Dinamika Perubahan Harga Pangan Antar Wilayah dan Antar Waktu

46 Gambar 18 Harga Rata-rata Telur Ayam antar Propinsi di Indonesia dari tahun 2002 – 2010 Harga rata-rata terendah pada komoditi telur ayam terjadi pada wilayah Nanggroe Aceh Darussalam NAD. Hal ini disebabkan karena NAD merupakan salah satu sentra produksi ayam ras, sehingga pada saat musim panen jumlah stok telur ayam meningkat namun tidak diikuti oleh permintaan masyarakat yang cenderung statis atau tetap. Jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka harga komoditi telur ayam yang berada di atas rata-rata nasional sebesar 46.15 persen. Sedangkan harga komoditi telur ayam yang berada di bawah rata-rata nasional sebesar 53.85 persen Gambar 18. Rata-rata harga daging sapi tertinggi antar wilayah di Indonesia pada tahun 2002 – 2010 terjadi di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam NAD. Hal ini disebabkan karena jenis dan kualitasnya sangat berbeda dengan yang dijual di daerah lain sehingga daging sapi di Aceh yang dibeli konsumen saat ini setara dengan daging khas yang kalau di Jawa juga jauh lebih mahal juga karena permintaan yang cukup banyak pada hari raya islami sehingga menyebabkan harga jual ikut meningkat. Harga rata-rata daging sapi terendah terjadi di Kupang karena permintaan daging sapi tidak terlalu tinggi, hal ini disebabkan karena barang substitusinya seperti daging babi dan daging ayam harganya lebih rendah serta karena mayoritas penduduk NTT beragama kristen sehingga masyarakat cenderung mengkonsumsi daging babi dibandingkan dengan daging sapi meskipun produksi daging sapinya cukup banyak. Jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka harga komoditi daging sapi yang berada di atas rata-rata nasional sebesar 46.15 persen. 47 Sedangkan harga komoditi daging sapi yang berada di bawah rata-rata nasional sebesar 53.85 persen Gambar 19 Gambar 19 Harga Rata-rata Daging Sapi antar Propinsi di Indonesia dari tahun 2002 – 2010 Rata-rata rasio perubahan harga telur yang berada diatas tingkat inflasi sedangkan rata-rata perubahan harga daging ayam dan daging sapi berada bawah tingkat inflasi dimana tingkat inflasi sebesar 8.07 persen. Tingginya rata-rata rasio perubahan harga telur ayam karena produksi teluar ayam lebih sedikit dibanding dengan daging ayam dan daging sapi akibat kurang lancarnya pasokan telur dari beberapa daerah terus tidak dimbangi dengan pasokan telur lokal sehingga tidak dapat untuk memenuhi permintaan konsumen. Bila dilihat antar waktu, perubahan harga telur ayam juga paling tinggi yang terjadi pada tahun 2008. Hal ini disebabkan karena tingginya permintaan telur ayam pada hari raya keagamaan sehingga menyebabkan harga telur ayam cukup tinggi. Rata-rata rasio perubahan harga daging sapi dan daging ayam berada di bawah tingkat inflasi. Hal ini disebabkan karena konsumsi terhadap kedua komoditi ini lebih rendah bila dibandingkan dengan komoditi telur ayam. Produksi daging ayam cukup besar, namun konsumsi masyarakat saat ini masih terbilang rendah. Untuk daging ayam misalnya, konsumsi masyarakat Indonesia baru mencapai 7 kgkapitatahun. 48 Gambar 20 Rasio Perubahan Harga Produk Peternakan dan Inflasi di Indonesia dari tahun 2002 - 2010 Malaysia dan Singapura yang konsumsinya telah melebihi angka 25 kg per kapita per tahun. Dengan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia saat ini yang telah menginjak angka 3000 US Dollar, mestinya konsumsi produk protein hewani sebesar 17kgkapitatahun. Hal ini disebabkan oleh adanya isu-isu miring seputar dunia perunggasan di masyarakat seperti kurangnya pengetahuan, kebiasaan serta rendahnya daya beli masyarakat karena bibit, pakan ayam jagung dan obat hewan juga masih di impor. Produksi sapi dan daging sapi nasional mampu memenuhi 70 persen kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah kemungkinan masih mempertahankan target impor sebanyak 30 persen untuk memenuhi kebutuhan daging sapi nasional. Hal ini menyebabkan daya beli masyarakat rendah akibat tingginya harga jual daging sapi. Kemampuan suplai daging sapi dari dalam negeri saat ini baru mencapai dua pertiga dari total kebutuhan konsumsi sekitar 1.7 juta ekor per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sebesar sepertiga sisanya harus dipenuhi dari impor sapi bakalan sekitar setengah juta ekor dan impor daging sapi berkisar 70.000 ton per tahun. 49

4.2 Konvergensi Harga Pangan Antar Wilayah dan Antar Waktu di

Indonesia 4.2.1 Konvergensi Harga Pangan Pokok Estimasi konvergensi harga pangan pokok dilakukan dengan menggunakan tiga komoditi pada variabel dependennya, yaitu komoditi beras, minyak goreng dan gula pasir. Perbandingan ini dilakukan sebagai upaya untuk melihat apakah ada perbedaan harga pangan pokok pada tiga komoditi tersebut.. Tingginya harga rata-rata dari suatu komoditi tersebut tidak secara otomatis akan menyebabkan tingginya perbedaan harga komoditi tersebut pada antar wilayah karena harga rata-rata dari suatu komoditi tersebut tinggi terjadi pada semua wilayah atau pada wilayah tertentu saja di Indonesia. Proses konvergensi harga pangan pokok dapat dilihat dari koefisien parameter autoregressive dari variabel harga beras. Nilai dari koefisien dari y t-1 yang kurang dari 1 menunjukkan adanya proses konvergensi, sedangkan nilai yang lebih dari 1 menunjukkan bahwa harga beras antar wilayah persisten. Model data panel dinamis FD-GMM menunjukkan bahwa koefisien p t-1 adalah 0.3394 dan signifikan pada level 5 persen, artinya proses konvergensi harga beras terjadi di antar wilayah di Indonesia. Dengan kata lain, harga beras antar wilayah konvergen. Berdasarkan statistik uji Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid tidak ditolak, dengan pvalue 0.2084, artinya variabel instrumen yang digunakan valid. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB m 1 yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB m 2 yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial atau model konsisten Tabel 3. Perhitungan konvergensi harga beras antar wilayah di Indonesia berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Barrios et al 2007 di Philipina bahwa terjadi proses divergen pada komoditi harga beras pada tahun 1990 – 2002 akibat adanya badai El Nino pada tahun 1998. Adanya konvergensi harga beras antar wilayah di Indonesia karena produksi beras Indonesia cukup besar menduduki urutan ketiga di dunia setelah China dan India. Sementara tingkat produktivitas per hektar juga sangat baik mencapai 4.9 tonha, di atas produktivitas rata-rata negara Asia sebesar 4.2 tonha. 50 Estimasi konvergensi pangan pokok dapat dilihat dari koefisien parameter autoregressive dari variabel harga minyak goreng. Nilai koefisien p t-1 pada lag variabel dependen kurang dari satu, sehingga menghasilkan tingkat konvergensi yang positif. Tingkat konvergensi mencapai 225.57 persen berdasarkan hasil empiris koefisien p t-1 sebesar 0.1048. Berdasarkan statistik uji Sargan menunjukkan bahwa hipotesis nol variabel instrumen valid tidak ditolak. Sedangkan uji m 1 signifikan sedangkan nilai m 2 tidak signifikan juga sehingga menunjukkan bahwa tidak ada serial correlation dan model konsisten Tabel 3. Tabel 3 Estimasi Konvergensi Harga Pangan Pokok Menggunakan Metode Panel Data Dinamis FD-GMM Komoditi Parameters Koefisien SE P-value Beras Harga t-1 0.3394 0.0150 0.0000 Implied λ 108.0576 Wald-Test 8037.17 0.0000 AB m1 -1.9568 0.0273 AB m2 -2.2077 0.0504 Sargan Test 25.9494 0.2084 Minyak Goreng Harga t-1 0.1048 0.0140 0.0000 Implied λ 225.5702 Wald-Test 26616.85 0.0000 AB m1 -1.6806 0.0002 AB m2 -3.7566 0.0928 Sargan Test 25.8034 0.2140 Gula Pasir Harga t-1 0.2012 0.0121 0.0000 Implied λ 160.3456 Wald-Test 412329.44 0.0000 AB m1 -4.0642 0.0008 AB m2 -3.3454 0.0547 Sargan Test 25.6496 0.2201 Konnvergen minyak goreng bukan saja terjadi di Indonesia, tetapi juga di Cina dimana komoditi yang konvergen adalah gabah, minyak goreng, unggas, ikan Wan 2005. Hal ini terjadi karena bila dilihat dari volumenya, konsumsi minyak goreng sawit Indonesia merupakan yang terbesar di dunia dengan laju pertumbuhan rata-rata mencapai 11.4 persen per tahun selama periode 1990–2009. Dengan tingkat konsumsi yang mencapai 2.8 juta ton per tahun, maka dibutuhkan sekitar 3.8 juta ton CPO sebagai bahan bakunya. Jumlah tersebut pada dasarnya masih dapat dipenuhi dari produksi CPO domestik yang saat ini telah mencapai lebih dari 10 juta ton per tahun atau terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Dengan porsi hanya sekitar 30 persen dari produksi CPO, pengadaan bahan baku minyak goreng sawit dalam negeri pada dasarnya tidak menemui kendala yang 51 berarti seiring dengan peningkatan luas areal tanaman kelapa sawit yang tersebar di 18 propinsi, yakni Nangro Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat dan Papua termasuk Irian Jaya Barat. Diantara wilayah tersebut, Riau termasuk Kepulauan Riau merupakan sentra produksi terbesar dengan luas lahan mencapai 23.5 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit Indonesia yang saat ini mencapai 6,074,926 ha. Estimasi konvergensi harga gula pasir dapat dibandingkan dengan konvergensi harga beras dan minyak goreng untuk melihat apakah dampak kebijakan pemerintah terhadap pangan pokok sudah berhasil atau belum Tabel 3. Dimana proses konvergensi terjadi pada komoditi gula pasir, yang ditunjukkan dengan nilai koefisien dari p t-1 sebesar 0.2011 dan menghasilkan tingkat konvergensi 160.34 persen. Berdasarkan statistik uji Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid tidak ditolak, dengan p-value 0.2201. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB m 1 yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB m 2 yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial pada model atau model konsisten. Dilihat dari tiga komoditi diatas ternyata tingkat konvergensi tertinggi pada komoditi minyak goreng, gula pasir lalu tingkat konvergensi terendah terjadi pada komoditi beras yang berarti kebijakan pemerintah di bidang pemberasan belum sepenuhnya berhasil yang dilihat dari tingkat konvergensi beras hanya 108.06 persen sehingga peran BULOG harus terus ditingkatkan dan operasi pasar menjadi salah satu cara untuk meningkatkan tingkat konvergensi di Indonesia.

4.2.2 Konvergensi Harga Tanaman Pangan dan Holtikultura

Estimasi konvergensi tanaman pangan dan holtikultura dilakukan dengan menggunakan tiga komoditi pada variabel dependennya, yaitu komoditi kacang kedelai, bawang merah dan cabe merah. Perbandingan ini dilakukan sebagai upaya untuk melihat apakah ada perbedaan harga tanaman pangan dan holtikultura pada tiga komoditi tersebut. Tingginya harga rata-rata dari suatu 52 komoditi tersebut tidak secara otomatis akan menyebabkan tingginya perbedaan harga komoditi tersebut pada antar wilayah karena harga rata-rata dari suatu komoditi tersebut tinggi terjadi pada semua wilayah atau pada wilayah tertentu saja di Indonesia. Proses konvergensi tanaman pangan dan holtikultura dapat dilihat dari koefisien parameter autoregressive dari variabel harga kacang kedelai antar wilayah. Nilai dari koefisien dari p t-1 yang lebih kecil dari satu, mengindikasikan bahwa konvergensi terjadi atau harga kacang kedelai antar wilayah konvergen yang di tunjukkan dengan tingkat konvergensi 253.19 persen. Berdasarkan statistik uji Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid tidak ditolak, dengan p-value 0.2919. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB m 1 yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB m 2 yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial pada model atau model konsisten Tabel 3. Perhitungan konvergensi harga kacang kedelai antar wilayah di Indonesia berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Irwin et al 2009 di Chicago bahwa tidak terjadi proses konvergensi pada komoditi harga kacang kedelai pada tahun 2005 – 2008 akibat semakin luasnya pasar dan adanya perubahan kondisi penawaran dan permintaan yang tidak seimbang. Tabel 4 Estimasi Konvergensi Tanaman Pangan dan Holtikultura menggunakan Metode Panel Data Dinamis FD-GMM Komoditi Parameters Estimated Coefficients Standard Error P-value Kacang Kedelai Harga t-1 0.0795 0.0110 0.0000 Implied λ 253.1998 Wald-Test 7170.40 0.0000 AB m1 -1.0462 0.0295 AB m2 -0.7696 0.4416 Sargan Test 24.0248 0.2919 Bawang Merah Harga t-1 0.4310 0.0164 0.0000 Implied λ 84.16472 Wald-Test 16160.13 0.0000 AB m1 -2.6945 0.0070 AB m2 1.8285 0.0675 Sargan Test 25.2187 0.2378 Cabe Merah Harga t-1 0.4877 0.0995 0.0000 Implied λ 71.8054 Wald-Test 46000.30 0.0000 AB m1 -1.4155 0.0415 AB m2 -1.0907 0.1569 Sargan Test 25.8983 0.2104 53 Adanya konvergensi harga kacang kedelai antar wilayah di Indonesia karena produksi kedelai cukup meningkat karena peningkatan luas panen seluas 4.99 ribu hektar 0.75 persen dan produktivitas sebesar 0.29 kuintalhektar 2.11 persen. Peningkatan produksi yang konsisten tersebut juga sebagai akibat adanya kebijaksanaan pemerintah dalam mengendalikan impor kedelai, sehingga harga kedelai dalam negeri tetap memberikan insentif bagi petani untuk memproduksi kedelai. Tanpa dukungan perluasan areal, upaya untuk peningkatan produksi kedelai agak sulit, karena peningkatan produktivitas berjalan lambat. Proses konvergensi tanaman pangan dan holtikultura dapat dilihat dari koefisien parameter autoregressive dari variabel harga bawang merah antar wilayah. Nilai dari koefisien dari p t-1 yang kurang dari satu, mengindikasikan bahwa konvergensi terjadi atau harga bawang merah antar wilayah konvergen dengan tingkat konvergensi 84.16 persen. Berdasarkan statistik uji Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid tidak ditolak, dengan p-value 0.2378. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB m 1 yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB m 2 yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial pada model atau model konsisten. Hal ini senada yang terjadi di Amerika Utara bahwa harga bawang merah tahun 1998 – 2006 di wilayah tersebut menunjukkan terjadinya konvergensi harga secara cepat Susanto 2007. Tingkat konvergensi bawang merah di Indonesia juga lebih rendah dari tingkat konvergensi kacang kedelai karena sifat dari bawang merah yang tidak dapat disimpan dalam jangka waktu lama akibat cepat rusak. Estimasi konvergensi tanaman pangan dan holtikultura dapat dilihat dari variabel harga cabe merah antar wilayah dimana nilai dari koefisien dari p t-1 yang kurang dari satu, mengindikasikan bahwa konvergensi terjadi atau harga cabe merah antar wilayah konvergen dengan tingkat konvergensi 71.80 persen. Berdasarkan statistik uji Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid tidak ditolak, dengan p-value 0.2104. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB m 1 yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan 54 AB m 2 yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial pada model atau model konsisten. Proses konvergensi dari tanaman pangan dan holtikultura terendah pada komoditi cabe merah dan tertinggi pada komoditi kacang kedelai. Tingginya konvergensi kacang kedelai di Indonesia disebabkan kacang kedelai merupakan komoditi yang cukup tahan lama bila dibandingkan dengan cabe merah dan bawang merah sehingga harganya tidak terlalu berfluktuasi di banding kedua komoditi tersebut.

4.2.3 Konvergensi Harga Produk Peternakan

Estimasi konvergensi produk peternakan dilakukan dengan menggunakan tiga komoditi pada variabel dependennya, yaitu komoditi daging ayam, telur ayam dan daging sapi. Perbandingan ini dilakukan sebagai upaya untuk melihat apakah ada perbedaan harga tanaman pangan dan holtikultura pada tiga komoditi tersebut. Tingginya harga rata-rata dari suatu komoditi tersebut tidak secara otomatis akan menyebabkan tingginya perbedaan harga komoditi tersebut pada antar wilayah karena harga rata-rata dari suatu komoditi tersebut tinggi terjadi pada semua wilayah atau pada wilayah tertentu saja di Indonesia. Secara empiris, proses konvergensi produk peternakan yang diihat dari variabel harga daging ayam ras disajikan pada Tabel 5. Koefisien p t-1 secara tahunan sebesar 0.1602 dengan metode FD-GMM, menunjukkan bahwa tingkat konvergensi harga ayam ras antar wilayah di Indonesia sebesar 183.13 persen. Hasil uji Sargan dengan statistik sebesar 25.4964 p-value 0.2263, artinya variabel instrumen yang digunakan telah valid secara signifikan pada level 5 persen. Model konsisten karena tidak ada serial correlation, dilihat dari m 1 yang signifikan dan uji AB m 2 tidak signifikan sesuai dengan teori untuk uji kekonsistenan model atau dengan kata lain konsisten Tabel 5. Perhitungan konvergensi komoditi daging ayam sama dengan yang dilakukan oleh Samaniego 2000 di Brazil dan Paraguay bahwa harga daging ayam tahun 1992 – 2000 di kedua wilayah tersebut menunjukkan terjadinya konvergensi harga. Tingkat konvergensi harga daging sapi di Indonesia cukup kecil karena jika dilihat dari sisi input produk yaitu pengaruh dari naikturunnya 55 harga bahan input yang umumnya masih diimpor sehingga sangat dipengaruhi oleh pergerakan kurs seperti obatvaksin bibit ternak. Estimasi perhitungan konvergensi produk peternakan menggunakan variabel harga telur ayam ras terjadi di antar wilayah. Hal ini dengan koefisien p t-1 lebih kecil dari 1 sehingga tingkat konvergensi terjadi dengan tingkat konvergensi 133.48 persen. Kriteria pengujian model dilakukan dengan uji Sargan untuk melihat validitas variabel instrumen. Statistiknya sebesar 25.9206 p-value 0.2095, menunjukkan bahwa instrumen variabel valid. Demikian pula pengujian konsistensi model dari statistik m 1 yang signifikan dan m 2 yang tidak signifikan menunjukkan bahwa model tidak ada serial correlation atau dengan kata lain sudah konsisten. Tabel 5 Estimasi Konvergensi Produk Peternakan Menggunakan Metode Panel Data Dinamis FD-GMM Komoditi Parameters Koefisien SE P-value Ayam Harga t-1 0.1602 0.0157 0.0000 Impl ied λ 183.1332 Wald-Test 24315.27 0.0000 AB m1 -2.7543 0.0059 AB m2 -0.4138 0.6790 Sargan Test 25.4964 0.2263 Telur Ayam Harga t-1 0.2632 0.0057 0.0000 Implied λ 133.4841 Wald-Test 177296.67 0.0000 AB m1 -3.0857 0.0020 AB m2 -2.2481 0.0642 Sargan Test 25.9206 0.2095 Daging Sapi Harga t-1 0.4106 0.0163 0.0000 Implied λ 89.0135 Wald-Test 41942.58 0.0000 AB m1 -3.033 0.0024 AB m2 -0.0136 0.9892 Sargan Test 23.7082 0.3074 Tingkat konvergensi daging ayam lebih tinggi dari tingkat konvergensi telur ayam karena harga telur juga sedikit banyak dipengaruhi karena masuknya produksi telur asal peternak dari negara Malaysia. Setidaknya ada sekitar 100 ton telur yang di impor secara ilegal setiap minggunya ke wilayah Batam, Kepulauan Riau sehingga pasokan telur di dalam negeri semakin banyak dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Harga daging sapi antar wilayah di Indonesia secara jangka panjang mengalami proses menuju ke satu titik tertentu. Nilai koefisien p t-1 pada lag 56 variabel dependen kurang dari 1, sehingga menghasilkan tingkat konvergensi yang positif artinya harga daging sapi antar wilayah konvergen dengan tingkat konvergensi 89.01 persen. Pemeriksaan model data panel dinamis dilakukan dengan uji validitas dan konsistensi model. Hasil uji Sargan menunjukkan bahwa hipotesis nol variabel instrumen valid tidak ditolak. Sedangkan uji m 1 signifikan sedangkan nilai m 2 tidak signifikan sehingga menunjukkan bahwa tidak ada serial correlation dan model konsisten. Hasil produk peternakan dengan variabel harga daging sapi antar wilayah di Indonesia mengalami tingkat konvergensi yang cukup rendah karena kegagalan swasembada daging sapi akibat adanya kesenjangan konsumsi dan produksi daging sapi. Selama periode 2002-2009, Indonesia masih mengimpor 40 persen total kebutuhan daging sapi yang pada tahun 2009 mencapai 322.1 ribu ton. Kemampuan suplai daging sapi dari dalam negeri saat ini baru mencapai dua pertiga dari total kebutuhan konsumsi sekitar 1.7 juta ekor per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sebesar sepertiga sisanya harus dipenuhi dari impor sapi bakalan sekitar setengah juta ekor dan impor daging sapi berkisar 70,000 ton per tahun.

4.2.4 Perbandingan Konvergensi antar Wilayah dan antar Waktu

Perhitungan estimasi konvergensi dengan data panel dinamis memerlukan kriteria validitas dan konsistensi. Uji Sargan merupakan suatu pendekatan untuk mendeteksi apakah ada masalah dengan validitas instrumen variabel instrumen valid, artinya instrumen tersebut tidak berkorelasi dengan galat pada persamaan data panel dinamis. Sementara untuk melihat konsistensi hasil estimasi dilakukan dengan uji autokorelasi oleh statisitk m 1 yang signifikan dan nilai m 2 yang tidak signifikan. Dari tiga kelompok komoditi diatas dapat dilihat bahwa semua komoditi valid variabel instrumen yang digunakan tidak berkorelasi dengan error pada persamaan FD-GMM dan konsisten yang berarti tidak adanya masalah autokorelasi. 57 Tabel 6 Pengujian Validitas Instrumen dan Konsistensi Model Panel Data Dinamis FD-GMM dalam Estimasi Konvergensi antar Wilayah dan antar Waktu di Indonesia Komoditi Pangan Pokok Uji Validitas Uji Konsistensi Pangan Pokok Beras Valid Konsisten Minyak Goreng Valid Konsisten Gula Pasir Valid Konsisten Tanaman Pangan dan Holtikultura Kacang Kedelai Valid Konsisten Bawang Merah Valid Konsisten Cabe Merah Valid Konsisten Produk Peternakan Daging Ayam ras Valid Konsisten Telur Ayam Ras Valid Konsisten Daging Sapi Valid Konsisten Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa tingkat konvergensi harga pangan paling tinggi terjadi pada komoditi tanaman pangan dan holtikultura yaitu variabel kacang kedelai serta minyak goreng pada komoditi pangan pokok. Tabel 7 Estimasi Tingkat Konvergensi antar Wilayah dan antar Waktu di Indonesia dengan Model Panel Data Dinamis FD-GMM Komoditi Pangan Pokok Koefisien y t-1 Implied λ Pangan Pokok Beras 0.3394 108.0576 Minyak Goreng 0.1048 225.5702 Gula Pasir 0.2012 160.3456 Tanaman Pangan dan Holtikultura Kacang Kedelai 0.0795 253.1998 Bawang Merah 0.4310 84.16472 Cabe Merah 0.4878 71.8054 Produk Peternakan Daging Ayam ras 0.1602 183.1332 Telur Ayam Ras 0.2632 133.4841 Daging Sapi 0.4106 89.0135 Kedua komoditi ini mempunyai tingkat konvergensi yang tinggi karena tingginya kebutuhan kacang kedelai nasional sebanyak 2.2 juta ton per tahun hanya bisa dipenuhi sepertiganya oleh produksi dalam negeri. Petani lokal hanya mampu memasok sekitar 600 ribu ton kedelai. Kekurangannya 1.6 juta ton harus diimpor. Nilai impor kedelai ini lumayan besar, sekitar Rp 8 triliun per tahun, sedikit lebih rendah dari nilai impor susu dan terigu. Meskipun tingginya impor namun secara rata-rata harga kacang kedelai lebih rendah dibanding delapan komoditi yang lain sehingga menyebabkan tingkat konvergensinya paling tinggi. Tinggingnya tingkat konvergensi minyak goreng karena, konsumsi minyak goreng sawit Indonesia merupakan yang terbesar di dunia dengan laju pertumbuhan rata-rata mencapai 11,4 persen per tahun selama periode 1990–2007. 58 Dengan tingkat konsumsi yang mencapai 2.8 juta ton per tahun, maka dibutuhkan sekitar 3.8 juta ton CPO sebagai bahan bakunya. Jumlah tersebut pada dasarnya masih dapat dipenuhi dari produksi CPO domestik yang saat ini telah mencapai lebih dari 10 juta ton per tahun atau terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Dengan porsi hanya sekitar 30 persen dari produksi CPO, pengadaan bahan baku minyak goreng sawit dalam negeri pada dasarnya tidak menemui kendala yang berarti seiring dengan peningkatan luas areal tanaman kelapa sawit yang tersebar di 18 propinsi,

4.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Pangan antar Wilayah dan

antar Waktu di Indonesia 4.3.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Pangan Pokok Di antara kebutuhan pokok, beras, gula pasir dan minyak goreng merupakan komoditas yang posisinya sangat strategis dan karena itu pemerintah selalu berusaha agar harga kedua komoditas tersebut relatif stabil. Pengertian stabil tidaklah bersifat statis, tetapi dinamis yakni suatu kondisi dimana variabilitas harga antar waktu dan antar wilayah berada pada kisaran yang masih memungkinkan bagi stakeholder produsen dan konsumen untuk melakukan penyesuaian dalam jangka pendek. Bagi konsumen, determinan dari kemampuan untuk melakukan penyesuaian adalah daya beli; sedangkan bagi produsen determinannya adalah tingkat penerimaan yang cukup untuk menutup semua biaya variabel. Estimasi harga pangan pokok melalui variabel harga beras, dimana faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras dilakukan dengan menggunakan variabel independen jumlah produksi, Produk Domestik Regional Bruto PDRB, jumlah penduduk dan panjang jalan. Model panel data dinamis yang terpilih untuk analisis perubahan harga beras adalah FD-GMM Arellano and Bond dengan p-value 0.0000. R-square sebesar 0.8881 artinya variasi variabel independen dapat menjelaskan 88.81 persen variasi harga beras, sedangkan 11.19 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak ada dalam model Tabel 8. Harga beras antar wilayah dan antar waktu di Indonesia di pengaruhi oleh jumlah produksi dan panjang jalan secara negatif serta PDRB dan jumlah