TINJAUAN PUSTAKA Memperpanjang Umur Simpan Bakso Sapi dengan Pelapisan Tapioka dan Pati Sagu

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BAKSO DAN PENGOLAHANNYA Bakso menurut SNI No. 01-3818-1995 adalah produk makanan yang berbentuk bulatan, yang diperoleh dari campuran daging ternak kadar daging tidak kurang dari 50 dan pati atau serealia dengan atau tanpa Bahan Tambahan Pangan yang diizinkan. Bakso adalah suatu produk daging yang dihaluskan, dicampur dengan pati, dibentuk bulatan, dan dimasak dengan air panas. Bakso yang beredar umumnya menggunakan daging sapi. Dalam pembuatan bakso, hampir semua bagian karkas sapi dapat digunakan. Bagian yang umum digunakan untuk membuat bakso sapi adalah bagian penutup top side, pendasar gandik silver side, lemurur cube roll, paha depan chuck dan daging iga rib meat Elviera 1988. Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan bakso terdiri dari daging, bahan pengisi pati tapioka, garam, es, STPP dan bumbu-bumbu seperti bawang putih, MSG dan merica. Sunarlim 1992 menyatakan daging yang digunakan menentukan mutu dari bakso. Daging yang baik adalah daging fase pre rigor sebab water holding capacity masih tinggi jumlah ATP masih banyak sehingga ikatan antar protein renggang dan protein terekstrak lebih banyak dibandingkan pada fase berikutnya. Hal ini menyebabkan kemampuan emulsinya meningkat dan menghasilkan emulsi yang stabil. Saat direbus bakso yang dibuat dari daging fase pre rigor akan memiliki daya ikat air yang tinggi sehingga permukaan bakso yang dihasilkan akan kering tetapi tetap empuk. Bahan pengisi yang umum digunakan adalah pati yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi sedangkan kandungan proteinnya rendah, tapioka misalnya. Semakin banyak bahan pengisi yang digunakan maka semakin murah harga bakso. Bahan pengisi penting karena kemampuannya yang tinggi dalam mengikat air, tetapi tidak mempunyai kemampuan dalam mengemulsikan lemak. Fungsi bahan pengisi adalah 1 memperbaiki sifat emulsi, 2 mereduksi penyusutan selama pemasakan, 3 memperbaiki sifat fisik dan cita rasa, dan 4 menurunkan biaya Kramlich et al.1977. Semakin meningkat jumlah bahan pengisi yang digunakan menyebabkan meningkatnya kekerasan objektif bakso. Garam berpengaruh nyata terhadap daya mengikat air adonan, susut masak, rendemen dan kadar abu serta berpengaruh nyata terhadap kadar protein bakso Anshori 2002. Dalam penelitiannya, Anshori 2000 menyatakan bahwa semakin banyak garam yang ditambahkan pada adonan bakso maka semakin tinggi daya mengikat air adonan, rendemen serta kadar abu bakso yang dihasilkan tetapi susut masak dan kadar proteinnya semakin rendah. Garam berfungsi untuk mengekstrak protein miofibrial dari sel-sel otot selama perlakuan mekanis, dan berinteraksi dengan protein otot membentuk matriks yang kuat dan mampu menahan air bebas serta membentuk tekstur. Penambahan garam kurang dari 1.8 persen dapat menyebabkan rendahnya protein terlarut Sunarlim 1992. Penambahan garam pada konsentrasi tinggi ke dalam larutan protein dapat menyebabkan molekul mengendap, yang biasa disebut salting out Lehninger 1995. Fenomena salting out menyebabkan terjadinya denaturasi dan mengendapkan protein sarkoplasma sehingga daya ikat menurun Yovita 2000. Es dalam penggilingan daging berfungsi untuk menjaga suhu daging selama penggilingan, suhu daging yang terlalu tinggi lebih dari 15-20 o C akan menyebabkan kerusakan emulsi Wilson 1981. Selain itu es juga berfungsi memperlancar ekstraksi protein, mencegah tekstur adonan menjadi kering, dan meningkatkan rendemen. Penambahan es sebanyak 10-15 dari berat daging, atau bahkan 30 dari berat daging. Protein berperan penting pada bakso karena merupakan pembentuk sistem 4 emulsi, karena protein merupakan emulsifier alami, ada tiga protein yang berperan dalam pembentukan emulsi, yaitu 1 protein sarkoplasma yang larut air, 2 aktin myosin yang larut garam, dan 3 protein lain seperti mioglobin larut air dan garam Wilson 1981. Menurut Hadittama 2009, proses pembuatan bakso dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan, dan pemasakan. Tujuan dari penghancuran daging adalah untuk memecah serabut daging sehingga protein larut garam lebih mudah terekstrak. Penghancuran daging dapat dilakukan dengan cara menggiling, mencacah atau mencincang hingga lumat. Alat yang umumnya digunakan adalah pisau atau penggiling daging meat grinder. Pembuatan adonan dilakukan dengan mencampurkan seluruh bagian bahan kemudian dihancurkan hingga membentuk adonan. Pencetakan bakso dilakukan dengan cara membentuk adonan menjadi bulatan- bulatan sebesar kelereng atau lebih dengan menggunakan tangan atau alat pencetak bakso. Pemasakan bakso dilakukan dalam dua tahap agar bakso yang dihasilkan tidak keriput dan tidak pecah. Tahap pertama, bakso dipanaskan dalam air hangat, suhu air sekitar 60-80 o C, sampai bakso mengambang di permukaan air. Selanjutnya, bakso direbus sampai matang di dalam air mendidih sekitar 10 menit. Penilaian mutu bakso dapat dilakukan dengan menilai mutu sensori atau mutu organoleptiknya. Parameter mutu sensori bakso dapat dilihat pada Tabel 1. Kadar Aw bakso 0.98 dan kadar airnya 80 sehingga rentan terhadap kerusakan oleh mikroorganisme Syamadi 2002. Mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral adalah golongan bakteri. Tabel 1. Kriteria mutu sensori bakso Parameter Ciri-ciri Penampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan cemerlang, tidak kusam, sedikitpun tidak tampak berjamur, tidak berlendir. Warna Coklat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau coklat muda hingga coklat muda agak keputihan atau abu-abu. Warna tersebut merata tanpa warna lain yang mengganggu jamur. Bau Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik, asam, basi, atau busuk. Bau bumbu cukup tajam. Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu cukup menonjol tapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing yang mengganggu. Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal, tetapi tidak liat atau membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh. Sumber : Wibowo 2005 5 2.2 KERUSAKAN DAN PENGAWETAN BAKSO Komposisi gizi yang beragam daging membuat daging sebagai lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme pembusuk daging. Proses yang digunakan dalam pengawetan daging terutama berkaitan dengan penghambatan mikroba pembusuk. Sejumlah faktor yang saling memengaruhi umur simpan dan kualitas daging, khususnya pengendalian suhu, keberadaan O 2 , enzim endogen, kelembaban pengeringan, cahaya dan yang paling penting, mikroorganisme Zhou et al. 2010. Bakso merupakan produk olahan daging yang memiliki kandungan nutrisi, nilai pH, dan kadar air tinggi. Bahan pangan yang memiliki nutrisi, nilai pH, dan kadar air tinggi merupakan media pertumbuhan yang baik bagi mikroba sehingga bakso umumnya memiliki masa simpan yang singkat. Kerusakan bakso sapi terutama disebabkan oleh pertumbuhan mikroba karena kondisi penyimpanan yang tidak tepat. Kerusakan ini tidak selalu menyebabkan keracunan pangan. Jika yang tumbuh adalah mikroba pembusuk, maka akibat yang ditimbulkan adalah kerusakan produk yang membuat produk tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Menurut Husni 2002, bakso sebagai produk olahan merupakan media kultur pertumbuhan yang ideal bagi mikroorganisme karena tingginya kadar air, kaya akan nutrisi, serta memiliki pH yang mendekati netral. Hal ini menyebabkan kontaminasi yang berasal dari organisme pembusuk merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Selain itu, Syamadi 2002 juga menyatakan bahwa kandungan nutrient dan kadar aira w 80 0.98 yang tinggi menyebabkan produk bakso memiliki masa simpan yang singkat yaitu hanya mampu bertahan 12 jam hingga maksimum 1 hari pada penyimpanan suhu kamar. Secara organoleptik, tanda-tanda yang dapat diamati untuk mengetahui telah terjadinya kerusakan bakso antara lain timbulnya bau masam hingga busuk, permukaan bakso berlendir dan ditumbuhi miselium kapang, warna dan penampakan menjadi tidak cerah Sugiharti 2009. Frazier 1958 menyatakan mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral terutama adalah golongan bakteri. Beberapa golongan bakteri yang dapat tumbuh baik pada bahan pangan yang banyak mengandung protein, kadar air tinggi dengan pH netral antara lain golongan bakteri proteolitik, bakteri asam laktat, dan golongan termodurik seperti Micrococcus, Bacillus, dan Brevibacteria. Salah satu indikator kesusakan bakso adalah tumbuhnya miselium kapang dipermukaan bakso dan pertumbuhan khamir. Miselium kapang yang tumbuh bisa berupa spot berwarna putih dan hijau. Jenis kapang dan khamir yang biasa tumbuh pada olahan daging adalah Aspergillus, Penicillium, Rhizopus, Thamnidium, Debaryomyces, Torula, Torulopsis, Trichosporon, dan Candida Frazier 1958. Preservasi atau pengawetan pangan khususnya daging, bertujuan untuk mengamankan daging dan produk daging proses dari kerusakan atau pembusukan oleh mikroorganisme dan untuk memperpanjang umur simpannya Soeparno 1994. Suatu produk dikatakan berada pada kisaran umur simpannya bila kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan Arpah 2001. Oleh karena itu pengukuran mutu atribut produk menjadi sangat penting. Penentuan umur simpan dapat secara sederhana dilakukan dengan cara mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima oleh konsumen. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi umur simpan adalah aktivitas air, pH, suhu penyimpanan, komposisi udara dalam kemasan dan penanganan oleh konsumen. Penambahan bahan pengawet merupakan salah satu cara untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan. Bakso merupakan salah satu contoh daging proses yang rentan dengan penggunaan 6 bahan pengawet. Penelitian yang bertujuan memperpanjang masa simpan bakso telah banyak dilakukan. Hasil penelitian Hadi 2008 menunjukkan bahwa aplikasi kitosan larutan 1 dan penambahan ekstrak bawang putih 2 pada adonan bakso mampu mempertahankan umur simpan selama 12 jam, sedangkan bakso dengan perlakuan edible coating mencapai umur 24 jam pada suhu ruang. Hadittama 2009 menyatakan metode pengawetan bakso yang efektif adalah metode perebusan dengan konsentrasi larutan pengawet ekstrak bawang putih dan asam asetat 10 selama 10 menit karena dapat mempertahankan keawetan bakso selama 4 hari pada suhu ruang. Sementara itu, Savitri 2009 melakukan penelitian untuk memperpanjang masa simpan bakso sapi dengan metode pengawetan menggunakan substrat antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada suhu ruang. Hasil penelitian menunjukkan aktivitas substrat antimikroba mampu menghambat E.coli dan S.aureus selama penyimpanan 9 jam pada suhu ruang. Kualitas mikrobiologi pada bakso sapi dengan penambahan substrat antimikroba lebih baik dibandingkan dengan tanpa substrat antimikroba yang disimpan selama 9 jam pada suhu ruang. 2.3 TAPIOKA Tapioka merupakan hasil dari ekstraksi ubi kayu Manihot esculenta Crantz yang mengalami pencucian sempurna dan dilanjutkan dengan pengeringan. Pati merupakan komponen utama dari tapioka dan merupakan senyawa yang tidak mempunyai rasa dan bau Rusmono 1983. Proses ekstraksi ubi kayu terbilang mudah. Jika dilakukan dengan baik maka tapioka yang dihasilkan akan berwarna putih bersih. Semakin putih warna tepung tapioka mutunya akan semakin baik. Tapioka yang lebih putih biasanya lebih diharapkan sebagai bahan baku. Berdasarkan kandungan HCN, ubi kayu dapat dibedakan menjadi ubi kayu manistidak pahit dengan kandungan HCN 40 mgkg umbi segar, dan ubi kayu pahit dengan kadar HCN ≥ 50 mgkg umbi segar. Kandungan HCN yang tinggi dapat menyebabkan keracunan bagi manusia maupun hewan. Untuk keperluan industri pati tapioka, umbi dengan kadar HCN tinggi bukanlah masalah sebab HCN akan hilang selama proses pembuatan pati Sundari 2010. Banyak industri, baik industri pangan maupun non-pangan, menggunakan tapioka sebagai bahan baku. Tapioka mengandung 17 amilosa dan 83 amilopektin Rickard et al. 1992. Granula tapioka berbentuk semi bulat dengan salah satu dari bagian ujungnya mengerucut dengan ukuran 5-35 µm. Suhu gelatinisasi dari pati tapioka berkisar antara 52-64 o C, kristalinisasi 38, kekuatan pembengkakan sebesar 42 µm dan kelarutan 31. Kekuatan pembengkakan dan kelarutan tapioka lebih kecil dari pati kentang, tetapi lebih besar dari pati jagung. Suhu gelatinisasi adalah suhu dimana pati mengalami pengembangan dan akhirnya pecah. Menurut Felicia 2010, perbandingan amilosa dan amilopektin akan memengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air. Sebaliknya, jika kandungan amilosa tinggi, pati bersifat kering, kurang lengket dan mudah menyerap air. Kandungan nutrisi tapioka dapat dilihat pada Tabel 2. 7 Tabel 2. Kandungan nutrisi tapioka Zat Nutrisi Jumlah Bobot kering Energi metabolisme kkalkg Protein kering Lemak kasar Serat kasar Kalsium Fosfor Lisin 87.9 3800 2.5 0.3 3.5 0.18 0.09 0.04 Sumber : Muller dkk 1975 dalam Setiowibowo 2002 2.4 PATI SAGU Sagu Metroxylon sp. adalah tanaman menahun yang dapat berkembang biak atau dikembangbiakan dengan anakan atau dengan biji. Sagu merupakan salah satu tanaman sumber karbohidrat. Sagu menjadi makanan pokok bagi masyarakat di Maluku dan Papua yang tinggal di daerah pesisir Albert et al. 2008. Ciri-ciri pohon sagu siap panen pada umumnya dilihat perubahan yang terjadi pada daun, duri, pucuk dan batang. Batang sagu merupakan bagian terpenting dalam tanaman sagu. Batang sagu adalah tempat penyimpanan cadangan makanan berupa karbohidrat yang dapat menghasilkan pati sagu. Pati sagu diperoleh dari hasil ekstraksi inti batang sagu atau empulur sagu dengan bantuan air sebagai perantara. Sebelumnya empulur sagu dengan cara ditokok atau diparut. Tahapan proses pengolahan pati sagu secara tradisional pada prinsipnya meliputi penebangan pohon, pemotongan dan pembelahan, penokokkan atau pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan, dan pengemasan Haryanto dan Pangloli 1992. Kualitas dari pati sagu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu bahan mentah, cara dan lamanya transportasi, persediaan dan kualitas dari air untuk ekstraksi serta metode dan efisiensi dari proses ekstraksi atau penyaringan Karim et al. 2008. Tanaman sagu termasuk dalam divisi Spermatophytae, ordo Spadiciflorae, kelas Angiospermae, subkelas Monocotyledonae, famili Palmae, dan genus Metroxylon Rauwerdink 1986. Empulur batang sagu mengandung 20.2-29 pati, 50-66 air, dan 13.8-21.3 bahan lain atau ampas Pratiwi 2008. Pratiwi 2008 juga menyatakan pati sagu memiliki bentuk oval dengan ukuran cukup besar, yaitu sekitar 20-60 mikron. Pati sagu memiliki suhu gelatinisasi yang tinggi, yaitu sekitar 69 o C. Pati sagu mengandung 27 amilosa dan sekitar 73 amilopektin. Pati dapat terakumulasi dalam batang sagu sampai tahap berbunga dengan kadar pati maksimum terjadi tepat sebelum timbulnya bunga. Kandungan amilosa dari pati dari bagian bawah batang lebih tinggi daripada yang dari bagian atas batang, yang selanjutnya meningkat dengan pertumbuhan. Selain dimanfaatkan sebagai bahan makanan, pati sagu juga dapat dimanfaatkan untuk memproduksi perekat untuk kertas, tekstil dan polywood, sebagai stabilizer dalam obat-obatan, atau dikonversi ke jenis lain dari makanan Singhal et al. 2008. Umumnya, pati sagu yang berasal dari daerah Sukabumi dan Maluku memiliki kandungan amilosa yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati sagu asal Papua Herawati 2009. Pati sagu yang diproses secara tradisional dan diperoleh dari beberapa daerah di Papua New Guinea memiliki karakter yang sangat kental Sopade dan Kiaka 2001. Komposisi kimia dalam setiap 100 gram pati sagu dapat dilihat pada Tabel 3. 8 Tabel 3. Komposisi kimia dalam 100 gram pati sagu dalam basis kering Komponen Jumlah Kalori kkal Air g Protein g Karbohidrat g Serat kasar g Lemak g Abu Kalsium mg Besi mg 353.0 16.28 0.81 98.49 0.41 0.23 -- 0.01 0.017 Sumber : Haryanto dan Pangaloli 1992 2.5 AKTIVITAS AIR a w Air merupakan bahan penting dalam bahan pangan. Air merupakan komponen penting dalam kelangsungan proses biokimia organisme hidup. Semua bahan pangan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda. Kandungan air dalam bahan pangan memengaruhi kesegaran bahan, penerimaan konsumen akan bahan tersebut serta umur simpannya. Air dalam bahan pangan, selain berperan sebagai pelarut, juga berperan sebagai pereaksi. Kandungan air dalam bahan pangan memengaruhi daya tahan bahan pangan terhadap serangan mikroba yang biasanya dinyatakan dengan aktivitas air a w , yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Aktivitas air a w merupakan sebuah ukuran dari jumlah air bebas yang terdapat dalam produk pangan. Aktivitas air adalah perbandingan antara tekanan uap air dari larutan P dengan tekanan uap air murni pada suhu yang sama P Muchtadi 2008. Dalam industri pangan, pengukuran aktivitas air merupakan hal yang penting. Nilai a w suatu bahan pangan dinyatakan dalam skala 0 sampai 1. Nilai 0 menunjukkan bahwa bahan pangan tersebut tidak terdapat air bebas, sedangkan nilai 1 menunjukkan bahwa bahan pangan tersebut terdiri dari air murni. Winarno 2008 menyatakan berbagai mikroorganisme mempunyai a w minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri memerlukan a w 0.90 untuk tumbuh, sedangkan khamir dan kapang memerlukan a w 0.80-0.90 dan 0.60-0.70 untuk dapat tumbuh. Kerentanan pangan untuk pertumbuhan mikroorganisme tergantung pada beberapa faktor, di antaranya aktivitas air dan lama penyimpanan Abdullah et al. 2000. Aktivitas air merupakan salah satu faktor kritis untuk menentukan kualitas dan keamanan produk pangan. Aktivitas air memengaruhi umur simpan, keamanan, flavor, dan aroma dari produk pangan Jarret 2004. Aktivitas air terbukti merupakan sebuah indikator dari sebuah reaksi penurunan yang mungkin terjadi selama penyimpanan produk pangan. Nilai a w diperlukan untuk mengetahui produk telah mencapai zona kritis dimana reaksi kerusakan dapat terjadi atau tidak Mathlouthi 2001. Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan erat kaitannya dengan jumlah air yang tersedia untuk pertumbuhan mikroba didalamnya. Aktivitas air a w memengaruhi pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim. Abbas et al. 2009 menyatakan faktor penting dalam pembusukan ikan adalah aktivitas air a w dan pertumbuhan 9 mikroorganisme pembusuknya tergantung dari nilai a w- nya. Pada produk pangan tertentu supaya lebih awet biasanya dilakukan penurunan nilai a w . A w yang menentukan pertumbuhan mikroorganisme Purnomo 1995. Pengurangan air atau perubahan fase air dalam bahan pangan oleh penambahan bahan yang larut dalam air atau pembekuan, dapat mengakibatkan terjadinya penyesuaian terhadap nilai a w . Purnomo 1995 lebih lanjut menjelaskan bahwa penurunan nilai a w oleh penambahan humektan menunjukkan bahwa zat yang ditambahkan mempunyai pengaruh yang cukup kompleks terhadap pengaruh a w itu sendiri. Misalnya pada suatu nilai tertentu pertumbuhan mikroba ditekan secara efektif oleh sodium klorida gliserol. 10

III. METODOLOGI PENELITIAN