IFIX adalah investasi untuk pembentukan modal tetap (fixed capital investment) sedang IINV adalah investasi untuk persediaan (inventory investment). Untuk notasi suku bunga (r), meski terdapat pada kedua persamaan, tetapi jenis suku bunga untuk kedua persamaan tersebut berbeda. Pada persamaan (3), jenis suku bunga yang digunakan adalah suku bunga pinjaman yang merupakan biaya modal dan biaya dari pinjaman, sedang untuk persamaan (4) adalah suku bunga tabungan yaitu biaya dari penyimpanan persediaan.

2.2.1.3. Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah merupakan total pengeluaran belanja pemerintah. Besarnya pengeluaran belanja pemerintah akan berpengaruh pada keputusan pemerintah dalam membiayai pengeluaran belanja tersebut. Umumnya, sumber pembiayaan pengeluaran belanja pemerintah berasal dari pajak, dan jika pendapatan dari pajak tidak mencukupi maka defisit belanja yang terjadi akan ditutup melalui hutang negara. Penghitungan terhadap hutang negara ini kemudian menjadi persoalan, namun beberapa ekonom sepakat dalam penghitungan hutang negara termasuk defisit belanja selalu dibandingkan dengan besarnya Produk Domestik Bruto (PDB). Pada perkembangannya dalam beberapa tahun terakhir, pengeluaran belanja pemerintah pada periode berjalan (t) ternyata dipengaruhi oleh besarnya pengeluaran belanja pada periode sebelumnya (t-1). Berdasarkan penjelasan mengenai pengeluaran belanja pemerintah, maka fungsi pengeluaran belanja pemerintah (G) adalah


(32)

2.2.1.4. Ekspor Netto

Ekspor netto adalah besarnya nilai ekspor dikurangi impor. Menurut Mankiw (2007), besarnya ekspor netto dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang domestik (domestic currency). Literatur lainnya menyatakan bahwa ekspor netto dapat dipecah menjadi dua bagian, yaitu komponen ekspor dan impor. Besarnya ekspor (EX) tergantung dari nilai tukar mata uang domestik (E) dan besarnya total pendapatan negara asing (YF). Sementara impor (IM) dipengaruhi oleh besarnya pendapatan domestik (Y) dan nilai tukar mata uang domestik (Blanchard, 2006). Dengan demikian persamaan untuk fungsi ekspor dan impor adalah

EX(t) = x0+ x1YF(t)+ x2E(t) (6)

IM(t) = m0+ m1Y(t)+ m2E(t) (7)

Selanjutnya dari persamaan (2), sampai dengan persamaan (7), kemudian dimasukkan kembali ke persamaan (1) dan dibentuk sebagai persamaan kurva IS yaitu


(33)

Gambar 2.1. Penurunan Kurva IS 2.2.2. Kurva LM

Dalam menurunkan kurva LM (liquidity of moneter), pada prinsipnya harus dicapai kondisi keseimbangan di pasar uang dimana permintaan uang harus sama dengan penawaran uang. Penawaran uang (Ms) dimaksud adalah penawaran


(34)

uang riil yaitu besarnya penawaran uang dibagi dengan harga (P), sehingga diperoleh persamaan

Ms=M/P;dengan Ms= Md (9)

2.2.2.1. Permintaan Uang

Permintaan uang menurut Keynes dibedakan menjadi motif transaksi dan berjaga-jaga dengan motif spekulasi. Untuk motif transaksi dan berjaga-jaga, Keynes menyatakan, bahwa permintaan akan uang untuk tujuan ini tergantung dari tingkat pendapatan. Makin tinggi tingkat pendapatan maka semakin tinggi atau semakin besar tingkat keinginan terhadap uang untuk tujuan transaksi atau berjaga-jaga. Sementara untuk motif spekulasi menurut Keynes ditentukan oleh tingkat bunga (Mishkin, 2004). Makin tinggi tingkat suku bunga maka makin rendah keinginan masyarakat untuk memegang uang kas, dan sebaliknya makin tinggi tingkat keinginan masyarakat untuk melakukan spekulasi, yaitu dengan mengalihkan sebagian uangnya demi memperoleh imbal hasil yang ditawarkan oleh besarnya tingkat suku bunga. Dengan demikian, jika tingkat suku bunga naik berarti tingkat ongkos memegang uang kas atau opportunity cost to holding money makin besar atau tinggi, dan ini menyebabkan keinginan masyarakat akan uang kas akan semakin kecil.

Berdasarkan teori permintaan uang Keynes tersebut, maka besarnya permintaan uang (Md), dipengaruhi oleh pendapatan riil (Y) dan tingkat suku bunga, yaitu suku bunga tabungan (r), dan dinotasikan dengan persamaan


(35)

2.2.2.2. Penawaran Uang

Pada hakikatnya, penawaran uang (money supply) merupakan outcome

yang dihasilkan dari sebuah paket instrumen kebijakan dari otoritas moneter. Besarnya penawaran uang adalah jumlah uang kartal (currency in circulation) ditambah uang giral (checkable deposit) atau lebih dikenal dengan M1. Beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran uang umumnya bersumber dari instrumen kebijakan moneter dan respon pasar terhadap kebijakan tersebut. Pada uang kartal, otoritas moneter melakukan operasi pasar terbuka (Open Market Operation) dengan melakukan pembelian atau penjualan obligasi dengan imbal hasil obligasi yang ditetapkan sebesar suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Selain operasi pasar terbuka, pihak otoritas moneter juga melakukan operasi penyesuaian (fine tune operation) melaluirepoataureverse repoatas obligasi SBI.

Sementara untuk mempengaruhi besarnya uang giral otoritas moneter menerapkan beberapa instrumen kebijakan seperti penetapan Giro Wajib Minimun (GWM/required reserve ratio) dan tingkat suku bunga diskonto (discount rate) melalui discount window. Respon terhadap GWM dan suku bunga diskonto adalah suku bunga kredit dan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Disamping itu besarnya penawaran uang pada periode berjalan juga merupakan respon dari campur tangan bank sentral dalam mengendalikan gejolak nilai tukar mata domestik, umumnya terhadap dolar Amerika Serikat sebagai mata uang acuan. Oleh karena itu, faktor utama yang mempengaruhi penawaran uang atau jumlah uang beredar adalah tingkat suku bunga dan besarnya nilai tukar (kurs) terhadap dolar Amerika Serikat. Kedua faktor utama ini adalah


(36)

faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat likuditas perekonomian. Persamaan untuk penawaran uang dimaksud adalah

Ms(t)= ms0(t)+ ms1E(t)+ ms2r(t) (11) 2.2.2.3. Nilai Tukar

Nilai tukar mata uang domestik adalah besarnya perbandingan antara mata uang domestik dengan mata uang asing. Dalam teori perdagangan internasional, nilai tukar riil merupakan harga relatif dari barang-barang domestik terhadap barang-barang asing/luar negeri. Nilai tukar riil ini seringkali diistilahkan sebagai nilai tukar perdagangan atauterm of trade(Salvatore, 1997).

Selanjutnya dalam teori ekonomi moneter, mata uang asing atau valuta asing (valas) merupakan salah satu komoditas dalam pasar uang, selain obligasi dan saham. Pada pasar valas (foreign exchange market), besarnya nilai tukar mata uang domestik dipengaruhi oleh tingkat suku bunga di pasar domestik (r), suku bunga asing (r*), permintaan atas ekspor dan permintaan atas impor. Menurut kondisi paritas suku bunga, besarnya nilai tukar mata uang domestik pada periode berjalan dipengaruhi oleh ekspektasi atas nilai tukar mata uang domestik itu sendiri, disamping juga dipengaruhi oleh besarnya tingkat suku bunga domestik dan suku bunga asing. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar mata uang domestik maka digunakan beberapa pendekatan (proxy) sebagai variabel pengganti yang operasional dan representatif, yaitu

a. Secara teoritis, mobilitas modal (capital mobility) ke dalam dan ke luar negeri dicerminkan atas adanya perbedaan tingkat suku bunga antara domestik dan luar negeri. Secara tidak langsung, besarnya perbedaan tingkat suku bunga juga


(37)

menyatakan perbedaan imbal hasil investasi di dalam dan di luar negeri. Oleh karena itu, digunakanproxyIndeks Harga Saham Gabungan (IHSG/Q), sebagai variabel yang mewakili imbal hasil investasi domestik terkait dengan mobilitas modal ke dalam dan ke luar negeri.

b. Besarnya permintaan atas ekspor dan permintaan atas impor menggunakan

proxyekspor netto (NX).

Berdasarkanproxytersebut, persamaan nilai tukar mata uang domestik adalah E(t) = e0(t)+ e1NX(t)+ e2Q(t) (12) dimana :

Q(t)adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) periode berjalan

NX(t)adalah ekspor netto periode berjalan

2.2.2.4. Tingkat Suku Bunga

Tingkat suku bunga dimaksud adalah tingkat suku bunga di pasar domestik (r), dimana besarnya tingkat suku bunga dipengaruhi oleh besarnya output dan besarnya penawaran uang, masing-masing pada periode berjalan. Disamping itu, tingkat suku bunga yang merupakan monetary targeting, juga dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar mata uang domestik, sehingga fungsi suku bunga domestik adalah

r(t) =ρ0(t)+ ρ1Y(t)+ ρ2Ms(t)+ ρ3E(t) (13) Dalam praktiknya, tingkat suku bunga yang digunakan adalah suku bunga riil sebagaimana dipostulatkan oleh Irving Fisher, yaitu suku bunga nominal dikurangi oleh tingkat inflasi yang diharapkan (Mankiw, 2007). Hasil penelitian kaum monetaris yang dikomandani oleh Milton Friedman menunjukkan suku


(38)

bunga riil ini memiliki keterkaitan dengan beberapa besaran makro lainnya (Miskhin, 2004).

Terkait dengan penggunaan tingkat suku bunga sebagai salah variabel transmisi dari pasar uang menuju pasar barang sangat disadari tidak dapat diwakili oleh satu jenis suku bunga saja, karena pada hakikatnya suku bunga merupakan

opportunity cost, yaitu pada kasus suku bunga simpanan, tetapi juga merupakan

cost of capitaldancost of borrowing, manakala terjadi pada suku bunga pinjaman. Oleh karenanya, dalam penelitian ini beberapa jenis suku bunga yang akan digunakan adalah suku bunga deposito yang mewakili suku bunga tabungan yang sifat likuditasnya kurang, suku bunga SBI yang merupakan suku bunga acuan, suku bunga pasar uang yang mewakili pasar cadangan dan suku bunga kredit investasi yang merupakan suku bunga yang sangat terkait dengan kegiatan investasi untuk pembentukan modal tetap. Lebih lanjut, akan dicari pula hubungan antar tingkat suku bunga agar dapat menangkap fenomena transmisi dari pasar uang ke pasar barang. Oleh karenanya dari seluruh persamaan yang sudah dinyatakan sebelumnya, terutama persamaan yang mengandung variabel suku bunga, akan disusun dalam persamaan operasional berdasarkan jenis suku bunga yang relevan dengan teori dan kondisi riil yang terjadi di Indonesia.

Dari persamaan (10) dan (11), kemudian dimasukkan ke persamaan (9) dan kemudian di bentuk menjadi persamaan kurva LM, yaitu


(39)

Persamaan (12) dan (13) selanjutnya akan dimasukkan ke persamaan (8) dan (14) juga, namun tetap saja persamaan kurva IS dan kurva LM dinyatakan dalam hubungan antara pendapatan nasional (Y) dan tingkat suku bunga (r), sehingga kurva IS tetap dinyatakan sebagaimana pada persamaan (8), dan kurva LM dinyatakan dengan persamaan (14).

Gambar 2.2. Penurunan Kurva LM 2.4. Penelitian Terdahulu

Pertama, Imamudin Yuliandi (2001) dalam penelitiannya mengenai analisis makro ekonomi Indonesia pendekatan IS-LM menyatakan bahwa kapabilitas dari perekonomian Indonesia dapat dilihat dari hubungan dari setiap indikator-indikator makro ekonomi yang mempengaruhi pendapatan nasional. Tingginya tingkat bunga mempengaruhi iklim investasi yang menyebabkan terjadinya crowding out. Disamping itu juga terjadi delay purchaced pada pengeluaran konsumsi, dimana tingkat konsumsi periode berjalan dipengaruhi tingkat pendapatan nasional dan konsumsi periode sebelumnya.


(40)

Kedua, Nirdukita Ratnawati dan Rulli Rizki (2007) dalam penelitiannya mengenai pengaruh variabel indikator ekonomi makro terhadap perekonomian Indonesia dalam pendekatan pasar barang dan pasar menjelaskan bahwa pendapatan nasional tidak mempengaruhi perubahan tingkat konsumsi, tetapi mempengaruhi investasi, impor, permintaan uang dan nilai tukar. Selanjutnya suku bunga deposito mempengaruhi permintaan uang dan investasi. Sementara untuk suku bunga deposito dipengaruhi oleh jumlah uang beredar dan tingkat bunga PUAB. Sedang untuk penawaran uang dipengaruhi oleh foriegn asset dan penawaran uang periode sebelumnya.

Ketiga, Umi Julaihah dan Insukindro dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan (2004) menjelaskan bahwa dalam penelitiannya mengenai analisis dampak kebijakan moneter terhadap variabel makroekonomi di Indonesia pertumbuhan ekonomi tidak merespon adanya kejutan dari uang primer. Penggunaan suku bunga SBI sebagai variabel kebijakan ternyata memberikan hasil yang lebih baik daripada penggunaan uang primer. Penggunaan agregat moneter untuk kasus di Indonesia ternyata hanya berdampak pada inflasi dan tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut, mereka juga menjelaskan bahwa uang primer tidak mampu memberikan kontribusi terhadap variasi pertumbuhan ekonomi, uang primer hanya berkontribusi terhadap variabilitas inflasi, sedangkan SBI memiliki kemampuan untuk menjelaskan variabilitas pertumbuhan ekonomi lebih baik, dan SBI terlihat lebih mampu memberi kontribusi terhadap pertumbuhan. Hal yang menarik dari nilai tukar ternyata sangat dipengaruhi oleh variabel kebijakan, yaitu baik ketika


(41)

menggunakan variabel kebijakan uang primer maupun ketika menggunakan SBI, namun SBI ternyata lebih baik dalam menjelaskan variabilitas nilai tukar. Jadi, dapat disimpulkan bahwa adanya kejutan kebijakan moneter ternyata direspon secara cepat oleh nilai tukar dibandingkan dengan variabel-variabel ekonomi makro yang lain.

2.5. Kerangka Pemikiran

Kerangka penelitian dimaksudkan sebagai konsep untuk mengungkapkan dan menentukan persepsi dan keterkaitan antara variabel yang akan diteliti diuraikan dengan berpijak pada kajian teori diatas. Sebagaimana yang dijelaskan krisis finansial global dapat mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia melalui mekanisme transmisi pasar internasional masuk ke pasar uang domestik secara langsung atau tidak langsung dan pada gilirannya terjadi pula mekanisme transmisi pasar uang domestik yang mempengaruhi pasar barang domestik atau sebaliknya, dan kemudian akan berdampak pada kegiatan ekonomi secara makro di Indonesia.

Mekanisme transmisi tersebut akan coba ditangkap melalui model analisis IS – LM sebagaimana tujuan dari penelitian. Dalam penyusunan perangkat model analisis IS – LM, penulis menggunakan metode Two Stage Least Squared(2SLS) dengan persamaan reduksi (reduced form), sesuai pendekatan struktural dari penganut Keynesian.

Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2.3, krisis finansial global disebabkan oleh krisis subprime mortgage di Amerika Serikat. Krisis finansial global tersebut kemudian menulari pasar uang dan pasar barang di negara-negara


(42)

maju, sehingga ikut mengalami krisis. Pemerintah di negara-negara maju tersebut selanjutnya ikut campur tangan dalam upaya penanggulangan krisis, dimana salah satu kebijakannya adalah anjuran untuk penggunaan produk dalam negeri mereka. Akibat proteksi yang dinyatakan secara implisit tersebut, terjadi penurunan permintaan ekspor atas barang-barang dari negara-negara berkembang sehingga pasar barang di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia ikut terkena imbas dari krisis finansial global tersebut yang ditransmisi melalui jalur perdagangan (trade channel).

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran

Di saat yang sama, upaya penanggulangan krisis lainnya adalah melakukan penarikan aset-aset dari negara-negara maju yang diinvestasikan di negara-negara berkembang, termasuk juga di Indonesia. Akibatnya banyak pasar


(43)

modal di negara-negara berkembang mengalami kontraksi. Pasar modal Indonesia yang secara kebetulan sudah cukup terintegrasi dengan pasar internasional juga ikut mengalami kontraksi. Terjadinya kontraksi di pasar modal yang tidak lain adalah salah satu bentuk pasar uang ini merupakan imbas dari krisis finansial global yang ditransmisikan melalui jalur finansial (financial channel). Dampak krisis melalui kedua jalur inilah yang kemudian akan ditangkap melalui pendekatan IS – LM.


(44)

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Sumber data adalah Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS), U.S. Department of Commerce : Bureau of Economic Analysis (BEA) dan

International Financial Statistics of the IMF. Data yang berasal dari Bank Indonesia adalah data bulanan untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), tingkat suku bunga deposito, tingkat suku bunga kredit investasi, M1 (Jumlah Uang Beredar) dan kurs tengah rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat yang diperoleh dari Publikasi Tinjauan Kebijakan Moneter, Laporan Perekonomian Indonesia, dan Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) dari berbagai edisi.

Data yang diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) adalah data Indeks Harga Konsumen (IHK) dan laju perubahan IHK bulanan, PDB triwulanan atas dasar harga konstan (2000 = 100) menurut penggunaan, dan kurs tengah rupiah tertimbang terhadap Dolar Amerika Serikat triwulanan. Selanjutnya data yang diambil dari U.S. Department of Commerce : Bureau of Economic Analysis

(BEA) adalah data triwulanan untuk Gross Domestic Product (GDP) series

dengan tahun dasar 2005. Sedang dari International Financial Statistics of the IMF, data yang diambil adalah data tahunanReal Gross Domestic Product(GDP) pada tahun dasar 2005. Data yang diambil berupa data runtun waktu (time series) bulanan, triwulanan atau tahunan mulai tahun 2000 – 2008.


(45)

Beberapa hal yang harus dicatat adalah sesuai dengan asumsi model sticky price IS – LM, maka seluruh variabel yang digunakan adalah dalam harga konstan. Mengingat variabel makro ekonomi yang berasal dari BPS yaitu PDB triwulanan menurut penggunaan menggunakan harga konstan tahun 2000, maka seluruh variabel lainnya juga dikonversi terhadap harga konstan tahun 2000, kecuali untuk IHSG tidak dilakukan konversi. Data series IHK yang menggunakan tahun dasar 1996, 2002 dan 2007 dikonversi menjadi IHK dengan tahun dasar 2000. Data series IHK ini akan digunakan untuk menyatakan tingkat harga dalam kaitannya dengan besarnya permintaan dan penawaran uang riil (real money balances), disamping juga menyatakan besarnya inflasi bulanan terkait dengan persamaan Fisher, untuk memperoleh tingkat suku bunga riil.

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka deskripsi dari variabel operasional dalam penelitian ini berikut perlakuan untuk mengkonversi dari data bulanan atau data tahunan menjadi data triwulanan adalah sebagai berikut :

1. Pendapatan Nasional (Y) menggunakan proxy dari besarnya Produk Domestik Bruto (PDB) triwulanan Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 dalam rupiah.

2. Pengeluaran Konsumsi (C) adalah besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga triwulanan Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 dalam rupiah. 3. Investasi PMTB (IFIX) adalah pengeluaran investasi untuk tujuan

Pembentukan Modal Tetap Bruto (Fixed Capital Formation) triwulanan Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000, dinyatakan dalam rupiah.


(46)

4. Investasi Persediaan (IINV) adalah pengeluaran investasi untuk persediaan (Inventory Invesment) triwulanan Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 dinyatakan dalam rupiah.

5. Pengeluaran Pemerintah (G) adalah total pengeluaran belanja pemerintah triwulanan Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 dalam rupiah.

6. Ekspor (EX) adalah nilai ekspor barang dan jasa triwulanan Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 dalam rupiah.

7. Impor (IM) adalah nilai impor barang dan jasa triwulanan Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 dalam rupiah.

8. Penawaran Uang (Ms) adalah jumlah uang beredar riil dalam arti sempit (M1), yaitu jumlah uang beredar setelah dibagi dengan tingkat harga (IHK) yang dinyatakan dalam rupiah.

9. Permintaan uang (Md) diasumsikan sama dengan penawaran uang (Ms). 10. Nilai Tukar (E) adalah rata-rata tertimbang dari nilai 1 dollar AS dalam

rupiah. Penimbang yang digunakan dalam menghitung rata-rata ini adalah besarnya nilai ekspor dan nilai impor pada setiap triwulan. Data ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS).

11. Tingkat Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (rSBI) adalah tingkat suku bunga riil obligasi SBI dalam persen, yaitu tingkat suku bunga riil rata-rata bulanan pada setiap triwulan. Tingkat suku bunga riil bulanan adalah besarnya suku bunga nominal bulanan setelah dikurangi dengan inflasi bulan sebelumnya, yang merupakan proxy dari tingkat inflasi yang diharapkan (expected inflation). Setelah diperoleh suku bunga riil bulanan, kemudian


(47)

dirata-rata pada level triwulanan. Cara yang sama akan digunakan untuk memperoleh suku bunga riil lainnya.

12. Tingkat Suku Bunga JIBOR (rJIB) adalah tingkat bunga riil Jakarta Inter Bank Offer Rate(JIBOR) dalam persen.

13. Tingkat Suku Bunga Deposito (rDP) adalah tingkat bunga deposito riil dalam persen.

14. Tingkat Suku Bunga Kredit Investasi (rIV) adalah tingkat bunga kredit untuk investasi riil dalam persen.

15. Pendapatan Total Luar Negeri (YF) adalah besarnya pendapatan total dunia dikurangi pendapatan Indonesia pada periode triwulanan dalam satuan dolar Amerika Serikat (US $). Namun sebelumnya, pendapatan total dunia yang didekatkan dengan total PDB dunia dengan menggunakan tahun dasar 2005 harus dideflasikan sehingga menjadi tahun dasar 2000. Disamping itu, nilai pendapatan total dunia yang merupakan data tahunan yang diterbitkan

International Financial Statistics of the IMFjuga harus diekstrapolasi dengan

quarterly GDP series dari Amerika Serikat untuk memperoleh total PDB dunia triwulanan. Cara yang sama juga dilakukan untuk mengekstrapolasi PDB Indonesia tahunan menjadi PDB triwulanan.

16. Indeks Harga Saham Gabungan (Q) adalah Indeks Harga Saham Gabungan bulanan yang dirata-rata ke dalam periode triwulanan.


(48)

3.2. Model Analisis

Berdasarkan deskripsi variabel sebelumnya, maka untuk menjelaskan kondisi makro ekonomi Indonesia dengan pendekatan analisis IS–LM, dirumuskan persamaan struktural sebagai berikut :

1. C(t) = c0+ c1Y(t)+ c2Y(t-1)+ c3C(t-1) (Fungsi Konsumsi) 2. IFIX(t)= iF0(t)+ iF1Y(t)+ iF2Y(t-1)+ iF3rIV(t) (Fungsi Investasi PMTB)

3. G(t) = g0+ g1Y(t-1)+ g2G(t-1) (Fungsi Pengeluaran Pemerintah) 4. EX(t) = x0+ x1YF(t)+ x2E(t) (Fungsi Ekspor)

5. IM(t) = m0+ m1Y(t)+ m2E(t) (Fungsi Impor) 6. NX(t)= EX(t)+ IM(t) (Ekspor Netto)

7. Y(t) = C(t)+ IFIX(t) + IINV(t) + G(t) + EX(t)+ IM(t) (Fungsi Indentitas) 8. Md(t)= md0(t)+ md1Y(t)+ md2rDP(t) (Fungsi Permintaan Uang) 9. Ms(t) = ms0(t)+ ms1E(t)+ ms2rJIB(t) (Fungsi Penawaran Uang)

10. Ms(t) = Md(t) (Permintaan dan Penawaran Uang) 11. E(t) = e0(t)+ e1NX(t)+ e2Q(t) (Fungsi Nilai Tukar)

12. rJIB(t)= ρJIB0(t)+ ρJIB2rSBI(t)+ ρJIB3Ms(t) (Fungsi Suku Bunga JIBOR ) 13. rDP(t)= ρDP0(t)+ ρDP1rSBI(t)+ ρDP2Ms(t) (Fungsi Deposito )

14. rIV(t)= ρIV0(t)+ ρIV1rDP(t)+ ρIV2Q(t) (Fungsi Kredit Investasi)

Seluruh persamaan struktural di atas sesungguhnya diturunkan dari tinjauan pustaka pada bab sebelumnya. Hanya saja pada tinjauan pustaka tidak dijelaskan arah hubungan dari variabel penjelas terhadap variabel yang dijelaskan. Oleh sebab itu, perlu disampaikan bagaimana arah hubungan dari variabel penjelas terhadap variabel yang dijelaskan atau bagaimana pengaruh dari variabel


(49)

penjelas terhadap model persamaan, yang merupakan kondisi yang diharapkan, sesuai dengan pijakan teori yang berlaku secara umum. Apabila tidak sesuai dengan kondisi yang diharapkan, maka perlu dicari justifikasi dari kondisi tersebut sesuai dengan fakta yang didukung oleh data yang tersedia.

Tabel 3.1. Arah Hubungan Variabel Penjelas terhadap Variabel yang Dijelaskan

Variabel Penjelas

Variabel yang dijelaskan

C(t) IFIX(t) G(t) EX(t) IM(t) Md(t) Ms(t) E(t) rJIB(t) rDP(t) rIV(t)

Y(t) + + + +

NX(t) –

Y(t-1) + + +

C(t-1) –

G(t-1) +

Q(t) – +

YF(t) +

E(t) + – +

rJIB(t) –

rDP(t) – –

rIV(t) –

rSBI(t) + +

Ms(t) – –

konstanta + + + + + + + + + + +

Dalam persamaan konsumsi, pendapatan periode berjalan dan periode sebelumnya akan berpengaruh positif pada konsumsi periode berjalan atau besarnya koefisien c1 dan c2 diharapkan bernilai positif, sebaliknya konsumsi periode sebelumnya akan berpengaruh negatif pada konsumsi periode berjalan atau nilai dari c3diharapkan negatif sebagai konsekuensi adanya kendala anggaran dalam fungsi konsumsi. Disamping itu, konstanta persamaan yang merupakan konsumsi autonomus juga harus bernilai positif.


(50)

Secara ringkas, hubungan variabel penjelas terhadap variabel yang dijelaskan dapat dilihat pada Tabel 3.1, dimana pada variabel pada kolom merupakan variabel yang dijelaskan, sementara secara baris merupakan variabel penjelas. Contoh pada persamaan konsumsi (kolom 2), konsumsi pada periode berjalan (C(t)) dipengaruhi oleh pendapatan pada periode berjalan (Y(t)); pendapatan periode sebelumnya (Y(t-1)); konsumsi periode sebelumnya (C(t-1)) dan konsumsi autonomus (konstanta). Sementara arah hubungan yang diharapkan, yang dinyatakan dengan nilai koefisien dari variabel penjelas adalah sebagai berikut, pendapatan periode berjalan dan periode sebelumnya serta kontanta bernilai positif (+) sedangkan konsumsi periode sebelumnya negatif (–), demikian seterusnya berlaku pada variabel penjelas dan variabel yang dijelaskan lainnya.


(51)

Bila pada Tabel 3.1 diperlihatkan kondisi yang diharapkan dari pengaruh variabel penjelas terhadap variabel yang diharapkan secara parsial, maka pada Gambar 3.1 dapat dilihat rangkuman keseluruhan hubungan saling mempengaruhi antar variabel makro ekonomi di Indonesia yang disusun dari persamaan struktural sebelumnya. Pada gambar tersebut dapat terlihat dua jenis variabel, yaitu variabel endogen yang disimbolkan dengan bentuk oval dan variabel eksogen dengan simbol kotak. Disamping itu dari masing-masing bentuk kotak dan oval juga dibedakan dari bentuk garis pembatasnya, dimana variabel di dalam bentuk kotak atau oval yang bergaris pembatas tebal merupakan variabel yang akan digunakan untuk simulasi model dengan memasukkan adanya guncangan (shock), sementara yang bergaris pembatas tipis tidak akan digunakan untuk simulasi model.

Berdasarkan persamaan struktural yang telah dirumuskan sebelumnya, seperti terlihat pada Gambar 3.1, diperoleh variabel endogen yaitu C(t); IFIX(t); G(t) ; EX(t) ; IM(t); Y(t); Md(t);Ms(t); E(t) ; rDP (t); rIV (t) ; rJIB (t), sedangkan yang masuk sebagai variabel eksogen adalah Y(t-1); C(t-1) ; IINV(t); G(t-1); YF(t); rSBI(t); Q(t). Dari persamaan struktural, variabel endogen dan variabel eksogen tersebut, maka dapat dirumuskan persamaan reduksi (reduced form) sebagai berikut :

1. C(t) = ρ0+ ρ1Y(t-1)+ ρ2C(t-1)+ ρ3IINV(t)+ ρ4G(t-1)+ ρ5YF(t)+ ρ6rSBI(t)+ ρ7Q(t) 2. IFIX(t)= ρ8+ ρ9Y(t-1)+ ρ10C(t-1)+ ρ11IINV(t) + ρ12G(t-1)+ ρ13YF(t)+ ρ14rSBI(t)

+ ρ15Q(t)

3. G(t) = ρ16+ ρ17Y(t-1)+ ρ18C(t-1)+ ρ19IINV(t) + ρ20G(t-1)+ ρ21YF(t)+ ρ22rSBI(t) + ρ23Q(t)


(52)

4. EX(t)= ρ24+ ρ25Y(t-1)+ ρ26C(t-1)+ ρ27IINV(t) + ρ28G(t-1)+ ρ29YF(t)+ ρ30rSBI(t) + ρ31Q(t)

5. IM(t) = ρ32+ ρ33Y(t-1)+ ρ34C(t-1)+ ρ35IINV(t) + ρ36G(t-1)+ ρ37YF(t)+ ρ38rSBI(t) + ρ39Q(t)

6. Md(t)= ρ40+ ρ41Y(t-1)+ρ42C(t-1)+ ρ43IINV(t) + ρ44G(t-1)+ ρ45YF(t)+ ρ46rSBI(t) + ρ47Q(t)

7. Ms(t) = ρ48+ ρ49Y(t-1)+ ρ50C(t-1)+ ρ51IINV(t) + ρ52G(t-1)+ ρ53YF(t)+ ρ54rSBI(t) + ρ55Q(t)

8. E(t) = ρ56+ ρ57Y(t-1)+ ρ58C(t-1)+ ρ59IINV(t) + ρ60G(t-1)+ ρ61YF(t)+ ρ62rSBI(t) + ρ63Q(t)

9. rJIB(t) = ρ64+ ρ65Y(t-1)+ ρ66C(t-1)+ ρ67IINV(t) + ρ68G(t-1)+ ρ69YF(t)+ ρ70rSBI(t) + ρ71Q(t)

10. rDP(t) = ρ72 + ρ73Y(t-1) + ρ74C(t-1) + ρ75IINV(t) + ρ76G(t-1) + ρ77YF(t) + ρ78rSBI(t) + ρ79Q(t)

11. rIV(t) = ρ80 + ρ81Y(t-1) + ρ82C(t-1) + ρ83IINV(t) + ρ84G(t-.) + ρ85YF(t) + ρ86rSBI(t) + ρ87Q(t)

3.3. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan untuk mendukung dan mencapai tujuan penelitian adalah analisis deskriptif dan model persamaan simultan. Analisis deskriptif adalah teknik analisis yang digunakan untuk menggambarkan keadaan suatu hal secara umum dan bertujuan untuk mempermudah penafsiran atau penjelasan, diantaranya melalui analisis tabel dan gambar/grafik mengenai ukuran-ukuran statistik. Sedangkan analisis simultan yang digunakan dalam


(53)

penulisan ini adalah metode Two Stage Least Squared (2SLS). Pengolahan data pada penulisan ini menggunakan bantuan program aplikasi Microsoft Excel2007, danStatistical Package for Social Science(SPSS) version 13.0for windows. 3.2.1. Analisis Deskriptif

Metode analisis deskriptif adalah metode yang digunakan dalam penyusunan data ke dalam daftar-daftar atau tabel, pembuatan grafik dan lain-lain serta pengolahan yang bersifat interpretasi data. Analisis ini digunakan sebagai pendukung untuk menambah dan mempertajam analisis simultan yang dilakukan. 3.2.2. Analisis Simultan

Pada dasarnya peristiwa ekonomi saling terkait satu dengan lainnya, peristiwa X akan mempengaruhi terjadinya peristiwa Y dan sebaliknya. Dengan kata lain, ada hubungan dua arah atau simultan antara Y dengan X. Hal ini menyebabkan sulitnya dibedakan antara variabel tidak bebas dengan variabel bebasnya (variabel yang menjelaskan). Dalam model seperti itu, terdapat lebih dari satu persamaaan, dimana tiap parameternya diprediksi dengan memperhitungkan informasi yang diberikan oleh persamaan lain dalam sistem. Sehingga untuk penyelesaiannya (pendugaan koefisien regresi) tidak dapat dilakukan secara parsial terhadap masing-masing persamaan, tetapi harus dilakukan secara simultan. Oleh karena itu, model yang demikian itu disebut dengan sistem persamaan simultan, yang dalam penelitian ini diistilahkan dengan persamaan struktural.

Model sistem persamaan simultan dalam bentuk struktural terdiri dari M persamaan dan K variabel endogen, yaitu variabel yang besarnya ditentukan


(54)

berdasarkan model tersebut, yang ditulis sebagai Y1, Y2, ..., YM, serta K variabel eksogen, X1, X2, ..., XK, yaitu variabel yang besarnya (nilainya) ditentukan di luar model atau ditetapkan terlebih dahulu, yang mungkin juga memasukkan variabel endogen sebagai variabel eksogen (predetermined variabel), Y1, Y2, ..., YM.. Dengan elemen pertama X1biasanya akan konstan sama dengan satu.

- Persamaan Struktural dan Persamaan Reduksi

Model persamaan struktural adalah suatu sistem persamaan yang menggambarkan struktur hubungan peubah-peubah ekonomi yang dinyatakan sebagai fungsi dari variabel endogen, variabel eksogen dan variabel gangguan. Sedangkan persamaan reduksi adalah suatu bentuk penyederhanaan persamaan struktural yang menyatakan variabel endogen sebagai fungsi dari semua variabel eksogen yang dimasukkan ke dalam model (variabel endogen di sebelah kiri dan seluruh variabel eksogen di sebelah kanan).

- Masalah Identifikasi

Dalam analisis simultan, terdapat beberapa metode penaksiran yang penggunaannya tergantung pada bagaimana persamaan-persamaan tersebut diidentifikasikan. Masalah identifikasi ini berhubungan dengan bagaimana suatu persamaan diidentifikasikan sehingga nilai taksiran perameter-parameter strukturalnya dapat diperoleh dari koefisien bentuk reduksi yang ditaksir. Ada tiga bentuk identifikasi persamaan, yaitu: persamaan yang tidak atau kurang diidentifikasikan (under-identification), identifikasi tepat (just-identification) dan terlalu diidentifikasikan (over-identification).


(55)

Syarat agar suatu sistem persamaan dapat diuji secara simultan adalah jika persamaan tersebut teridentifikasi (just or over-identification), sebaliknya persamaan yang tidak atau kurang teridentifikasi (unidentification) tidak diuji simultan. Persamaan yang tepat diidentifikasikan memiliki nilai taksiran yang unik dari parameter struktural, sedangkan persamaan yang terlalu diidentifikasikan memiliki lebih dari satu nilai taksiran. Dalam pengujian identifikasi ini ada dua macam (Gujarati, 2004), yaitu:

1. Orders Condition.

Dalam pengujianorder conditiondapat dinyatakan dengan dua cara, yaitu: a. Di dalam suatu model apabila terdiri dari M persamaan simultan, agar supaya suatu persamaan identified, harus tidak memuat (excludes) paling sedikit sebanyak (M-1) variabel, baik endogen maupun eksogen, yang muncul dalam persamaan. Kalau tidak memuat tepat sebanyak (M-1) variabel, persamaan tersebut just identified. Apabila tidak memuat lebih dari (M-1) variabel, persamaan yang bersangkutan menjadiover identified.

Dimana: Jika M – 1 = 1, maka persamaan tersebutidentified.

Jika M – 1 > 1, maka persamaan tersebutoveridentified.

Jika M – 1 < 1, maka persamaan tersebutunidentified.

b. Di dalam suatu model yang terdiri dari M persamaan simultan, agar suatu persamaan identified, banyaknya predetermined atau eksogen variabel yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut (excludes), harus tidak boleh kurang dari banyaknya variabel endogen yang tercakup di dalam persamaan dikurang satu. K – k≥m – 1


(56)

Dimana: Jika K – k = m-1, maka persamaan tersebutjust identified.

Jika K – k > m-1, maka persamaan tersebutoveridentified.

Jika K –k < m –1, maka persamaan tersebutunidentified. 2. Rank Condition.

Di dalam suatu model yang terdiri dari M persamaan dengan M variabel endogen, suatu persamaan disebut identified jika dan hanya jika paling, sedikit satu determinan yang tidak sama dengan nol, ber-order (M-1) (M-1), dapat dibuat dari koefisien-koefisien variabel-variabel (endogen dan eksogen) yang tercakup dalam suatu persamaan lainnya di dalam model.

dimana:

Jika K – k = m – 1, dan rank dari matrik A adalah sama dengan (M-1), maka persamaan tersebutjust identified.

Jika K – k > m – 1, dan rank dari matrik A adalah lebih dari (M-1), maka persamaan tersebutoveridentified.

Jika K – k < m – 1, dan rank dari matrik A adalah kurang dari (M-1), maka persamaan tersebutunidentified.

keterangan: M = jumlah variabel endogen dalam model. m = jumlah variabel endogen dalam persamaan. K = jumlah variabel eksogen dalam model. k = jumlah variabel eksogen dalam persamaan.


(57)

- Metode Penaksiran

Dalam penyelesaian persamaan simultan dapat diselesaikan dengan menggunakan dengan beberapa metode (Gujarati, 2004), diantaranya :

1. Indirect Least Squared(ILS).

Metode Indirect Least Squared (ILS) digunakan dengan cara menetapkan metode Ordinary Least Squared (OLS) pada persamaan reduce form. Asumsi yang harus dipenuhi dalam penggunaan metode ILS yaitu persamaan strukturalnya harus exactly/just identified, dan variabel residual dari persamaan

reduce form-nya harus memenuhi semua asumsi stokastik dari tehnik OLS. Bila asumsi ini tidak terpenuhi maka akan menyebabkan bias pada penaksiran koefisiennya.

2. Two Stages Least Squared(2SLS).

Metode Two Stages Least Squared (2SLS) sering digunakan dengan alasan:

a. Untuk persamaan yangover identified, penerapan TSLS menghasilkan taksiran tunggal, sedangkan dengan menggunakan ILS menghasilkan taksiran ganda. b. Dengan Two Stages Least Squared (2SLS) tidak ada kesulitan untuk

menaksirkan standar error (SE) karena koefisien strukturalnya ditaksir secara langsung dari regresi OLS pada langkah kedua sedangkan pada ILS mengalami kesulitan dalam menaksirkan standar error.

Dalam metode Two Stages Least Squared (TSLS) terdapat dua macam metode yang dapat digunakan dalam menyelesaikan persamaan simultan dengan menggunakan alat analisis ekonometrika, yaitu:


(58)

S S E Yi Yi i

n

    

1

2

Metode 1 : dengan meregresikan persamaan reduce form untuk mencari nilaifitted

dan residual dengan menggunakan regresi biasa (OLS) pada metode

Two Stage Least Squared(2SLS).

Metode 2 : metode ini lebih sederhana dan lebih mudah digunakan, karena tidak memerlukan penggunaan persamaanreduce form.

- Pengujian Parameter

Pengujian penduga parameter bertujuan untuk mengetahui tingkat keberartian penduga parameter yang digunakan melalui pengujian hipotesis. Apabila hipotesisnya ditolak maka penduga parameter tersebut signifikan (berarti).

a. Uji – F

Uji ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan model secara keseluruhan Pengujian Hipotesis :

H0:0=1= ... =i= 0

H1: minimal ada satu nilaii= 0, dimana i = 0, 1, ... , n

Statistik uji :

dimana :

K adalah banyaknya parameter termasuk konstanta. adalah tingkat kesalahan

Keputusan : JikaFHitF; [(k-1),(n-k)]atau nilai signifikanF , makaH0ditolak.

F

S S R k S S E

n k

H it

 

( )

( )


(59)

t b Se b Hit i i  ( )

R SSR SST Y Y Y Y i i n i i n 2 1 2 2 1          

b. Uji – t

Uji ini dilakukan untuk mengetahui keberartian dari masing-masing penduga parameter.

Pengujian hipotesis:

H0:i= 0, (ada pengaruh variabel eksogen ke-i terhadap variabel endogen)

H1:i0, (tidak ada pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen)

Statistik uji :

Keputusan : JikatHitt/2 ; (n-k)atau nilai signifikant ,makaH0ditolak.

- Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui proporsi variasi variabel endogen yang dijelaskan oleh variabel eksogen secara bersama-sama (gabungan)

Pengujian Orders Condition dan Rank Condition terhadap kesebelas persamaan yang diturunkan dari persamaan struktural diperoleh hasil bahwa kesebelas persamaan tersebut “over identified” sehingga penggunaan metode

Two Stage Least Squared (2SLS) sangat disarankan, sebagai metode minimal yang harus digunakan untuk menyelesaikan persamaan simultan. Hasil pengujian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.2.


(60)

Tabel 3.2. Hasil Pengujian Identifikasi Model

Persamaan M M - 1 k K - k Hasil Kesimpulan

C(t) 2 1 2 5 (K - k) > (M - 1) Over identified

IFIX(t) 3 2 1 6 (K - k) > (M - 1) Over identified

G(t) 1 0 2 5 (K - k) > (M - 1) Over identified

EX(t) 2 1 1 6 (K - k) > (M - 1) Over identified

IM(t) 3 2 0 7 (K - k) > (M - 1) Over identified

Md(t) 3 2 0 7 (K - k) > (M - 1) Over identified

Ms(t) 3 2 0 7 (K - k) > (M - 1) Over identified

E(t) 2 1 1 6 (K - k) > (M - 1) Over identified

rJIB(t) 2 1 1 6 (K - k) > (M - 1) Over identified

rDP(t) 2 1 1 6 (K - k) > (M - 1) Over identified


(61)

4.1. Konsumsi

Konsumsi rumah tangga adalah jumlah permintaan akhir atas barang dan jasa baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Dalam struktur penghitungan pendapatan nasional, konsumsi rumah tangga merupakan komponen yang memberikan andil terbesar terhadap pembentukan pendapatan nasional. Terkait dengan kebijakan fiskal, konsumsi rumah tangga memberikan efek pengganda (multiplier effect) yang besar dalam penciptaan pendapatan nasional. Tabel 4.1. Konsumsi Rumah Tangga dan Produk Domestik Bruto (PDB)

Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000

Tahun

Konsumsi Rumah Tangga PDB

Jumlah Pertumbuhan Andil Jumlah Pertumbuhan

(Miliar rupiah) (%) (%) (Miliar rupiah) (%)

2000 856.798,3 - 61,65 1.389.769,9

-2001 886.736,0 3,49 61,56 1.440.405,7 3,64

2002 920.749,6 3,84 61,17 1.505.216,4 4,50

2003 956.593,4 3,89 60,65 1.577.171,3 4,78

2004 1.004.109,0 4,97 60,62 1.656.516,8 5,03

2005 1.043.805,1 3,95 59,62 1.750.815,2 5,69

2006 1.076.928,1 3,17 58,30 1.847.126,7 5,50

2007 1.130.847,1 5,01 57,61 1.963.091,8 6,28

2008 1.191.190,7 5,34 57,21 2.082.103,7 6,06

Sumber : Badan Pusat Statistik

Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa besarnya andil konsumsi rumah tangga terhadap PDB (proxypendapatan nasional) tidak kurang dari 50 persen, sepanjang tahun 2000 – 2008. Namun seiring berjalannya waktu, besarnya andil konsumsi rumah tangga memperlihatkan tren yang terus menurun. Sepertinya, penurunan


(62)

0% 50% 100% 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 2 0 0 7 2 0 0 8

Makanan Non Makanan

andil ini terkait erat dengan laju pertumbuhan konsumsi dari tahun 2001 – 2008 yang besarnya selalu di bawah laju pertumbuhan PDB. Dengan penurunan andil tersebut, bisa diramalkan bahwa pengaruh dari efek pengganda yang diberikan oleh konsumsi rumah tangga terhadap kebijakan fiskal akan berkurang.

Gambar 4.1. Proporsi Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Menurut Kelompok Pengeluaran Tahun 2000 – 2008

Gambar 4.1. memperlihatkan proporsi pengeluran rumah tangga dirinci menurut kelompok pengeluaran rumah tangga, yaitu pengeluaran untuk kelompok makanan dan non makanan. Sepanjang tahun 2000 – 2008, proporsi pengeluaran rumah tangga untuk kelompok makanan memperlihatkan adanya penurunan, dimana pada sebelum tahun 2004 proporsinya masih di atas 50 persen tapi sejak tahun 2004 sudah kurang dari 50 persen. Menurut hukum Engel, proporsi pengeluaran untuk kelompok makanan akan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya pendapatan (Samuelson, 1973). Dari hukum Engel tersebut dapat disimpulkan bahwa sepanjang tahun 2000 – 2008 telah terjadi peningkatan pendapatan dari institusi rumah tangga. Akan tetapi peningkatan pendapatan dari institusi rumah tangga tersebut ternyata tidak digunakan seluruhnya untuk


(63)

konsumsi. Kelebihan pendapatan tersebut sepertinya digunakan untuk pembelian aset-aset tidak bergerak seperti tanah atau rumah baru, yang dikategorikan sebagai kegiatan investasi (residential investment), atau diinvestasikan dalam bentuk tabungan atau surat-surat berharga, yang termasuk dalam pilihan aset-aset yang bisa dimiliki oleh rumah tangga.

4.2. Investasi

Investasi yang akan dibahas pada sub ini dan selanjutnya akan dibahas mengenai investasi untuk pembentukan modal tetap saja sementara untuk investasi untuk persediaan tidak dibahas lanjut. Dalam pemodelan pada bab 3, investasi untuk persediaan dikategorikan sebagai variabel eksogen karena pada kenyataannya cenderung bersifat acak (random walk).

Tabel 4.2. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) dan Produk Domestik Bruto (PDB) Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000

Tahun

P M T B P D B

Jumlah Pertumbuhan Andil Jumlah Pertumbuhan

(Miliar rupiah) (%) (%) (Miliar rupiah) (%)

2000 275.881,2 - 19,85 1.389.769,9

-2001 293.792,7 6,49 20,40 1.440.405,7 3,64

2002 307.584,6 4,69 20,43 1.505.216,4 4,50

2003 309.431,1 0,60 19,62 1.577.171,3 4,78

2004 354.865,7 14,68 21,42 1.656.516,8 5,03

2005 393.500,5 10,89 22,48 1.750.815,2 5,69

2006 403.719,2 2,60 21,86 1.847.126,7 5,50

2007 441.614,0 9,39 22,50 1.963.091,8 6,28

2008 493.222,5 11,69 23,69 2.082.103,7 6,06

Sumber : Badan Pusat Statistik

Secara rata-rata, investasi untuk pembentukan modal yang dihitung dengan

proxy pembentukan modal tetap bruto (PMTB) mengalami pertumbuhan sebesar 7,53 persen dalam delapan tahun terakhir, dengan pertumbuhan tertinggi pada


(64)

tahun 2004 (14,68 persen) dan terendah pada tahun 2003 (0,60 persen). Dibanding rata-rata pertumbuhan pendapatan nasional yang besarnya 5,18 persen, angka pertumbuhan investasi untuk pembentukan modal tetap tersebut masih relatif lebih tinggi. Bila dirinci menurut tahun, investasi mengalami pertumbuhan jauh di bawah angka pertumbuhan pendapatan nasional pada tahun 2003 dan 2006, namun pada tahun selanjutnya investasi mengalami pertumbuhan yang relatif jauh di atas angka pertumbuhan pendapatan nasional. Tahun 2004, investasi tumbuh sebesar 14,68 persen sedang angka pertumbuhan nasional hanya mencapai 5,03 persen. Sementara pada tahun 2006, saat investasi mengalami pertumbuhan 9,39 persen, pendapatan nasional tumbuh sebesar 6,28 persen.

Disamping pertumbuhan investasi, Tabel 4.2 juga memperlihatkan besarnya andil investasi pembentukan modal tetap terhadap pendapatan nasional. Sepanjang tahun 2000 – 2008, andil investasi menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, kecuali pada tahun 2003 dan 2006 andil sedikit mengalami penurunan. Adanya penurunan andil pada dua tahun tersebut erat kaitannya dengan pertumbuhan investasi pada kedua tahun tersebut. Artinya, pada kasus investasi untuk pembentukan modal tetap, andil investasi terhadap pendapatan nasional sangat tergantung dari angka pertumbuhannya. Bila investasi tumbuh di atas angka pertumbuhan pendapatan nasional maka andilnya menunjukkan peningkatan dibanding sebelumnya, demikian pula sebaliknya.


(65)

0 10 20 30 40 50 60 70 80

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Bangunan Mesin Alat Angkutan Lainnya

Gambar 4.2 Proporsi Pembentukan Modal Tetap Bruto Menurut Jenis Fisik Tahun 2000 – 2008

Dirinci menurut jenis fisik barang yang diinvestasikan untuk pembentukan modal tetap, dapat dilihat dari Gambar 4.2 bahwa sepanjang tahun 2000 – 2008, proporsi tertinggi untuk pembentukan modal tetap diwujudkan dalam bentuk bangunan baru kemudian dalam bentuk mesin-mesin dan perlengkapannya. Sesuai dengan teori dan proxy untuk pembentukan modal tetap, investasi dalam wujud bangunan bisa berarti bangunan yang dibangun untuk keperluan perusahaan, bisa juga bangunan rumah untuk tempat tinggal. Investasi yang berwujud bangunan rumah cukup relevan dengan kondisi terjadinya penurunan andil konsumsi rumah tangga dari tahun 2000 – 2008, meski di sisi lain menurut hukum Engel secara implisit terlihat adanya kenaikan pendapatan rumah tangga.

4.3. Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah adalah seluruh pengeluaran untuk pembelian barang/jasa dan pembayaran upah/gaji guna penyelenggaraan negara. Tabel 4.3 memperlihatkan besarnya pengeluaran pemerintah untuk tahun 2000 – 2008.


(66)

Tabel 4.3. Pengeluaran Pemerintah dan Produk Domestik Bruto (PDB) Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000

Tahun

Pengeluaran Pemerintah PDB

Jumlah Pertumbuhan Andil Jumlah Pertumbuhan

(Miliar rupiah) (%) (%) (Miliar rupiah) (%)

2000 90.779,7 - 6,53 1.389.769,9

-2001 97.646,0 7,56 6,78 1.440.405,7 3,64

2002 110.333,6 12,99 7,33 1.505.216,4 4,50

2003 121.404,1 10,03 7,70 1.577.171,3 4,78

2004 126.248,7 3,99 7,62 1.656.516,8 5,03

2005 134.625,6 6,64 7,69 1.750.815,2 5,69

2006 147.563,7 9,61 7,99 1.847.126,7 5,50

2007 153.309,6 3,89 7,81 1.963.091,8 6,28

2008 169.297,2 10,43 8,13 2.082.103,7 6,06

Sumber : Badan Pusat Statistik

Pengeluaran pemerintah pada tahun 2001 – 2008, secara rata-rata tumbuh sebesar 8,10 persen, jauh di atas angka rata-rata pertumbuhan pendapatan nasional. Pertumbuhan dari pengeluaran pemerintah ini agaknya merupakan paket kebijakan fiskal untuk terus diupayakan dalam rangka mendorong kenaikan pendapatan nasional. Meski demikian dapat dilihat pada tahun 2004 dan 2007, pengeluaran pemerintah tumbuh di bawah angka pertumbuhan pendapatan nasional, sementara pada saat yang sama investasi tumbuh jauh di atas pertumbuhan nasional. Sebaliknya pada tahun sebelumnya, yaitu tahun 2003 dan 2006, investasi tumbuh di bawah angka pertumbuhan pendapatan nasional sedang pengeluaran pemerintah tumbuh jauh di atas angka pertumbuhan nasional.

Berdasarkan penjelasan ini, ada indikasi telah terjadi crowding out of investment pada tahun 2003 dan 2006, dimana investasi untuk pembentukan modal tetap digantikan oleh pengeluaran pemerintah. Indikasi akan terjadinya


(67)

kondisi crowding out of investment ini jelas terlihat dari besarnya suku bunga kredit yang berada pada kisaran 15 – 18 persen pada tahun 2002 – 2003 dan pada kisaran 14 – 16 persen pada tahun 2006. Akibat tingginya suku bunga kredit pada ketiga tahun tersebut, investasi tumbuh di bawah angka pertumbuhan rata-rata investasi selama tahun 2001 – 2008. Sementara di sisi lain, pada tahun yang sama pengeluaran pemerintah tumbuh di atas angka pertumbuhan rata-rata pengeluaran pemerintah tahun 2001 – 2008.

4.4. Ekspor – Impor

Perdagangan internasional melalui ekspor – impor merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan warga dunia (Salvator, 1997). Meski demikian, untuk kasus perekonomian negara kecil terbuka seperti Indonesia, keseimbangan ekspor – impor atau sering disebut ekspor netto harus dijaga karena akan mempengaruhi nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing.

Gambar 4.3. Perkembangan Ekspor – Impor (dalam jutan $ US) Tahun 2007 – 2008

6.000 7.000 8.000 9.000 10.000 11.000 12.000 13.000 14.000 Ja n -0 7 F eb -0 7 M ar -0 7 A p r-0 7 M ei -0 7 Ju n -0 7 Ju l-0 7 A g u st -0 7 S ep -0 7 O k t-0 7 N o p -0 7 D es -0 7 Ja n -0 8 F eb -0 8 M ar -0 8 A p r-0 8 M ei -0 8 Ju n -0 8 Ju l-0 8 A g u st -0 8 S ep -0 8 O k t-0 8 N o p -0 8 D es -0 8 Ekspor Impor


(68)

Ekspor Indonesia memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat pada Januari 2007 – Mei 2008, namun setelah itu menunjukkan tren penurunan. Pola yang hampir sama juga ditunjukkan oleh impor Indonesia, hanya saja kecenderungan peningkatan impor terjadi sampai Juli 2008, baru setelahnya menurun. Dilihat dari perbandingan ekspor – impor dalam dua tahun terakhir, Indonesia mengalami ekspor netto negatif hanya pada bulan April 2008, sementara bulan-bulan lainnya mengalami ekspor netto positif. Meski demikian dapat dilihat pada Gambar 4.3, ekspor netto pada Juli – Agustus 2008 dan Oktober – Desember 2008 cukup rendah yaitu kurang dari 1 miliar rupiah.

Gambar 4.4. Perkembangan Ekspor Non Migas Menurut Negara Tujuan (dalam jutaan $ US) Tahun 2007 – 2008

Gambar 4.4 memperlihatkan perkembangan ekspor Indonesia menurut kelompok negara tujuan ekspor, dimana untuk tujuan negara-negara Asia, Amerika dan Eropa secara umum menunjukkan adanya tren peningkatan ekspor, setidaknya sampai September 2008, terhitung mulai Januari 2007. Disamping

0 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 Ja n -0 7 F eb -0 7 M ar -0 7 A p r-0 7 M ei -0 7 Ju n -0 7 Ju l-0 7 A g u st -0 7 S ep -0 7 O k t-0 7 N o p -0 7 D es -0 7 Ja n -0 8 F eb -0 8 M ar -0 8 A p r-0 8 M ei -0 8 Ju n -0 8 Ju l-0 8 A g u st -0 8 S ep -0 8 O k t-0 8 N o p -0 8 D es -0 8


(69)

memperlihatkan perkembangan ekspor Indonesia menurut kelompok negara tujuan ekspor, secara tidak langsung Gambar 4.4 juga mengisyaratkan besarnya pangsa pasar ekspor Indonesia dalam dua tahun terakhir, dimana jika dilihat dari besarnya ekspor untuk masing-masing kelompok negara tujuan, pangsa pasar bisa dibagi menjadi tiga yaitu kelompok negara-negara Asia, kelompok negara-negara Amerika dan Eropa serta terakhir kelompok negara-negara Afrika dan Australia di tambah negara-negara dari Oceania.

Tabel 4.4. Andil PDB dan Pangsa Pasar Ekspor Indonesia Menurut Kelompok Negara Tahun 2007 dan 2008

Kelompok Negara

Andil PDB Rata-rata Pangsa Pasar

2007 2008 2007 2008

(%) (%) (%) (%)

Afrika 2,35 2,42 2,64 3,04

Australia dan Oceania 1,90 1,90 2,69 2,51

Asia 25,78 26,29 64,24 64,31

Eropa 34,06 33,72 14,70 14,53

Amerika 35,91 35,66 15,74 15,62

Dunia 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber : Bank Indonesia dan International Financial Statistics of the IMF

Pangsa pasar ini selain menunjukkan tingkat daya saing barang-barang ekspor asal Indonesia tapi juga menunjukkan besarnya perekonomian dan permintaan dari negara-negara tujuan ekspor. Negara-negara Asia dengan total andil PDB sekitar 25 persen terhadap total PDB dunia pada tahun 2007 – 2008 merupakan pasar yang menjanjikan bagi ekspor Indonesia dengan rata-rata pangsa pasar 64 persen. Sementara, untuk Afrika dan Australia termasuk Oceania yang masing-masing memberikan total andil PDB sekitar 2 persen, merupakan pasar yang cukup potensial untuk ekspor Indonesia, karena ternyata besarnya pangsa


(70)

pasar dari kedua kelompok negara tersebut ternyata bisa mencapai 3 persen. Sebaliknya untuk negara-negara di Amerika dan Eropa yang memiliki kekuatan ekonomi yang besar dalam perekonomian dunia dilihat dari besarnya andil PDB yang berkisar antara 33 – 36 persen, ternyata secara rata-rata hanya memiliki pangsa pasar kurang dari 16 persen. Rendahnya pangsa pasar dibanding besarnya perekonomian negara-negara di Amerika yang dilokomotifi Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa yang dimotori 12 negara Uni Eropa disebabkan produk ekspor asal Indonesia harus bersaing ketat dengan produk-produk dari negara Amerika Serikat dan 12 negara Uni Eropa, disamping juga harus bersaing dengan produk-produk dari negara lainnya.

Gambar 4.5. Perkembangan Impor Menurut Jenis Barang/Jasa (dalam jutaan $ US) Tahun 2000 – 2006

Selain tren dan pangsa pasar ekspor, selanjutnya akan dibahas juga struktur barang-barang impor. Secara tidak langsung, struktur jenis barang-barang impor dapat menggambarkan tingkat ketergantungan perekonomian domestik terhadap perekonomian negara-negara asing. Sebagaimana disajikan dalam

0 100 200 300 400 500

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Barang Konsumsi Bahan Baku Barang Modal Jasa


(71)

Gambar 4.5, impor untuk jenis bahan baku memperlihatkan tren kenaikan yang cukup tinggi pada tahun 2000 – 2008, sementara untuk jenis barang-barang impor lainnya, meski terlihat adanya tren kenaikan impor namun besarnya kenaikan secara relatif maupun absolut masih lebih rendah dari kenaikan impor untuk bahan baku. Secara tidak langsung, impor bahan baku akan mempengaruhi besarnya permintaan akhir pada pasar domestik melalui konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah atas produk-produk domestik berbahan baku impor, sementara impor barang modal juga ikut mempengaruhi besarnya investasi untuk pembentukan modal tetap. Pada akhirnya kedua jenis barang impor ini akan ikut mempengaruhi penciptaan pendapatan nasional. Besarnya impor bahan baku dan juga impor barang modal ini menunjukkan tingkat ketergantungan perekonomian domestik terhadap perekonomian negara asing. Dari Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa seiring berjalannya waktu, tingkat ketergantungan perekonomian domestik terhadap perekonomian asing semakin tinggi, setidaknya dapat dilihat dari tren peningkatan impor bahan baku pada tiga tahun terakhir (tahun 2005 – 2008). 4.5. Jumlah Uang Beredar

Jumlah uang beredar (M1) selalu menjadi perhatian khusus dari otoritas moneter, atau dalam hal ini Bank Indonesia (BI). Secara langsung, maupun tidak langsung BI melakukan pengendalian atas jumlah uang beredar melalui paket kebijakan moneter untuk mempengaruhi beberapa besaran moneter lainnya seperti tingkat suku bunga, nilai tukar dan inflasi, termasuk mempengaruhi jumlah uang beredar itu sendiri agar tercipta stabilitas ekonomi dan moneter.


(72)

Gambar 4.6. Perkembangan Jumlah Uang Beredar (dalam triliun rupiah) Tahun 2007 – 2008

Perkembangan jumlah uang beredar (M1) pada tahun 2007 – 2008 menunjukkan tren peningkatan pada Januari – Desember 2007 dan secara terpisah pada tahun 2008 memperlihatkan tren peningkatan sampai dengan bulan September 2008. Dilihat dari besarnya faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang beredar, yaitu jumlah uang kartal dan uang giral, perkembangan jumlah uang beredar sangat dipengaruhi fluktuasi jumlah uang giral, dibanding perkembangan uang kartal. Uang giral yang merupakan simpanan yang mudah dicairkan (checkable deposit) secara tidak langsung mencerminkan kondisi likuiditas moneter.

Kebijakan penurunan suku bunga acuan (BI rate) pada tahun 2007 memperlihatkan kondisi likuiditas moneter yang tidak terlalu ketat sehingga terjadi tren peningkatan jumlah uang giral sepanjang tahun 2007. Sebaliknya kebijakan yang menaikkan BI rate sejak Mei 2008 menunjukkan kondisi likuiditas moneter yang mulai mengetat, terbukti dengan tren peningkatan uang giral yang

0 100 200 300 400 500 Ja n -0 7 F eb -0 7 M ar -0 7 A p r-0 7 M ei -0 7 Ju n -0 7 Ju l-0 7 A g u st -0 7 S ep -0 7 O k t-0 7 N o p -0 7 D es -0 7 Ja n -0 8 F eb -0 8 M ar -0 8 A p r-0 8 M ei -0 8 Ju n -0 8 Ju l-0 8 A g u st -0 8 S ep -0 8 O k t-0 8 N o p -0 8 D es -0 8


(73)

hanya sampai bulan Juni 2008, dan setelahnya turun sampai Agustus 2008. Meski pada September dan Oktober 2008 terjadi peningkatan jumlah uang giral namun pada dua bulan terakhir tahun 2008 kembali mengalami penurunan.

4.6. Nilai Tukar

Sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1998, sistem nilai tukar yang digunakan adalah sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate). Namun tekanan yang besar pada saat krisis mengakibatkan nilai tukar diambangkan secara bebas hingga sempat berada di atas kisaran Rp. 15.000,- per 1 US $. Pasca krisis ekonomi, nilai tukar tetap menganut sistem mengambang, namun bukan sistem mengambang bebas (free floating exchange rate) tetapi dengan sistem mengambang terkendali (managed floating exchange rate).

Salah satu strategi untuk menjaga stabilitas nilai tukar bagi perekonomian negara kecil terbuka seperti Indonesia adalah dengan menjaga keseimbangan ekspor netto. Besarnya ekspor netto tersebut akan mempengaruhi cadangan devisa (international reserve), yang seringkali digunakan oleh otoritas moneter untuk mempengaruhi nilai tukar melalui pasar valuta asing (foreign exchange market).

Gambar 4.7 memperlihatkan kondisi stabilitas nilai tukar pada triwulan 1 tahun 2007 – triwulan 2 tahun 2008. Dapat dilihat bahwa dengan ekspor netto yang cukup besar pada periode triwulan 1 tahun 2007 – triwulan 1 tahun 2008 membuat nilai tukar cukup stabil. Setelah periode tersebut, dimana ekspor netto mulai menipis, terlihat bahwa pada triwulan 2 dan triwulan 3 tahun 2008 nilai tukar masih relatif stabil, tetapi pada triwulan terakhir tahun 2008 nilai tukar


(74)

mulai terdepresiasi dengan cukup signifikan, sehingga membuat nilai 1 US $ mencapai lebih dari Rp. 10.000,-.

Gambar 4.7. Perkembangan Dolar AS dan Ekspor – Impor Indonesia Tahun 2007 – 2008

Disamping ekspor netto, pergerakan IHSG juga turut mempengaruhi besarnya nilai tukar atas dolar AS (Gambar 1.1). IHSG sebagai cermin dari kinerja pasar modal yang sudah terintegrasi dengan pasar internasional ikut menyebabkan besarnya cadangan devisa melalui perhitungan neraca modal, sementara ekspor netto melalui neraca pembayaran berjalan.

4.7. Tingkat Suku Bunga

Salah satu tujuan dari kebijakan moneter adalah melakukan stabilitas tingkat suku bunga. Kebijakan ini cukup penting karena bila terjadi fluktuasi yang besar dari tingkat suku bunga akan menciptakan kondisi ketidakpastian pada perekonomian sehingga menyebabkan kesulitan dalam perencanaan ke depan.

6.000 7.000 8.000 9.000 10.000 11.000 12.000 13.000 Ja n -0 7 F eb -0 7 M ar -0 7 A p r-0 7 M ei -0 7 Ju n -0 7 Ju l-0 7 A g u st -0 7 S ep -0 7 O k t-0 7 N o p -0 7 D es -0 7 Ja n -0 8 F eb -0 8 M ar -0 8 A p r-0 8 M ei -0 8 Ju n -0 8 Ju l-0 8 A g u st -0 8 S ep -0 8 O k t-0 8 N o p -0 8 D es -0 8

$ US (rupiah) Ekspor (jutaan US $) Impor (jutaan US $)


(75)

Pada hakikatnya, tingkat suku bunga dibagi dua kelompok besar yaitu suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman. Suku bunga simpanan yang relatif tinggi akan menyebabkan gairah untuk melakukan simpanan yang tinggi, tetapi akibatnya akan menyebabkan suku bunga pinjaman juga relatif tinggi dan ini menyebabkan gairah berinvestasi menjadi rendah. Oleh karenanya, penetapan tingkat suku bunga yang tinggi akan menyebabkan kesulitan pembiayaan ekonomi terutama pada sektor riil (pasar barang).

Gambar 4.8. Perkembangan Beberapa Tingkat Suku Bunga Simpanan (dalam persen) Agustus 2006 – Desember 2008

Gambar 4.8 memperlihatkan beberapa tingkat suku bunga untuk beberapa jenis simpanan, yaitu simpanan dalam obligasi Sertifikat Bank Indonesia (SBI), simpanan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) dan simpanan deposito berjangka. Pada periode Agustus 2006 – Desember 2008 dapat dilihat bahwa tingkat suku bunga simpanan tertinggi adalah suku bunga ORI. ORI yang merupakan salah satu sumber pembiayaan pengeluaran pemerintah, dalam 5 kupon yang telah diterbitkan sejak Agustus 2006, memberi imbal hasil yang lebih tinggi dari imbal

6 7 8 9 10 11 12 13 A g u st -0 6 S ep -0 6 O k t-0 6 N o p -0 6 D es -0 6 Ja n -0 7 F eb -0 7 M ar -0 7 A p r-0 7 M ei -0 7 Ju n -0 7 Ju l-0 7 A g u st -0 7 S ep -0 7 O k t-0 7 N o p -0 7 D es -0 7 Ja n -0 8 F eb -0 8 M ar -0 8 A p r-0 8 M ei -0 8 Ju n -0 8 Ju l-0 8 A g u st -0 8 S ep -0 8 O k t-0 8 N o p -0 8 D es -0 8


(76)

hasil yang diberikan oleh obligasi SBI, sebagai salah satu instrumen kebijakan moneter dari Bank Indonesia untuk mengendalikan jumlah uang beredar. Akibat besarnya imbal hasil dari ORI yaitu dengan menetapkan suku bunga ORI di atas suku bunga SBI dan bahkan di atas suku bunga deposito, maka banyak yang mengalihkan simpanan dalam bentuk deposito ke simpanan ORI. Pengalihan bentuk simpanan dari deposito ke ORI yang dipicu oleh tingginya tingkat suku bunga ORI ini menyebabkan terjadinya kesulitan pembiayaan ekonomi di sektor riil, ditandai dengan naiknya suku bunga pinjaman.

Gambar 4.9. Perkembangan Beberapa Tingkat Suku Bunga Pinjaman (dalam persen) Agustus 2006 – Desember 2008

Gambar 4.9 menunjukkan masih tingginya tingkat suku bunga pinjaman untuk kredit investasi, terutama pada Agustus – Desember 2006. Dampak dari tingginya suku bunga kredit investasi pada tahun 2006 adalah terjadinya kesulitan pembiayaan di sektor riil yang berujung pada crowding out of investment, sebagaimana diperlihatkan oleh Tabel 4.2 dengan rendahnya pertumbuhan investasi untuk pembentukan modal tetap pada tahun 2006, dan digantikan dengan

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 A g u st -0 6 S ep -0 6 O k t-0 6 N o p -0 6 D es -0 6 Ja n -0 7 F eb -0 7 M ar -0 7 A p r-0 7 M ei -0 7 Ju n -0 7 Ju l-0 7 A g u st -0 7 S ep -0 7 O k t-0 7 N o p -0 7 D es -0 7 Ja n -0 8 F eb -0 8 M ar -0 8 A p r-0 8 M ei -0 8 Ju n -0 8 Ju l-0 8 A g u st -0 8 S ep -0 8 O k t-0 8 N o p -0 8 D es -0 8


(77)

pertumbuhan pengeluaran pemerintah yang tinggi pada tahun yang sama, seperti terlihat pada Tabel 4.3. Nampaknya, pertumbuhan pengeluaran pemerintah yang tinggi tersebut didorong oleh suntikan pembiayaan yang bersumber dari lelang obligasi pemerintah, salah satunya adalah ORI.

Kebijakan Bank Indonesia yang sedianya berusaha mencegah penarikan modal ke luar negeri akibat krisis finansial global, yaitu dengan menaikkan kembali suku bunga acuan (BI rate) pada Mei 2008 ternyata menambah kesulitan pembiayaan ekonomi ditandai dengan naiknya suku bunga diskonto dan diikuti oleh suku bunga JIBOR yang merupakan suku bunga pinjaman pasar uang antar bank, sehingga berujung pada naiknya suku bunga kredit investasi. Strategi dari Bank Indonesia yang tidak berhasil dalam mencegah penarikan modal asing, terbukti dengan nilai tukar yang tetap mengalami tekanan, banyak menuai kritik kalangan dunia usaha, akademisi dan pengamat ekonomi. Akibat banyaknya kritik dari berbagai kalangan tersebut, akhirnya Bank Indonesia mulai menurunkan suku bungan acuan pada Desember 2008. Namun demikian koreksi atas kebijakan tersebut baru direspon oleh suku bunga SBI dan suku bunga JIBOR, sementara suku bunga kredit masih tetap bertengger di level 14 persen.


(78)

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, beberapa uji statistik akan digunakan untuk melihat kekuatan model dalam model simultan, pertama adalah ujiGoodness of fit(R2), untuk melihat kekuatan faktor-faktor yang mempengaruhi model dalam menjelaskan variasi variabel yang dipengaruhi dalam model. Kedua adalah F-test, yaitu uji parameter model secara simultan dan ketiga adalah t-test yang merupakan pengujian parameter model secara parsial. Khusus untuk statistik uji-F dan uji-t besarnya tingkat kesalahan yang akan dilihat adalah sebesar 1 persen, 5 persen dan 10 persen.

5.1. Analisis Model Konsumsi

Hasil regresi terhadap variabel yang mempengaruhi fungsi konsumsi untuk kondisi Indonesia, diperoleh persamaan berikut :

C(t)= 34,1271012+ 0,013710 Y(t)+0,238305 Y(t-1)+ 0,454483 C(t-1) Tabel 5.1. Hasil Pengujian Statistik Model Konsumsi

Variabel Koefisien T Sig T F – testdanR square

Y(t) ,013710 ,331 ,7438 F – test = 1835,16909

Y(t-1) ,238305 6,858 ,0000 Sig F = ,0000

C(t-1) ,454483 4,734 ,0001

(Constant) 34127428496168,2 4,802 ,0001 R square = ,99819 Berdasarkan uji statistik terhadap fungsi konsumsi seperti terlihat pada Tabel 5.1, dapat diketahui bahwa model persamaan konsumsi dapat menjelaskan 99,82 persen variasi dari konsumsi dalam model, sementara untuk uji parameter secara simultan dapat dilihat F-test menunjukkan derajat kesalahan yang kecil


(79)

yaitu 1 persen. Lebih lanjut mengenai uji parameter secara parsial, t-test untuk variabel pendapatan nasional pada periode berjalan (t) ternyata tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap konsumsi pada periode berjalan pada tingkat kesalahan 10 persen, sedang variabel lainnya mempunyai pengaruh yang signifikan pada tingkat kesalahan 1 persen.

Interpretasi dari model persamaan fungsi konsumsi adalah besarnya konsumsi autonomus adalah 34,127 triliun rupiah. Konsumsi autonomus ini bisa diartikan sebagai basic consumption yaitu standar minimal konsumsi yang harus dikeluarkan untuk mencukupi kebutuhan dasar. Bagi beberapa negara maju telah mencapai tingkat pendapatan per kapita yang cukup tinggi, konsumsi autonomus merupakan life style, karena kebutuhan dasar tentunya sudah tercukupi, sehingga kenaikan pendapatan akan menggeser konsumsi autonomus lebih tinggi.

Selain konsumsi autonomus, konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh konsumsi dan pendapatan nasional periode sebelumnya. Besarnya pengaruh konsumsi periode sebelumnya terhadap konsumsi saat ini adalah 0,454483; artinya bila kenaikan konsumsi pada periode sebelumnya sebesar 1 triliun rupiah, dengan asumsi ceteris paribus maka konsumsi pada saat ini akan naik sebesar 454,483 miliar rupiah. Selanjutnya untuk pengaruh pendapatan periode sebelumnya terhadap konsumsi saat ini adalah 0,238305 atau setiap terjadi kenaikan pendapatan pada periode sebelumnya sebesar 1 triliun rupiah, dengan asumsiceteris paribus konsumsi saat ini akan merespon dengan kenaikan sebesar 238,305 miliar rupiah.


(80)

Masih dari estimasi fungsi konsumsi, pendapatan nasioanal pada periode berjalan ternyata tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap konsumsi periode berjalan. Artinya jika ada kenaikan pendapatan nasional pada saat ini tidak direspon langsung dalam pengeluaran konsumsi. Bukti adanya kenaikan pendapatan nasional periode berjalan tidak berpengaruh pada konsumsi periode berjalan dapat dilihat pada bab sebelumnya dimana kenaikan pendapatan nasional, termasuk pendapatan rumah tangga ternyata menurunkan persentase andil konsumsi terhadap pendapatan nasional. Fakta ini menunjukkan hipotesis dari Fisher mengenai fungsi konsumsi saat ini yang dipengaruhi oleh tingkat pendapat dan perilaku konsumsi sebelumnya.

5.2. Analisis Model Investasi

Sebagaimana telah diulas pada bab sebelumnya, untuk fungsi investasi dibagi menjadi dua, yaitu investasi untuk pembentukan modal tetap dan investasi untuk persediaan. Fungsi investasi yang akan dibahas hanya investasi pembentukan modal tetap sebagai variabel endogen, sementara untuk investasi untuk persediaan tidak dibahas karena merupakan variabel eksogen.

Hasil estimasi dari model persamaan regresi terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi investasi pembentukan modal tetap, adalah sebagai berikut : IFIX(t)= – 16,9251012 + 0,150009 Y(t)+ 0,154849 Y(t-1) – 1,4701012 rIV(t) Tabel 5.2. Hasil Pengujian Statistik Model Investasi

Variabel Koefisien T Sig T F – testdanR square

Y(t) ,150009 2,388 ,0269 F – test = 278,31084

rIV(t) -1470418333590 -2,920 ,0085 Sig F = ,0000

Y(t-1) ,154849 2,563 ,0185


(81)

Dari uji statistik terhadap fungsi investasi dapat diketahui bahwa model persamaan investasi dapat menjelaskan 98,82 persen variasi dari investasi pembentukan modal tetap dalam model (Tabel 5.2). Selanjutnya untuk uji parameter secara simultan dapat dilihat F-test menunjukkan hasil yang signifikan dengan tingkat kesalahan 1 persen. Sementara pada uji parameter secara parsial diperoleh t-test yang signifikan pada tingkat kesalahan () sebesar 5 persen untuk variabel pendapatan nasional periode berjalan dan periode , sedangkan untuk tingkat suku bunga kredit investasi pada periode berjalan terlihat signifikan pada tingkat kesalahan 1 persen. Pada tingkat kesalahan sebesar 10 persen, terlihat bahwa untuk konstanta tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap investasi pembentukan modal tetap pada periode berjalan.

Estimasi terhadap model persamaan investasi pembentukan modal tetap menyatakan besarnya pengeluaran investasi untuk tujuan pembentukan modal tetap pada saat ini dipengaruhi oleh besarnya pendapatan nasional saat ini dan periode sebelumnya serta tingkat suku bunga investasi pada saat ini. Besarnya pengaruh pendapatan nasional periode berjalan terhadap pembentukan modal tetap adalah 0,150009 yang berarti dalam kondisi ceteris paribusbila pendapatan nasional saat ini naik 1 triliun rupiah maka pembentukan modal tetap akan naik 150,009 miliar rupiah. Pengaruh pendapatan nasional periode sebelumnya terhadap pembentukan modal tetap saat ini adalah 0,154849; artinya bila terjadi kenaikan pendapatan nasional pada periode sebelumnya sebesar 1 triliun rupiah, maka dalam kondisi ceteris paribus pembentukan modal tetap saat ini akan


(82)

meningkat sebesar 154,849 miliar rupiah. Sementara untuk tingkat suku bunga kredit investasi saat ini, pengaruhnya terhadap pembentukan modal tetap saat ini dalam kondisi ceteris paribus adalah – 1,470  1012. Ini berarti setiap ada kenaikan tingkat suku bunga kredit investasi saat ini sebesar 1 persen maka akan direspon dengan penurunan investasi untuk pembentukan modal tetap sebesar 1,470 triliun rupiah, demikian pula sebaliknya jika suku bunga turun maka pembentukan modal tetap meningkat.

Merujuk pada beberapa literatur makro ekonomi, model persamaan pengeluaran investasi untuk pembentukan modal tetap ini sudah sesuai dengan teori yang ada, artinya pendapatan nasional saat ini dan tingkat suku bunga pinjaman kredit investasi memberikan pengaruh signifikan terhadap investasi untuk pembentukan modal tetap. Penambahan variabel pendapatan nasional periode sebelumnya pada model tidak lain karena jenis data yang digunakan adalah data triwulanan, yang periode waktunya cukup pendek. Sementara jika dilihat dari wujud fisiknya, pembentukan modal tetap ternyata tidak hanya terbatas pada realiasasi investasi dalam bentuk modal kerja seperti mesin dan perlengkapannya saja, akan tetapi termasuk juga investasi yang berwujud bangunan untuk kerja dan alat transportasi untuk operasional kerja. Bila merujuk pada besarnya proporsi jenis fisik investasi sebagaimana diperlihatkan oleh Gambar 4.2, maka dapat disimpulkan bahwa besarnya investasi yang berwujud bangunan merupakan alasan atas kuatnya pengaruh dari tingkat suku bunga pinjaman kredit investasi saat ini dan pendapatan nasional, baik periode berjalan dan periode sebelumnya atas investasi untuk pembentukan modal tetap.


(83)

5.3. Analisis Model Pengeluaran Pemerintah

Hasil estimasi dengan metode regresi terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah adalah sebagai berikut :

G(t)= (– 18, 49682 1012) + 0,149997 Y(t-1) – 0, 377291 G(t-1) Tabel 5.3. Hasil Pengujian Statistik Model Pengeluaran Pemerintah

Variabel Koefisien T Sig T F – testdanR square

Y(t-1) ,149997 6,342 ,0000 F – test = 22,67310

G(t-1) -,377291 -2,047 ,0534 Sig F = ,0000

(Constant) -1,849682E+013 -2,189 ,0400 R square = ,82673

Besarnya koefisien determinasi adalah 82,67 persen, artinya model dapat menerangkan variasi pengeluaran pemerintah sebesar 82,67 persen, sedang sisanya 17,37 persen ditentukan oleh variabel lain di luar model. Pengujian terhadap model selanjutnya adalah pengujian atas penduga parameter model secara simultan atau bersama-sama. Nilai F-test yang diperoleh dari model adalah 22,673; dimana nilai tersebut signifikan pada tingkat kesalahan sebesar 1 persen (Tabel 5.3). Hasil pengujian ini menyatakan bahwa secara bersama-sama penduga parameter model cukup berarti/signifikan dalam menerangkan hubungan variabel-variabel yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah.

Pengujian atas penduga parameter model lainnya adalah t-test yang merupakan statistik uji penduga parameter secara parsial. Hasil t-test terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah saat ini adalah pendapatan nasional periode sebelumnya yang signifikan pada tingkat kesalahan 1 persen, serta pengeluaran pemerintah pada periode sebelumnya yang signifikan pada tingkat kesalahan 10 persen.


(84)

Arti dari masing-masing penduga parameter pada model regresi persamaan pengeluaran pemerintah ini adalah sebagai berikut :

― pengaruh kenaikan pendapatan nasional triwulan sebelumnya terhadap pengeluaran pemerintah triwulan berjalan adalah 0,149997; yang berarti jika dalam kondisi ceteris paribus terjadi kenaikan pendapatan nasional pada triwulan sebelumnya sebesar 1 triliun rupiah, pengeluaran pemerintah pada triwulan berjalan akan naik sebesar 149,997 miliar rupiah

― pengaruh pengeluaran pemerintah pada periode sebelumnya terhadap pengeluaran pemerintah saat ini adalah – 0,377291; artinya jika dalam kondisi

ceteris paribus pengeluaran pemerintah pada periode sebelumnya naik sebesar 1 triliun rupiah maka pengeluaran pemerintah pada saat ini akan berkurang 377,291 miliar rupiah.

Menurut aturan keuangan negara, pengeluaran belanja pemerintah diatur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang disusun setiap tahun kalender. Oleh karenanya dalam model pengeluaran pemerintah yang menggunakan data triwulanan, bila pengeluaran pada triwulan sebelumnya naik maka pengeluaran pada triwulan berjalan akan turun, mengingat adanya pagu anggaran setiap tahunnya. Terkait dengan kenaikan pendapatan nasional dapat dilihat adanya delayed purchasing, dimana kenaikan pendapatan nasional pada triwulan sebelumnya yang memberikan pengaruh positif pada pengeluaran belanja pemerintah triwulan


(85)

5.4. Analisis Model Ekspor

Estimasi dari persamaan fungsi ekspor melalui model regresi kuadrat terkecil dua tahap (2SLS) diperoleh hasil berikut :

EX(t)= ( – 95,081 1012) + 19,954422 YF(t)+ ( 2,644 109) E(t) Tabel 5.4. Hasil Pengujian Statistik Model Ekspor

Variabel Koefisien t Sig t F – testdanR square

YF(t) 19,954422 7,929 ,0000 F – test = 262,63178

E(t) 2644426295,4541 1,969 ,0622 Sig F = ,0000

(Constant) -9,508051E+013 -5,204 ,0000 R square = ,98059

Besarnya koefisien determinasi yang diperoleh adalah 98,06 persen dengan F-test sebesar 262,63 yang signifikan pada tingkat kesalahan () 1 persen (Tabel 5.4). Artinya model tersebut cukup baik, karena dapat menerangkan variasi dari ekspor sebesar 98,06 persen dan secara bersama-sama penduga parameter dari model cukup signifikan dalam menerangkan arah serta besarnya kekuatan hubungan antara variabel-variabel penjelas terhadap ekspor. Disamping itu dari pengujian penduga parameter model secara parsial, diketahui bahwa seluruh variabel penjelas termasuk konstanta setidaknya signifikan pada tingkat kesalahan 10 persen.

Merujuk pada model persamaan fungsi ekspor, dapat diketahui bahwa besarnya pengaruh dari kenaikan kenaikan harga dolar Amerika Serikat sebesar 1 rupiah maka akan mempengaruhi ekspor sebesar 2,644  109. Artinya, dalam konteks perdagangan luar negeri, dalam kondisi variabel lainnya dianggap


(86)

konstan, bila rupiah terdepresiasi sebesar 1 rupiah maka akan terjadi peningkatan ekspor senilai 2,644 miliar rupiah. Sedang jika terjadi peningkatan pendapatan luar negeri sebesar 1 miliar $ US, maka dalam kondisi variabel lainnya dianggap konstan, ekspor akan meningkat senilai 19,954 miliar rupiah, sebagaimana dinyatakan dalam model melalui besarnya koefisien atau penduga parameter dari pendapatan luar negeri yang besarnya adalah 19,954.

Estimasi pada model persamaan fungsi ekspor menunjukkan bahwa hasilnya sudah sesuai ditinjau dari sudut pandang teori ekonomi makro ataupun teori perdagangan internasional, dimana untuk kasus perekonomian Indonesia yang masuk dalam kategori perekonomian negara kecil terbuka, ekspor sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan luar negeri dan nilai tukar mata uang domestik, relatif terhadap mata uang asing. Bila terjadi depresiasi mata uang domestik, maka secara relatif harga-harga barang ekspor akan lebih murah dibanding harga barang dari luar negeri, sehingga akan terjadi ekspor. Demikian pula bila terjadi kenaikan tingkat pendapatan di negara-negara asing, secara relatif harga barang ekspor asal Indonesia secara relatif akan lebih murah dibanding harga barang dari negara asing, dan tentunya akan timbul juga arus perdagangan dari dalam ke luar negeri.

5.5. Analisis Model Impor

Hasil pendugaan melalui model regresi terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi impor, diperoleh persamaan berikut :


(87)

Berdasarkan model persamaan impor dapat diketahui besarnya koefisien determinasi adalah 96,68 persen, sedangkan hasil penghitungan F-test adalah sebesar 150,50 (Tabel 5.5). Kedua statistik uji tersebut merupakan informasi berharga yang menyatakan tingkat validitas model. Statistik uji pertama, yaitu koefisien determinasi menyatakan bahwa model mampu menjelaskan adanya variasi dari variabel impor sebesar 96,68 persen, dengan demikian pengaruh dari variabel lainnya di luar model hanya sebesar 3,32 persen. Selanjutnya, untuk statistik uji kedua, yaitu F- test diperoleh hasil yang signifikan pada tingkat kesalahan sebesar 1 persen. Statistik ini menyatakan bahwa hasil pengujian terhadap penduga parameter model secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel impor.

Tabel 5.5. Hasil Pengujian Statistik Model Impor

Variabel Koefisien t Sig t F – testdanR square

Y(t) ,900065 7,003 ,0000 F – test = 150,50115

E(t) -2284936804,151 -1,155 ,2612 Sig F = ,0000

(Constant) -2,139509E+014 -6,314 ,0000 R square = ,96684 Masih merujuk pada hasil pengujian model, diperoleh nilai t-test yang signifikan pada tingkat kesalahan 1 persen untuk variabel pendapatan nasional, sedang untuk variabel nilai tukar tidak signifikan pada tingkat kesalahan 10 persen. Dengan demikian, nilai tukar tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap impor, sementara variabel pendapatan nasional memberikan pengaruh yang signifikan.

Interpretasi dari model regresi persamaan impor adalah nilai impor sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan nasional, sementara nilai tukar tidak


(88)

memberikan pengaruh yang signifikan. Besarnya pengaruh pendapatan nasional terhadap impor adalah 0,900065; artinya dalam kondisi variabel lainnya dianggap tidak berubah, jika pendapatan nasional naik sebesar 1 triliun rupiah, maka impor akan naik sebesar 900,065 miliar rupiah. Dari model yang menyatakan bahwa impor hanya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan nasional tanpa adanya pengaruh nilai tukar memang tidak dapat dipungkiri, karena bila dilihat dari jenis barang-barang impor sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4.5; sebagian besar impor merupakan jenis bahan baku yang digunakan oleh sektor industri manufaktur dalam proses produksi. Agaknya, fakta inilah yang menjadi alasan utama mengapa nilai tukar tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap impor. 5.6. Analisis Model Permintaan Uang

Hasil regresi terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi permintaan uang, diperoleh persamaan berikut :

Md(t)= (– 73,581 1012) + 0,579255 Y(t)– (1,113 1012) rDP(t) Tabel 5.6. Hasil Pengujian Statistik Model Permintaan Uang

Variabel Koefisien t Sig t F – testdanR square

Y(t) ,579255 7,004 ,0000 F – test = 25,16694

rDP(t) -1113303091247 -,615 ,5455 Sig F = ,0000

(Constant) -7,358073E+013 -1,791 ,0878 R square = ,84001

Besarnya koefisien determinasi dari model persamaan permintaan uang seperti dapat dilihat pada Tabel 5.6 adalah 84,00 persen, artinya model mampu menjelaskan variasi dari permintaan uang sebesar 84,00 persen, sedang sisanya 16,00 persen ditentukan oleh variabel lain di luar model. Secara statistik, koefisien


(89)

determinasi ini sudah cukup baik dalam menerangkan model. Selanjutnya bila dilihat dari nilai F-test yang signifikan pada tingkat kesalahan 1 persen, dapat diketahui bahwa secara bersama-sama penduga parameter model memberikan pengaruh yang signifikan terhadap permintaan uang. Sementara dari nilai t-test, ternyata hanya variabel pendapatan nasional saja yang memberikan pengaruh signifikan pada permintaan uang, sementara variabel suku bunga deposito tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Adapun tingkat kesalahan yang digunakan untuk variabel pendapatan nasional adalah 1 persen, sedang untuk suku bunga deposito sebesar 10 persen.

Berdasarkan hasil pengujian model, diperoleh persaman untuk permintaan uang yang hanya dipengaruhi oleh variabel pendapatan nasional saja, karena secara statistik, ternyata suku bunga deposito tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap permintaan uang. Besarnya pengaruh pendapatan nasional terhadap permintaan uang adalah 0,579255; yang berarti kenaikan pendapatan nasional sebesar 1 triliun rupiah akan direspon dengan naiknya permintaan uang sebesar 579,255 miliar rupiah, jika variabel lainnya dianggap tidak berubah. Dengan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari suku bunga tabungan yang memiliki tingkat likuiditas yang rendah, yang diwakili oleh suku bunga deposito, maka praktis persamaan permintaan uang yang hanya dipengaruhi oleh pendapatan nasional dapat disederhanakan ke dalam bentuk persamaan kuantitas uang dari kaum monetaris, dengan tentunya mengabaikan konstanta yang hanya signifikan pada tingkat kesalahan 10 persen dan bukan tingkat kesalahan 5 persen.


(90)

Meski berdasarkan pengujian statistik terhadap penduga parameter model persamaan permintaan uang bisa disederhanakan, akan tetapi perlu diingat besarnya koefisien determinasi dari model adalah 84,00 persen, sehingga tidak menutup kemungkinan akan adanya pengaruh dari variabel lain di luar model. Dilihat dari sifatnya, suku bunga simpanan yang memiliki tingkat likuiditas rendah selain suku bunga deposito adalah suku bunga obligasi dari Bank Indonesia dan Surat Berharga Negara yang merupakan obligasi yang diterbitkan pemerintah. Bila ditelusuri lebih lanjut, tingkat imbal hasil yang diberikan oleh Surat Berharga Negara seperti Obligasi Ritel Indonesia (ORI) yang mulai diterbitkan pada Agustus 2006 ternyata lebih tinggi dari suku bunga deposito dan suku bunga SBI, kecuali untuk suku bunga SBI triwulanan pada Juli, Agustus dan November 2008 (Gambar 4.8). Walau sepertinya suku bunga atau imbal hasil dari obligasi pemerintah bisa digunakan untuk menggantikan variabel suku bunga deposito dalam model, akan tetapi perlu diingat bahwa, perubahan tingkat suku bunga dari obligasi pemerintah hanya setiap enam bulan sekali, sesuai dengan jadual penerbitan kupon obligasi, tidak seperti suku bunga lainnya yang cukup responsif menghadapi perubahan pasar. Untuk pemodelan, variabel suku bunga obligasi pemerintah tentunya kurang baik digunakan karena kurang responsif terhadap variabel lainnya, termasuk kurang peka terhadap gejolak pasar. 5.7. Analisis Model Penawaran Uang

Hasil regresi terhadap variabel yang mempengaruhi penawaran uang, diperoleh persamaan berikut :


(91)

Dari Tabel 5.7, hasil pengujian statistik dengan menggunakan koefisien determinasi yang besarnya 78,98 persen memperlihatkan bahwa model memiliki kemampuan model dalam menjelaskan keragaman penawaran uang. Dari koefisien determinasi ini dapat diketahui bahwa adanya pengaruh dari variabel lain di luar model terhadap penawaran uang sebesar 22,02 persen. Selanjutnya, hasil F-test menunjukkan bahwa dengan nilai statistik uji sebesar 17,410; berarti secara bersama-saman penduga parameter model sangat signifikan pada tingkat kesalahan 1 persen, dalam menjelaskan pengaruh hubungan dari variabel dalam model terhadap permintaan uang. Sementara untuk pengujian keberartian penduga parameter secara sendiri-sendiri atau secara parsial menunjukkan hasil yang cukup memuaskan karena nilai t-test dari seluruh koefisien dalam model minimal sudah signifikan pada tingkat kesalahan () 10 persen.

Tabel 5.7. Hasil Pengujian Statistik Model Penawaran Uang

Variabel Koefisien t Sig t F – testdanR square

rJIB(t) -4610181549321 -1,944 ,0655 F – test = 17,40793

E(t) 7938277893,2273 5,302 ,0000 Sig F = ,0000

(Constant) 106676105460639 3,586 ,0017 R square = ,78979 Merujuk pada hasil pengujian statistik terhadap model persamaan penawaran uang dapat dilihat bahwa penawaran uang yang mencerminkan tingkat likuiditas keuangan, sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga JIBOR, yang merupakan suku bunga dari pasar uang antar bank dan nilai tukar. Suku bunga JIBOR adalah salah satu instrumen pasar cadangan antar bank (reserve market) yang merupakan respon pasar atas kebijakan bank sentral dalam menetapkan suku bunga acuan (BI rate), suku bunga diskonto (discount rate) dan besarnya


(92)

cadangan wajib bank (reserve requirement) atau lebih dikenal masyarakat dengan istilah Giro Wajib Minimum (GWM). Akibat kebijakan bank sentral tersebut, bank yang mempunyai kelebihan cadangan (excesses reserve) memiliki tingkat likuiditas yang tinggi sehingga dapat memberi pinjaman pada bank yang memiliki kesulitan likuiditas. Proses pinjam-meminjam antar bank inilah yang kemudian menimbulkan penciptakan simpanan (deposit creation) yang akan mempengaruhi jumlah uang beredar (M1) yang merupakan penawaran uang.

Menurut model, besarnya pengaruh dari suku bunga JIBOR terhadap penawaran uang adalah – 4,610  10 12; artinya jika variabel lainnya dianggap tetap, kenaikan suku bunga JIBOR sebesar 1 persen akan mengurangi jumlah uang beredar (M1) sebanyak 4,610 triliun rupiah. Sementara besarnya pengaruh nilai tukar terhadap jumlah uang beredar adalah 7,938 109; artinya jika variabel lainnya dianggap tetap, adanya kenaikan nilai dolar AS atau terjadi depresiasi rupiah sebesar 1 rupiah, maka jumlah uang beredar akan bertambah senilai 7,938 miliar rupiah.

5.8. Analisis Model Nilai Tukar

Model regresi dari variabel-variabel yang mempengaruhi nilai tukar, diperoleh persamaan berikut :

E(t)= ( – 437,636291) – ( 0,27830 10- 9) NX(t)– 1,800071 Q(t) Tabel 5.8. Hasil Pengujian Statistik Model Nilai Tukar

Variabel Koefisien t Sig t F – testdanR square

NX(t) 2,783020E-010 ,944 ,0655 F – test = 15,64802

Q(t) 1,800071 2,335 ,0296 Sig F = ,0001


(93)

Dari Tabel 5.8 dapat dilihat besarnya koefisien determinasi dari model regresi persamaan nilai tukar adalah 77,36 persen; artinya model dapat menjelaskan keragaman nilai tukar sebesar 77,36 persen, sementara sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Selanjutnya, hasil penghitungan F-test model menunjukkan bahwa secara bersama-sama, penduga parameter model mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap nilai tukar dengan tingkat kesalahan 1 persen. Pengujian statistik berikutnya adalah uji keberartian penduga parameter model secara parsial melalui t-test yang menunjukkan hasil yang signifikan pada tingkat kesalahan sebesar 5 persen untuk variabel Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) atau diberi notasi “Q” dan pada tingkat kesalahan 1 persen untuk variabel ekspor netto (NX). Dengan demikian, baik secara bersama-sama atau secara simultan maupun secara parsial, variabel IHSG dan variabel ekspor netto memberikan pengaruh yang berarti terhadap nilai tukar.

Penggunaan IHSG sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi nilai tukar dalam pemodelan struktural analisis keterkaitan pasar barang dan pasar uang memang jarang digunakan dalam beberapa penelitian sebelumnya. Namun perlu dicermati dalam beberapa tahun terakhir, IHSG sebagai leading indicator

ekonomi menunjukkan kinerja pasar saham domestik yang sudah cukup terintegrasi dengan pasar saham internasional (Bank Indonesia, 2009). Memburuknya kinerja pasar saham domestik yang diperlihatkan dengan anjloknya IHSG secara tidak langsung memberi sinyalemen telah terjadinya penarikan modal dari investor asing (capital outflow). Berdasarkan penjelasan tersebut, hasil pemodelan menunjukkan besarnya pengaruh IHSG terhadap nilai tukar adalah


(94)

1,800071; artinya jika IHSG naik sebesar 100 basis poin sementara variabel lainnya dianggap konstan, maka nilai tukar akan terapresiasi 183,52 rupiah. Dengan kata lain, jika indeks terkoreksi naik sebesar 100 poin, maka nilai tukar akan turun sebesar 180,01 rupiah.

Masih dari pemodelan, dapat dilihat besarnya pengaruh ekspor netto terhadap nilai tukar adalah – 0,27830  10- 9; artinya jika ekspor netto naik sebesar 1 miliar rupiah sementara variabel lainnya dianggap konstan, maka nilai tukar akan turun sebesar 0,28 rupiah, sehingga terjadi apresiasi terhadap nilai tukar. Untuk kasus Indonesia dengan perekonomian negara kecil terbuka, besarnya stabilitas ekspor netto harus dijaga mengingat pengaruhnya terhadap nilai tukar cukup besar, karena jika terjadi apresiasi nilai tukar yang demikian besar akan mengakibatkan nilai barang-barang ekspor Indonesia di pasar internasional menjadi lebih mahal sehingga berdampak pada penurunan ekspor dan pada akhirnya akan membuat ekspor netto menjadi negatif. Perlu diingat dalam pembahasan sebelumnya, impor tidak terpengaruh oleh nilai tukar karena sebagian besar barang impor untuk Indonesia adalah jenis bahan baku dari sektor industri manufaktur.

5.9. Analisis Model Suku Bunga

Pembahasan mengenai tingkat suku bunga memang sedikit berbeda dengan variabel lainnya karena cenderung lebih rinci. Sangat disadari bahwa perilaku dari suku bunga berbeda-beda sehingga untuk pemodelan makro ekonomi tidak mungkin untuk menyatakan proses mekanisme transmisi dengan hanya menggunakan satu jenis suku bunga saja, karena setidaknya tingkat suku bunga


(95)

dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu suku bunga pinjaman dan suku bunga pinjaman.

4.2.9.1. Model Suku Bunga JIBOR

Suku bunga JIBOR merupakan kelompok suku bunga pinjaman pada pasar uang antar bank. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, terjadinya proses pinjam-meminjam antar bank ini merupakan akibat adanya kelebihan cadangan (excesses reserve) dari bank yang memiliki kelonggaran likuiditas terhadap bank yang menghadapi kesulitan likuiditas. Dalam teori ekonomi moneter, kegiatan pinjam-meminjam antar bank ini merupakan salah satu bentuk pasar uang, yaitu pasar cadangan (reserve market).

Hasil estimasi dari model persamaan regresi terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi suku bunga JIBOR, adalah sebagai berikut :

rJIB(t)= 3,725227 + 0,886846 rSBI(t)– ( 19,58310- 15) Ms(t) Tabel 5.9. Hasil Pengujian Statistik Model Suku Bunga JIBOR

Variabel Koefisien t Sig t F – testdanR square

Ms(t) 1,958271E-014 ,944 ,115 F – test = 45,04265

rSBI(t) ,886846 8,632 ,0000 Sig F = ,0000

(Constant) 3,725227 2,371 ,0274 R square = ,90053 Pengujian statistik terhadap model memperlihatkan bahwa besarnya koefisien determinasi adalah sebesar 90,05 persen, sementara dari penghitungan F-test dan t-test menunjukkan hasil yang signifikan, setidaknya pada tingkat kesalahan sebesar 5 persen. Berdasarkan pengujian statistik tersebut, model yang diperoleh sudah mampu menjelaskan keragaman dari suku bunga JIBOR sebesar 90,05 persen. Sementara dari hasil pengujian terhadap koefisien variabel dari


(96)

model, baik secara simultan maupun secara parsial menunjukkan pengaruh yang signifikan dari variabel suku bunga SBI dan jumlah uang beredar (M1) terhadap suku bunga JIBOR (Tabel 5.9).

Meski pengaruh dari kedua variabel tersebut signifikan, akan tetapi jika melihat koefisien determinasi yang besarnya 90,05 persen; berarti ada pengaruh dari variabel lain di luar model yang mempengaruhi besarnya tingkat suku bunga JIBOR. Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian mengenai penawaran uang, beberapa variabel yang tidak menutup kemungkinan akan berpengaruh pada suku bunga JIBOR adalah suku bunga diskonto dan GWM. Namun perlu dicatat bahwa besarnya suku bunga diskonto hampir sama dengan tingkat suku bunga SBI sehingga suku bunga diskonto sudah diwakili oleh tingkat suku bunga SBI, sementara GWM nilainya cenderung konstan minimal dalam setahun pada pemodelan ekonomi tentunya tidak baik digunakan.

Besarnya pengaruh dari suku bunga SBI terhadap suku bunga JIBOR adalah 0,886846; artinya bila suku bunga SBI naik sebesar 1 persen sementara variabel lainnya dianggap tetap maka suku bunga JIBOR akan naik sebesar 0,887 persen. Sementara pengaruh dari jumlah uang beredar adalah sebesar – 19,582710- 15; yang berarti jika ada peningkatan jumlah uang beredar sebesar 10 triliun ke dalam perekonomian, sementara variabel lainnya dianggap konstan, maka suku bunga JIBOR akan turun 0,20 persen. Berdasarkan pijakan teori, bila jumlah uang beredar (money supply) bertambah maka suku bunga akan turun. Penjelasan di balik penurunan suku bunga tersebut adalah dengan tambahan jumlah uang beredar berarti terjadi kelonggaran likuiditas keuangan yang akan


(97)

mempengaruhi permintaan akan peminjaman cadangan bank. Pengaruh dari kelonggaran likuiditas yang menurunkan permintaan cadangan bank tentunya akan mengakibatkan turunnya tingkat suku.

4.2.9.2. Model Suku Bunga Deposito

Berbeda dengan suku bunga JIBOR, suku bunga deposito masuk dalam kelompok suku bunga simpanan. Namun demikian perilaku dari tabungan deposito ini berbeda dengan tabungan biasa karena untuk deposito merupakan tabungan berjangka (time deposit) yang tidak dapat diambil sewaktu-waktu namun memberikan imbal hasil yang lebih tinggi dari tabungan biasa yang mudah untuk dicairkan sewaktu-waktu.

Estimasi dari model regresi persamaan suku bunga deposito, diperoleh hasil berikut :

rDP(t)= –1,447375 + 1,118460 rSBI(t)– ( 2,79310- 15) Ms(t) Tabel 5.10. Hasil Pengujian Statistik Model Suku Bunga Deposito

Variabel Koefisien t Sig t F – testdanR square

Ms(t) -2,793469E-015 ,944 ,0655 F – test = 265,80216

rSBI(t) 1,118460 22,801 ,0000 Sig F = ,0000

(Constant) -1,447375 -1,930 ,0673 R square = ,98082

Koefisien determinasi sebesar 98,08 persen menyatakan bahwa model sudah dapat menjelaskan keragaman suku bunga deposito sebesar 98,08 persen, sementara sisanya 1,92 persen dijelaskan oleh penyebab lain di luar model. Dilihat dari besarnya nilai koefisien determinasi tersebut, kecil kemungkinan ada variabel lain di luar model yang berpengaruh pada suku bunga deposito. Kemungkinan,


(98)

sisa sebesar 1,92 persen berasal dari gangguan model yang berarti faktor yang memang tidak dapat dijelaskan dalam model (Tabel 5.10).

Pengujian selanjutnya adalah pengujian terhadap penduga parameter model, baik secara simultan maupun secara parsial. Hasil F-test dan t-test menunjukkan bahwa baik secara parsial maupun secara simultan, seluruh variabel dalam model berpengaruh secara signifikan terhadap suku bunga deposito pada tingkat kesalahan sebesar 1 persen, kecuali konstanta pada tingkat kesalahan 10 persen. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel dapat digunakan untuk menduga arah dan besarnya pengaruh terhadap suku bunga deposito.

Pengaruh dari suku bunga SBI terhadap suku bunga deposito adalah sebesar 1,118460; berarti dalam kondisiceteris paribus, jika suku bunga SBI naik 1 persen maka suku bunga deposito akan naik sebesar 1,12 persen. Berdasarkan model, adanya pengaruh positif dari suku bunga SBI terhadap suku bunga deposito bisa diduga sebelumnya, karena suku bunga SBI merupakan suku bunga acuan yang akan mempengaruhi tingkat suku bunga lainnya dalam sistem perbankan.

Selain suku bunga SBI, variabel yang juga berpengaruh terhadap suku bunga deposito adalah jumlah uang beredar (M1). Besarnya pengaruh kenaikan jumlah uang beredar dalam model adalah – 2,793  10- 15; artinya jika variabel lainnya dianggap tetap, sementara terjadi kenaikan jumlah uang beredar sebesar 100 triliun, maka suku bunga deposito akan turun 0,28 persen. Seperti pada penjelasan mengenai suku bunga JIBOR, adanya kenaikan jumlah uang beredar


(99)

akan menyebabkan suku bunga turun. Penyebab kondisi ini adalah ketika jumlah uang bertambah maka masyarakan akan memegang uang lebih banyak dari yang dikehendakinya untuk dipegang. Akibatnya, kelebihan jumlah uang yang dipegang tersebut akan disimpan, salah satunya dalam bentuk simpanan deposito dengan harapan mendapat imbal hasil sebesar suku bunga deposito, yang merupakan opportunity cost dari memegang uang. Dengan meningkatnya keinginan masyarakan untuk menyimpan uang maka pasar uang akan bereaksi dengan menurunkan suku bunga deposito untuk mengurangi keinginan untuk menyimpan uang.

4.2.9.3. Model Suku Bunga Kredit Investasi

Hasil regresi terhadap variabel yang mempengaruhi suku bunga kredit investasi, diperoleh persamaan berikut :

rIV(t)= 12,423461 + 0,424670 rDP(t) – 0,01316 Q(t)

Tabel 5.11. Hasil Pengujian Statistik Model Suku Bunga Investasi

Variabel Koefisien T Sig T F – testdanR square

rDP(t) ,424670 4,787 ,0001 F – test = 30,91298

Q(t) -,001316 -5,018 ,0001 Sig F = ,0000

(Constant) 12,423461 14,522 ,0000 R square = ,86398

Hasil pengujian statistik terhadap model memperlihatkan bahwa besarnya koefisien determinasi adalah sebesar 86,40 persen; sementara dari penghitungan F-test dan t-test menunjukkan hasil yang signifikan, setidaknya pada tingkat kesalahan sebesar 1 persen. Berdasarkan pengujian statistik tersebut, model yang diperoleh mampu menjelaskan keragaman dari suku bunga kredit investasi sebesar 86,40 persen, sedang sisanya dipengaruhi faktor lain di luar model. Sementara


(100)

dari hasil pengujian terhadap koefisien variabel dari model, baik secara simultan maupun secara parsial menunjukkan pengaruh yang signifikan dari variabel suku bunga deposito dan jumlah uang beredar (M1) terhadap suku bunga kredit investasi (Tabel 5.11).

Pengaruh dari suku bunga suku bunga deposito terhadap suku bunga kredit investasi adalah sebesar 0,424670; berarti jika variabel lainnya dianggap tetap, sementara suku bunga deposito naik 1 persen maka suku bunga kredit investasi akan naik sebesar 0,42 persen. Adanya pengaruh positif dari suku bunga deposito terhadap suku bunga kredit investasi tidak mengherankan karena sudah pasti suku bunga kredit investasi akan dinaikkan bila terjadi kenaikan suku bunga deposito, karena besarnya margin antara kedua jenis suku bunga ini merupakan pendapatan dari institusi perbankan.

Selain suku bunga deposito, variabel yang juga berpengaruh terhadap suku bunga kredit investasi adalah IHSG (Q) . Besarnya pengaruh kenaikan IHSG dalam model adalah 0,001316; artinya jika IHSG naik sebesar 100 basis poin berarti sementara variabel lainnya dianggap tetap, maka suku bunga deposito akan turun 0,13 persen, demikian pula sebaliknya. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya dimana IHSG mencerminkan kinerja pasar modal/saham domestik, sehingga jika tertekan sehingga nilainya jatuh, maka akan menyebabkan kenaikan suku bunga kredit.


(101)

5.10. Analisis Model Mekanisme Transmisi

Berdasarkan hasil estimasi dari model persamaan struktural yang telah dibahas sebelumnya diperoleh hubungan searah ataupun hubungan dua arah antar variabel makro ekonomi dalam perekonomian Indonesia untuk pasar barang atau sektor riil dan pasar uang atau sektor moneter pada periode tahun 2003 – 2008. Bentuk hubungan antar variabel makro tersebut tidak lain merupakan proses transmisi dari pasar uang ke pasar barang atau bisa sebaliknya. Lebih lanjut, dapat dilihat juga terjadinya proses mekanisme transmisi dari pasar internasional ke pasar domestik. Secara ringkas, Gambar 4.10 memperlihatkan jalur mekanisme transmisi berdasarkan hasil estimasi model persamaan struktural untuk pasar barang dan pasar uang. Sebagai catatan, hubungan antar variabel yang diperlihatkan oleh Gambar 4.10 hanyalah hubungan pada pengujian model secara parsial menunjukkan pengaruh yang berarti pada taraf nyata 10 persen.

Dari Gambar 4.10 dapat dilihat bahwa proses penyesuaian di pasar uang berlangsung cukup cepat, artinya dalam kurun waktu tiga bulan telah terjadi kegiatan saling mempengaruhi antar besaran moneter, sementara kondisi di pasar barang terjadi delayed process untuk menyesuaikan beberapa indikator makro. Berdasarkan jalur mekanisme transmisi tersebut, kebijakan moneter akan lebih responsif dibandingkan dengan kebijakan fiskal dalam upaya mempengaruhi besaran moneter. Meski demikian tingkat efektivitas dari kebijakan moneter belum tentu lebih baik dari kebijakan fiskal karena untuk itu harus dilihat dulu seberapa besar perubahan dari pendapatan nasional akibat adanya suatu paket kebijakan.


(102)

Gambar 4.10. Jalur Mekanisme Transmisi Perekonomian Indonesia

Masih dari Gambar 4.10, dapat dilihat pula bahwa jalur mekanisme trasmisi dari pasar internasional ke pasar domestik adalah melalui jalur perdagangan dan jalur finansial/keuangan. Melalui jalur perdagangan, turunnya ekspor netto akibat menurunnya permintaan atas ekspor barang-barang domestik akan menyebabkan nilai tukar mata uang domestik`mengalami tekanan atau terdepresiasi. Di sisi lain, impor yang sebagian besar merupakan bahan baku dari sektor industri manufaktur tidak terpengaruh oleh nilai tukar. Hal ini menyebabkan impor akan terus naik karena harga barang-barang impor menjadi lebih mahal akibat terjadinya depresiasi nilai tukar.

Melalui jalur finansial, salah satunya adalah terjadinya penarikan modal ke luar negeri (capital outflow). Proses penarikan modal ke luar negeri dapat dilihat


(103)

dari pergerakan indikator IHSG, yang mencerminkan kinerja dari pasar modal (stock exchange market). Akibat adanya penarikan modal ke luar negeri tersebut, indeks mengalami tekanan hebat dan sempat anjlok. Secara bersamaan, nilai tukar juga mengalami tekanan sehingga membuat nilainya merupakan yang tertinggi terhitung sejak Januari 2002.

Akibat lain dari terjadinya penarikan modal ke luar negeri adalah tekanan terhadap suku bunga kredit yang akan naik, sebagaimana diperlihatkan dari hubungan langsung IHSG dalam mempengaruhi besarnya tingkat suku bunga kredit investasi. Sementara, adanya untuk tekanan terhadap nilai tukar tersebut, secara tidak langsung juga akan mempengaruhi tingkat suku bunga domestik, yaitu suku bunga deposito melalui hubungan kondisi paritas suku bunga (interest parity condition), dimana pada saat terjadi depresiasi nilai tukar domestik, imbal hasil yang diberikan suku bunga simpanan akan lebih kecil dibanding di luar negeri. Konsekuensinya, suku bunga dalam negeri akan naik agar imbal hasil yang diberikan sama dengan yang diberikan di luar negeri. Oleh karenanya, suku bunga simpanan akan naik. Dengan naiknya suku bunga simpanan, yang dalam model diwakili oleh suku bunga deposito, maka suku bunga kredit atau pinjaman akan naik juga dan tentunya akan berakibat pada kesulitan pada pembiayaan ekonomi.

5.11. Simulasi Model IS – LM

Salah satu kegunaan dari model IS – LM adalah melakukan simulasi analisis dampak terhadap perubahan pendapatan nasional akibat perubahan variabel eksogen. Namun sebelum memulai kegiatan simulasi, maka harus


(104)

diperiksa kembali hasil t-test dari kesebelas persamaan struktural untuk mengeluarkan variabel-variabel yang secara parsial tidak memberi pengaruh signifikan pada model. Dengan mengeluarkan variabel-variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan maka akan diperoleh persamaan baru yang akan diestimasi kembali dengan metode Two Stage Least Squared (2SLS). Estimasi ulang juga dilakukan apabila besarnya konstanta adalah negatif terutama pada koefisien autonomus. Hasil estimasi persamaan baru dapat dilihat pada lampiran dengan diberi tanda panah bertuliskan “REVISI”, kecuali untuk persamaan penawaran uang, suku bunga JIBOR dan suku bunga kredit investasi tidak dilakukan estimasi ulang.

Adapun seluruh persamaan, baik persamaan yang diestimasi ulang maupun tidak diestimasi ulang adalah sebagai berikut :

1. C(t) = 32,9581012+ 0,242878 Y(t-1)+ 0,474711 C(t-1) 2. IFIX(t) = 0,117677 Y(t)+ 0,164307 Y(t-1) – 1,9341012 rIV(t) 3. G(t) = 0,108899 Y(t-1) – 0,375457 G(t-1)

4. EX(t) = 7,075198 YF(t)+ ( 8,100 109) E(t) 5. IM(t) = 0,361916 Y(t)

6. Md(t) = 0,399693 Y(t)

7. Ms(t) = ( 106,676 1012) + ( 7,938 109) E(t)– ( 4,610 1012) rJIB(t) 8. E(t) = – ( 0,26705 10- 9) NX(t)– 1,834121 Q(t)

9. RJIB(t) = 3,725227 + 0,886846 rSBI(t)– ( 19,58310- 15) Ms(t) 10. rDP(t) = 1,056528 rSBI(t)– (7,74710- 15) Ms(t)

11. rIV(t) = 12,423461 + 0,424670 rDP(t) – 0,01316 Q(t)

Sebagaimana dilakukan pada persamaan sebelumnya, maka hasil estimasi persamaan baru untuk model konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, impor,


(105)

permintaan uang, dan model nilai tukar harus diuji secara statistik dulu, yaitu dengan melihat besarnya koefisien determinasi, F-test dan t-test. Proses pengujian ini harus tetap dilalui karena tidak hanya sekedar untuk melihat signifikan atau tidaknya pengaruh dari masing-masing koefisien variabel penjelas dari setiap persamaan, tetapi juga melihat seberapa besar pengaruh tersebut terhadap variabel yang dipengaruhi. Besarnya koefisien determinasi untuk kesebelas persamaan tersebut, termasuk untuk persamaan yang diestimasi ulang menunjukkan bahwa koefisien determinasi terendah adalah 78,97 persen; yaitu untuk persamaan penawaran uang, artinya seluruh persamaan dapat menjelaskan sebesar minimal 78,97 persen variasi yang terjadi pada variabel yang dijelaskan. Untuk pengujian koefisien persamaan secara simultan, F-test menunjukkan hasil yang signifikan untuk semua persamaan pada tingkat kesalahan 1 persen. Sedangkan pada pengujian koefisien persamaan secara parsial, t-test menunjukkan hasil yang signifikan pada tingkat kesalahan 10 persen untuk variabel pendapatan nasional pada fungsi investasi, variabel pengeluaran pemerintah pada periode sebelumnya pada fungsi pengeluaran pemerintah, dan varibel suku bunga JIBOR pada fungsi penawaran uang. Sementara variabel lainnya menunjukkan hasil yang signifikan pada taraf kesalahan maksimal 5 persen. Dari hasil pengujian statistik tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa semua variabel dalam sebelas persamaan tersebut mempunyai pengaruh yang signifkan pada taraf kesalahan 10 persen, dan semua variabel dapat digunakan untuk mengestimasi besarnya pengaruh dari variabel penjelas terhadap variabel yang dijelaskan.


(106)

Selanjutnya, setelah melewati proses pengujian statistik, maka dari kesebelas persamaan tersebut dapat diturunkan menjadi persamaan kurva IS dan kurva LM, yaitu kurva yang menyatakan hubungan antara besarnya pendapatan nasional (Y) dan tingkat suku bunga (r). Variabel selain pendapatan nasional dan tingkat suku bunga yang nantinya akan tetap ada dalam persamaan kurva IS dan kurva LM dianggap sebagai variabel eksogen dan akan digunakan sebagai shock

dalam simulasi.

Berdasarkan hasil substitusi kesebelas persamaan ke dalam persamaan identitas, persamaan ekspor netto dan persamaan keseimbangan uang riil (real money balances), maka didapatkan dua buah persamaan, dimana persamaan pertama merupakan persamaan awal untuk kurva IS dan persamaan kedua tidak lain adalah persamaan awal untuk kurva LM. Secara lengkap, persamaan pertama dan kedua dituliskan sebagai berikut :

Y(t) = 121.458.548.004.481 – 2.323.635.376.754 rSBI(t) + 9.450.745.414 Q(t) + 6,327480883 YF(t) + 0,335356772 Y(t-1) + 0,308472164 C(t-1) – 0,487951757 G(t-1)+ 0,676331804 IINV(t)

Y(t) = 77.675.044.899.643 + 3.548.251.286.245 rSBI(t) + 3.994.517.151 Q(t) + 23,92316775 YF(t)

Dari kedua persamaan tersebut, selanjutnya dengan menganggap variabel selain pendapatan nasional (Y) dan tingkat suku bunga (r) sebagai variabel eksogen maka didapat persamaan kurva IS yaitu kurva yang menggambarkan kondisi keseimbangan umum di pasar barang dan kurva LM yang menggambarkan kondisi keseimbangan umum di pasar uang, adalah sebagai berikut :


(107)

Y(t) = 121.458.548.004.481 – 2.323.635.376.754 rSBI(t) → kurva IS Y(t) = 77.675.044.899.643 + 3.548.251.286.245 rSBI(t) → kurva LM

Dari persamaan kurva IS dan kurva LM yang disajikan pada Gambar 4.11, maka pada kondisi keseimbangan umum secara serempak di pasar barang dan pasar uang diperoleh tingkat pendapatan nasional sebesar Rp. 105.934.324.188.866,- dan tingkat suku bunga sebesar 8,8807 persen. Kurva IS, kurva LM dan kondisi keseimbangan umum tersebut merupakan kecenderungan perilaku besaran makro ekonomi di pasar barang dan di pasar uang pada periode triwulanan untuk tahun 2003 – 2008.

Gambar 4.11. Kurva IS dan Kurva LM Model Makro Ekonomi Indonesia Bila melihat dari bentuk kurva IS yang terlihat lebih tegak dibandingkan dengan kurva LM, maka dugaan awal atas kondisi ini adalah kebijakan fiskal akan lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan moneter. Akan tetapi dugaan awal

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 7 5 7 7 7 9 8 1 8 3 8 5 8 7 8 9 9 1 9 3 9 5 9 7 9 9 1 0 1 1 0 3 1 0 5 1 0 7 1 0 9 1 1 1 1 1 3 1 1 5 1 1 7 1 1 9 1 2 1 1 2 3 1 2 5

Pendapatan Nasional (Y) dalam triliun rupiah

T in g k a t su k u b u n g a (r ) d a la m p e rs e n

( 104,132 ; 7,46 )

LM

IS


(108)

tersebut harus dibuktikan, dan salah satunya dengan memberi guncangan (shock) melalui perubahan variabel eksogen. Dari guncangan yang diberikan oleh variabel eksogen tersebut kemudian akan dilihat seberapa besar persentase perubahan dari pendapatan nasional dan seberapa besar selisih dari tingkat suku bunga yang dihasilkan. Perlu diingat kembali bahwa model IS–LM yang digunakan adalah model Keynesian yang menggunakan asumsi sticky price, sehingga persentase perubahan pendapatan nasional dan selisih tingkat suku bunga yang dihasilkan sudah dalam nilai riil atau atas dasar harga konstan tahun 2000. Pada model ini, pendapatan nasional dan tingkat suku bunga dianggap sebagai variabel target.

Selanjutnya untuk melihat tingkat keakurasian data hasil estimasi dari model IS – LM yang telah dibangun sebelumnya maka akan dilakukan simulasi terhadap model dengan memberikan guncangan (shock) terhadap seluruh variabel eksogen, untuk membandingkan kondisi perubahan yang terjadi pada model makro ekonomi Indonesia dengan kondisi riil yang terjadi pada perekonomian Indonesia. Simulasi ini akan menggunakan data riil yang diambil dari kondisi makro ekonomi Indonesia pada triwulan IV tahun 2008, dimana pada periode sebelumnya konsumsi naik 1,89 persen atau setara dengan 5.564 miliar rupiah; pengeluaran pemerintah naik 5,60 persen atau sebesar 2.269 miliar rupiah dan pendapatan nasional naik sebesar 19.208 miliar rupiah atau naik 3,70 persen. Pada periode berjalan, besarnya perubahan inventori adalah – 2.091 miliar rupiah, sedangkan perubahan IHSG dari Oktober ke Desember 2008 adalah – 817 basis poin. Sementara besarnya perubahan pendapatan luar negeri menurut IMF diperkirakan turun sebesar 4 persen atau setara dengan – 612 miliar US $.


(109)

Berdasarkan simulasi tersebut, diketahui bahwa kurva IS bergerak ke kanan dari posisi semula sedang kurva LM bergerak ke arah yang sebaliknya dari kedudukannya semula sehingga menyebabkan pendapatan nasional turun sebesar 4,12 persen sementara suku bunga SBI naik 33,69 persen. Harap diingat bahwa pada model IS – LM yang dibangun berdasarkan persamaan struktural, perubahan variabel target ini merupakan perubahan total akibat perubahan seluruh variabel. Tabel 4.12. Simulasi Model IS – LM dengan Variabel Makro Ekonomi Riil

terhadap Pendapatan Nasional dan Suku Bunga secara Simultan

Variabel Simulasi

Besarnya Perubahan (%) Pendapatan Nasional

(Y)

Tingkat Suku Bunga (r)

Variabel Makro Ekonomi Riil secara simultan

Triwulan IV 2008 Triwulan IV 2008

Konsumsi * : + 5.564 M Dalam Model : – 4,12 Dalam Model : +33,69 Belanja Pemerintah *: + 2.269 M

Inventori : – 2.091 M Kondisi Riil : – 3,65 Kondisi Riil : + 2,54

Pendapatan Nas * : + 19.208 M ( Kebijakan BI )

Pendapatan Luar : – 612 M US $ IHSG : – 817 basis poin

Keterangan : * menunjukkan periode sebelumnya

Dibandingkan kondisi riil dengan pendapatan nasional turun sebesar 3,65 persen dan suku bunga SBI yang naik 2,54 persen, hasil simulasi tersebut setidaknya cukup memperlihatkan arah perubahan variabel makro yang menjadi target. Sayangnya perubahan pada tingkat suku bunga hasil simulasi sangat jauh dibandingkan dengan kondisi riilnya. Hal ini tidak bisa dihindari karena dengan dengan dilakukan estimasi ulang dengan mengeluarkan variabel-variabel yang


(110)

tidak signifikan pada t-test, termasuk juga mengeluarkan konstanta yang tidak sesuai dengan teori umum yang berlaku maka akan berpengaruh pada naiknya nilai estimasi pada variabel lainnya yang berpengaruh signifikan pada model. Perhatikan saja pada persamaan model konsumsi saat variabel pendapatan nasional periode berjalan dimasukkan dalam model dan saat dikeluarkan dari model akibat tidak memberi pengaruh yang signifikan pada pengeluaran konsumsi pada periode berjalan. Sebelumnya nilai estimasi untuk koefisien variabel pendapatan nasional dan konsumsi pada periode sebelumnya masing-masing adalah 0,238305 dan 0,454483; tetapi pada saat variabel pendapatan nasional periode berjalan dikeluarkan dari model, koefisien dari keduanya masing-masing menjadi 0,242878 dan 0,474711. Dapat dilihat dari kedua variabel tersebut terjadi perbedaan estimasi koefisien masing-masing sebesar 0,004573 dan 0,020228. Harap dicatat bahwa ini baru dilihat dari 1 persamaan model, bagaimana bila estimasi ulang ini dilakukan terhadap 8 persamaan model. Sudah tentu akan membuat pengaruh dari variabel eksogen menjadi semakin besar terhadap variabel endogen. Akibatnya, pada saat pemberian shock pada beberapa variabel eksogen menyebabkan pergeseran yang cukup jauh pada kurva IS dan kurva LM, sebagai alat analisis yang digunakan untuk menjelaskan terjadinya krisis finansial global.

Berdasarkan simulasi model IS – LM dengan menggunakan nilai riil beberapa variabel makro ekonomi Indonesia, dapat disimpulkan bahwa model cukup baik dalam menjelaskan terjadinya perubahan pendapatan nasional akibat adanya perubahan dari variabel eksogen, dimana selisih antara perubahan pendapatan nasional dalam model dengan kondisi riil kurang dari 1 persen.


(111)

Kekurangan dari model adalah ketidakakuratannya dalam menjelaskan terjadinya perubahan pada tingkat suku bunga, dimana hasil dari simulasi model memperlihatkan dugaan yang sangat jauh dengan kondisi riil meski arah perubahannya sudah sama.

Berangkat dari hasil simulasi tersebut, maka model akan digunakan untuk simulasi dengan memasukkan guncangan (shock) pada beberapa variabel makro ekonomi yang biasa digunakan sebagai perangkat kebijakan dari pemerintah atau variabel makro ekonomi yang rawan terkena guncangan atau bahkan yang rawan terhadap serangan spekulan. Variabel-variabel makro ekonomi dimaksud yaitu pengeluaran konsumsi pemerintah, nilai tukar, ekspor netto dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), semuanya pada periode berjalan.

Sebelum memulai simulasi dengan memberi shock terhadap keempat variabel makro ekonomi tersebut, perlu diingat bahwa variabel pengeluaran konsumsi pemerintah, nilai tukar, dan ekspor netto merupakan variabel endogen dalam persamaan struktural yang dibangun untuk menyusun model IS – LM. Untuk itu akan diturunkan kembali model IS – LM yang dapat mengadopsi pemberian guncangan terhadap ketiga variabel endogen tersebut. Satu hal yang perlu difahami adalah dalam penurunan kembali model IS – LM tersebut mungkin saja tidak ditemukan model yang sama persis dengan model awal.

Dalam penyusunan model IS – LM yang dapat mengadopsi pemberian guncangan terhadap variabel konsumsi pemerintah, nilai tukar, dan ekspor netto, harus diingat bahwa prosesnya diawali dengan memasukkan semua variabel ke persamaan identitas dan persamaan keseimbangan uang riil. Hanya saja untuk


(112)

variabel endogen yang akan diberi guncangan untuk keperluan simulasi dianggap sebagai variabel eksogen. Oleh karena itu pengaruh variabel lain terhadap variabel tersebut dianggap tidak ada, meski dalam persamaan struktural hubungan tersebut jelas dituliskan. Lebih lanjut, pada penulisan model IS – LM selanjutnya tidak akan dirinci seperti penurunan model IS – LM awal, tetapi diringkas dengan memasukkan variabel makro ekonomi yang akan diberi guncangan pada simulasi model saja.

- Simulasi dengan pemberianshockpada pengeluaran pemerintah

Hasil penurunan kembali model IS – LM dengan menganggap variabel pengeluaran pemerintah sebagai variabel eksogen adalah sebagai berikut :

Y(t) = 121,4581012– 2,3231012 rSBI(t)0,676 G(t) → kurva IS Y(t) = 77,6751012+ 3,5481012 rSBI(t) → kurva LM Dengan memberi shock sebesar 1 triliun rupiah atau setara dengan 1,86 persen dari besarnya pengeluaran pemerintah pada triwulan IV tahun 2008, diperoleh perubahan pendapatan nasional sebesar 0,3925 persen dengan suku bunga naik sebesar 0,1152 persen.

- Simulasi dengan pemberianshockpada jalur perdagangan internasional Hasil penurunan kembali model IS – LM dengan menganggap variabel pengeluaran pemerintah sebagai variabel eksogen adalah sebagai berikut :

Y(t) = 203,5361012– 2,3231012 rSBI(t)1,133 NX(t) → kurva IS Y(t) = 77,6751012+ 3,5481012 rSBI(t)1,840 NX(t) → kurva LM


(113)

Untuk mendapatkan hasil yang kurang lebih sama dengan perubahan pendapatan nasional akibat pemberianshock pada pengeluaran pemerintah, maka shock yang diberikan pada ekspor netto adalah sebesar 360 miliar rupiah atau setara dengan 0,6356 persen dari besarnya ekspor pada triwulan IV tahun 2008. Dari hasil simulasi, diperoleh perubahan pendapatan nasional sebesar 0,3930 persen dengan suku bunga turun sebesar 0,0342 persen.

- Simulasi dengan pemberianshockpada pasar valuta asing

Hasil penurunan kembali model IS – LM dengan menganggap variabel pengeluaran pemerintah sebagai variabel eksogen adalah sebagai berikut :

Y(t) = 113,6071012– 2,3231012 rSBI(t)10,548109E(t) → kurva IS Y(t) = 077,6751012+ 3,5481012 rSBI(t)06,889109E(t) → kurva LM Dengan cara yang sama pada perlakuan terhadap ekspor netto, shock yang diberikan pada pada pasar valuta asing adalah dengan menaikkan dolar AS sehingga mata uang domestik terdepresiasi sebesar 43 rupiah. Dari hasil simulasi, diperoleh perubahan pendapatan nasional sebesar 0,3937 persen dengan suku bunga turun sebesar 0,0268 persen.

- Simulasi dengan pemberianshockpada pasar modal

Hasil penurunan kembali model IS – LM dengan menganggap variabel pengeluaran pemerintah sebagai variabel eksogen adalah sebagai berikut :

Y(t) = 121,4581012– 2,3231012 rSBI(t)9,451109Q(t) → kurva IS Y(t) = 077,6751012+ 3,5481012 rSBI(t)3,995109Q(t) → kurva LM


(114)

Seperti telah dilakukan sebelumnya,shock yang diberikan pada pada pasar modal adalah dengan menaikkan IHSG sebesar 56 basis poin. Dari hasil simulasi, diperoleh perubahan pendapatan nasional sebesar 0,3921 persen dengan suku bunga turun sebesar 0,0520 persen.

Tabel 4.13. Rangkuman Hasil Simulasi Model IS – LM dengan Variabel Eksogen terhadap Pendapatan Nasional dan Suku Bunga secara Parsial

Variabel Simulasi

Besarnya Perubahan (%) Pendapatan Nasional

(Y)

Tingkat Suku Bunga (r)

Variabel Eksogen secaraParsial

Pengeluaran Pemerintah naik sebesar 0,3925 0,1152 1 triliun rupiah

Ekspor netto naik sebesar 0,3930 0,0268

360 miliar rupiah

Mata uang domestik turun sebesar 0,3937 – 0,0342 43 rupiah

IHSG naik sebesar 56 basis poin 0,3921 – 0,0520

Rangkuman hasil simulasi model IS – LM dengan variabel eksogen pada Tabel 4.5, memperlihatkan bahwa shock yang diberikan pada pengeluaran pemerintah yaitu dengan menaikan belanja pemerintah sebesar 1 triliun rupiah mengakibatkan perubahan pada pendapatan nasional sebesar 0,3925 persen, dan diikuti kenaikan suku bunga sebesar 0,1152 persen. Perubahan terhadap pendapatan nasional dan suku bunga ini merupakan perubahan total akibat kenaikan pengeluaran pemerintah dengan asumsi variabel makro ekonomi lainnya dianggap konstan. Untuk mendapatkan perubahan pendapatan nasional yang hampir setara dengan kenaikan pengeluaran pemerintah tersebut, ternyata ekspor


(115)

netto harus dijaga agar naik sebesar 360 miliar rupiah. Sementara untuk shock

pada pasar valuta asing dan pasar modal, dapat disiasati dengan membiarkan mata uang domestik terdepresiasi sebesar 43 rupiah dan membuat sentimen positf terhadap pasar modal agar terjadi kenaikan indeks sebesar 56 basis poin, dengan catatan model dalam kondisiceteris paribus.

Berdasarkan hasil simulasi parsial yang menyebabkan perubahan total pada pendapatan nasional dan suku bunga, dapat dilihat bahwa variabel makro ekonomi pada pasar uang lebih sensitif dibanding variabel makro ekonomi pada pasar barang. Ini bisa dilihat dari pengeluaran pemerintah yang harus naik sampai 1 triliun rupiah untuk memperoleh perubahan pendapatan nasional yang hampir sama akibat kenaikan ekspor netto sebesar 360 miliar rupiah, namun diikuti dengan kenaikan suku bunga. Sementara untuk mendapatkan perubahan pendapatan nasional yang hampir sama, mata uang domestik cukup terdepresiasi sebesar 43 rupiah dan kenaikan indeks pada pasar modal domestik cukup sebesar 56 basis poin dengan suku bunga yang mengalami penurunan. Merujuk pada hasil simulasi tersebut, sudah sepantasnya pihak otoritas meneter menjaga stabilitas pasar uang domestik, utamanya pasar valuta asing dan pasar modal domestik yang merupakan pintu masuk dari proses transmisi pasar internasional ke dalam pasar domestik, baik pasar barang maupun pasar uang.


(116)

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal berikut : 1. Krisis finansial global dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia melalui

jalur perdagangan (trade channel) dalam bentuk perdagangan ekspor – impor. Akibat yang ditimbulkan krisis finansial global adalah penurunan pendapatan luar negeri sehingga menyebabkan permintaan ekspor atas produk Indonesia menurun, di sisi lain impor yang sebagian besar merupakan bahan baku untuk sektor industri manufaktur tetap tinggi karena tidak dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah. Akibatnya ekspor netto mengalami penurunan sehingga membuat nilai tukar mata rupiah tertekan. Lebih jauh, akibat penurunan pendapatan luar negeri akan menyebabkan penurunan pendapatan nasional. 2. Krisis finansial global dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia melalui

jalur finansial (financial channel), yang ditrasmisi ke pasar saham domestik yang sudah cukup terintegrasi dengan pasar finansial internasional. Krisis finansial global mengakibat terjadinya penarikan modal asing, sehingga pasar modal/saham domestik sempat berada dalam kontraksi. Di saat yang sama, ketika pasar saham domestik mengalami kontraksi, rupiah juga terdepresiasi cukup besar. Akibat lebih jauh dari kontraksi pasar modal/saham domestik adalah penurunan tingkat pendapatan nasional dan kenaikan suku bunga.

3. Pasar uang atau sektor moneter terlihat lebih responsif dalam menyesuaikan besaran moneter, artinya dalam kurun waktu tiga bulan telah terjadi kondisi


(117)

saling mempengaruhi antar besaran moneter, sementara pada pasar barang atau sektor riil terjadi proses tertunda (delayed process) untuk menyesuaian besaran makro ekonomi di sektor riil. Hasil simulasi dampak parsial dengan memasukkan guncangan pada pasar barang menunjukkan kenaikan pendapatan nasional, namun diiringi dengan kenaikan tingkat suku bunga. Sementara hasil simulasi dampak dengan indikator IHSG menunjukkan, kenaikan pada IHSG akan meningkatkan pendapatan nasional dan secara bersamaan menurunkan tingkat suku bunga. Indeks juga menunjukkan sensitivitas yang tinggi, dimana perubahan sebesar 150 basis poin pada periode berjalan hampir setara dengan perubahan yang diakibatkan oleh pendapatan nasional pada periode sebelumnya.

6.2. Saran

Terkait dengan kesimpulan hasil penelitan, dapat dirumuskan beberapa saran berikut.

1. Indonesia yang merupakan negara dengan perekonomian kecil terbuka wajib untuk menjaga agar ekspor netto secara relatif besar dan stabil untuk menjaga stabilitas rupiah, utamanya terhadap dolar AS. Ekspor produk Indonesia agar tidak hanya diarahkan ke negara-negara Asia, Amerika dan Eropa saja tetapi juga diarahkan ke negara-negara Afrika, Australia dan Oceania yang merupakan pasar yang potensial, sementara besarnya impor atas bahan baku dapat disiasati dengan kebijakan substitusi impor.

2. Intervensi pemerintah atau otoritas moneter atas pasar modal tidak dapat dilakukan secara langsung dengan aksi jual beli saham atau sekuritas. Untuk


(118)

menjaga penarikan modal dengan seketika perlu dibuat regulasi yang mengatur batas waktu minimal untuk penanaman modal asing agar pasar saham tetap stabil.

3. Pihak otoritas moneter agar selalu berhati-hati dalam membuat paket kebijakan moneter karena ternyata kebijakan tersebut lebih responsif dibanding kebijakan fiskal dilihat dari kecepatan waktu besaran moneter untuk saling mempengaruhi dan segera menyesuaikan dalam periode triwulanan, termasuk juga tingkat sensitivitas dari besaran makro ekonomi di pasar uang serta dampak perubahannya terhadap pendapatan nasional serta tingkat suku bunga.


(119)

Blanchard, Olivier. 2006. Macroeconomics. Fourth Edition. Pearson Prentice Hall Dornbusch, Rudiger. 2004. Macroeconomics. International Edition. Ninth Edition:

Mc Graw Hill.

Dumairy, 1999. Perekonomian Indonesia, Cetakan Ketiga. Erlangga, Jakarta. Gujarati, Damodar. 2004. Basic Econometrics. Fourth Edition: Mc Graw-Hill. Julaihah, Umi dan Insukindro. 2004. Analisis Dampak Kebijakan Moneter

terhadap Variabel Makroekonomi di Indonesia Tahun 1983.1 – 2003.2. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004

Mankiw, N. Gregory. 2007. Makroekonomi. Edisi Keenam. Terjemahan dari Macroeconomics. Sixth Editon. Worth Publishers. Liza, F dan Imam Nurmawan, [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.

Mishkin, Frederic S. 2004. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. Seventh Edition: Pearson Addison Wesley.

Nachrowi dan Usman. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika. Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta.

Nelson, Edward. 2003. Money and the Transmission Mechanism in the Optimizing IS-LM Specification. Federal Reserve Bank of St. Louis Research Division.

Nopirin. 1992. Ekonomi Moneter I. Edisi keempat. Yogyakarta: BPFE. Nopirin. 1992. Ekonomi Moneter II. Edisi keempat. Yogyakarta: BPFE.

Ratnawati, Nirdukita dan Rulli Rizki. 2007. Analisis Pengaruh Variabel Indikator Ekonomi Makro Terhadap Perekonomian Indonesia: Pendekatan Pasar Barang Dan Pasar Uang Periode 1990.1-2005.4. Jurnal Ekonomi Indonesia No. 2, Desember 2007

Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima, Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Samuelson, Paul. A (1973). Economics, Japan, McGraw-Hill Kogakusha, 9thEdition.


(120)

Yuliadi, Imamuddin. 2001. Analisis Makro Ekonomi Indonesia Pendekatan IS-LM. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol 6 No. 2, 2001. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. Laporan Perekonomian Indonesia dari Berbagai Edisi. Bank Indonesia. 2009. Outlook Ekonomi Indonesia 2009 – 2014. Edisi Juli 2009 Bank Indonesia. 2009. Outlook Ekonomi Indonesia 2008 – 2013. Edisi Januari

2009

Bank Indonesia. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) dari Berbagai Edisi

Bank Indonesia. Tinjauan Kebijakan Moneter dari Berbagai Edisi

International Monetary Fund. International Finances Statistics, Dari Berbagai Edisi.


(121)

Equation number: 1 Dependent variable.. C_t

Listwise Deletion of Missing Data Multiple R ,99819

R Square ,99638 Adjusted R Square ,99584 Standard Error1319741148427

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 3 9,6E+027 3,2E+027 Residuals 20 3,5E+025 1,7E+024 F = 1835,16909 Signif F = ,0000

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T

Y_t ,013710 ,041365 ,030343 ,331 ,7438

Y_t1 ,238305 ,034749 ,534286 6,858 ,0000 C_t1 ,454483 ,096006 ,438501 4,734 ,0001 (Const)34127428496168,2 7,1063E+012 4,802 ,0001 Correlation Matrix of Parameter Estimates

Y_t Y_t1 C_t1 Y_t 1,0000000 -,3970450 -,6357070 Y_t1 -,3970450 1,0000000 -,4434225 C_t1 -,6357070 -,4434225 1,0000000

Keterangan :

Model : C(t)= c0(t)+ c1Y(t)+ c2Y(t-1)+ c3C(t-1)

Y_t = Y(t)

Y_t1 = Y(t-1) C_t1 = C(t-1)

(Const) = c0(t)


(122)

Lampiran 2 : Fungsi Konsumsi (REVISI)

Two-stage Least Squares

MODEL: MOD_1. (1B) Equation number: 1 Dependent variable.. C_t

Listwise Deletion of Missing Data Multiple R ,99810

R Square ,99621 Adjusted R Square ,99585 Standard Error1317904548362

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 2 9,6E+027 4,8E+027 Residuals 21 3,6E+025 1,7E+024 F = 2760,37624 Signif F = ,0000

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T Y_t1 ,242878 ,031848 ,544538 7,626 ,0000 C_t1 ,474711 ,074006 ,458017 6,414 ,0000 (Const)32958850093961,2 6,1613E+012 5,349 ,0000 Correlation Matrix of Parameter Estimates

Y_t1 C_t1 Y_t1 1,0000000 -,9821444 C_t1 -,9821444 1,0000000

Keterangan :

Model : C(t)= c0(t)+ c2Y(t-1)+ c3C(t-1) Y_t1 = Y(t-1)

C_t1 = C(t-1)

(Const) = c0(t)


(123)

Lampiran 3 : Fungsi Investasi untuk Pembentukan Modal Tetap

Two-stage Least Squares

MODEL: MOD_2. (2A) Equation number: 1

Dependent variable.. IFIX_t

Listwise Deletion of Missing Data Multiple R ,98823

R Square ,97661 Adjusted R Square ,97310 Standard Error2558718518483

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 3 5,5E+027 1,8E+027 Residuals 20 1,3E+026 6,5E+024 F = 278,31084 Signif F = ,0000

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T Y_t ,150009 ,062811 ,434801 2,388 ,0269 RIV_t -1470418333590 5,0352E+011 -,151970 -2,920 ,0085 Y_t1 ,154849 ,060406 ,454670 2,563 ,0185

(Constant-1,692506E+013 1,3650E+013 -1,240 ,2294

Correlation Matrix of Parameter Estimates Y_t RIV_t Y_t1 Y_t 1,0000000 ,1689333 -,9624511 RIV_t ,1689333 1,0000000 ,0259805 Y_t1 -,9624511 ,0259805 1,0000000

Keterangan :

Model : IFIX(t)= iF0(t)+ iF1Y(t)+ iF2Y(t-1)+ iF3rIV(t) IFIX(t) = PMTB(t)

Y_t = Y(t)

Y_t1 = Y(t-1)

RIV_t = rIV(t)

(Const) = iF0 (t)


(124)

Lampiran 4 : Fungsi Investasi untuk Pembentukan Modal Tetap (REVISI)

Two-stage Least Squares

MODEL: MOD_2. (2B) Equation number: 1

Dependent variable.. IFIX_t

Listwise Deletion of Missing Data Multiple R ,99973

R Square ,99945 Adjusted R Square ,99937 Standard Error2530677074945

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 3 2,4E+029 8,2E+028 Residuals 21 1,3E+026 6,4E+024 F = 12731,81647 Signif F = ,0000

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T Y_t ,117677 ,060129 ,530487 1,957 ,0638 RIV_t -1934460166008 2,0628E+011 -,268014 -9,378 ,0000 Y_t1 ,164307 ,059882 ,730941 2,744 ,0122 Correlation Matrix of Parameter Estimates

Y_t RIV_t Y_t1 Y_t 1,0000000 -,2157814 -,9945184 RIV_t -,2157814 1,0000000 ,1142359 Y_t1 -,9945184 ,1142359 1,0000000

Keterangan :

Model : IFIX(t)= iF1Y(t)+ iF2Y(t-1)+ iF3rIV(t)

Y_t =Y(t)

Y_t1 =Y(t-1)

RIV_t =rIV(t)


(125)

Lampiran 5 : Fungsi Pengeluaran Pemerintah

Two-stage Least Squares

MODEL: MOD_3. (3A) Equation number: 1 Dependent variable.. G_t

Listwise Deletion of Missing Data Multiple R ,82673

R Square ,68348 Adjusted R Square ,65333 Standard Error4136151869084

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 2 7,8E+026 3,9E+026 Residuals 21 3,6E+026 1,7E+025 F = 22,67310 Signif F = ,0000

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T Y_t1 ,149997 ,023651 ,979321 6,342 ,0000 G_t1 -,377291 ,184310 -,316095 -2,047 ,0534

(Constant-1,849682E+013 8,4499E+012 -2,189 ,0400

Correlation Matrix of Parameter Estimates Y_t1 G_t1

Y_t1 1,0000000 -,6065221 G_t1 -,6065221 1,0000000

Keterangan :

Model : G(t)= g0(t)+ g1Y(t-1)+ g2G(t-1) Y_t1 = Y(t-1)

G_t1 = G(t-1)

(Const) = g0(t)


(126)

Lampiran 6 : Fungsi Pengeluaran Pemerintah (REVISI)

Two-stage Least Squares

MODEL: MOD_3. (3B) Equation number: 1 Dependent variable.. G_t

Listwise Deletion of Missing Data

Multiple R ,99324 R Square ,98653 Adjusted R Square ,98531 Standard Error4384127446105

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 2 3,1E+028 1,5E+028 Residuals 22 4,2E+026 1,9E+025 F = 805,69057 Signif F = ,0000

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T Y_t1 ,108899 ,015245 1,352618 7,143 ,0000 G_t1 -,375457 ,195357 -,363923 -1,922 ,0677 Correlation Matrix of Parameter Estimates

Y_t1 G_t1 Y_t1 1,0000000 -,9914309 G_t1 -,9914309 1,0000000

Keterangan :

Model : G(t)= g1Y(t-1)+ g2G(t-1)

Y_t = Y(t)

Y_t1 = Y(t-1) G_t1 = G(t-1)


(127)

Lampiran 7 : Fungsi Ekspor

Two-stage Least Squares

MODEL: MOD_4. (4A) Equation number: 1 Dependent variable.. EX_t

Listwise Deletion of Missing Data Multiple R ,98059

R Square ,96156 Adjusted R Square ,95790 Standard Error7957832016721

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 2 3,3E+028 1,7E+028 Residuals 21 1,3E+027 6,3E+025 F = 262,63178 Signif F = ,0000

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T e_t 2644426295,4541 1342773920 ,199274 1,969 ,0622 YF_t 19,954422 2,516666 ,797474 7,929 ,0000

(Constant-9,508051E+013 1,8270E+013 -5,204 ,0000

Correlation Matrix of Parameter Estimates e_t YF_t

e_t 1,0000000 -,9050512 YF_t -,9050512 1,0000000

Keterangan :

Model : EX(t)= x0(t)+ x1YF(t)+ x2E(t)

YF_t = YF(t)

e_t = e(t)

(Const) = g0(t)


(128)

Lampiran 8 : Fungsi Ekspor (REVISI)

Two-stage Least Squares

MODEL: MOD_4. (4B) Equation number: 1 Dependent variable.. EX_t

Listwise Deletion of Missing Data Multiple R ,99853

R Square ,99707 Adjusted R Square ,99680 Standard Error 1,17751E+013

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 2 1,0E+030 5,2E+029 Residuals 22 3,1E+027 1,4E+026 F = 3744,06408 Signif F = ,0000

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T e_t 8100647297,1774 1909737894 ,549507 4,242 ,0003 YF_t 7,075198 2,027057 ,451113 3,490 ,0021 Correlation Matrix of Parameter Estimates

e_t YF_t e_t 1,0000000 -,9960079 YF_t -,9960079 1,0000000

Keterangan :

Model : EX(t)= x1YF(t)+ x2E(t)

YF_t = YF(t)

e_t = e(t)


(129)

Lampiran 9 : Fungsi Impor

Two-stage Least Squares

MODEL: MOD_5. (5A) Equation number: 1 Dependent variable.. IM_t

Listwise Deletion of Missing Data Multiple R ,96684

R Square ,93478 Adjusted R Square ,92857 Standard Error9426963899532

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 2 2,7E+028 1,3E+028 Residuals 21 1,9E+027 8,9E+025 F = 150,50115 Signif F = ,0000

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T Y_t ,900065 ,128533 1,162389 7,003 ,0000

e_t -2284936804,151 1979034094 -,190516 -1,155 ,2612 (Constant-2,139509E+014 3,3888E+013 -6,314 ,0000

Correlation Matrix of Parameter Estimates Y_t e_t

Y_t 1,0000000 -,9397577 e_t -,9397577 1,0000000

Keterangan :

Model : IM(t)= m0(t)+ m1Y(t)+ m2E(t)

YF_t = Y(t)

e_t = e(t)

(Const) = m0(t)


(130)

Lampiran 10 : Fungsi Impor (REVISI)

Two-stage Least Squares

MODEL: MOD_5. (5B) Equation number: 1 Dependent variable.. IM_t

Listwise Deletion of Missing Data

Multiple R ,99347 R Square ,98698 Adjusted R Square ,98641 Standard Error 1,93370E+013

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 1 6,5E+029 6,5E+029 Residuals 23 8,6E+027 3,7E+026 F = 1742,87113 Signif F = ,0000

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T Y_t ,361916 ,008669 ,993239 41,748 ,0000 Correlation Matrix of Parameter Estimates

Y_t Y_t 1,0000000

Keterangan :

Model : IM(t)= m0(t)+ m1Y(t)

Y_t = Y(t)


(131)

Lampiran 11 : Fungsi Permintaan Uang

Two-stage Least Squares

MODEL: MOD_6. (6A) Equation number: 1 Dependent variable.. M1_t

Listwise Deletion of Missing Data Multiple R ,84001

R Square ,70561 Adjusted R Square ,67757 Standard Error 1,76961E+013

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 2 1,6E+028 7,9E+027 Residuals 21 6,6E+027 3,1E+026 F = 25,16694 Signif F = ,0000

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T Y_t ,579255 ,082699 ,833920 7,004 ,0000

RDP_t -1113303091247 1,8116E+012 -,073383 -,615 ,5455 (Constant-7,358073E+013 4,1093E+013 -1,791 ,0878

Correlation Matrix of Parameter Estimates Y_t RDP_t

Y_t 1,0000000 ,0728991 RDP_t ,0728991 1,0000000

Keterangan :

Model : Md(t)= md0(t)+ md1Y(t)+ md2rDP(t)

Y_t = Y(t)

RDP_t = rDP(t)

Const = md0(t)


(132)

Lampiran 12 : Fungsi Permintaan Uang (REVISI)

Two-stage Least Squares

MODEL: MOD_6. (6B) Equation number: 1 Dependent variable.. M1_t

Listwise Deletion of Missing Data Multiple R ,99501

R Square ,99005 Adjusted R Square ,98962 Standard Error 1,86355E+013

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 1 7,9E+029 7,9E+029 Residuals 23 8,0E+027 3,5E+026 F = 2288,76295 Signif F = ,0000

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T Y_t ,399693 ,008355 ,994711 47,841 ,0000 Correlation Matrix of Parameter Estimates

Y_t Y_t 1,0000000

Keterangan :

Model : Md(t)= md0(t)+ md1Y(t)

Y_t = Y(t)


(133)

Lampiran 13 : Fungsi Penawaran Uang

Two-stage Least Squares

MODEL: MOD_7.

Equation number: 1 Dependent variable.. M1_t

Listwise Deletion of Missing Data Multiple R ,78979

R Square ,62376 Adjusted R Square ,58793 Standard Error 2,07162E+013

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 2 1,5E+028 7,5E+027 Residuals 21 9,0E+027 4,3E+026 F = 17,40793 Signif F = ,0000

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T RJIB_t -4610181549321 2,3719E+012 -,279130 -1,944 ,0655 e_t 7938277893,2273 1497192431 ,737837 5,302 ,0000 (Const) 106676105460639 2,9747E+013 3,586 ,0017 Correlation Matrix of Parameter Estimates

RJIB_t e_t RJIB_t 1,0000000 ,1183036 e_t ,1183036 1,0000000

Keterangan :

Model : Ms(t)= ms0(t)+ ms1E(t)+ ms2rJIB(t)

e_t = E(t)

SBI_t = rSBI(t)

Const = ms0(t)


(134)

Lampiran 14 : Fungsi Nilai Tukar

Two-stage Least Squares

MODEL: MOD_8. (8A) Equation number: 1 Dependent variable.. e_t

Listwise Deletion of Missing Data Multiple R ,77359

R Square ,59844 Adjusted R Square ,56020 Standard Error 2143,10061

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 2 143738990,1 71869495,1 Residuals 21 96450485,1 4592880,2 F = 15,64802 Signif F = ,0001

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T NX_t 2,783020E-010 9,3006E-011 ,746500 . . Q_t 1,800071 ,771050 ,425539 2,335 ,0296

(Constant) -437,636291 3522,399213 -,124 ,9023

Correlation Matrix of Parameter Estimates NX_t Q_t

NX_t 1,0000000 -,5446200 Q_t -,5446200 1,0000000

Keterangan :

Model : E(t)= e0(t)+ e1NX(t)+ e2Q(t)

NX_t = NX(t)

Q_t = Qt)

Const = e0(t)


(135)

Lampiran 15 : Fungsi Nilai Tukar→ REVISI

Two-stage Least Squares

MODEL: MOD_8. (8B) Equation number: 1 Dependent variable.. e_t

Listwise Deletion of Missing Data

Multiple R ,99075 R Square ,98159 Adjusted R Square ,97991 Standard Error 2010,31706

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 2 4740011374,9 2370005687,4 Residuals 22 88910242,8 4041374,7 F = 586,43553 Signif F = ,0000

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T NX_t 2,670507E-010 2,4320E-011 ,816257 . . Q_t 1,834121 ,686762 ,197056 2,671 ,0140 Correlation Matrix of Parameter Estimates

NX_t Q_t NX_t 1,0000000 -,9193138 Q_t -,9193138 1,0000000

Keterangan :

Model : E(t)= e1NX(t)+ e2Q(t)

NX_t = NX(t)

Q_t = Qt)


(136)

Lampiran 16 : Fungsi Suku Bunga JIBOR

Two-stage Least Squares

MODEL: MOD_9.

Equation number: 1

Dependent variable.. RJIB_t

Listwise Deletion of Missing Data Multiple R ,90053

R Square ,81096 Adjusted R Square ,79295 Standard Error ,88549

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 2 70,635518 35,317759 Residuals 21 16,466015 ,784096 F = 45,04265 Signif F = ,0000

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T M1_t -1,958271E-014 6,5974E-015 -,323433 . . SBI1_t ,886846 ,102733 ,842203 8,632 ,0000 (Constant) 3,725227 1,570860 2,371 ,0274 Correlation Matrix of Parameter Estimates

M1_t SBI1_t M1_t 1,0000000 ,1103883 SBI1_t ,1103883 1,0000000

Keterangan :

Model : rJIB(t)= ρJIB0(t)+ ρJIB1rSBI(t)+ ρJIB2Ms(t)

Y_t = Y(t)

M1_t = Ms(t)

SBI1_t = rSBI(t)

Const = rDP0(t)


(137)

Lampiran 17 : Fungsi Suku Bunga Deposito

Two-stage Least Squares

MODEL: MOD_10. (10A) Equation number: 1 Dependent variable.. RDP_t

Listwise Deletion of Missing Data Multiple R ,98082

R Square ,96200 Adjusted R Square ,95838 Standard Error ,42281

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 2 95,033227 47,516614 Residuals 21 3,754104 ,178767 F = 265,80216 Signif F = ,0000

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T M1_t -2,793469E-015 3,1502E-015 -,042380 . . SBI1_t 1,118460 ,049054 ,975648 22,801 ,0000

(Constant) -1,447375 ,750061 -1,930 ,0673

Correlation Matrix of Parameter Estimates M1_t SBI1_t

M1_t 1,0000000 ,1103883 SBI1_t ,1103883 1,0000000

Keterangan :

Model : rDP(t)= ρDP0(t)+ ρDP1rSBI(t)+ρDP2Ms(t)

M1_t = Ms(t)

SBI1_t = rSBI(t)

Const = rDP0(t)


(138)

Lampiran 18 : Fungsi Suku Bunga Deposito (REVISI)

Two-stage Least Squares

MODEL: MOD_10. (10B) Equation number: 1 Dependent variable.. RDP_t

Listwise Deletion of Missing Data Multiple R ,99858

R Square ,99716 Adjusted R Square ,99691 Standard Error ,44288

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 2 1517,7618 758,88089 Residuals 22 4,3151 ,19614 F = 3869,07019 Signif F = ,0000

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T M1_t -7,747307E-015 1,8903E-015 -,177992 . . SBI1_t 1,056528 ,039148 1,168717 26,988 ,0000 Correlation Matrix of Parameter Estimates

M1_t SBI1_t M1_t 1,0000000 -,9650345 SBI1_t -,9650345 1,0000000

Keterangan :

Model : rDP(t)= ρDP1rSBI(t)+ ρDP2Ms(t)

M1_t = Ms(t)

SBI1_t = rSBI(t)


(139)

Lampiran 19 : Fungsi Suku Bunga Kredit Investasi

Two-stage Least Squares

MODEL: MOD_11.

Equation number: 1 Dependent variable.. RIV_t

Listwise Deletion of Missing Data Multiple R ,86398

R Square ,74646 Adjusted R Square ,72231 Standard Error ,84718

Analysis of Variance:

DF Sum of Squares Mean Square Regression 2 44,372968 22,186484 Residuals 21 15,071863 ,717708 F = 30,91298 Signif F = ,0000

Variables in the Equation ---Variable B SE B Beta T Sig T RDP_t ,424670 ,088712 ,545300 4,787 ,0001 Q_t -,001316 ,000262 -,563181 -5,018 ,0001 (Constant) 12,423461 ,855499 14,522 ,0000 Correlation Matrix of Parameter Estimates

RDP_t Q_t RDP_t 1,0000000 ,2221762 Q_t ,2221762 1,0000000

Keterangan :

Model : rIV(t)= ρIV0(t)+ ρIV2rDP(t)+ ρIV2Q(t)

RDP_t = rDP(t)

Q_t = Q(t)

Const = rIV0(t)