Convergence and the Factors that Influence Regional of District Level in Indonesia.

(1)

MASFUFAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konvergensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesenjangan Pendapatan Daerah di Enam Koridor Ekonomi Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis.

Bogor, Juli 2013

Masfufah


(3)

Level in Indonesia. Under the Supervision of MUHAMMAD FIRDAUS and EKA INTAN KUMALA PUTRI.

Areas development is a sub system of economic corridors and province development, also as part of national development that could not be separated. The implication of economic development at each district level has been gave different achievement. The Implication of fiscal decentralization policy on 2001, gave an important roles to the region government on areas growth. Aims of this research are to analyze dynamics of areas disparity and facilities development, to examine the income convergence by Gross Regional Domestic Product (GRDP) and household expenditures of district level areas and comparing between economic corridor in Indonesia, and to analyze the influence factors of areas disparity between economic corridor in Indonesia for five years period on 2006-2010. The conclusion of analysis result shows when used GRDP, there were no income convergence of district level in Indonesia, while when used household expenditures by FD-GMM estimation technique, there were a number of convergence process. Further, there were convergences in every economic corridor, both with GRDP or household expenditures. The fastest convergence exists at Java Economic Corridor by household expenditures.


(4)

Pendapatan Daerah di Enam Koridor Ekonomi Indonesia. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan EKA INTAN KUMALA PUTRI.

Pertumbuhan ekonomi suatu negara menentukan standar hidup negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam pelaksanaan pembangunan merupakan salah satu sasaran bagi negara-negara berkembang. Perkembangan perekonomian yang dicapai bangsa Indonesia sampai saat ini ternyata masih harus menghadapi permasalahan yang mungkin juga dialami negara lain khususnya negara sedang berkembang. Realitas pembangunan ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pertumbuhan adalah terciptanya disparitas antar wilayah. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan faktor endownment dari masing-masing wilayah.

Fenomena disparitas antar wilayah yang terjadi, diantaranya dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan fasilitas infrastruktur (pendidikan, kesehatan, jalan, listrik, air bersih, dan telepon). Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitas. Dalam implementasi MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dialkukan untuk mengembangkan 8 program utama yang terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama sesuai dengan potensi dan nilai strategis kegiatan utama tersebut di koridor yang bersangkutan. Dimana salah satu strateginya diantaranya adalah mengembangkan potensi ekonomi wilayah di 6 koridor ekonomi yaitu koridor ekonomi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Kep. Maluku dimana masing koridor ekonomi tersebut diposisikan strategi yang berbeda-beda.

Beranjak dari fenomena tersebut, bahwa karakteristik potensi wilayah koridor, baik yang bersifat alami maupun buatan merupakan salah satu unsur yang menarik dikaji dalam kaitannya dengan upaya pengurangan disparitas pembangunan antar wilayah koridor ekonomi dan kabupaten/kota yang ada. Dengan demikian diharapkam akan tercipta pemerataan (equity), pertumbuhan (efficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan wilayah.

Dinamika pendapatan antar wilayah selama ini dianalisis dengan menggunakan data PDRB per kapita yang menunjukkan potensi wilayah dalam proses produksi. Data ini kurang dapat mempresentasikan kemampuan masyarakatnya dalam mencapai kesejahteraan. Analisis konvergensi wilayah berdasarkan data tersebut prlu dibandingkan dengan melihat pendapatan masyarakat, yang diproksi dengan menggunakan pendekatan pengeluaran rumah tangga.

Bertolak dari hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika disparitas pendapatan wilayah dan dinamika pembangunan infrastruktur, menguji konvergensi wilayah kabupaten/kota dan membandingkan antar koridor ekonomi di Indonesia, serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah antar koridor ekonomi di Indonesia selama periode lima tahun, yaitu dari tahun 2006-2010. Variabel yang diteliti untuk konvergensi adalah


(5)

share sector pertanian terhadap PDRB, share manufaktur terhadap PDRB, share tenaga kerja yang berpendidikan SMA keatas, persentase rumah tangga yang pengguna listrik, persentase rumah tangga pengguna air bersih, persentase rumah tangga pengguna telepon, panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang, baik jalan negara, jalan provinsi, maupun jalan kabupaten/kota yang berada pada masing-masing provinsi, serta rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk dari beberapa provinsi di masing-masing koridor ekonomi di Indonesia dengan menggunakan model data panel statis.

Tren dinamika disparitas kabupaten/kota di Indonesia hasil penghitungan koefisien variasi Williamson selama periode 2006-2010 mengalami kecenderungan menurun, baik dihitung dengan pendekatan PDRB maupun pengeluaran rumah tangga. Namun disparitas wilayah kabupaten/kota di Indonesia masih tinggi berada pada kisaran 0,75 sampai dengan 0,77 selama periode penelitian., dimana disparitas di dalam koridor ekonomi lebih tinggi dibandingkan disparitas antar koridor ekonomi. Tren disparitas kabupaten/kota di masing-masing koridor juga mengalami kecenderungan menurun sama halnya dengan Indonesia, dimana disparitas kabupaten/kota yang terjadi koridor Jawa, serta koridor Papua-Kep Maluku lebih tinggi dibandingkan koridor Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali-Nusa Tenggara.

Dinamika pembangunan infrastruktur antar koridor ekonomi di Indonesia selama periode tahun 2006-2010 secara umum terus mengalami peningkatan . Peningkatan fasilitas infrastruktur yang terjadi masih belum sesuai dengan yang diharapkan, karena peningkatan terhadap kebutuhan infrastruktur secara umum juga terus meningkat. Indeks infrastruktur yang tertinggi terjadi di koridor Jawa dan Sumatera, sedangkan yang terendah terjadi di koridor Papua-Kep. Maluku.

Estimasi konvergensi Indonesia dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan pada variable dependennya, yaitu pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga. Koefisien yt-1 pada estimasi konvergensi PDRB per kapita lebih dari 1, yang menunjukkan bahwa konvergensi tidak terjadi di Indonesia (pendapatan kabupaten/kota di Indonesia divergen) dengan metode panel dinamis FD-GMM.

Estimasi konvergensi kabupaten/kota di koridor-koridor ekonomi di Indonesia dengan menggunakan data pengeluaran semuanya konvergen, dengan tingkat konvegensi tertinggi di koridor Jawa dan terendah di koridor Sulawesi. Tingkat konvergensi pengeluaran rumah tangga mencapai nilai yang tinggi karena pendekatan ini hanya melihat konvergensi dari pelaku ekonomi rumah tangga, berbeda dengan konvergensi PDRB yang melibatkan semua pelaku ekonomi, baik rumah tangga, swasta, maupun pemerintah. Aktivitas ekonomi yang dilakukan juga berbeda, tidak hanya konsumsi seperti pendekatan pengeluaran rumah tangga, namun juga investasi, baik yang dilakukan perusahaan swasta maupun pemerintah. Perbandingan tingkat konvergensi ini menunjukkan bahwa tingkat pembangunan wilayah yang sama akan dicapai dalam kurun waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kesamaan daya beli masyarakat.

Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah di beberapa koridor dan Indonesia dilakukan dengan model data panel statis. Model yang


(6)

Indonesia pendekatan PDRB per kapita adalah share tenaga kerja berpendidikan SMA keatas, dan infrastruktur telepon secara negatif. Disparitas pengeluran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur air bersih dan telepon secara negatif. Koridor Sumatera pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur telepon secara negatif. Koridor Jawa pendekatan PDRB dipengaruhi oleh share sektor manufaktur secara positif, dan infrastruktur jalan secara positif, sedangkan pendekatan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur jalan secara positif. Koridor Kalimantan pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur listrik secara positif. Koridor Sulawesi pendekatan PDRB dipengaruhi oleh shate tenaga kerja berpendidikan SMA keatas secara negatife, sedangkan pendekatan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur telepon secara negatif. Koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep.Maluku pendekatan PDRB pe kapita dan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh share pengeluaran rutin pemerintah secara negatif.

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang dirumuskan, maka beberapa saran yang dapat diberikan yaitu sebagai berikut: (1) Pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari investasi menempati posisi penting dalam upaya mengurangi tingkat disparitas antar koridor ekonomi di Indonesia. Dengan adanya pemerataan dalam pembangunan infrastruktur antara enam koridor ekonomi di Indonesia dalam MP3EI diharapkan dapat mengurangi disparitas wilayah antar koridor ekonomi maupun disparitas wilayah dibawahnya yang lebih kecil lagi. Sehingga diharapkan tercipta pertumbuhan ekonomi yang diimbangi dengan pemerataan (growth with equity) sesuai dengan potensi wilayahnya. Dalam rangka pemerataan pembangunan maka perlu adanya pemerataan fasilitas infrastruktur dan penciptaan pembangunan di wilayah-wilayah yang memiliki potensi. Dalam jangka panjang interkoneksi berbagai infrastruktur tersebut secara meluas akan memberikan potensi pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan jika terpusat. (2) Pemerintah hendaknya memperhatikan aspek peningkatan sumber daya manusia. Karena sumber daya manusia merupakan variabel penting dan terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan terciptanya konsentrasi kegiatan ekonomi. Perlu adanya reposisi kebijakan pendidikan di Indonesia, dengan memandang bahwa pendidikan merupakan investasi. Konsekuensi dari reposisi yaitu perlu ditetapkan dan disosialisasikan standar pelayanan minimum pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan di Indonesia, yang mencakup aspek equity, efisiensi, partisipasi, kualitas dan sustaiability sehingga dapat mengurangi disparitas wilayah. (3) Untuk penelitian lebih lanjut, perlu disempurnakan dengan menggunakan series data yang lebih panjang sehingga bisa terlihat trennya dan hasil penelitian bias lebih baik lagi. Sedangkan varibel infrastruktur perlu penyempurnaan dengan memasukkan beberapa variabel infrastruktur lainnya. Selain itu perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai kebijakan-kebijakan dan program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan pembangunan infrastruktur, konvergensi dan disparitas.


(7)

               

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa ijin IPB.


(8)

MASFUFAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan

Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(9)

(10)

Nama : Masfufah

NRP : H152090101

Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D Ketua

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Sc Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Asc. Agr

Tanggal Ujian : 10 Juli 2013 Tanggal Lulus :


(11)

Puji syukur di panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Konvergensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesenjangan Pendapatan Daerah di Enam Koridor Ekonomi Indonesia, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjeng pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan di Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih dapat meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS atas kesediannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Sc selalu perwakilan Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada Ibu yang tercinta, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis persembahkan kepada yang penuh kesabaran, ketabahan, dan kesetiaan selalu memberi motivasi dan semangat, Agus Kadaryanto suamiku tersayang, semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan. Melalui kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua anakku Puput dan Fadil atas kesabarannya karena perhatian dari penulis berkurang selama waktu perkuliahan dan penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada pengelola Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku Ketua Program Studi dan Bapak Dr. Setia Hadi, MS selaku sekretaris Program Studi yang lama dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Sc selaku sekretaris Program Studi yang baru. Penulis juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada teman-teman dan Badan Pusat Statistik yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dalam melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT yang Yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.

Bogor, Juli 2013


(12)

Penulis bernama Masfufah lahir pada tanggal 15 Desember 1974 di DKI Jakarta. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara, dari pasangan Bapak Muchson (almarhum) dan Ibu Ngadawiyah.

Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN 01 Cipinang Muara Jakarta pada tahun 1987, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMPN 52 Cipinang Elok Jakarta pada tahun 1990. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMAN 54 Rawa Bunga Jakarta dan lulus pada tahun 1993.

Setelah tamat SMA, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, lulus pada tahun 2001 (tugas belajar) yang sebelumnya telah bekerja terlebih dahulu di Badan Pusat Statistik (BPS) RI.

Pada tahun 2009, penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pasca Sarjana pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Institut Pertanian Bogor.


(13)

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xxi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 12

1.3. Tujuan Penelitian ... 18

1.4. Kegunaan Penelitian ... 18

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 19

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 21

2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi ... 21

2.2. Konvergensi ... 27

2.3. Disparitas Wilayah ... 28

2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disparitas Wilayah ... 31

2.4.1. Peranan Pemerintah dalam Perekonomian ... 33

2.4.2. Tingkat Pembangunan Ekonomi ... 37

2.4.3. Pendidikan Tenaga Kerja ... 38

2.4.4. Infrastruktur ... 39

2.5. Tinjauan Empiris ... 42

2.6. Kerangka Pemikiran ... 46

2.7. Hipotesis Penelitian ... 50

III. METODE PENELITIAN ... 51

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 51

3.2. Metode Analisis ... 55

3.2.1. Koefisien Variasi Williamson ... 55

3.2.2. Analisis Indeks Theil ... 56

3.2.3. Analisis Indeks Infrastruktur ... 58

3.2.4. Analisis Data Panel Statis ... 59

3.2.5. Analisis Data Panel Dinamis ... 64

3.3. Spesifikasi Model ... 70

3.3.1. Konvergensi Wilayah ... 70

3.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disparitas Wilayah ... 73

3.4. Prosedur Analisis ... 74

3.5. Kerangka Analisis ... 75

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR ... 79

4.1. Dinamika Disparitas Wilayah ... 79

4.2. Dinamika Pembangunan Infrastruktur ... 91

4.2.1. Infrastruktur Listrik ... 91

4.2.2. Infrastruktur Air Bersih ... 92


(14)

4.2.3. Infrastruktur Telepon ... 94

4.2.4. Infrastruktur Jalan ... 95

4.2.5. Penghitungan Indeks Infrastruktur ... 96

V. KONVERGENSI WILAYAH ANTAR KORIDOR DI INDONESIA 101 5.1. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Indonesia ... 101

5.2. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Sumatera ... 103

5.3. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Jawa 105 5.4. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Kalimantan ... 107

5.5. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Sulawesi ... 109

5.6. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara ... 111

5.7. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku ... 112

5.8. Perbandingan Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Beberapa Koridor di Indonesia ... 114

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DISPARITAS WILAYAH ... 117

6.1. Disparitas antar Provinsi di Indonesia ... 117

6.2. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Sumatera ... 120

6.3. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Jawa ... 123

6.4. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Kalimantan ... 125

6.5. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Sulawesi ... 127

6.6. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku ... 129

6.7. Perbandingan Disparitas antar Provinsi di Beberapa Koridor di Indonesia ... 131

6.8. Pengembangan Potensi Wilayah Koridor Ekonomi Dalam MP3EI ... 134

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 137

7.1. Kesimpulan ... 137

7.2. Saran ... 138

DAFTAR PUSTAKA ... 141

LAMPIRAN ... 145


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Indeks Gini Indonesia Menurut Daerah, Tahun 2002-2010 ... 10

2. Persentase Rumahtangga yang Menggunakan Sumber Penerangan

Listrik menurut Koridor di Indonesia, 2000-2009 ... 14 3. Definisi Operasiponal Variabel ... 54 4. Matriks Pendekatan Penelitian ... 55 5. Disparitas dengan KV Williamson Wilayah-wilayah Koridor

Ekonomi Pendekatan PDRB per Kapita di Indonesia, 2006-2010 ... 82 5.1 Perkembangan PDRB per Kapita Antar Wilayah Koridor

Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 (Ribu Rupiah) ... 83 6. Disparitas Wilayah-wilayah Koridor Ekonomi Pendekatan

Pengeluaan Rumah Tangga di Indonesia, 2006-2010 ... 85 7. Panjang Jalan dengan Kondisi Baik dan Sedang menurut Koridor

Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 ... 95 8. Indeks Infrastruktur menurut Jenis Infrastruktur dan Koridor

Ekonomi di Indonesia, 2010 ... 98 9. Hasil Penghitungan Indeks Infrastruktur dan Peringkatnya antar

Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006 dan 2010 ... 99 10. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per kapita

di Indonesia dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ... 102 11. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran

Rumah Tangga di Indonesia dengan Metode Data Panel Dinamis

FD-GMM ... 102 12. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB

per Kapita di Koridor Sumatera dengan Metode Data Panel

Dinamis FD-GMM ... 104 13. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran

Rumah Tangga di Koridor Sumatera dengan Metode Data Panel

Dinamis FD-GMM ... 105 14. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per

Kapita di Korido Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM 106


(16)

15. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis

FD-GMM ... 107 16. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per

Kapita di Koridor Kalimantan dengan Metode Data Panel

Dinamis FD-GMM ... 108 17. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran

Rumah Tangga di Koridor Kalimantan dengan Metode Data Panel

Dinamis FD-GMM ... 108 18. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per

Kapita di Koridor Sulawesi dengan Metode Data Panel Dinamis

FD-GMM ... 109 19. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota PendekatanPengeluaran

Rumah Tangga di Koridor Sulawesi dengan Metode Data Panel

Dinamis FD-GMM ... 110 20. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per

Kapita di koridor Bali-Nusa Tenggara dengan Metode Data Panel

Dinamis FD-GMM ... 111 21. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran

Rumah Tangga di Koridor Bali-Nusa Tenggara dengan Metode

Data Panel Dinamis FD-GMM ... 112 22. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per

Kapita di Koridor Papua-Kep. Maluku dengan Metode Data Panel

Dinamis FD-GMM ... 113 23. Estimas Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran

Rumah Tangga di Koridor Papua-Kep. Maluku dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ... 114 24. Pengujian Validitas Instrumen dan Konsistensi Model Data Panel

Dinamis FD-GMM dalam Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota

di Indonesia ... 115 25. Estimasi Tingkat Konvergensi Wilayah-wilayah Koridor Ekonomi

Indonesia dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ... 116 26. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat

Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per

Kapita di Indonesia, 2006-2010 ... 118 27. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disparitas


(17)

Tingkat Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran

Rumah Tangga di Indonesia, 2006-2010 ... 119 28. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat

Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita

di Koridor Sumatera, 2006-2010... 121 29. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat

Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran

Rumah Tangga di Koridor Sumatera, 2006-2010 ... 122 30. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat

Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita

di Koridor Jawa, 2006-2010 ... 124 31. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat

Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran

Rumah Tangga di Koridor Jawa, 2006-2010 ... 124 32. Hasil Estimasin Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat

Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita di

Koridor Kalimantan, 2006-2010 ... 126 33. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat

Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran

Rumah Tangga di Koridor Kalimantan, 2006-2010 ... 126 34. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat

Disparitas Wi;layah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita

di Koridor Sulawesi, 2006-2010 ... 128 35. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Wilayah

antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor

Sulawesi, 2006-2010 ... 128 36. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat

Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku, 2006-2010 . 129 37. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat

Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Bali-Nusa Tenggara dan

Papua-Kep.Maluku, 2006-2010 ... 130 38. Perbandingan Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi di Beberapa Koridor di

Indonesia Pendekatan PDRB per Kapita, 2006-2010 ... 132


(18)

39. Perbandingan Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi di Beberapa Koridor di

Indonesia Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 ... 133


(19)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Pertumbuhan ekonomi Indonesia, tahun 1990-2008 ... 2

2. Peta tematik PDRB provinsi dan kontribusi PDRB KBI-KTI Terhadap PDB di Indonesia tahun 2007 ... 5

3. Kontribusi PDRB adhk 2000 di 6 Koridor dalam MP3EI terhadap PDB Nasional, Tahun 2003-2007 ... 6

4. Persentase Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah di 6 Koridor dalam MP3EI, Tahun 2010 (Persen) ... 7

5. Persentase Investasi di 6 Koridor dalam MP3EI terhadap Investasi Nasional, Tahun 2010 (Persen) ... 8

6. Jumlah Penduduk Miskin di 6 Koridor dalam MP3EI dan Indonesia, 2002-2010 (Ribu Jiwa) ... 9

7. Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Indonesia, Tahun 2006-2009 ... 11

8. Kontribusi Tenaga Kerja Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa, Tahun 2008 ... 12

9. Tingkat Disparitas di Indonesia Tahun 1991-2010 ... 13

10. DAU, DAK, DBH dan Dana Perimbangan di Indonesia, Tahun 2000-2010 ... 16

11. Investasi Aktual dan Break-even ... 23

12. Konvergensi Bersyarat/Kondisional (Conditional Convergence) .... 28

13. Kurva Kuznets tentang Hubungan Pendapatan dan Ketimpangan ... 30

14. Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi ... 39

15. Diagram Alur Kerangka Pemikiran Penelitian ... 49

16. Diagram Alur Kerangka Analisis ... 77

17. Disparitas Antar dan Intra Koridor di Indonesia, 2006-2010 ... 80 18. Tren Kontribusi Sektor Pertanian antar Wilayah-wilayah Koridor


(20)

xxii

Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 (Persen) ... 84 19. Tren Disparitas antar Wilayah Koridor Ekonomi di Indonesia dengan

KV Williamson, 2006-2010 ... 84 20. Disparitas antar Kabupaten/Kota di Indonesia Pendekatan

PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 ... 86 21. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Sumatera

dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran

Rumah Tangga, 2006-2010 ... 87 22. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Jawa

dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran

Rumah Tangga, 2006-2010 ... 88 23. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor

Kalimantan dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran

Rumah Tangga, 2006-2010 ... 89 24. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Sulawesi

dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran

Rumah Tangga, 2006-2010 ... 89 25. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor

Bali-Nusa Tenggara dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan

Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 ... 90 26. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor

Papua-Kep. Maluku dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan

Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 ... 90 27. Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Listrik menurut

Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 ... 91 28. Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Air Bersih menurut

Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 ... 93 29. Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Telepon menurut

Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 ... 94 30. Indeks Infrastruktur menurut Koridor Ekonomi di Indonesia,


(21)

1.1. Latar Belakang

Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang meliputi berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional. Disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan disparitas pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pada hakekatnya, pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik, secara material maupun spiritual (Todaro dan Smith, 2009). Sedangkan UNDP mendefinisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choise). Dalam konsep tersebut, penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimate end), bukan alat, cara atau instrumen pembangunan sebagaimana yang dilihat oleh model formasi modal manusia (human capital formation). Sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu.

Tujuan dari pembangunan ekonomi pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: meningkatkan pendapatan per kapita penduduk dalam jangka panjang dan meningkatkan produktivitas. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth). Pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.

Sejak tahun 1969, bangsa Indonesia sebagai negara berkembang telah melaksanakan pembangunan ekonomi secara berencana dan bertahap, tanpa mengabaikan usaha pemerataan dan kestabilan. Perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dapat dilihat pada Gambar 1 yang menerangkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang fluktuatif dari tahun ke tahun.


(22)

7,20 8,22

-13,13 4,92

6,32 6,06

Sumber: PDB 1990-2008, BPS (diolah)

Gambar 1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, tahun 1990-2008

Perekonomian Indonesia sejak awal pembangunan menunjukkan kinerja yang cukup baik hingga awal tahun 1997 yang ditandai oleh menguatnya beberapa indikator makro ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7,8% pada tahun 1996 dan investasi langsung luar negeri mencapai $6,5 juta pada tahun fiskal 1996/1997. Cadangan devisa resmi pemerintah pada bulan Maret 1997 mencapai $20 juta dan tingkat depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika masih terpelihara pada kisaran 3-5% (BI, 1997).

Krisis moneter dan krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997, yang berlanjut menjadi krisis multidimensi, membawa dampak pada kondisi perekonomian di Indonesia. Akibat dari krisis tersebut perekonomian Indonesia mengalami masa yang sulit, inflasi tinggi, dan rupiah terdepresiasi. Kondisi ini mengakibatkan hampir seluruh kegiatan ekonomi terhenti (stagnan) dan laju pertumbuhan ekonomi mengalami konstraksi hingga negatif 13,13 persen. Berbagai usaha dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan untuk mengatasi perekonomian yang terpuruk pada saat itu.

Tahun-tahun berikutnya setelah masa krisis, perekonomian Indonesia mengalami pemulihan (recovery). Pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran 4 persen sampai dengan 6 persen. Perekonomian Indonesia mulai membaik, aktivitas ekonomi mulai berjalan dengan baik sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2007 mencapai 6,32 persen. Pemulihan kondisi


(23)

tersebut ditunjang oleh membaiknya infrastuktur yang ada serta kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah baik fiskal maupun moneter (Lestari, 2008).

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 cenderung melambat menjadi 6,06 persen. Hal ini disebabkan oleh adanya tekanan dari krisis global yang cukup berat. Terimbas oleh ketidakpastian pasar finansial global yang meningkat, proses perlambatan ekonomi dunia yang signifikan, dan perubahan harga komoditas global yang sangat drastis. Namun demikian, perkembangan ekonomi Indonesia tidaklah terlampau buruk dibandingkan negara lain (Gambar 1).

Perkembangan perekonomian yang dicapai Indonesia sampai saat ini ternyata masih harus menghadapi permasalahan yang mungkin juga dialami negara lain, khususnya negara sedang berkembang. Salah satu realitas pembangunan ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pertumbuhan adalah terciptanya ketimpangan/disparitas antar wilayah. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan faktor endowment dari masing-masing daerah. Fakta adanya disparitas tersebut tercermin dalam kesenjangan kinerja pembangunan perekonomian antara provinsi satu dan lainnya, antara perkotaan dan perdesaan, antara Pulau Jawa dan luar Jawa, serta antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Sehubungan dengan permasalahan ketimpangan/disparitas antar wilayah khususnya antar pulau di Indonesia, pemerintah meluncurkan program MP3EI yang tujuannya diantaranya untuk mengurangi disparitas. Khususnya ketimpangan dalam hal pembangunan infrastruktur. Dalam implementasi MP3EI1 dilakukan untuk mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi melalui pengembangan 8 program utama (pertanian, pertambangan, energi, industri,

1

Peluncuran Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Mei 2011. Tujuan awal dilakukannya MP3EI adalah untuk mencapai aspirasi Indonesia 2025, yaitu PDB sekitar USD 4,3 triliun dan menjadi negara dengan PDB terbesar ke-9 di dunia. Untuk mewujudkan hal tersebut, sekitar 82 % atau USD 3,5 triliun akan ditargetkan sebagai kontribusi PDB dari koridor ekonomi sebagai bagian dari transformasi ekonomi. Dokumen MP3EI tidak menggantikan RPJMN 2005-2025 (UU No. 17 Tahun 2007) dan RPJMN 2005-2015 (Peraturan Presiden No.5 Tahun 2010). Seluruh program regular pemerintah yang tidak dicakup dalam MP3EI berjalan seperti biasa sesuai dengan perencanaan. Program pengembangan MP3EI mencakup pembangunan di seluruh tanah air.


(24)

kelautan, pariwisata, telematika, dan pengembangan kawasan strategis) yang terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama sesuai dengan potensi dan nilai strategis kegitan utama tersebut di koridor yang bersangkutan. Strategi pelaksanaan MP3EI dilakukan dengan mengintegrasikan 3 elemen utama yaitu:

1. mengembangkan potensi ekonomi wilayah di 6 Koridor Ekonomi

Indonesia, yaitu:

ƒ Koridor Ekonomi Sumatera, diposisikan sebagai “sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional”.

ƒ Koridor Ekonomi Jawa, diposisikan sebagai “pendorong industry dan jasa nasional”.

ƒ Koridor Ekonomi Kalimantan, diposisikan sebagai “pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional”.

ƒ Koridor Ekonomi Sulawesi, diposisikan sebagai “pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan nasional”. ƒ Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara, diposisikan sebagai “pintu

gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional”.

ƒ Koridor Ekonomi Papua dan Kepulauan Maluku, diposisikan sebagai “pusat pengembangan pangan, perikanan, energy, dan pertambangan nasional”.

2. memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global (locally integrated, globally connected)

3. memperkuat kemampuan SDM dan IPTEK nasional untuk mendukung

pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi.

Berkaitan dengan program MP3EI tersebut, maka perlu dikaji lebih dalam bagaimana perekonomian antar koridor tersebut terkait dengan disparitas antar wilayah koridor ekonomi. Indikasi disparitas antar wilayah dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Data BPS tahun 2007 mengenai PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi seluruh provinsi menunjukkan bahwa terjadi pemusatan produksi barang dan jasa di Pulau Jawa. Pulau yang luasnya hanya mencapai 7 persen dari luas Indonesia ini mendominasi sekitar 60,20 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatera menguasai sekitar 22,98 persen, Kalimantan menguasai 9,13 persen, Sulawesi


(25)

menguasai 4,09 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua hanya 3,61 persen. Sementara itu, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi provinsi di Jawa dan Bali pada tahun 2007 sebesar 6,17 persen, provinsi di Sumatera sebesar 4,96 persen, Kalimantan sebesar 3,14 persen, Sulawesi sebesar 6,88 persen, provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar 5,04 persen. Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antar wilayah.

Disparitas yang ditunjukkan melalui data PDRB juga terjadi antara KBI dan KTI (lihat Gambar 2). KBI dengan luas wilayah 31,25 persen dari luas Indonesia mendominasi pendapatan nasional sebesar 83,55 persen pada tahun 2007. Pada Gambar 2 juga terlihat bahwa disparitas bukan hanya terjadi antar pulau dan antar kawasan, melainkan juga terjadi antar provinsi di Indonesia.

1000 0 1000 2000 3000 Kilometers

N

Persentase Terhadap PDB KTI 16,45 %

KBI 83,55 % Legenda:

Nilai PDRB

Gambar 2 Peta tematik PDRB provinsi dan kontribusi PDRB KBI-KTI terhadap PDB di Indonesia tahun 2007

Fenomena disparitas antar wilayah yang terjadi, diantaranya disebabkan oleh perbedaan ketersediaan fasilitas infrastruktur, seperti: pendidikan, kesehatan, jalan, listrik dan air bersih. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitas.


(26)

Sumber: BPS, 2003-2007 (diolah)

Gambar 3 Kontribusi PDRB adhk 2000 di 6 Koridor dalam MP3EI terhadap PDB Nasional, Tahun 2003-2007

Pesatnya perkembangan perekonomian di Indonesia disebabkan besarnya investasi baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Investasi merupakan salah satu faktor yang krusial bagi proses kemajuan pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang melibatkan kegiatan-kegiatan produksi di semua sektor ekonomi. Investasi di Indonesia bervariasi antar wilayah koridor ekonomi, dimana Koridor Jawa mendominasi dibanding koridor lainnya yaitu sebesar 60 persen. Investasi yang paling sedikit terdapat di Koridor Papua-Kep Maluku hanya 1 persen saja (Gambar 5). Hal ini sangat timpang jika dibandingkan dengan persentase jumlah penduduk dan luas wilayah di 6 koridor, ternyata Jawa yang persentase penduduk terbesar dan luas wilayah terkecil namun investasi di Koridor Jawa lebih besar dibanding Koridor Papua-Kep Maluku dengan persentase penduduk terkecil dan luas wilayah terbesar (Gambar 4). Demikian pula jika dibandingkan dengan kontribusi PDRB di 6 koridor terhadap PDB Nasional dimana Koridor Jawa masih mendominasi dibandingkan koridor lainnya (Gambar 3). Beberapa masalah tersebut memicu ketimpangan wilayah di Indonesia, khususnya ketimpangan antar koridor ekonomi.


(27)

Sumber: BPS, 2010 (diolah)

Gambar 4 Persentase Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah di 6 Koridor dalam MP3EI, Tahun 2010 (Persen)

Fenomena disparitas wilayah memang sudah menjadi hal yang biasa dalam perkembangan suatu wilayah karena berbagai alasan. Disparitas tersebut tidak hanya terjadi pada lingkup negara, bahkan sampai pada wilayah provinsi atau unit yang lebih rendah sekalipun. Sering kali disparitas menjadi permasalahan yang serius bagi setiap wilayah karena berpotensi menimbulkan konflik finansial, sosial, atau hubungan yang saling memperlemah antar wilayah. Wilayah

hinterland akan menjadi lemah karena eksploitasi sumber daya yang berlebihan, sementara wilayah inti juga dapat menjadi lemah karena faktor urbanisasi yang tinggi.

Penyebab disparitas menurut Anwar (2005), terdiri dari beberapa hal yaitu 1) Perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam (resource endowment); 2) Perbedaan demografi; 3) Perbedaan kemampuan sumberdaya manusia (human capital); 4) Perbedaan potensi lokasi; 5) Perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan 6) Perbedaan dari aspek potensi pasar. Berdasarkan faktor tersebut maka dalam suatu wilayah akan terdapat beberapa macam karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: 1) Wilayah maju; 2) Wilayah sedang berkembang; 3) Wilayah belum berkembang; dan 4) Wilayah tidak berkembang.


(28)

Sumber: BKPM, 2010

Gambar 5 Persentase Investasi di 6 Koridor dalam MP3EI terhadap Investasi Nasional, Tahun 2010 (Persen)

Perbedaan perkembangan wilayah akan membentuk suatu struktur wilayah yang berhirarki, dimana wilayah yang telah maju cenderung akan cepat berkembang menjadi pusat aktifitas baik perekonomian maupun pemerintahan. Wilayah yang sumber daya alamnya kurang mendukung akan relatif kurang berkembang dan cenderung menjadi wilayah hinterland. Keadaan ini dapat menjadi faktor pendorong bagi sumber daya manusia untuk bekerja ke wilayah yang lebih berkembang dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya sehingga akan semakin sulit bagi wilayah ini untuk berkembang karena telah mengalami kekurangan sumberdaya manusia.

Evaluasi keberhasilan pembangunan antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia perlu dikaji secara simultan dengan sisi pemerataan sesuai dengan potensi wilayahnya, yang dikaitkan dengan besarnya jumlah penduduk miskin. Data kemiskinan yang diolah dari hasil survey Susenas BPS, 2002-2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia secara absolut telah mengalami penurunan sebesar 19,2 persen, yaitu dari 38,39 juta jiwa pada tahun 2002 menjadi 31,02 juta jiwa pada tahun 2010. Dari jumlah tersebut, lebih dari 50 persen penduduk miskin berada di koridor Jawa (55,83 persen) yang merupakan persentase terbesar. Persentase penduduk miskin selanjutnya koridor Sumatera


(29)

(21,44 persen), Sulawesi (7,57 persen), Bali-Nusa Tenggara (7,09 persen), Papua-Kep. Maluku (4,79 persen), dan terakhir koridor Kalimantan hanya 3,28 persen penduduk miskinnya seperti ditunjukkan pada Gambar 6.

Peningkatan persentase penduduk miskin terjadi selama tahun 2005-2006 yang disebabkan karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut naik tinggi, yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen. Kenaikan inflasi ini dipicu adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) rata-rata sebesar 126 persen yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 2005. Kenaikan ini dilakukan untuk mengurangi beban subsidi BBM akibat meningkatnya harga minyak mentah dunia. Peningkatan inflasi akan menyebabkan daya beli penduduk menjadi merosot, dan menyebabkan penduduk yang penghasilannya berada sedikit di atas garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin sehingga tingkat kemiskinan mengalami peningkatan.

Sumber: BPS, 2002-2010 (diolah)

Gambar 6 Jumlah Penduduk Miskin di 6 Koridor dalam MP3EI dan Indonesia, 2002-2010 (Ribu Jiwa)

Menurut status daerah, distribusi pemerataan menunjukkan pola yang berbeda. Distribusi pendapatan merupakan porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumahtangga, tergantung pada tingkat produktivitas dan peranannya dalam perekonomian. Salah satu ukuran yang sering digunakan untuk mengukur ketidakmerataan distribusi pendapatan adalah rasio gini. Ternyata rasio gini Indonesia tidak menurun sampai dengan tahun 2010, seperti ditunjukkan pada


(30)

Tabel 1 bahwa daerah perkotaan mempunyai ketimpangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perdesaan.

Nilai gini rasio di atas 0,3 dapat ditunjukkan bahwa ketimpangan masih terus terjadi di Indonesia. Wilayah perkotaan yang terus mengejar pertumbuhan ekonomi justru terbentur pada masalah ketimpangan yang semakin melebar antar golongan masyarakat, antar pelaku ekonomi serta antar wilayah. Data-data tersebut memberikan gambaran bahwa upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah masih belum bersinergi dengan kebijakan percepatan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat menyebabkan disintegritas dan ketidakstabilan sosial yang meluas sehingga pembangunan yang berbasis kerakyatan dan berkeadilan sosial belum bisa tercapai.

Jika Indeks Gini pada tabel 1 dibandingkan dengan Indeks Williamson pada gambar 9, maka penghitungan untuk menggambarkan kesenjangan pendapatan dengan menggunakan Indeks Gini (IG) hasilnya relatif lebih rendah. Hal ini dapat menjadi kurang akurat jika dihitung dengan Indeks Gini, karena IG tidak secara simultan dapat mengukur kesenjangan kekayaan di satu sisi dan kesenjangan pendapatan di sisi lain. Seringkali negara yang mempunyai kesenjangan kekayaan sangat ekstrim, namu IG justru justru rendah. IG juga bias terhadap sampel. Indeks Gini bias pada jumlah sampel, IG cenderung meninggi pada populasi yang rendah dan cenderung redah pada populasi yang tinggi.

Tabel 1 Indeks Gini Indonesia Menurut Daerah, Tahun 2002-2010

Tahun Indeks Gini

Perkotaan Perdesaan Total

(1) (2) (3) (4)

2002 0,33 0,24 0,33

2003 0,32 0,25 0,32

2004 0,31 0,24 0,32

2005 0,32 0,25 0,33

2006 0,32 0,27 0,33

2007 0,36 0,26 0,36

2008 0,37 0,29 0,37

2009 2010

0,37 0,38

0,29 0,32

0,37 0,38


(31)

Disparitas antar wilayah pada awal pembangunan ekonomi merupakan hal yang wajar dalam konsep pembangunan nasional. Williamson (1965) menemukan bahwa pada awal pembangunan ekonomi ketimpangan pendapatan akan membesar dan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu yang sudah relatif maju, misalnya dalam pembangunan industri, infrastruktur dan sumber daya manusia. Kemudian dalam tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, terjadi konvergensi dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan mengalami penurunan. Hal ini sejalan dengan penelitian Ernan et al (2010) bahwa dengan menggunakan Indeks Theil Entropi, ketimpangan di Pulau Jawa mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya.

Sumber: BPS, 2006-2009 (diolah)

Gambar 7 Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Indonesia, Tahun 2006-2009

Fenomena disparitas wilayah di Indonesia menjadi masalah dengan adanya perbedaan faktor produksi dan transformasi perekonomian struktural yang telah terjadi. Pola perubahan struktur perekonomian di Indonesia dilihat dari share sektor manufaktur lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian dan jasa yaitu sekitar 63 persen dan 21 persen di tahun 2009, namun pangsa tenaga kerja sektor pertanian masih lebih tinggi dibandingkan sektor manufaktur yaitu sebesar 40 persen. Hal ini menandakan masih adanya disparitas antar wilayah di Indonesia (Gambar 7).


(32)

Sumber: BPS, 2008 (diolah)

Gambar 8 Kontribusi Tenaga Kerja Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa, Tahun 2008

Strategi pengembangan wilayah yang mempertimbangkan keterkaitan antara kondisi sosial ekonomi, potensi sumberdaya alam, dan ketersediaan prasarana, serta kondisi fisik wilayah diharapkan mampu mengatasi permasalahan disparitas antar wilayah koridor ekonomi dalam MP3EI tersebut. Dengan demikian diharapkan akan tercipta pemerataan (equity), pertumbuhan (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan wilayah. Strategi yang tepat dalam pengembangan wilayah diharapkan mampu untuk mengurangi disparitas yang terjadi antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Ketimpangan dalam pembangunan ekonomi masih terjadi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan pertumbuhan ekonomi dan nilai PDRB antar koridor ekonomi dan provinsi yang bervariasi. Perbedaan ketersediaan fasilitas infrastuktur dan tidak meratanya konsentrasi kegiatan ekonomi menambah semakin melebarnya disparitas regional. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia masih belum merata. Fakta dan indikasi ini perlu mendapat perhatian agar upaya pembangunan ekonomi di Indonesia terus mengalami peningkatan dan merata di seluruh wilayah koridor ekonomi sesuai dengan potesinya.


(33)

tinggi, yang antara lain disebabkan oleh keberadaan migas di daerah tersebut menyebabkan terjadinya disparitas ekonomi antar provinsi di Indonesia. Indeks Williamson dapat digunakan untuk melihat disparitas regional. Hasil perhitungan indeks Williamson di Indonesia pada kurun waktu 1991 sampai 2010 dapat dilihat pada Gambar 9.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari nilai indeks Williamson atau koefisien variasi Williamson menunjukkan disparitas antar provinsi di Indonesia dari tahun 1991-2010 cukup besar, yaitu berada pada kisaran 0,6 sampai 0,8. Berdasarkan hal tersebut, dapat diartikan bahwa antar provinsi di Indonesia terjadi disparitas pendapatan yang cukup besar. Hal ini tidak terlepas dari perbedaan kemampuan fiskal tiap daerah yang berimplikasi terhadap nilai tambah bruto (PDRB) dalam perekonomian antar wilayah.

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

0,63 0,63 0,61 0,66 0,66 0,66 0,67

0,68 0,69 0,70

0,79 0,79 0,79 0,79 0,80 0,80 0,79 0,82 0,82 0,82

Indeks Williamson

Sumber: BPS (diolah)

Gambar 9 Tingkat disparitas di Indonesia tahun 1991-2010

Pada tahun 1991-2010, indeks Williamson terbesar terjadi pada tahun 2008 dan 2010 yaitu 0,82. Akan tetapi peningkatan yang terbesar terjadi pada tahun 2008. Pada tahun tersebut mulai diberlakukan Undang-undang Otonomi Daerah. Dengan adanya otonomi daerah, setiap wilayah mempunyai kewenangan untuk mengatur daerahnya masing-masing. Wilayah yang mempunyai potensi yang besar dan kelembagaan yang solid akan lebih cepat


(34)

berkembang dibandingkan daerah lainnya. Masing-masing daerah bersaing untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Kurva Williamson berlaku di Indonesia, pada periode 1993 sampai 2010. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah ketimpangan wilayah meningkat, hal ini disebabkan perbedaan kesiapan dari masing-masing daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Pada tahun-tahun selanjutnya, setiap wilayah mulai dapat mengembangkan daerahnya masing-masing dalam rangka mendorong proses pembangunan ekonomi di era otonomi daerah. Walaupun demikian tingkat disparitas pada tahun-tahun berikutnya sampai pada tahun 2010 relatif konstan.

Fenomena disparitas antar daerah yang terjadi dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan fasilitas infrastruktur, seperti: pendidikan, kesehatan, jalan, listrik dan air bersih. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitas.

Tabel 2. Persentase Rumahtangga yang Menggunakan Sumber Penerangan Listrik menurut Koridor di Indonesia, 2000-2009

Koridor 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) 1. Sumatera 67,80 70,10 71,36 74,48 77,64 77,97 82,30 85,48 87,43 90,67 2. Jawa 95,74 95,39 96,03 96,55 97,25 94,21 97,84 97,34 98,36 98,88 3. Kalimantan 72,97 74,22 75,73 77,64 79,41 77,88 81,48 83,37 85,21 86,16 4. Sulawesi 70,24 68,35 68,21 70,04 72,19 72,73 74,35 78,93 82,15 85,45 5. Bali-Nusa Tenggara 72,89 69,73 70,95 70,06 71,90 69,84 72,84 73,78 75,24 78,67 6. Papua-Kep. Maluku 35,49 67,08 62,57 58,06 56,88 60,26 58,44 65,34 65,05 64,93 Sumber: BPS, 2000-2009 (diolah)

Salah satu sarana infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini adalah infrastruktur listrik yang diproksi dengan persentase rumahtangga pengguna listrik. Secara umum perkembangan infrastruktur listrik di semua koridor relatif mengalami peningkatan sejak tahun 2000 hingga 2009, namun masih terlihat adanya disparitas dalam hal pembangunan infrastruktur listrik ini di beberapa koridor. Koridor Jawa dan Sumatera persentase rumahtangga pengguna listrik lebih tinggi dibanding Koridor Kalimantan, Sulawesi, dan Papua-Kep Maluku,


(35)

dimana Koridor Papua-Kep.Maluku persentase paling kecil yaitu sebesar 64,93 persen saja. Hal ini mengindikasikan adanya disparitas pembangunan infrastruktur terutama listrik antara koridor di Indonesia, dan dirasakan pembangunan infrastruktur masih bias Jawa atau bias KBI dibandingkan dengan luar Jawa atau KTI.

Beberapa studi menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur dengan PDB ternyata mempunyai hubungan yang erat. Elastisitas PDB terhadap infrastruktur, yaitu perubahan persentase pertumbuhan PDB sebagai akibat dari naiknya 1 persen ketersediaan infrastruktur, di berbagai negara bervariasi antara 0,07 sampai 0,44 (World Bank, 1994). Hal ini berarti dengan kenaikan‚ 1 persen saja ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 0,07 persen sampai dengan 0,44 persen. Studi dari Calderon dan Serven (2002) menyebutkan elastisitas PDB pertenaga kerja terhadap infrastruktur di Amerika Latin untuk telepon sebesar 0,15; listrik 0,16; dan jalan 0,18. Di sisi lain berbagai studi menunjukkan bahwa economic rate of return dari investasi infrastruktur berada disekitar 19-117 persen, jauh di atas biaya hutang yang mungkin berkisar 10 persen (Easterly dan Serven, 2002). Infrastruktur merupakan faktor produksi (input) dalam menghasilkan output. Terdapat hubungan yang signifikan antara infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi, maka dapat disimpulkan bahwa keterbatasan ketersediaan infrastruktur akan menjadi penghambat (constraint) bagi pertumbuhan ekonomi, dan besarnya perbedaan ketersediaan infrastruktur antar wilayah akan menimbulkan disparitas antar wilayah yang semakin melebar.

Kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi disparitas antar daerah perlu mendapatkan perhatian yang lebih.

Trade off yang terjadi antara disparitas dan pertumbuhan ekonomi membuat penentuan kebijakan harus tepat sasaran.

Upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi dapat ditempuh dengan meningkatkan efisensi dalam kegiatan ekonomi. Efisiensi memerlukan dukungan dari modal infrastruktur yang memadai sehingga mendorong peningkatan potensi daerah masing-masing secara berkesinambungan. Infrastruktur yang tersedia akan mendorong proses pertukaran sesuai dengan potensi dan kebutuhan masing-masing daerah sehingga memungkinkan bergeraknya faktor produksi dan hasil


(36)

produksi. Perekonomian kemudian secara bersama-sama menuju proses pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin meningkat sesuai dengan kemampuannya yang optimal.

Peranan pemerintah dalam upaya meningkatkan pemerataan adalah dengan mentransfer dana perimbangan, yang berupa DAU (Dana Alokasi Umum ), DAK (Dana Alokasi Khusus), dan DBH (Dana Bagi Hasil). DAU merupakan transfer yang bersifat umum yang diberikan kepada semua kabupaten/kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak dari pada daerah kaya. Dengan kata lain tujuan alokasi DAU adalah dalam rangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar daerah di Indonesia. Namun, dengan fakta meningkatkan ketimpangan wilayah-wilayah di Indonesia bahkan sejak adanya DAU, dapat dikatakan bahwa implementasi DAU dirasakan masih kurang efektif.

Sumber: BPS, 2000-2010 (diolah)

Gambar 10 DAU, DAK, DBH dan Dana Perimbangan di Indonesia, Tahun 2000-2010 (Juta Rupiah)

Gambar 10 menunjukkan bahwa dana perimbangan yang didominasi oleh DAU yang diberikan oleh pemerintah mengalami peningkatan sejak tahun 2000 hingga 2010. Fakta ini mengindikasikan bahwa tujuan pemberian untuk


(37)

memeratakan pembangunan wilayah masih belum tercapai jika dihubungkan dengan ketimpangan di Indonesia. Ketimpangan antar wilayah di Indonesia ternyata cenderung mengalami peningkatan, bahkan ketimpangannya masih tinggi hingga mencapai 0,8 di tahun 2007. Ketimpangan yang tinggi dapat berdampak negatif dan menjadi masalah dalam pembangunan dan dalam menciptakan kesejahteraan di suatu wilayah.

Melihat kondisi di atas, serta dalam upaya mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah koridor ekonomi dan menciptakan pemerataan di Indonesia, maka perlu dilakukan analisis dan identifikasi tingkat disparitas pembangunan antar wilayah koridor ekonomi dan faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas tersebut.

Disparitas pendapatan antar wilayah menjadi fenomena yang penting dan masih terus dikaji dan diteliti serta dianaisis karena sangat menentukan kebijakan yang dapat diambil pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini tidak hanya berusaha mengkaji masalah ketimpangan dari besaran ketimpangannya, tapi juga mengkaji bagaimana wilayah-wilayah saling mendukung dalam mengurangi ketimpangan yang terjadi, sehingga perekonomian menuju kepada tingkat tertentu (konvergen). Kekuatan yang dimiliki suatu wilayah tidak hanya dapat meningkatkan perekonomian wilayah sekitarnya, tetapi juga bisa sebaliknya. Adanya pusat pertumbuhan dapat menjadi rangsangan pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya, namun dapat juga menjadi penyebab pengurasan sumber daya ekonomi terutama tenaga kerja.

Analisis dinamika pendapatan antar wilayah selama ini dilakukan dengan menggunakan PDRB yang mencerminkan seluruh produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh wilayah tersebut. Angka ini menunjukkan potensi daerah dalam proses dalam proses produksi, namun kurang dapat mempresentasikan kemampuan masyarakatnya dalam mencapai kesejahteraan karena data PDRB juga mencakup kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan luar yang berada di wilayah tersebut. Kegiatan produksi dengan menggunakan modal yang dimiliki oleh penduduk dari luar daerah juga dihitung sebagai produksi bruto daerah tersebut sehingga penggunaan data PDRB untuk analisis kesejahteraan masyarakat kemungkinan menyebabkan bias. Oleh karena itu analisis konvergensi


(38)

wilayah berdasarkan data PDRB tersebut perlu dibandingkan dengan melihat pendapatan masyarakat. Data mengenai pendapatan masyarakat di suatu wilayah sulit diperoleh, sehingga diproksi dengan menggunakan pendekatan pengeluaran rumah tangga. Permasalahan utama yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu bagaimana konvergensi antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis konvergensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia. Secara lebih rinci, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis dinamika disparitas pendapatan dan pembangunan

infrastruktur antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia.

2. Menguji konvergensi wilayah dan membandingkan fenomena tingkat konvergensi antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia dikaji dari pendekatan pendapatan PDRB dan pendekatan pengeluaran rumahtangga. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah antar

koridor ekonomi di Indonesia.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan bahan dalam perumusan atau penyusunan kebijakan perencanaan pembangunan wilayah bagi pemerintah dalam hal untuk mengurangi tingkat disparitas wilayah antar koridor ekonomi di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para investor yang untuk menanamkan modalnya di Indonesia, khususnya di wilayah koridor ekonomi yang pembangunannya dan pertumbuhan ekonominya masih kurang atau lambat misalnya dalam pembangunan infrastuktur agar terciptanya kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan atau disparitas. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya khususnya terkait dengan masalah pada penelitian ini.


(39)

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan unit analisis seluruh kabupaten/kota dan provinsi antar koridor ekonomi di Indonesia dengan menggunakan data hanya tahun 2006-2010. Variabel infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini hanya menggunakan infrastruktur sosial dan ekonomi yaitu infrastruktur jalan, listrik, telepon, dan air bersih. Model yang dibangun berdasarkan ketersediaan data dan informasi. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis koefisien variasi Williamson, Indeks Theil, Regresi data panel statis, dan regresi data panel dinamis. Dalam menggunakan model regresi data panel statis menggunakan data di level provinsi untuk enam model untuk enam koridor ekonomi, sedangkan untuk model regresi data panel dinamis menggunakan data di level kabupaten/kota untuk enam model untuk enam koridor.


(40)

2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi

Tingkat pertumbuhan perekonomian adalah kondisi dimana nilai riil Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan output (Dornbusch et al., 2008). Penyebab utama dari pertumbuhan ekonomi adalah tersedianya sejumlah sumber daya dan peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi. Konsep PDB digunakan pada tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota digunakan konsep PDRB. PDB atau PDRB dapat diukur dengan tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran (Tambunan, 2001). Pendekatan produksi dan pendekatan pendapatan adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat (Aggregate Supply - AS) sedangkan pendekatan pengeluaran adalah pendekatan dari sisi permintaan agregat (Aggregate Demand - AD) (Blanchard, 2006).

Teori pertumbuhan ekonomi semakin berkembang dari masa ke masa. Beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang menonjol sebagaimana diuraikan Todaro dan Smith (2006) adalah model pertumbuhan neoklasik dan model pertumbuhan endogen. Teori pertumbuhan neo-klasik dimotori oleh Harrod Domar dan Robert Solow.

Model pertumbuhan Harrod dan Domar dalam Jhingan (2008) atau lebih dikenal dengan model pertumbuhan Harrod-Domar merupakan model pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada negara-negara sedang berkembang. Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan peran ganda investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Investasi mempengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok kapital dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga investasi juga memengaruhi penawaran agregat. Domar hendak menjawab tingkat investasi yang diperlukan agar peningkatan permintaan agregat setara dengan kapasitas produksi sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan.


(41)

dengan investasi (I) dikalikan dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I) dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS (Marjinal Propensity to Save = s) terhadap COR (Capital Output Rasio = k) atau dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:

k s I

I K

K Y

Y = Δ = Δ =

Δ

………(2.1) Dimana:

ΔY/Y = laju pertumbuhan permintaan agregat atau output

ΔK/K = laju peningkatan stok capital

ΔI/I = laju peningkatan investasi

Menurut Harrod dalam Jhingan (2008), pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan atas pertumbuhan aktual, pertumbuhan yang diinginkan, dan pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan aktual (the actual growth = ΔY/Y) adalah laju pertumbuhan sesungguhnya yang besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output (S/Y) dan rasio tambahan kapitaloutput (ΔK/ΔY). Kedua besaran ini dianggap konstan dan melalui manipulasi matematis akan sama dengan tabungan. Pada tingkat laju pertumbuhan aktual, output aktual tidak selalu sama dengan output potensial.

Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern dan output, guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (sustain). Model Solow diformulasikan dengan menganggap input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2009). Secara ekonomi, model pertumbuhan Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam


(42)

perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan (Mankiw, 2007).

Mankiw (2007) menyatakan bahwa asumsi fungsi produksi bersifat constant returns to scale output akan meningkat dengan proporsi yang sama apabila kapital dan tenaga kerja digandakan dan input-output yang baru digunakan sepenting input yang telah ada. Input selain kapital, tenaga kerja dan pengetahuan diasumsikan tidak penting. Dari anggapan tersebut model Solow diformulasikan sebagai suatu hubungan fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari kapital per tenaga kerja efektif, yaitu:

y = f(k) ……….(2.2)

Dimana:

y = output per tenaga kerja efektif (Y/AL)

k = kapital per tenaga kerja efektif (K/AL)

Y = output

K = kapital

L = tenaga kerja

A = efektivitas tenaga kerja (pengetahuan)

AL = tenaga kerja efektif (labor augmented)

Investasi break even, (δ+n+g)k

Investasiaktual dan Investasi

break even,

Investasi aktual, sf(k)

k* 0

Sumber: Mankiw (2007)

Gambar 11 Investasi Aktual dan Break-even


(1)

Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan

PDRB

di Koridor

Sulawesi

dengan

Model Data Panel Statis

Prob>chi2 = 0.7086 = 3.76

chi2( 6) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) Test: Ho: difference in coefficients not systematic

B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg puskes .3218713 .1221926 .1996786 .2974575 road .0422649 -.0438203 .0860852 .1111032 electric 4.83e-30 .1068961 -.1068961 .1403582 edu -1 -.8639196 -.1360804 .2766478 agri .0726942 -.1325486 .2052428 .2893426 govexp .0667764 .0056347 .0611417 .0935761 fixed . Difference S.E.

(b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B)) Coefficients

. hausman fixed

rho 0 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .32910867 sigma_u 0

_cons 2.231532 1.409207 1.58 0.113 -.5304623 4.993527 puskes .1221926 .1386805 0.88 0.378 -.1496162 .3940015 road -.0438203 .0545772 -0.80 0.422 -.1507896 .0631489 electric .1068961 .3531519 0.30 0.762 -.5852689 .799061 edu -.8639196 .3742874 -2.31 0.021 -1.597509 -.1303298 agri -.1325486 .138414 -0.96 0.338 -.403835 .1387378 govexp .0056347 .1114714 0.05 0.960 -.2128452 .2241145 cvpdrb Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0011 Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2( 6) = 22.27 overall = 0.4920 max = 5 between = 0.7908 avg = 5.0 R-sq: within = 0.3456 Obs per group: min = 5 Group variable: prov Number of groups = 6 Random-effects GLS regression Number of obs = 30 . xtreg cvpdrb govexp agri edu electric road puskes, re

. estimates store fixed

F test that all u_i=0: F( 5, 18) = 0.90 Prob > F = 0.5006 rho .4200575 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .32910867 sigma_u .28009234

_cons 1.885228 2.112397 0.89 0.384 -2.552754 6.323209 puskes .3218713 .328197 0.98 0.340 -.367645 1.011388 road .0422649 .1237845 0.34 0.737 -.2177966 .3023264 electric 4.83e-30 .380022 0.00 1.000 -.7983965 .7983965 edu -1 .4654299 -2.15 0.046 -1.977832 -.022168 agri .0726942 .3207453 0.23 0.823 -.6011667 .746555 govexp .0667764 .1455416 0.46 0.652 -.2389951 .3725479 cvpdrb Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] corr(u_i, Xb) = -0.7307 Prob > F = 0.1317 F(6,18) = 1.92 overall = 0.4034 max = 5 between = 0.6073 avg = 5.0 R-sq: within = 0.3907 Obs per group: min = 5 Group variable: prov Number of groups = 6 Fixed-effects (within) regression Number of obs = 30 . xtreg cvpdrb govexp agri edu electric road puskes, fe


(2)

Prob>chi2 = 0.9785 = 0.45

chi2( 4) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) Test: Ho: difference in coefficients not systematic

B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg

Lampiran 22

Scripts

Input dan Hasil Output Stata Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat

Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan

Pendapatan Rumah Tangga

di

Koridor

Sulawesi

dengan Model Data Panel Statis

b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg road .0164361 .0154521 .0009841 .0751296 phone -.4684252 -.5320388 .0636136 .1459123 manu .2967585 .118168 .1785905 .4828757 govexp -.3588395 -.2783663 -.0804731 .2137219 fixed . Difference S.E.

(b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B)) Coefficients

. hausman fixed

rho 0 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .81000088 sigma_u 0

_cons .4934333 2.36603 0.21 0.835 -4.1439 5.130767 road .0154521 .081248 0.19 0.849 -.1437911 .1746952 phone -.5320388 .2438897 -2.18 0.029 -1.010054 -.0540238 manu .118168 .5822057 0.20 0.839 -1.022934 1.25927 govexp -.2783663 .2539534 -1.10 0.273 -.7761058 .2193731 cvcons Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.2058 Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2( 4) = 5.91 overall = 0.1912 max = 5 between = 0.4971 avg = 5.0 R-sq: within = 0.1519 Obs per group: min = 5 Group variable: prov Number of groups = 6 Random-effects GLS regression Number of obs = 30 . xtreg cvcons govexp manu phone road, re

. estimates store fixed

F test that all u_i=0: F( 5, 20) = 0.40 Prob > F = 0.8398 rho .08513013 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .81000088 sigma_u .24708563

_cons .2228292 2.956219 0.08 0.941 -5.943735 6.389393 road .0164361 .1106603 0.15 0.883 -.2143972 .2472694 phone -.4684252 .2842052 -1.65 0.115 -1.061267 .1244164 manu .2967585 .7563944 0.39 0.699 -1.281052 1.87457 govexp -.3588395 .3319177 -1.08 0.293 -1.051208 .3335287 cvcons Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] corr(u_i, Xb) = 0.0143 Prob > F = 0.4590 F(4,20) = 0.94 overall = 0.1801 max = 5 between = 0.3273 avg = 5.0 R-sq: within = 0.1588 Obs per group: min = 5 Group variable: prov Number of groups = 6 Fixed-effects (within) regression Number of obs = 30 xtreg cvcons govexp manu phone road, fe

 

 


(3)

Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan

PDRB

di Koridor

Bali-Nusa

Tenggara dan Papua-Kep. Maluku

dengan Model Data Panel Statis

. estimates store fixed

F test that all u_i=0: F( 6, 23) = 4.95 Prob > F = 0.0022 rho .71996845 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .34102897 sigma_u .54682017

_cons 3.713252 2.200046 1.69 0.105 -.8378895 8.264393 road .3054509 .1990798 1.53 0.139 -.106377 .7172788 phone -.2144567 .1328277 -1.61 0.120 -.4892317 .0603183 edu -.2597571 .2565487 -1.01 0.322 -.7904686 .2709544 manu -.1606458 .4613175 -0.35 0.731 -1.114954 .7936621 govexp -.5584706 .2637872 -2.12 0.045 -1.104156 -.0127853 cvpdrb Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] corr(u_i, Xb) = -0.4858 Prob > F = 0.0804 F(5,23) = 2.28 overall = 0.1745 max = 5 between = 0.1450 avg = 5.0 R-sq: within = 0.3313 Obs per group: min = 5 Group variable: prov Number of groups = 7 Fixed-effects (within) regression Number of obs = 35 . xtreg cvpdrb govexp manu edu phone road, fe

delta: 1 unit

time variable: tahun, 2006 to 2010 panel variable: prov (strongly balanced) . xtset prov tahun

 

(V_b-V_B is not positive definite) Prob>chi2 = 0.0000 = 139.76

chi2( 5) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) Test: Ho: difference in coefficients not systematic

B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg road .3054509 .1424963 .1629546 .0618578 phone -.2144567 -.2275645 .0131078 . edu -.2597571 -.3227827 .0630256 .1355093 manu -.1606458 -.3289191 .1682732 .4271305 govexp -.5584706 -.1373063 -.4211643 .1830033 fixed . Difference S.E.

(b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B)) Coefficients

. hausman fixed

rho .4289837 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .34102897 sigma_u .29558842

_cons 2.134472 1.177982 1.81 0.070 -.1743306 4.443275 road .1424963 .1892257 0.75 0.451 -.2283793 .5133718 phone -.2275645 .135763 -1.68 0.094 -.493655 .038526 edu -.3227827 .2178405 -1.48 0.138 -.7497422 .1041768 manu -.3289191 .1742794 -1.89 0.059 -.6705004 .0126623 govexp -.1373063 .1899828 -0.72 0.470 -.5096657 .2350532 cvpdrb Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0275 Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2( 5) = 12.59 overall = 0.3751 max = 5 between = 0.4471 avg = 5.0 R-sq: within = 0.2578 Obs per group: min = 5 Group variable: prov Number of groups = 7 Random-effects GLS regression Number of obs = 35 xtreg cvpdrb govexp manu edu phone road, re


(4)

Lampiran 24

Scripts

Input dan Hasil Output Stata Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat

Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan

Pendapatan Rumah Tangga

di

Koridor

Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku

dengan Model Data

Panel Statis

rho 0 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .43897226 sigma_u 0

_cons -.0115304 1.394251 -0.01 0.993 -2.744211 2.721151 phone -.1905955 .1997336 -0.95 0.340 -.5820662 .2008752 electric .0136612 .3455195 0.04 0.968 -.6635445 .6908669 edu .1549467 .2940091 0.53 0.598 -.4213005 .731194 manu -.2310774 .1322539 -1.75 0.081 -.4902902 .0281355 govexp -.3329664 .1525784 -2.18 0.029 -.6320145 -.0339182 cvcons Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0022 Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2( 5) = 18.67 overall = 0.3916 max = 5 between = 0.7377 avg = 5.0 R-sq: within = 0.0013 Obs per group: min = 5 Group variable: prov Number of groups = 7 Random-effects GLS regression Number of obs = 35 . xtreg cvcons govexp manu edu electric phone, re

. estimates store fixed

F test that all u_i=0: F( 6, 23) = 3.29 Prob > F = 0.0173 rho .86020781 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .43897226 sigma_u 1.0889234

_cons -3.800462 3.48635 -1.09 0.287 -11.01253 3.411601 phone -.2031122 .1694786 -1.20 0.243 -.5537055 .1474811 electric -.6992219 .4926114 -1.42 0.169 -1.718266 .3198224 edu .3808354 .3271102 1.16 0.256 -.2958436 1.057514 manu .5800573 .5889196 0.98 0.335 -.6382158 1.79833 govexp .2669943 .3304702 0.81 0.427 -.4166354 .950624 cvcons Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] corr(u_i, Xb) = -0.9170 Prob > F = 0.3349 F(5,23) = 1.21 overall = 0.2548 max = 5 between = 0.6577 avg = 5.0 R-sq: within = 0.2086 Obs per group: min = 5 Group variable: prov Number of groups = 7 Fixed-effects (within) regression Number of obs = 35 xtreg cvcons govexp manu edu electric phone, fe

 

(V_b-V_B is not positive definite) Prob>chi2 = 0.4844 = 4.47

chi2( 5) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) Test: Ho: difference in coefficients not systematic

B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg phone -.2031122 -.1905955 -.0125167 . electric -.6992219 .0136612 -.7128831 .3511158 edu .3808354 .1549467 .2258886 .1433866 manu .5800573 -.2310774 .8111347 .5738774 govexp .2669943 -.3329664 .5999606 .2931388 fixed . Difference S.E.

(b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B)) Coefficients

. hausman fixed


(5)

Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan

PDRB

di

Indonesia

dengan Model

Data Panel Statis

F test that all u_i=0: F( 32, 124) = 4.22 Prob > F = 0.0000 rho .65500374 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .35956051 sigma_u .495435

_cons 1.245659 1.434603 0.87 0.387 -1.593823 4.085141 road -.0414967 .0451731 -0.92 0.360 -.1309069 .0479135 phone -.195908 .0670762 -2.92 0.004 -.3286707 -.0631454 water -.3302583 .1867906 -1.77 0.080 -.6999691 .0394525 electric -.0295307 .1458319 -0.20 0.840 -.3181728 .2591114 edu -.3056077 .1484937 -2.06 0.042 -.5995184 -.011697 manu .1359 .1694801 0.80 0.424 -.1995485 .4713485 agri -.0221645 .1827264 -0.12 0.904 -.3838312 .3395021 govexp .0159103 .0888527 0.18 0.858 -.1599542 .1917747 cvpdrb Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] corr(u_i, Xb) = -0.3473 Prob > F = 0.0005 F(8,124) = 3.84 overall = 0.0458 max = 5 between = 0.0104 avg = 5.0 R-sq: within = 0.1984 Obs per group: min = 5 Group variable: prov Number of groups = 33 Fixed-effects (within) regression Number of obs = 165 . xtreg cvpdrb govexp agri manu edu electric water phone road, fe

delta: 1 unit

time variable: tahun, 2006 to 2010 panel variable: prov (strongly balanced) . xtset prov tahun

.

Prob>chi2 = 0.4679 = 7.66

chi2( 8) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) Test: Ho: difference in coefficients not systematic

B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg road -.0414967 .002174 -.0436707 .0406565 phone -.195908 -.2379806 .0420725 .0244033 water -.3302583 -.0952587 -.2349996 .113164 electric -.0295307 .0434254 -.0729562 .0899881 edu -.3056077 -.3094276 .0038199 .0912019 manu .1359 -.10972 .24562 .1427471 agri -.0221645 .1084459 -.1306105 .1710499 govexp .0159103 .0285817 -.0126714 .0534619 fixed . Difference S.E.

(b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B)) Coefficients

. hausman fixed

rho .45045434 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .35956051 sigma_u .32553335

_cons .4257149 .9973416 0.43 0.669 -1.529039 2.380469 road .002174 .019689 0.11 0.912 -.0364157 .0407637 phone -.2379806 .0624796 -3.81 0.000 -.3604383 -.1155228 water -.0952587 .1486089 -0.64 0.522 -.3865268 .1960095 electric .0434254 .1147566 0.38 0.705 -.1814933 .2683442 edu -.3094276 .1171862 -2.64 0.008 -.5391082 -.0797469 manu -.10972 .0913605 -1.20 0.230 -.2887834 .0693434 agri .1084459 .0642718 1.69 0.092 -.0175244 .2344163 govexp .0285817 .0709692 0.40 0.687 -.1105155 .1676788 cvpdrb Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0000 Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2( 8) = 49.18 overall = 0.3494 max = 5 between = 0.4590 avg = 5.0 R-sq: within = 0.1688 Obs per group: min = 5 Group variable: prov Number of groups = 33 Random-effects GLS regression Number of obs = 165 . xtreg cvpdrb govexp agri manu edu electric water phone road, re

. estimates store fixed


(6)

F test that all u_i=0: F( 32, 124) = 2.26 Prob > F = 0.0008

Lampiran 26

Scripts

Input dan Hasil Output Stata Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat

Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan

Pendapatan Rumah Tangga

di

Indonesia

dengan Model Data Panel Statis

rho .53459526 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .53205077 sigma_u .57023022

_cons 1.658301 2.122819 0.78 0.436 -2.543352 5.859954 road .0285516 .0668437 0.43 0.670 -.1037508 .1608541 phone -.3603668 .0992544 -3.63 0.000 -.556819 -.1639146 water -.7313191 .2763987 -2.65 0.009 -1.27839 -.1842487 electric -.2038534 .2157911 -0.94 0.347 -.6309644 .2232576 edu .0854449 .2197299 0.39 0.698 -.3494622 .520352 manu .4492355 .2507839 1.79 0.076 -.0471362 .9456071 agri -.0879352 .2703848 -0.33 0.746 -.6231025 .4472321 govexp -.1367585 .1314776 -1.04 0.300 -.3969896 .1234725 cvcons Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] corr(u_i, Xb) = -0.5791 Prob > F = 0.0001 F(8,124) = 4.64 overall = 0.0195 max = 5 between = 0.0381 avg = 5.0 R-sq: within = 0.2302 Obs per group: min = 5 Group variable: prov Number of groups = 33 Fixed-effects (within) regression Number of obs = 165 . xtreg cvcons govexp agri manu edu electric water phone road, fe

delta: 1 unit

time variable: tahun, 2006 to 2010 panel variable: prov (strongly balanced) . xtset prov tahun

.

Prob>chi2 = 0.0010 = 26.19

chi2( 8) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) Test: Ho: difference in coefficients not systematic

B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg road .0285516 .0278915 .0006601 .0637543 phone -.3603668 -.3507081 -.0096587 .0405067 water -.7313191 -.1187455 -.6125736 .2030415 electric -.2038534 .157407 -.3612603 .161355 edu .0854449 -.0651293 .1505742 .1657724 manu .4492355 -.0098016 .4590371 .2310351 agri -.0879352 .0633488 -.1512839 .2621247 govexp -.1367585 -.1672134 .0304549 .0978107 fixed . Difference S.E.

(b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B)) Coefficients

. hausman fixed

rho .15383131 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .53205077 sigma_u .22685427

_cons -.6275299 1.188918 -0.53 0.598 -2.957766 1.702706 road .0278915 .0200868 1.39 0.165 -.0114778 .0672608 phone -.3507081 .0906126 -3.87 0.000 -.5283055 -.1731107 water -.1187455 .1875377 -0.63 0.527 -.4863126 .2488216 electric .157407 .1432842 1.10 0.272 -.1234248 .4382387 edu -.0651293 .1442247 -0.45 0.652 -.3478045 .2175458 manu -.0098016 .0975469 -0.10 0.920 -.20099 .1813867 agri .0633488 .0663219 0.96 0.339 -.0666397 .1933372 govexp -.1672134 .0878603 -1.90 0.057 -.3394164 .0049896 cvcons Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0000 Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2( 8) = 37.14 overall = 0.2108 max = 5 between = 0.3070 avg = 5.0 R-sq: within = 0.1638 Obs per group: min = 5 Group variable: prov Number of groups = 33 Random-effects GLS regression Number of obs = 165 . xtreg cvcons govexp agri manu edu electric water phone road, re