Pengertian Anak Tinjauan Pustaka

14 Barker mendefinisikan kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami individu maupun kelompok. 23 Richard J. Gelles dalam Encyclopedia Articlefrom Encarta, mengartikan kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah kekerasan anak meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak. Sedangkan, kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan pada orangtua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak. 24

4. Pengertian Anak

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, anak adalah keturunan kedua. Sesuai dengan hal yang tercantum dalam konsideran Undang- undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis, ciri dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Konvensi Hak Anak KHA mendefinisikan “anak” secara umum sebagai manusia yang umurnya belum mencapai 18 delapan belas tahun, namun 23 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung: Nuansa, 2006, hal. 36 24 Ibid. 15 diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundangan nasional. 25 Berdasarkan berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak terdapat pengaturan yang tegas tentang kriteria anak. Lain peraturan perundang- undangan, lain pula kriteria anak. Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Pasal 1 ayat 2 Undang- undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menentukan bahwa anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun dan belum pernah kawin. Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Pokok Perburuhan Undang- undang No. 12 Tahun 1948 menentukan bahwa anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 empat belas tahun ke bawah. Menurut Hukum Adat seseorang dikatakan belum dewasa bilamana seseorang itu belum menikah dan berdiri sendiri belum terlepas dari tanggung jawab orang tua. Hukum Adat menentukan bahwa ukuran seseorang telah dewasa bukan dari umurnya, tetapi ukuran yang dipakai adalah dapat bekerja sendiri, cakap melakukan yang disyaratkan dalam kehidupan masyarakat, dapat mengurus kekayaan sendiri. Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. 26 25 Unicef. Pengertian Konvensi Hak Anak. Jakarta:PT Enka Parahiyangan. 2003. hal. 3. 26 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung : PT Refika Aditama, 2008, hal 31-32 . 16 Betapa pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadikan kita harus bersikap responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menentukan batas usia dalam hal defenisi anak, maka akan terdapat berbagai macam batasan usia anak mengingat beragamnya defenisi batasan usia anak dalam beberapa undang-undang, misalnya : 27 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. 2. Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mendefenisikan anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. 3. Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefenisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin . Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini telah dirubah menjadi Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dimana mendefenisikan anak telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun dan membedakan anak dalam 3 kategori yaitu: a Anak yang menjadi pelaku tindak pidana 28 b Anak yang menjadi korban tindak pidana , 29 c Anak yanag menjadi saksi tindak pidana. ,dan 30 27 M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta:Sinar Grafika, 2013, hal 9-10 28 Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak 29 Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak 17 4. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin. 5. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan usia bekerja 15 tahun. 6. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan wajib belajar 9 sembilan tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun. Berbagai macam defenisi tersebut, menunjukkan adanya disharmonisasi perundang-undangan yang ada. Sehingga, pada praktiknya di lapangan akan banyak kendala yang terjadi akibat dari perbedaan tersebut. Sementara itu, mengacu pada Konvensi PBB tentang Hak Anak Convention on the Right of the Child, maka defenisi anak : “Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal”. Untuk itu Undang-undang No. 23 Tahun 2002 yang telah di rubah menjadi Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak memberikan defenisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 31

F. Metode Penulisan

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

5 130 108

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Panti Asuhan Terhadap Kekerasan Yang Dilakukan Pada Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617/Pid.Sus/2014/Pn.Tng)

9 137 105

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri)

0 114 211

Tinjauan Kriminologi Dan Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Terhadap Anak Kandungnya (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tulungagung Nomor : 179/Pid.Sus/2012/PN.Ta)

5 134 138

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139

Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Panti Asuhan Terhadap Kekerasan Yang Dilakukan Pada Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617/Pid.Sus/2014/Pn.Tng)

0 0 27

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Panti Asuhan Terhadap Kekerasan Yang Dilakukan Pada Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617/Pid.Sus/2014/Pn.Tng)

0 0 23

Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan)

0 11 90