Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Pangan antar Wilayah dan

67 adalah FD-GMM Arellano and Bond dengan p-value 0.0000. R-square sebesar 0.8183 artinya variasi variabel independen dapat menjelaskan 81.83 persen variasi harga telur ayam, sedangkan 18.17 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak ada dalam model Tabel 10. Harga telur ayam ras antar wilayah di Indonesia hanya di pengaruhi oleh PDRB dan jumlah penduduk secara positif sedangkan jumlah produksi dan panjang jalan dipengaruhi secara negatif. Peningkatan PDRB dan jumlah penduduk dapat meningkatkan harga telur ayam ras dan peningkatan jumlah produksi dan panjang jalan dapat menurunkan harga telur ayam. Harga telur ayam ras tahun sebelumnya mempengaruhi PDRB sebesar 0.71 persen. Jika PDRB naik 1 persen, maka harga telur ayam ras akan naik sebesar 0.71 persen. Jumlah penduduk mempengaruhi perubahan harga jual telur sebesar 12.32 persen. Jika jumlah penduduk bertambah 1 persen maka harga jual telur ayam akan naik sebesar 12.32 persen. Sedangkan jumlah produksi dan panjang jalan mempengaruhi harga telur ayam sebesar 0.0007 persen dan 0.13 persen. Jika jumlah produksi naik 1 persen maka harga telur akan turun sebesar 0.0007 persen. Dan jika panjang jalan naik 1 persen akan menyebabkan harga telur akan telur turun sebesar 0.13 persen. Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging sapi dilakukan dengan menggunakan variabel independen jumlah produksi, Produk Domestik Regional Bruto PDRB, jumlah penduduk dan panjang jalan Model panel data dinamis yang terpilih untuk analisis perubahan harga bawang merah adalah FD- GMM Arellano and Bond dengan p-value 0.0000. R-square sebesar 0.9226 artinya variasi variabel independen dapat menjelaskan 92.26 persen variasi harga daging sapi, sedangkan 7.74 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak ada dalam model Tabel 10. Harga daging sapi antar wilayah di Indonesia di pengaruhi PDRB dan jumlah penduduk secara positif serta jumlah produksi berpengaruh secara negatif. Peningkatan PDRB dan jumlah penduduk dapat meningkatkan harga beras. Sebaliknya peningkatan jumlah produksi akan menurunkan harga daging sapi. PDRB mempengaruhi harga daging sapi sebesar 0.38 persen. Jika PDRB naik 1 persen, maka harga daging sapi akan naik sebesar 0.38 persen. Jumlah 68 penduduk mempengaruhi harga daging sapi sebesar 3.36 persen. Jika jumlah penduduk naik 1 persen, maka harga daging sapi akan naik sebesar 3.36 persen. Jumlah produksi juga menjadi penentu juga dalam perubahan harga daging sapi tahun sekarang secara negatif. Jika jumlah produksi bertambah 1 persen akan menyebabkan penurunan harga beras sebesar 0.04 persen. Hasil penelitian yang dilakukan ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Prastowo et al 2008, bahwa yang mempengaruhi harga daging sapi adalah harga sebelumnya, harga daging sapi di pasar internasional, harga BBM, dummy lebaran dan idul adha.

4.4 Implikasi Kebijakan

Perbedaan harga antar wilayah merupakan fenomena yang biasa terjadi di negara berkembang, namun pada tingkat yang lebih lanjut dapat mengakibatkan masalah-masalah ekonomi yang berkepanjangan dan juga tantangan sosial dan politik bahkan dapat memicu disintegrasi bangsa. Oleh karena itu pemerintah mempunyai tanggung jawab penting dalam mewujudkan pemerataan dan distribusi hasil-hasil pertanian ke arah keseimbangan proporsional sesuai dengan potensi dan karakteristik wilayahnya masing-masing. Setiap wilayah diharapkan dapat mencapai tingkat harga yang stabil untuk kesejahteraan masyarakatnya. Pemenuhan kebutuhan pada tingkat rumah tangga bertujuan untuk mengenali kebutuhan yang mendesak dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, membantu daerah dalam rangka mencapai kemandirian ekonomi dan meningkatkan daya saing, serta mendorong pengembangan potensi daerah agar mampu mengekspor hasil pertaniannya, untuk mendukung perekonomian nasional Soedjito 1997. Pada tingkat daerah seyogyanya diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut: 1. Penurunan kehilangan hasil pada komoditas pertanian masih relatif tinggi, sehingga penanganan pascapanen dan pengolahan sangat berperan dalam upaya perbaikan kehilangan hasil tersebut. 2. Pengembangan distribusi antar wilayah sentra produksi dan konsumsi pangan pokok pada saat panen raya belum terlaksana secara teroganisir, sehinga terjadi fluktuasi yang sangat tinggi antar sentra produksi. Salah satu kendala 69 yaitu belum adanya sistem informasi yang dapat diakses akibat tidak terdapatnya informasi harga antar sentra produksi. Distorsi informasi ini mengakibatkan harga antar sentra produksi berbeda satu sama lain dengan cukup tinggi. 3. Stabilisasi harga, fluktuasi harga sering terjadi pada komoditas pangan pokok oleh karena itu pemerintah hendaknya berperan aktif untuk mencari solusi guna menstabilkan harga, terutama pada saat panen raya. 4. Pengendalian serta proteksi impor, Pada saat musim tanam di Indonesia, kadangkala terdapat pangan pokok impor ilegal maupun legal di sentra produksi. Oleh karena itu, dengan adanya perbedaan musim tanam antar wilayah sentra produksi dimana pada hakekatnya ada peluang untuk mengatur musim tanam antara propinsi. Dalam pada itu, perlu adanya kebijakan proteksi pangan pokok impor. Kebijakan yang lebih efektif sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan ketidakstabilan harga pangan di Indonesia dengan revitalisasi lahan, revitalisasi perbenihan dan perbibitan, revitalisasi infrastruktur dan sarana, revitalisasi sumber daya manusia, revitalisasi pembiayaan petani, revitalisasi kelembagaan petani dan revitalisasi teknologi dan industri hilir Renstra 2010- 2014. 70 Halaman ini sengaja dikosongkan 71 V.KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Dinamika harga rata-rata tertinggi antar wilayah dari tahun 2002-2009 untuk komoditi beras, gula pasir, bawang merah, daging dan telur ayam berada di wilayah Jayapura, minyak goreng, di wilayah kendari, kacang kedelai di wilayah Bali, cabe merah palangkaraya, dan daging sapi di wilayah Nangroe Aceh Darusalam NAD. Harga rata-rata terendah dari tahun 2002-2009 untuk komoditi beras di wilayah Sulawesi Selatan, minyak goreng dan daging sapi di wilayah Kupang, gula pasir di wilayah Semarang, kacang kedelai dan telur ayam di wilayah NAD, bawang merah di wilayah Yogyakarta, cabe merah di wilayah Denpasar, dan daging ayam di wilayah Pontianak. Dinamika rasio perubahan harga rata-rata tertinggi antar waktu dari tahun 2002-2009 untuk komoditi pangan pokok adalah gula pasir, untuk komoditi tanaman pangan dan holtikultura adalah bawang merah serta untuk komoditi produk peternakan adalah telur ayam. Sedangkan rasio perubahan harga rata- rata terendah untuk komoditi pangan pokok adalah minyak goreng, tanaman pangan dan holtikultura adalah cabe merah serta untuk produk peternakan adalah daging ayam. 2. Konvergensi terjadi pada semua komoditi, dengan tingkat konvergensi tertinggi terdapat pada komoditi kacang kedelai dan terendah pada komoditi cabe merah; dan 3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan harga pangan adalah jumlah produksi, Produk Domestik Regional Bruto PDRB, jumlah penduduk dan panjang jalan.

5.2. Saran Saran yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk komoditi yang memiliki harga rata-rata tertinggi perlu diperbaiki pola distribusi dan peningkatan persediaan yang memadai agar tersedia sepanjang waktu. 72 2. Cabe merah memiliki tingkat konvergensi yang paling rendah sehingga diperlukan peningkatan teknologi pra dan pasca panen seperti penanaman cabe menggunakan teknologi budidaya untuk mengurangi kebusukan pada musim hujan berupa pembelian plastik pada lahan tanaman dan rumah kaca serta pengolahan lebih lanjut agar lebih tahan lama. 3. Untuk menurunkan harga pangan perlu dilakukan peningkatan jumlah produksi, peningkatan PDRB, penurunan jumlah penduduk dan perluasan panjang jalan. 73 DAFTAR PUSTAKA Andersson M, Masuch, Klaus, Schiffbauer M. 2009. Determinan of Inflation and price level differential acros the euro are countries. ECB Working Paper No. 1129. Angeloni I, M Flad, FP Mongelli. 2005. Economic and monetary integration of the new member states helping to chart the route”. Occasional Paper Series Europan Central Bank 36: 1-39. Barrios E, Nalica A. 2007. Convergence of growth in rice production in the Philippines. Barro R and Sala-i-Martin X. 1992. Convergence across states and regions. Brookings Paper on Economic Activity 1:107-82. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Indonesia dalam Angka. Jakarta: BPS Baum C, M. Schaffer, S. Stillman. 2003. Instrumental variables and GMM: estimation and testing. Working Paper 545:14-28. Blanchard O. 2004. Macroeconomics. Ed ke-4. Prentice Hall Boediono. 1997. Ekonomi Moneter. Ed ke-3. Yogyakarta: BPFE. Borensztein E, Khan, MS. Reinhart, CM, Wickham P. 1994. The Behavior of non-oil commodity prices. Occasional Paper 112. Washington DC: Internation Monetary Fund Brata AG. 2002. Pengeluaran pemerintah daerah dan konvergensi pendapatan per kapita studi kasus Jawa Tengah 19951996-19981999. [tesis]. Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Busetti F, L. Forni, A. Harvey, F. Venditti. 2006. Inflation convergence and divergence within the European Monetary Union. Working Papaer Series 574. Capello Roberta. 2007, Regional Economics. New York: Routledge Chambers MJ, Bailey RE. 1996. A theory of commodity price fluctuations. The Journal of Political Economy 104 5:924-957. Dawe D. 2001. How far down the path to free trade? The importance of rice price stabilization in developing Asia. Food Policy 26:163-175. 74 Deaton A, Laroque G. 1992. On the behavior of commodity prices. Review of Economic Studies 59: 1-23. Dornbusch Rudigersch, Fischer Stanley, Startz Richard. 2004. Macroeconomics. Ed ke- 9. Mc Graw Hill Firdaus M. 2011. Aplikasi ekonometrika untuk data panel dan time series. Bogor: IPB Press Furlong F, Ingenito R. 1996. Commodity prices and inflation. Federal reserve Bank of San Francisco FRBSF Economic Review 2: 27-47. Hanie. 2006. Analisis konvergesi nominal dan riil diantara negara-negara ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Hasan MF. 2008. Menghindari Krisis Pangan Global. Majalah Investor Daily. Hutabarat. 2005. Determinan Inflasi Indonesia. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Irwin H. Garcia P. Good D. Kunda E. 2009. Spreads and non-convergence in CBOT corn, soybean, and wheat futures: are index funds to Blame. Chicago. Loveridge S. 1991. Marketing in Rwanda - imports and infrastructure. Food Policy 16:95-104. Minten B, S. Kyle. 1999. The effect of distance and road quality on food collection, marketing margins, and traders wages: evidence from the former Zaire. Journal of Development Economics 60: 467-495. Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Penerangan Ekonomi dan Sosial LP3ES. Nindyowati E. 2001. Kebijakan dan program pembangunan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Makalah Seminar Nasional Makanan Tradisional NICE Center Graha Pena Building Surabaya 27 Oktober 2001. Parasati. 2006. Infrastruktur: peran dan permasalahan bagi pengembangan daerah. Buletin Kawasan. Edisi 18. Prastowo, Nugroho, Joko. 2008. Pengaruh distribusi dalam pembentukan harga komoditas dan implikasinya terhadap inflasi. Working Paper Bank Indonesia. 75 Ralhan M, Dayanandan A. 2005. Price index convergence among provinces and cities across Canada: 1978 – 2001. Econometrics Working Paper EWP 504. Canada:University of Victoria. Raharja, Mandala. 2002. Teori ekonomi mikro: suatu pengantar. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Rahim. 2008. Pengantar, teori dan kasus ekonomika pertanian. Jakarta: Penebar Swadaya. Salvatore Dominick. 1996. Internasional Economics. New Jersey: Prentice Hall Inc. Samaniego A. 2000. Cross-border price convergence: the case of the mercosu. Kansas: Kansas State University Manhattan. Siregar H. 2009. Dinamika harga pangan, BBM, inflasi serta kemiskinan, dan implikasinya bagi ketahanan pangan. Bogor: IPB Pres. Soedjito B. 1997. Strategi pengembangan kawasan timur Indonesia dalam bunga rampai perencanaan pembangunan di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Soekartawi. 2002. Prinsip dasar ekonomi pertanian: teori dan aplikasi. Edisi Revisi 2002. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Suyastiri YP. 2008. Diversifikasi konsumsi pangan pokok berbasis potensi lokal dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga pedesaan di Kecamatan Semin Kabupaten Gunung Kidul. Suparmoko M. 1997. Pengantar ekonomika mikro. Ed ke-2. Yogyakarta: BPFE. Susanto. 2007. Market integration in the North American Onion markets: an empirical analysis using panel data. Selected paper prepared for presentation at the Southern Agricultural Economics Association Annual Meeting Mobile. Alabama. Syafa’at B. 2007. Studi Dinamika Produksi Padi Tahun 2001 dan Identifikasi Faktor Penyebabnya. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian bekerjasama dengan ARMP II Agriculture Research Management Project. Jakarta: Badan Litbang Pertanian. Timmer. 2008. Productivity level database: international comparisons of output, inputs and productivity at the industry level. Research Memorandum GD- 104, Groningen Growth and Development Centre, University of Groningen. 76 Tomek, William G. 2000. Commodity prices revisited. Staff Paper 2000-05, Department of Applied Economics and Management, Cornell University, New York. Verbeek, M. 2000. A guide to modern Econometrics. Chicester: John Wiley Sons. Ltd. Wan GH. 2005. Convergence in food consumption in Rural China: evidence from household survey data. China Economic Review 16 1,:90–102. Wibisono Y. 2003. Konvergensi di Indonesia: beberapa temuan awal dan implikasinya. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia. 2003 1 51:53-82. 77 LAMPIRAN