Nilai pengembangan tebal yang bervariasi juga menimbulkan pendugaan bahwa model letak sambungan mempengaruhi sifat pengembangan tebal pada
bambu lapis. Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap pengembangan tebal bambu lapis, dilakukan analisis sidik ragam dan hasilnya
disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Analisis sidik ragam pengembangan tebal bambu lapis
Sumber DB
JK KT
F hit. Pr F
F tabel keragaman 0,05
0,01 Model letak
5 0.020832 0.004166 3.95 0.0237
3.106 5.064
Sambungan
Keterangan : DB : Derajat Bebas
JK : Jumlah Kuadarat KT : Kuadrat Tengah
: nyata : sangat nyata
tn : tidak nyata
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa model letak sambungan berpengaruh nyata terhadap pengembangan tebal bambu lapis. Hasil uji lanjut
Duncan Lampiran 2 menunjukkan bahwa pengembangan tebal yang dihasilkan pada model D berbeda nyata dengan seluruh model letak sambungan pada bambu
lapis dalam penelitian ini. Dari grafik yang tersaji pada Gambar 8 juga terlihat bahwa Model D, yaitu peletakan sambungan yang disusun pada lapisan 1, 3, dan 5
memiliki nilai pengembangan tebal yang paling tinggi. Sementara Model C, yaitu peletakan sambungan yang disusun secara berurutan pada tiga lapisan teratas,
memiliki nilai pengembangan tebal yang paling rendah. Sehingga dapat disarankan penggunaan model letak sambungan C untuk mendapatkan nilai
pengembangan tebal yang paling baik yaitu pengembangan tebal bambu lapis yang sekecil mungkin.
4.2 Sifat Mekanis Bambu Lapis dari Anyaman Bambu Tali
4.2.1 Keteguhan Patah Modulus of RuptureMOR
Keteguhan patah atau Modulus of rupture merupakan suatu besaran yang menyatakan nilai ketahanan suatu bahan atau material sampai patah bila dikenai
beban dari luar, atau dengan kata lain, nilai yang menunjukkan beban maksimum yang dapat ditahan oleh suatu persatuan luas sampai bahan tersebut patah
Haygreen dan Bowyer 1993.
Nilai keteguhan patah bambu lapis dalam penelitian ini berkisar antara 178,098 kgcm² sampai dengan 753,204 kgcm² seperti yang terlihat pada Gambar
9.
Gambar 9 Histogram hubungan antara keteguhan patah dengan model letak sambungan.
Nilai keteguhan patah terendah terdapat pada Model Letak Sambungan A, dimana pada model ini sambungan disusun berurutan pada seluruh lapisan vinir
dengan pendugaan bahwa komposisi ini paling lemah sifat mekanisnya. Hasil pengujian keteguhan patah membuktikan bahwa pendugaan tersebut adalah benar.
Nilai keteguhan patah tertinggi terdapat pada Model Letak Sambungan B dimana pada model ini sambungan disusun secara berurutan pada dua lapisan teratas
dengan asumsi bahwa bekerja gaya tekan pada 2 lapisan teratas dan gaya tarik pada 3 lapisan terbawah, yang, dengan komposisi tersebut diharapkan bambu lapis
dapat mencapai kekuatan optimum. Hasil pengujian keteguhan patah menunjukkan bahwa komposisi ini adalah komposisi yang terbaik dipandang dari
sifat mekanis keteguhan patahnya. Mekipun demikian, nilai MOR pada Model B masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan nilai MOR bambu lapis kontrol
yang sebesar 1475,506 kgcm
2
. Keteguhan patah minimum menurut standar SNI sebesar 140 kgcm
2
. Nilai tersebut merupakan syarat untuk plywood struktural dengan ketebalan 5,0 mm.
Dengan demikian, seluruh model lapisan pada penelitian ini telah melampaui standard minimum MOR yang ditetapkan dalam SNI.
Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap keteguhan patah bambu lapis, dilakukan analisis sidik ragam dan hasilnya disajikan pada
Tabel 6. Tabel 6 Analisis sidik ragam keteguhan patah bambu lapis
Sumber DB
JK KT
F hit. Pr F
F tabel keragaman 0,05
0,01 Model letak
5
3297007.52 659401.50 47.43 0.0001 3.106 5.064
sambungan
Keterangan : DB : Derajat Bebas
JK : Jumlah Kuadarat KT : Kuadrat Tengah
: nyata : sangat nyata
tn : tidak nyata
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa model letak sambungan berpengaruh sangat nyata terhadap keteguhan patah bambu lapis. Hasil uji lanjut
Duncan Lampiran 3 menunjukkan bahwa keteguhan patah bambu lapis pada model B berbeda nyata dengan bambu lapis kontrol dimana bambu lapis kontrol
adalah yang terbaik; tidak berbeda nyata dengan model D dan E dimana meski tidak berbeda nyata namun nilai keteguhan patah model B adalah yang terbaik
bila dibandingkan dengan model D dan E; dan berbeda nyata dengan model C dan A yang nilai keteguhan patahnya menempati urutan dua terbawah. Sehingga untuk
mendapatkan bambu lapis dengan nilai keteguhan patah paling mendekati keteguhan patah bambu lapis kontrol, maka disarankan penggunaan model letak
sambungan B.
4.2.2 Keteguhan Lentur Modulus of ElasticityMOE