lingkungan. Panil bambu lapis dibuat berukuran 35 cm x 35 cm x 0,5 cm, dan perlakuan yang diberikan adalah model ‘letak sambungan’. Terdapat lima model
‘letak sambungan’ yang nantinya akan dianalisis untuk menentukan letak sambungan mana yang terbaik untuk diaplikasikan pada bambu lapis berdasarkan
hasil pengujian fisis mekanisnya.
1.2 Tujuan
1. Membandingkan hasil pengujian bambu lapis yang memiliki sambungan
dengan kontrol bambu lapis tanpa sambungan. 2.
Mengetahui komposisi terbaik letak sambungan pada bambu lapis yang telah dihasilkan berdasarkan hasil pengujian.
3. Memberikan saran terhadap pemanfaatan bambu lapis yang memiliki
kualifikasi sebagaimana bambu lapis hasil penelitian.
1.3 Hipotesis
1. Adanya sambungan pada bambu lapis akan mengakibatkan penurunan
kekuatan sifat mekanis. 2.
Model letak sambungan akan mempengaruhi kekuatan mekanis pada bambu lapis.
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pemanfaatan anyaman bambu dalam pengembangan bambu lapis struktural dan
dapat diaplikasikan dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bambu
2.1.1 Sifat Umum Bambu Bambu merupakan sumberdaya hutan bukan kayu dalam keluarga
Graminae, suku Bambuseae, dan sub famili Bambusoideae yang terdiri dari
batang, akar rhizoma yang kompleks dan mempunyai sistem percabangan dan tangkai daun yang menyelubungi batang Dransfield dan widjaya, 1995. Pada
umumnya, tanaman bambu di Indonesia ditemukan di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 3000 mdpl, di tempat-tempat yang terbuka
dan daerah bebas genangan air Krisdianto et al., 2000. Menurut Widjaya 2001, jumlah bambu di Indonesia terdiri dari 143 jenis dimana sebanyak 60 jenis
diantaranya tumbuh di Pulau Jawa. Lebih lanjut Widjaya 2001 menyatakan bahwa bambu mudah sekali
dibedakan dengan tumbuhan lainnya karena tumbuhnya merumpun, batangnya bulat, berlubang dan beruas-ruas, percabangannya kompleks, setiap daun
bertangkai dan bunga-bunganya terdiri dari sekam, sekam kelopak, dan sekam mahkota. Menurut Dransfield dan Widjaya 1995, diameter batang bambu
tergantung dari spesiesnya dan lingkungan tempatnya tumbuh dengan variasi besar diameter antara 0,5-20 cm. Berbagai metode yang digunakan untuk
memperbanyak bambu antara lain perbanyakan secara generatif melalui biji, secara vegetatif dengan metode pemotongan rimpang akar, stek batang, stek
cabang, stump batang dalam rumpun bambu dan kultur jaringan. Perbanyakan generatif melalui biji sangat jarang dilakukan karena biji bambu umumnya sangat
sulit diperoleh di lapangan. Pemanenan bambu bergantung pada umur, musim dan bagian yang
digunakan—batang atau rebung. Sulthoni 1987 dalam Dransfield dan Widjaya 1995 mengatakan bahwa pemanenan bambu untuk produksi batang dilakukan
selama musim kemarau untuk mencegah bambu terserang penggerek. Hal ini terkait dengan menurunnya kandungan pati dalam bambu selama musim kemarau.
Selanjutnya Tamolang et al. 1980 dalam Fadli 2006 menyatakan bahwa perendaman bambu pada air laut atau air mengalir selama 2-3 bulan dapat
mengurangi kadar pati yang berimplikasi pada berkurangnya serangan kumbang. Pada umur 1-2 tahun batang bambu cocok dipanen untuk tujuan produksi pulp dan
barang kerajinan tangan, sedangkan batang bambu yang berumur 3 tahun cocok dipanen sebagai bahan bangunan dan furniture.
a. Sifat Fisis Bambu ¾
Berat Jenis Haygreen dan Bowyer 1989 mendefinisikan berat jenis BJ sebagai
perbandingan antara kerapatan kayu atas dasar berat kering tanur dan volume basah dengan kerapatan air pada suhu 4ºC.
Menurut Tamolang
et al. 1980 dalam Fadli 2006 BJ bambu cenderung
naik ke arah ujung. Selanjutnya Liese 1985 menyatakan bahwa BJ bambu bevariasi dari 0,5-0,8 dengan bagian luar dari batang mempunyai BJ lebih besar
dari bagian dalamnya. ¾
Kadar Air Kadar air bambu sangat penting karena dapat mempengaruhi sifat-sifat
mekanis bambu. Kadar air bambu dewasa segar berkisar antara 50-99 dan pada bambu muda berkisar 80-150, sedangkan kadar air bambu kering berkiar antara
8-12. Kadar air batang bambu meningkat dari bawah ke atas dan dari umur 1-3 tahun, selanjutnya menurun pada bambu yang berumur lebih dari 3 tahun. Kadar
air meningkat pada musim penghujan jika dibandingkan dengan musim kemarau Dransfield dan Widjaya, 1995.
Perbedaan kadar air pada musim kemarau dapat mencapai 100. Selama musim kemarau, bagian atas bambu hanya mengandung kira-kira 50 air Yap,
1967. Tamolang
et al. 1980 dalam Fadli 2006 menyatakan bahwa bambu muda
mengalami penurunan kadar air lebih cepat dari bambu dewasa selama proses pengeringan, yang dapat menyebabkan terjadinya pecah atau belah pada batang.
¾ Penyusutan
Tidak seperti kayu, bambu langsung menyusut setelah dipanen, tetapi tidak berlangsung seragam. Penyusutan dipengaruhi oleh tebal dinding dan diameter
batang bambu Liese, 1985 dalam Dransfield dan Widjaya, 1995. Pengeringan bambu dewasa segar hingga kadar air 20 menyebabkan penyusutan sebesar
4-14 pada tebal dinding dan 3-12 pada diameternya. Penyusutan lebih besar terjadi pada arah radial daripada arah tangensialnya sekitar 7 berbanding 6,
tetapi penyusutan antara bagian dalam dengan bagian luar dinding batang bambu sangat besar. Penyusutan pada arah longitudinal kurang dari 0,5 Dransfield dan
Widjaya, 1995. b. Sifat Mekanis Bambu
Haygreen dan Bowyer 1989 menyatakan kekuatan dan ketahanan terhadap perubahan suatu bahan disebut sebagai sifat mekanis. Kekuatan adalah
kemampuan suatu bahan untuk memikul bebangaya yang mengenainya. Ketahanan terhadap perubahan bentuk menentukan banyaknya bahan yang
dimanfaatkan, terpuntir atau terlengkungkan oleh beban yang mengenainya. Sifat kekuatan meningkat dengan adanya penurunan kadar air dan
berhubungan erat dengan berat jenis Dransfield dan Widjaya, 1995. Kekuatan maupun kekakuan kayu akan naik dengan semakin besarnya berat jenis Haygreen
dan Bowyer, 1989. Umur bambu, kondisi bambu, kadar air, bentuk dan ukuran contoh uji,
berbuku atau tidaknya, posisi dalam batang dan lama pembebanan sangat mempengaruhi sifat fisis dan mekanis bambu. Kekuatan mekanis sangat
bergantung pada lapisan sklerenkim, yaitu jaringan yang berdinding tebal dan kuat yang terdiri dari sel-sel dewasa yang telah mati Janssen, 1988. Hal ini
sejalan dengan Liese 1985 yang menyatakan bahwa sifat mekanis bambu lebih ditentukan oleh keberadaan ikatan vaskulernya dimana sklerenkim terdapat di
dalamnya dan bukan pada parenkim. Hingga saat ini, parenkim masih belum ditemukan kegunaannya.
Selain itu, kekuatan mekanis juga dipengaruhi oleh kulit buluh yang mengandung silika, dimana kehadiran silika berimplikassi pada meningkatnya
kekuatan bambu. Dransfield dan Widjaya 1985 menyatakan bahwa kandungan silika batang bambu umumnya lebih tinggi dari kayu yaitu sebesar 0,5-4.
Disamping itu, jenis bambu yang berbeda akan memberikan sifat mekanis yang meliputi keteguhan lentur, keteuhan tarik dan keteguhan tekan yang berbeda
pula. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Syafi’i 1984. Sifat fisis mekanis 5 jenis bambu pernah diteliti oleh Syafi’i 1984 antara
lain seperti pada Tabel 1.
Tabel 1 Sifat fisis mekanis beberapa jenis bambu di Indonesia
Sifat yang diuji Jenis Bambu
Betung Gombong Kuning
Tali Sembilang
1. BJ 0.61
0.55 0.52
0.65 0.71
2. Susut volume Basah - Kering
Udara 10.62 12.36 11.29 12.45 11.05
Kering Udara - Kering Tanur
4.99 4.96 4.74 4.6 4.49
Susut tebal Basah - Kering
Udara 6.02 7.94 4.31 5.83 3.04
Kering Udara - Kering Tanur
4.3 5.75 5.47 5.32 7.03 Susut lebar
Basah – Kering 4.81
6.58 3.19
6.3 2.48
Kering Udara - Kering Tanur
4.83 5.96 4.19 3.6 7.57
3. MOR kgcm
3
1.64 1.36 1.15 627
4. MOE kgcm
3
131.19 98.29 76.21 143.21
5. Tekan sejajar serat kgcm
2
605 521 455 627
6. Tekan tegak lurus serat kgcm
2
2.13 1.91 1.32 2.01 1.91 Sumber : Syafi’i 1984
tidak dapat dibuat spesimen percobaan karena dinding bambu terlalu tipis Beberapa kelebihan bambu antara lain a pertumbuhannya cepat, dapat
diolah dan ditanam di berbagai tempat sehingga dapat memberikan keuntungan secara kontinyu, b memiliki sifat mekanis yang baik, c hanya memerlukan alat
yang sederhana, d kulit luar yang mengandung silikat dapat melindungi bambu. Sedangkan beberapa diantara kelemahannya adalah a keawetan bambu relatif
rendah sehingga memerlukan upaya pengawetan, b sangat rentan terhadap resiko api, dan c bentuknya silinder sehingga menyulitkan proses penyambungan
Krisdianto dkk., 2000. Selanjutnya, Krisdianto juga menyatakan bahwa dalam penggunaannya di
masyarakat, bahan bambu terkadang menemui beberapa keterbatasan. Sebagai bahan bangunan, faktor yang sangat mempengaruhi bahan bambu adalah sifat
fisik bambu yang membuat sukar dikerjakan secara mekanis, variasi dimensi dan ketidakseragaman panjang ruasnya serta ketidakawetan bahan bambu tersebut
menjadikan bambu tidak dipilih sebagai bahan komponen konstruksi bangunan. Sering ditemui barang-barang yang berasal dari bambu yang dikuliti, khususnya
dalam keadaan basah mudah diserang oleh jamur biru dan bulukan, sedangkan bambu bulat utuh dalam keadaan kering dapat diserang serangga bubuk kering
dan rayap kayu kering.
2.2 Bambu Tali Gigantochloa apus J.A. J.H. Schultes Kurz