Spirulina fusiformis mencapai akhir dari produksi biomasa selnya pada fase stasioner yang terjadi pada hari ke-35 sampai dengan hari ke-75. Bagian dasar
akuarium berwarna hijau pucat pada hari ke-76 akibat banyaknya sel yang lisis dan tenggelam ke dasar akuarium. Sel Spirulina mengalami penurunan nilai
absorbansi kultur pada panjang gelombang 480 nm. Nilai absorbansi kultur pada panjang gelombang 480 nm yang mencerminkan kepadatan sel Spirulina untuk
masing-masing fase kultur dapat dilihat pada Lampiran 2. Pertumbuhan sel baru juga dihambat dengan keberadaan sel yang telah mati
dan faktor pembatas lainnya Fogg dan Thake 1987. Penurunan kepadatan sel disebabkan sel mengalami kematian dan lisis. Proses lisis terjadi karena
perbedaan tekanan osmotik di dalam sel dengan lingkungan. Sel Spirulina kehilangan kemampuan untuk mempertahankan cairan intraseluler seiring dengan
laju degradasi komponen biokimia di dalam sel Vonshak 1985.
4.2 Biomasa Spirulina fusiformis
Kultivasi dilakukan pada akuarium yang terdiri dari 100 liter medium dan 20 liter inokulum di dalam laboratorium. Biomasa Spirulina fusiformis sangat
dipengaruhi oleh sumber cahaya, kemudian diikuti oleh nutrient dan temperatur. Kondisi ini tetap dipertahankan seperti pada saat kultivasi untuk memperoleh
kurva pertumbuhannya. Kultivasi Spirulina fusiformis ini disajikan secara deskriptif pada Gambar 6.
Gambar 6 Kultivasi Spirulina fusiformis dengan media Zarouk pada skala labolatorium 100 liter
Kultivasi dilakukan secara kontinyu, artinya dalam satu akuarium dilakukan pemanenan beberapa kali. Waktu pemanenan berdasarkan kurva pertumbuhan
yang telah diperoleh. Pemanenan dilakukan pada fase logaritmik dan fase stasioner, meliputi awal fase log 8 hari, tengah fase log 15 hari,
akhir fase log 31 hari, awal fase stasioner 35 hari, dan akhir fase stasioner 75 hari. Hal ini dikarenakan mikroalga pada fase logaritmik mengalami
percepatan pertumbuhan sedangkan pertumbuhan mikroalga pada fase stasioner mencapai tingkat maksimal Fogg 1975.
Pemanenan biomasa basah dilakukan menggunakan metode filtrasi karena ukuran sel Spirulina besar ukuran diameter filamennya adalah 50 µm sehingga
bisa digunakan kain nylon mesh ukuran 20 µm. Sel Spirulina fusiformis berbentuk filamen sehingga akan mengambang pada permukaan kultur dan
memudahkan dalam
pemanenan Desmorieux
dan Decaen
2006.
Hasil pemanenan biomasa Spirulina fusiformis pada masing-masing umur panen dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Berat biomasa Spirulina fusiformis pada masing-masing umur panen untuk skala 100 L medium sistem kontinyu atau dalam satu akuarium
Umur panen hari Biomasa basah g
Biomasa kering g Kadar air
Fase logaritmik 8
801 81,4
8,14 15
825 82,1
8,21 31
1002 110,6
8,46 Fase stasioner
35 1950
117,0 8,48
75 2006
123,5 8,77
Biomasa Spirulina fusiformis yang dipanen pada fase stasioner memiliki berat yang lebih besar jika dibandingkan dengan biomasa pada fase logaritmik.
Pertambahan biomasa sel pada umur 75 hari menunjukkan bahwa setelah fase logaritmik Spirulina masih mengalami pertumbuhan. Umur kultur 75 hari adalah
akhir fase stasioner yang merupakan akhir dari produksi biomasa sel. Poses terakhir dalam produksi biomasa Spirulina fusiformis adalah
pengeringan. Tahap pengeringan dilakukan untuk mendapatkan biomasa Spirulina kering. Spirulina dalam keadaan kering tidak mudah terfermentasi
Angka dan Suhartono 2000. Proses pengeringan ini mengakibatkan rendemen
bobot biomasa kering berkurang hingga 10 dari bobot biomasa basah, karena pada proses pengeringan air terbawa keluar dari biomasa sel.
Pengeringan dilakukan pada suhu ruang dengan bantuan kipas angin 27-28
o
C karena berdasarkan peneltian Mohammad 2007, kondisi pengeringan suhu ruang dapat mempertahankan kandungan fikosianin lebih tinggi 8,09
pada Spirulina fusiformis dibandingkan menggunakan AC dan blower heat. Pengeringan pada suhu ruang akan semakin mengefisienkan waktu dan biaya
produksi untuk menghasilkan kadar fikosianin yang paling baik. Fikosianin yang digolongkan dalam makromolekul protein dapat dilihat
melalui ekspresi jumlah protein dalam biomasa Spirulina fusiformis yang digunakan
dalam ekstraksi.
Pengukuran komposisi
kimia biomasa
Spirulina fusiformis pada umur panen terpilih digunakan sebagai standar dalam pengujian aktivitas antihiperglikemiknya.
Biomasa Spirulina fusiformis menghasilkan jumlah komponen makromolekul yang berbeda pada setiap umur panen karena sintesis makromolekul sangat
dipengaruhi oleh kandungan nutrient dalam medium, kondisi kultivasi yang dilakukan. Biomasa dengan bobot terbesar akan digunakan dalam analisis
komponen kimianya. Pada umur panen 75 hari diperoleh bobot biomasa terbesar, yaitu 123,5 g biomasa kering. Secara umum komposisi kimia dalam biomasa
umur 75 hari ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi kima biomasa kering Spirulina fusiformis umur panen 75 hari
Kandungan Jumlah bk
Air 8,77
Mineral abu 8,69
Protein 54,55
Lemak 2,32
Karbohidrat 25,67
by difference
Kandungan protein dalam biomasa Spirulina fusiformis dengan umur panen 75 hari cukup besar yaitu 54,55. Hal ini sesuai dengan Choi et al. 2003 yang
menyatakan bahwa Spirulina merupakan mikroorganisme yang kaya protein dapat mencapai 70.
Hal ini berkebalikan dengan sintesis lemak. Kandungan lemak biomasa Spirulina fusiformis umur panen 75 hari pada penelitian ini sangat rendah, yaitu
2,32. Spirulina merupakan mikroalga yang tidak menghasilkan kandungan lemak tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Spolaore 2006 bahwa
kandungan lemak Spirulina berkisar antara 6-7. Kandungan karbohidrat Spirulina fusiformis pada umur panen 75 hari
mencapai 25,67. Belay et al. 2007 menyatakan bahwa sintesa karbohidrat melalui pembentukan glukosa selama proses fotosintesis memerlukan sumber
karbon dan cahaya. Komponen natrium bikarbonat NaHCO
3
sebagai larutan penyangga dalam medium kultivasi Spirulina fusiformis menyebabkan pH
medium kultivasi tidak berfluktuatif yaitu, pada awal pH 9 dan akhir pH 10. Hal ini sesuai dengan pernyatan Zarouk 1966 bahwa fluktuasi pH yang terlalu
tajam akan mengakibatkan kematian alga. Komponen natrium bikarbonat NaHCO
3
, selain sebagai larutan penyangga yang digunakan pada kultur Spirulina, juga merupakan sumber karbon yang dibutuhkan untuk proses sintesis
karbohidrat. Kandungan karbohidrat yang terdapat pada alga hijau biru ini berkisar antara 15-25.
4.3 Kandungan fikosianin dari Spirulina fusiformis