46
Gambar 18 Harga  Rata-rata  Telur  Ayam  antar  Propinsi  di  Indonesia  dari  tahun 2002 – 2010
Harga  rata-rata  terendah  pada  komoditi  telur  ayam  terjadi  pada  wilayah Nanggroe Aceh Darussalam NAD. Hal ini disebabkan karena NAD merupakan
salah satu sentra produksi ayam ras, sehingga pada saat musim panen jumlah stok telur  ayam  meningkat  namun  tidak  diikuti  oleh  permintaan  masyarakat  yang
cenderung  statis  atau  tetap.  Jika  dibandingkan  dengan  rata-rata  nasional,  maka harga  komoditi  telur  ayam  yang  berada  di  atas  rata-rata  nasional  sebesar  46.15
persen.  Sedangkan  harga  komoditi  telur  ayam  yang  berada  di  bawah  rata-rata nasional sebesar 53.85 persen Gambar 18.
Rata-rata harga daging sapi tertinggi antar wilayah di Indonesia pada tahun 2002  – 2010  terjadi  di  wilayah  Nanggroe  Aceh  Darussalam  NAD. Hal  ini
disebabkan  karena  jenis  dan  kualitasnya  sangat  berbeda  dengan  yang  dijual  di daerah  lain  sehingga  daging  sapi  di  Aceh  yang  dibeli  konsumen  saat  ini  setara
dengan  daging  khas  yang kalau  di  Jawa  juga  jauh  lebih  mahal juga  karena permintaan  yang  cukup  banyak  pada  hari  raya  islami  sehingga  menyebabkan
harga jual ikut meningkat. Harga  rata-rata  daging  sapi  terendah  terjadi  di  Kupang  karena  permintaan
daging  sapi  tidak  terlalu  tinggi,  hal  ini  disebabkan  karena  barang  substitusinya seperti daging babi dan daging ayam harganya lebih rendah serta karena mayoritas
penduduk NTT beragama kristen sehingga masyarakat cenderung mengkonsumsi daging babi dibandingkan dengan daging sapi  meskipun  produksi daging sapinya
cukup banyak. Jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka harga komoditi daging  sapi  yang  berada  di  atas  rata-rata  nasional  sebesar  46.15  persen.
47 Sedangkan  harga  komoditi  daging  sapi  yang  berada  di  bawah  rata-rata  nasional
sebesar 53.85 persen Gambar 19
Gambar 19 Harga  Rata-rata  Daging  Sapi  antar  Propinsi  di  Indonesia  dari  tahun 2002 – 2010
Rata-rata  rasio  perubahan  harga  telur  yang  berada  diatas  tingkat  inflasi sedangkan rata-rata perubahan harga daging ayam dan daging sapi berada bawah
tingkat inflasi dimana tingkat inflasi sebesar 8.07 persen. Tingginya rata-rata rasio perubahan  harga  telur  ayam  karena  produksi teluar ayam  lebih  sedikit dibanding
dengan  daging ayam  dan daging sapi  akibat  kurang lancarnya  pasokan  telur dari beberapa  daerah  terus  tidak  dimbangi  dengan  pasokan  telur  lokal  sehingga  tidak
dapat untuk memenuhi permintaan konsumen. Bila  dilihat  antar  waktu,  perubahan  harga  telur  ayam  juga  paling  tinggi
yang  terjadi  pada  tahun  2008.  Hal  ini  disebabkan  karena  tingginya  permintaan telur  ayam  pada  hari  raya  keagamaan  sehingga  menyebabkan  harga  telur  ayam
cukup tinggi. Rata-rata  rasio  perubahan  harga  daging  sapi  dan  daging  ayam  berada  di
bawah  tingkat  inflasi.  Hal  ini  disebabkan  karena  konsumsi  terhadap  kedua komoditi  ini  lebih  rendah  bila  dibandingkan  dengan  komoditi  telur  ayam.
Produksi  daging  ayam  cukup  besar,  namun  konsumsi  masyarakat  saat  ini  masih terbilang  rendah.  Untuk  daging  ayam  misalnya,  konsumsi  masyarakat  Indonesia
baru mencapai 7 kgkapitatahun.
48
Gambar 20 Rasio  Perubahan  Harga  Produk  Peternakan  dan Inflasi  di  Indonesia dari tahun 2002 - 2010
Malaysia  dan  Singapura  yang  konsumsinya  telah  melebihi  angka  25  kg per kapita per tahun. Dengan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia saat ini
yang telah  menginjak  angka 3000 US Dollar,  mestinya konsumsi  produk protein hewani sebesar 17kgkapitatahun. Hal ini disebabkan oleh adanya isu-isu miring
seputar  dunia  perunggasan  di  masyarakat  seperti  kurangnya  pengetahuan, kebiasaan  serta  rendahnya  daya  beli  masyarakat  karena  bibit,  pakan  ayam
jagung dan obat hewan juga masih di impor. Produksi  sapi  dan  daging  sapi  nasional  mampu  memenuhi  70  persen
kebutuhan  dalam  negeri.  Oleh  karena  itu,  pemerintah  kemungkinan  masih mempertahankan  target  impor  sebanyak  30  persen  untuk  memenuhi  kebutuhan
daging  sapi  nasional. Hal  ini  menyebabkan  daya  beli  masyarakat  rendah  akibat tingginya  harga  jual  daging  sapi.  Kemampuan  suplai  daging  sapi  dari  dalam
negeri  saat  ini  baru  mencapai  dua  pertiga  dari  total  kebutuhan  konsumsi  sekitar 1.7  juta  ekor  per  tahun.  Untuk  memenuhi  kebutuhan  konsumsi  sebesar  sepertiga
sisanya  harus  dipenuhi  dari  impor  sapi  bakalan  sekitar  setengah  juta  ekor  dan impor daging sapi berkisar 70.000 ton per tahun.
49
4.2 Konvergensi Harga  Pangan  Antar  Wilayah  dan  Antar  Waktu  di
Indonesia 4.2.1 Konvergensi Harga Pangan Pokok
Estimasi  konvergensi  harga  pangan  pokok  dilakukan  dengan menggunakan  tiga  komoditi pada  variabel  dependennya,  yaitu  komoditi  beras,
minyak  goreng  dan gula  pasir.  Perbandingan  ini  dilakukan  sebagai  upaya untuk melihat  apakah  ada  perbedaan  harga  pangan  pokok pada  tiga  komoditi  tersebut..
Tingginya harga rata-rata dari suatu komoditi tersebut tidak secara otomatis akan menyebabkan  tingginya  perbedaan  harga  komoditi  tersebut  pada  antar  wilayah
karena  harga  rata-rata  dari  suatu  komoditi  tersebut  tinggi  terjadi  pada  semua wilayah atau pada wilayah tertentu saja di Indonesia.
Proses konvergensi  harga  pangan  pokok  dapat  dilihat  dari  koefisien parameter autoregressive dari variabel harga beras. Nilai  dari koefisien dari  y
t-1
yang  kurang  dari 1  menunjukkan  adanya  proses  konvergensi,  sedangkan  nilai yang lebih dari 1 menunjukkan bahwa harga beras antar wilayah persisten. Model
data panel dinamis FD-GMM menunjukkan bahwa koefisien  p
t-1
adalah 0.3394 dan signifikan pada level 5 persen, artinya proses konvergensi harga beras terjadi
di  antar  wilayah di  Indonesia.  Dengan  kata  lain,  harga  beras antar  wilayah konvergen.  Berdasarkan  statistik uji  Sargan,  hipotesis  nol  bahwa  variabel
instrumen  valid  tidak  ditolak,  dengan  pvalue 0.2084,  artinya  variabel  instrumen yang  digunakan  valid.  Uji  konsistensi model  dilakukan  dengan  melihat  tingkat
signifikansi AB m
1
yang  signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB m
2
yang tidak signifikan pada tingkat level  5 persen, artinya tidak ada korelasi serial atau
model konsisten Tabel 3. Perhitungan konvergensi harga beras antar wilayah di Indonesia berbeda
dengan  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Barrios  et  al 2007 di  Philipina  bahwa terjadi proses divergen pada komoditi harga beras pada tahun 1990 – 2002 akibat
adanya badai El Nino pada tahun 1998. Adanya  konvergensi  harga  beras  antar  wilayah  di  Indonesia  karena
produksi  beras  Indonesia  cukup  besar  menduduki  urutan  ketiga  di  dunia  setelah China  dan  India.  Sementara  tingkat  produktivitas  per  hektar  juga  sangat  baik
mencapai 4.9 tonha, di atas produktivitas rata-rata negara Asia sebesar 4.2 tonha.
50 Estimasi  konvergensi  pangan  pokok  dapat  dilihat  dari  koefisien
parameter  autoregressive dari  variabel  harga  minyak  goreng.  Nilai  koefisien  p
t-1
pada  lag variabel  dependen  kurang  dari  satu,  sehingga  menghasilkan  tingkat konvergensi  yang  positif.  Tingkat  konvergensi  mencapai  225.57 persen
berdasarkan  hasil  empiris  koefisien  p
t-1
sebesar  0.1048. Berdasarkan  statistik  uji Sargan  menunjukkan  bahwa  hipotesis  nol  variabel  instrumen  valid  tidak  ditolak.
Sedangkan  uji  m
1
signifikan sedangkan  nilai  m
2
tidak  signifikan juga  sehingga menunjukkan bahwa tidak ada serial correlation dan model konsisten Tabel 3.
Tabel 3 Estimasi Konvergensi Harga Pangan Pokok Menggunakan Metode Panel Data Dinamis FD-GMM
Komoditi Parameters
Koefisien SE
P-value Beras
Harga
t-1
0.3394 0.0150
0.0000 Implied λ
108.0576 Wald-Test
8037.17 0.0000
AB
m1
-1.9568 0.0273
AB
m2
-2.2077 0.0504
Sargan Test 25.9494
0.2084 Minyak
Goreng Harga
t-1
0.1048 0.0140
0.0000 Implied λ
225.5702 Wald-Test
26616.85 0.0000
AB
m1
-1.6806 0.0002
AB
m2
-3.7566 0.0928
Sargan Test 25.8034
0.2140 Gula Pasir
Harga
t-1
0.2012 0.0121
0.0000 Implied λ
160.3456 Wald-Test
412329.44 0.0000
AB
m1
-4.0642 0.0008
AB
m2
-3.3454 0.0547
Sargan Test 25.6496
0.2201
Konnvergen minyak goreng bukan saja terjadi di Indonesia, tetapi juga di Cina  dimana  komoditi  yang  konvergen  adalah  gabah,  minyak  goreng,  unggas,
ikan  Wan 2005.  Hal  ini  terjadi  karena  bila  dilihat  dari  volumenya,  konsumsi minyak  goreng  sawit  Indonesia  merupakan  yang  terbesar  di  dunia  dengan  laju
pertumbuhan rata-rata mencapai 11.4 persen per tahun selama periode 1990–2009. Dengan tingkat konsumsi yang mencapai 2.8 juta ton per tahun, maka dibutuhkan
sekitar  3.8  juta  ton  CPO  sebagai  bahan  bakunya. Jumlah  tersebut  pada  dasarnya masih  dapat  dipenuhi  dari  produksi  CPO  domestik  yang  saat  ini  telah  mencapai
lebih  dari  10  juta  ton  per  tahun  atau  terbesar  kedua  di  dunia  setelah  Malaysia. Dengan porsi hanya sekitar 30 persen dari produksi CPO, pengadaan bahan baku
minyak  goreng  sawit  dalam  negeri  pada  dasarnya  tidak  menemui  kendala  yang
51 berarti seiring dengan peningkatan luas areal tanaman kelapa sawit yang tersebar
di  18  propinsi,  yakni  Nangro  Aceh  Darussalam,  Sumatera  Utara,  Riau,  Jambi, Sumatera  Barat,  Sumatera  Selatan,  Lampung,  Bengkulu,  Bangka  Belitung,
Kalimantan  Barat,  Kalimantan  Selatan,  Kalimantan  Tengah,  Kalimantan  Timur, Sulawesi  Selatan,  Sulawesi  Tengah,  Sulawesi  Tenggara,  Jawa  Barat  dan  Papua
termasuk  Irian  Jaya Barat.  Diantara  wilayah tersebut, Riau  termasuk  Kepulauan Riau merupakan sentra produksi terbesar dengan luas lahan mencapai 23.5 persen
dari  total  luas  perkebunan  kelapa  sawit  Indonesia  yang  saat  ini  mencapai 6,074,926 ha.
Estimasi konvergensi  harga  gula  pasir dapat dibandingkan  dengan konvergensi  harga  beras  dan  minyak  goreng  untuk  melihat  apakah  dampak
kebijakan pemerintah terhadap pangan pokok sudah berhasil atau belum Tabel 3. Dimana    proses  konvergensi  terjadi  pada  komoditi  gula  pasir,  yang  ditunjukkan
dengan  nilai koefisien  dari  p
t-1
sebesar  0.2011 dan  menghasilkan  tingkat konvergensi 160.34 persen. Berdasarkan statistik uji Sargan, hipotesis nol bahwa
variabel  instrumen  valid tidak  ditolak,  dengan  p-value 0.2201.  Uji  konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB m
1
yang  signifikan pada tingkat  level  5  persen  dan  AB  m
2
yang  tidak  signifikan pada  tingkat  level  5 persen, artinya tidak ada korelasi serial pada model atau model  konsisten. Dilihat
dari  tiga  komoditi  diatas  ternyata  tingkat  konvergensi  tertinggi  pada  komoditi minyak goreng, gula pasir lalu tingkat konvergensi terendah terjadi pada komoditi
beras yang berarti kebijakan pemerintah di bidang pemberasan belum sepenuhnya berhasil yang dilihat dari tingkat konvergensi beras hanya 108.06 persen sehingga
peran BULOG harus terus ditingkatkan dan operasi pasar menjadi salah satu cara untuk meningkatkan tingkat konvergensi di Indonesia.
4.2.2 Konvergensi Harga Tanaman Pangan dan Holtikultura
Estimasi konvergensi tanaman pangan dan holtikultura dilakukan dengan menggunakan tiga  komoditi pada  variabel  dependennya,  yaitu  komoditi  kacang
kedelai,  bawang  merah  dan  cabe  merah.  Perbandingan  ini  dilakukan  sebagai upaya untuk  melihat  apakah  ada  perbedaan  harga  tanaman  pangan  dan
holtikultura  pada  tiga  komoditi  tersebut.  Tingginya  harga  rata-rata  dari  suatu
52 komoditi  tersebut  tidak  secara otomatis  akan  menyebabkan  tingginya  perbedaan
harga  komoditi  tersebut  pada  antar  wilayah  karena  harga  rata-rata  dari  suatu komoditi  tersebut  tinggi  terjadi  pada  semua  wilayah  atau  pada  wilayah  tertentu
saja di Indonesia. Proses  konvergensi  tanaman  pangan  dan  holtikultura  dapat  dilihat  dari
koefisien  parameter  autoregressive dari  variabel  harga  kacang  kedelai  antar wilayah. Nilai dari koefisien dari p
t-1
yang lebih kecil dari satu, mengindikasikan bahwa  konvergensi  terjadi  atau  harga  kacang  kedelai antar  wilayah  konvergen
yang  di  tunjukkan    dengan  tingkat  konvergensi  253.19 persen.  Berdasarkan statistik  uji  Sargan,  hipotesis  nol  bahwa  variabel  instrumen  valid  tidak  ditolak,
dengan  p-value 0.2919.  Uji  konsistensi  model  dilakukan  dengan  melihat  tingkat signifikansi  AB  m
1
yang signifikan  pada  tingkat level  5 persen  dan  AB  m
2
yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial pada
model atau model  konsisten Tabel 3. Perhitungan konvergensi harga kacang kedelai antar wilayah di Indonesia
berbeda  dengan  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Irwin  et  al 2009  di  Chicago bahwa tidak terjadi proses konvergensi pada komoditi harga kacang kedelai pada
tahun  2005  – 2008  akibat  semakin  luasnya  pasar  dan  adanya  perubahan  kondisi penawaran dan permintaan yang tidak seimbang.
Tabel 4 Estimasi  Konvergensi  Tanaman  Pangan  dan  Holtikultura  menggunakan Metode Panel Data Dinamis FD-GMM
Komoditi Parameters
Estimated Coefficients Standard Error
P-value Kacang
Kedelai Harga
t-1
0.0795 0.0110
0.0000 Implied λ
253.1998 Wald-Test
7170.40 0.0000
AB
m1
-1.0462 0.0295
AB
m2
-0.7696 0.4416
Sargan Test 24.0248
0.2919 Bawang
Merah Harga
t-1
0.4310 0.0164
0.0000 Implied λ
84.16472 Wald-Test
16160.13 0.0000
AB
m1
-2.6945 0.0070
AB
m2
1.8285 0.0675
Sargan Test 25.2187
0.2378 Cabe Merah
Harga
t-1
0.4877 0.0995
0.0000 Implied λ
71.8054 Wald-Test
46000.30 0.0000
AB
m1
-1.4155 0.0415
AB
m2
-1.0907 0.1569
Sargan Test 25.8983
0.2104
53 Adanya  konvergensi  harga  kacang  kedelai  antar  wilayah  di  Indonesia
karena  produksi  kedelai  cukup  meningkat  karena  peningkatan  luas  panen  seluas 4.99 ribu hektar 0.75 persen dan produktivitas sebesar 0.29 kuintalhektar 2.11
persen. Peningkatan produksi yang konsisten tersebut juga sebagai akibat adanya kebijaksanaan  pemerintah  dalam  mengendalikan  impor  kedelai,  sehingga  harga
kedelai  dalam  negeri  tetap  memberikan  insentif  bagi  petani  untuk  memproduksi kedelai.  Tanpa  dukungan  perluasan  areal,  upaya  untuk  peningkatan  produksi
kedelai agak sulit, karena peningkatan produktivitas berjalan lambat. Proses  konvergensi  tanaman  pangan  dan  holtikultura  dapat  dilihat  dari
koefisien  parameter  autoregressive dari  variabel  harga  bawang  merah  antar wilayah. Nilai dari  koefisien  dari  p
t-1
yang  kurang  dari  satu,  mengindikasikan bahwa  konvergensi  terjadi  atau  harga  bawang  merah  antar  wilayah  konvergen
dengan  tingkat  konvergensi  84.16 persen.  Berdasarkan  statistik  uji  Sargan, hipotesis  nol bahwa  variabel  instrumen  valid  tidak  ditolak,  dengan  p-value
0.2378.  Uji konsistensi  model  dilakukan  dengan melihat  tingkat  signifikansi  AB m
1
yang signifikan  pada  tingkat  level  5 persen  dan  AB  m
2
yang tidak  signifikan pada tingkat  level  5  persen,  artinya  tidak  ada  korelasi  serial  pada  model  atau
model konsisten. Hal  ini  senada  yang  terjadi  di  Amerika  Utara    bahwa  harga  bawang
merah    tahun  1998  – 2006  di  wilayah  tersebut  menunjukkan  terjadinya konvergensi  harga  secara  cepat  Susanto 2007.  Tingkat  konvergensi  bawang
merah  di  Indonesia  juga  lebih  rendah dari  tingkat  konvergensi  kacang  kedelai karena  sifat  dari  bawang  merah  yang  tidak  dapat  disimpan  dalam  jangka  waktu
lama akibat cepat rusak. Estimasi konvergensi tanaman pangan dan holtikultura dapat dilihat dari
variabel harga cabe merah antar wilayah dimana nilai dari koefisien dari p
t-1
yang kurang dari  satu,  mengindikasikan  bahwa  konvergensi  terjadi  atau  harga  cabe
merah  antar  wilayah  konvergen  dengan  tingkat  konvergensi  71.80 persen. Berdasarkan  statistik  uji  Sargan,  hipotesis  nol  bahwa  variabel  instrumen  valid
tidak  ditolak,  dengan  p-value 0.2104.  Uji  konsistensi  model  dilakukan  dengan melihat tingkat signifikansi AB m
1
yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan
54 AB m
2
yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial pada model atau model konsisten.
Proses  konvergensi  dari  tanaman  pangan  dan holtikultura  terendah pada komoditi  cabe  merah  dan  tertinggi pada  komoditi  kacang  kedelai.  Tingginya
konvergensi  kacang  kedelai di  Indonesia  disebabkan  kacang  kedelai  merupakan komoditi  yang  cukup  tahan  lama  bila  dibandingkan  dengan  cabe  merah  dan
bawang  merah  sehingga  harganya  tidak  terlalu  berfluktuasi  di  banding  kedua komoditi tersebut.
4.2.3 Konvergensi Harga Produk Peternakan
Estimasi konvergensi produk peternakan dilakukan dengan menggunakan tiga komoditi pada variabel dependennya, yaitu komoditi daging ayam, telur ayam
dan daging sapi. Perbandingan ini dilakukan sebagai upaya untuk melihat apakah ada perbedaan harga tanaman pangan dan holtikultura pada tiga komoditi tersebut.
Tingginya harga rata-rata dari suatu komoditi tersebut tidak secara otomatis akan menyebabkan  tingginya  perbedaan  harga  komoditi  tersebut  pada  antar  wilayah
karena  harga  rata-rata  dari  suatu  komoditi  tersebut  tinggi  terjadi  pada  semua wilayah atau pada wilayah tertentu saja di Indonesia.
Secara  empiris,  proses konvergensi  produk  peternakan  yang  diihat  dari variabel  harga  daging  ayam  ras  disajikan  pada  Tabel  5.  Koefisien p
t-1
secara tahunan  sebesar  0.1602 dengan  metode  FD-GMM,  menunjukkan  bahwa  tingkat
konvergensi  harga  ayam  ras  antar  wilayah  di  Indonesia sebesar  183.13 persen. Hasil  uji Sargan  dengan  statistik  sebesar  25.4964 p-value 0.2263,  artinya
variabel instrumen  yang  digunakan  telah  valid  secara  signifikan  pada  level  5 persen. Model konsisten karena tidak ada serial correlation,  dilihat dari m
1
yang signifikan  dan  uji  AB  m
2
tidak signifikan  sesuai dengan  teori  untuk  uji kekonsistenan model atau dengan kata lain  konsisten Tabel 5.
Perhitungan  konvergensi  komoditi  daging  ayam  sama  dengan  yang dilakukan  oleh  Samaniego  2000  di  Brazil  dan  Paraguay  bahwa  harga  daging
ayam  tahun  1992  – 2000  di  kedua  wilayah  tersebut  menunjukkan  terjadinya konvergensi  harga.  Tingkat  konvergensi  harga  daging  sapi  di  Indonesia  cukup
kecil  karena jika  dilihat dari  sisi  input produk  yaitu  pengaruh  dari naikturunnya
55 harga  bahan  input  yang  umumnya  masih  diimpor  sehingga  sangat  dipengaruhi
oleh pergerakan kurs seperti obatvaksin  bibit ternak. Estimasi  perhitungan  konvergensi  produk  peternakan  menggunakan
variabel harga telur ayam ras terjadi di antar wilayah. Hal ini dengan koefisien p
t-1
lebih kecil dari 1 sehingga tingkat konvergensi terjadi dengan tingkat konvergensi 133.48  persen.  Kriteria  pengujian  model  dilakukan  dengan  uji  Sargan  untuk
melihat  validitas  variabel  instrumen.  Statistiknya  sebesar  25.9206 p-value 0.2095, menunjukkan bahwa instrumen variabel valid. Demikian pula pengujian
konsistensi  model  dari  statistik  m
1
yang  signifikan  dan  m
2
yang  tidak  signifikan menunjukkan  bahwa  model  tidak  ada serial  correlation atau  dengan  kata  lain
sudah konsisten. Tabel 5 Estimasi  Konvergensi  Produk  Peternakan Menggunakan  Metode  Panel
Data Dinamis FD-GMM
Komoditi Parameters
Koefisien SE
P-value Ayam
Harga
t-1
0.1602 0.0157
0.0000 Impl
ied λ 183.1332
Wald-Test 24315.27
0.0000 AB
m1
-2.7543 0.0059
AB
m2
-0.4138 0.6790
Sargan Test 25.4964
0.2263 Telur Ayam
Harga
t-1
0.2632 0.0057
0.0000 Implied λ
133.4841 Wald-Test
177296.67 0.0000
AB
m1
-3.0857 0.0020
AB
m2
-2.2481 0.0642
Sargan Test 25.9206
0.2095 Daging Sapi
Harga
t-1
0.4106 0.0163
0.0000 Implied λ
89.0135 Wald-Test
41942.58 0.0000
AB
m1
-3.033 0.0024
AB
m2
-0.0136 0.9892
Sargan Test 23.7082
0.3074
Tingkat  konvergensi  daging ayam lebih  tinggi  dari  tingkat  konvergensi telur  ayam karena harga telur juga sedikit banyak dipengaruhi karena masuknya
produksi telur asal peternak dari negara Malaysia. Setidaknya ada sekitar 100 ton telur yang di impor secara ilegal setiap minggunya ke wilayah Batam, Kepulauan
Riau sehingga pasokan telur di dalam negeri semakin banyak dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.
Harga  daging  sapi  antar  wilayah  di  Indonesia secara  jangka  panjang mengalami  proses menuju  ke  satu  titik  tertentu.  Nilai  koefisien  p
t-1
pada  lag
56 variabel  dependen kurang dari  1,  sehingga  menghasilkan  tingkat  konvergensi
yang  positif artinya  harga  daging  sapi  antar  wilayah  konvergen dengan  tingkat konvergensi  89.01  persen.  Pemeriksaan  model  data  panel  dinamis  dilakukan
dengan uji validitas dan konsistensi model. Hasil uji Sargan menunjukkan bahwa hipotesis  nol variabel instrumen  valid  tidak  ditolak.  Sedangkan  uji  m
1
signifikan sedangkan nilai m
2
tidak signifikan sehingga menunjukkan bahwa tidak ada serial correlation dan model konsisten.
Hasil produk peternakan dengan variabel harga daging sapi antar wilayah di Indonesia mengalami tingkat konvergensi yang cukup rendah karena kegagalan
swasembada  daging  sapi    akibat  adanya  kesenjangan konsumsi  dan  produksi daging  sapi.  Selama  periode  2002-2009,  Indonesia  masih  mengimpor  40  persen
total  kebutuhan  daging  sapi  yang  pada  tahun  2009  mencapai  322.1  ribu  ton. Kemampuan  suplai  daging  sapi  dari  dalam  negeri  saat  ini  baru  mencapai  dua
pertiga  dari  total  kebutuhan  konsumsi  sekitar  1.7  juta  ekor  per  tahun.  Untuk memenuhi  kebutuhan  konsumsi  sebesar  sepertiga  sisanya  harus  dipenuhi  dari
impor  sapi  bakalan  sekitar  setengah  juta  ekor  dan  impor  daging  sapi berkisar 70,000 ton per tahun.
4.2.4 Perbandingan Konvergensi antar Wilayah dan antar Waktu
Perhitungan estimasi konvergensi dengan data panel dinamis memerlukan kriteria  validitas  dan  konsistensi.  Uji  Sargan  merupakan  suatu  pendekatan  untuk
mendeteksi  apakah  ada  masalah  dengan  validitas  instrumen  variabel  instrumen valid,  artinya  instrumen tersebut  tidak berkorelasi  dengan  galat  pada  persamaan
data panel dinamis. Sementara untuk melihat konsistensi hasil estimasi dilakukan dengan  uji  autokorelasi oleh  statisitk  m
1
yang signifikan  dan  nilai m
2
yang  tidak signifikan.
Dari tiga kelompok komoditi diatas dapat dilihat bahwa semua komoditi valid  variabel  instrumen  yang  digunakan  tidak  berkorelasi  dengan  error  pada
persamaan  FD-GMM  dan  konsisten  yang  berarti  tidak  adanya  masalah autokorelasi.
57 Tabel 6 Pengujian  Validitas  Instrumen  dan  Konsistensi  Model  Panel  Data
Dinamis FD-GMM dalam Estimasi Konvergensi antar Wilayah dan antar Waktu di Indonesia
Komoditi Pangan Pokok
Uji Validitas Uji Konsistensi
Pangan Pokok Beras
Valid Konsisten
Minyak Goreng Valid
Konsisten Gula Pasir
Valid Konsisten
Tanaman Pangan dan
Holtikultura Kacang Kedelai
Valid Konsisten
Bawang Merah Valid
Konsisten Cabe Merah
Valid Konsisten
Produk Peternakan
Daging Ayam ras Valid
Konsisten Telur Ayam Ras
Valid Konsisten
Daging Sapi Valid
Konsisten
Berdasarkan  Tabel  7  terlihat  bahwa  tingkat  konvergensi  harga  pangan paling tinggi terjadi pada komoditi tanaman pangan dan holtikultura yaitu variabel
kacang kedelai serta minyak goreng pada komoditi pangan pokok. Tabel 7 Estimasi  Tingkat  Konvergensi antar  Wilayah  dan  antar  Waktu  di
Indonesia dengan Model Panel Data Dinamis FD-GMM
Komoditi Pangan Pokok
Koefisien y
t-1
Implied
λ Pangan Pokok
Beras 0.3394
108.0576 Minyak Goreng
0.1048 225.5702
Gula Pasir 0.2012
160.3456 Tanaman
Pangan dan Holtikultura
Kacang Kedelai 0.0795
253.1998 Bawang Merah
0.4310 84.16472
Cabe Merah 0.4878
71.8054 Produk
Peternakan Daging Ayam ras
0.1602 183.1332
Telur Ayam Ras 0.2632
133.4841 Daging Sapi
0.4106 89.0135
Kedua  komoditi ini  mempunyai  tingkat  konvergensi  yang  tinggi  karena tingginya  kebutuhan  kacang  kedelai
nasional  sebanyak  2.2  juta  ton  per  tahun hanya bisa dipenuhi sepertiganya oleh produksi dalam negeri. Petani lokal hanya
mampu memasok sekitar 600 ribu ton kedelai. Kekurangannya 1.6 juta ton harus diimpor.  Nilai  impor  kedelai  ini  lumayan  besar,  sekitar  Rp  8  triliun  per  tahun,
sedikit  lebih  rendah  dari  nilai  impor  susu  dan  terigu. Meskipun  tingginya  impor namun  secara  rata-rata  harga  kacang  kedelai  lebih  rendah  dibanding  delapan
komoditi yang lain sehingga menyebabkan tingkat konvergensinya paling tinggi. Tinggingnya  tingkat  konvergensi  minyak  goreng  karena,  konsumsi
minyak  goreng  sawit  Indonesia  merupakan  yang  terbesar  di  dunia  dengan  laju pertumbuhan rata-rata mencapai 11,4 persen per tahun selama periode 1990–2007.
58 Dengan tingkat konsumsi yang mencapai 2.8 juta ton per tahun, maka dibutuhkan
sekitar  3.8  juta  ton  CPO  sebagai  bahan  bakunya. Jumlah  tersebut  pada  dasarnya masih  dapat  dipenuhi  dari  produksi  CPO  domestik  yang  saat  ini  telah  mencapai
lebih  dari  10  juta  ton  per  tahun  atau  terbesar  kedua  di  dunia  setelah  Malaysia. Dengan porsi hanya sekitar 30 persen dari produksi CPO, pengadaan bahan baku
minyak  goreng  sawit  dalam  negeri  pada  dasarnya  tidak  menemui  kendala  yang berarti seiring dengan peningkatan luas areal tanaman kelapa sawit yang tersebar
di 18 propinsi,
4.3 Faktor-faktor  yang  Mempengaruhi  Harga  Pangan  antar  Wilayah  dan
antar Waktu di Indonesia 4.3.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Pangan Pokok
Di  antara  kebutuhan  pokok,  beras,  gula  pasir dan  minyak  goreng merupakan  komoditas  yang  posisinya  sangat  strategis  dan  karena itu  pemerintah
selalu  berusaha  agar  harga  kedua  komoditas  tersebut  relatif  stabil.  Pengertian stabil  tidaklah  bersifat  statis,  tetapi  dinamis  yakni  suatu  kondisi  dimana
variabilitas  harga  antar waktu dan antar  wilayah berada pada kisaran yang masih memungkinkan  bagi  stakeholder  produsen  dan  konsumen  untuk  melakukan
penyesuaian  dalam jangka  pendek. Bagi  konsumen, determinan dari kemampuan untuk  melakukan  penyesuaian  adalah  daya  beli;  sedangkan  bagi  produsen
determinannya  adalah  tingkat  penerimaan  yang  cukup  untuk  menutup  semua biaya variabel.
Estimasi  harga  pangan  pokok  melalui  variabel  harga  beras,  dimana faktor-faktor  yang  mempengaruhi  harga  beras  dilakukan  dengan  menggunakan
variabel independen jumlah produksi, Produk Domestik Regional Bruto PDRB, jumlah  penduduk  dan  panjang  jalan.
Model  panel  data dinamis yang  terpilih untuk  analisis  perubahan  harga  beras  adalah  FD-GMM Arellano  and  Bond
dengan  p-value 0.0000.  R-square sebesar  0.8881 artinya  variasi  variabel independen dapat menjelaskan 88.81 persen variasi harga beras, sedangkan 11.19
persen  sisanya  dijelaskan  oleh  variabel  lainnya  yang  tidak  ada  dalam  model Tabel 8.
Harga beras antar wilayah dan antar waktu di Indonesia di pengaruhi oleh jumlah  produksi  dan  panjang  jalan secara  negatif  serta  PDRB  dan  jumlah