Tujuan Penentuan kadar glukosa darah dengan Glucose Test Strip Model Hewan Percobaan Diabetes Mellitus

jaringan otak rusak dan kerusakan jaringan saraf bersifat irreversible, tak terpulihkan. Efek samping lainnya adalah kehilangan nafsu makan, mual, diare, dan, ruam pada kulit. Penggunaan obat sintetik antidiabetes oral juga menyebabkan efek samping berupa kembung, diare, dan kram usus Lee et al. 2007. Kelebihan obat tradisional tentunya harus dibuktikan secara ilmiah. Spirulina, sebagai substansi alam yang mempunyai potensi untuk mengatasi hiperglikemik, sehingga perlu dilakukan penelitian aktivitas antihiperglikemik dari biomasa dan fikosianin Spirulina fusiformis.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan umur panen dari mikroalga Spirulina fusiformis dengan kadar fikosianin tertinggi, serta menguji potensinya sebagai antihiperglikemik secara in vivo pada tikus Sprague Dawley. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam pengembangan mikroalga Spirulina fusiformis dan fikosianin sebagai bahan neutraceutical maupun pharmaceutical antihiperglikemik. 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Spirulina

Spirulina lebih banyak digunakan sebagai bahan pangan dari pada jenis mikroalga lain karena memiliki beberapa keunggulan. Spirulina adalah salah satu mikroalga yang relatif cepat bereproduksi dan mudah dalam sistem pemanenannya. Biomassa sel Spirulina jauh lebih mudah larut dalam pelarut polar seperti pada air dan buffer fosfat bila dibandingkan dengan pelarut kurang polar. Spirulina telah teruji aman untuk dikonsumsi. Selama bertahun-tahun berbagai badan pangan internasional telah melaporkan efek toksisitas yang negatif dari produk-produk Spirulina Angka dan Suhartono 2000. Spirulina merupakan kelompok Cyanobacteria yang secara fisiologi banyak galurnya. Spirulina telah dikoleksi dan dibiakkan melalui percobaan yang bertujuan untuk mendapatkan produksi yang intensif. Spirulina fusiformis adalah salah satu varian mikroalga Spirulina yang berasal dari Madurai, India. Secara taksonomi Spirulina diklasifikasikan Bold dan Wyne 1978 sebagai berikut: Kingdom : Protista Filum : Cyanobacteria Divisi : Cyanophyta Kelas : Cyanophyceae Ordo : Nostocales Famili : Oscillatoriaceae Genus : Spirulina Spesies : Spirulina sp. Spirulina fusiformis memilki tiga varian, yaitu: 1 varian tipe S memiliki ciri-ciri gulungan dengan jarak yang lebar; 2 varian tipe C memiliki ciri-ciri gulungan dengan jarak yang dekat; dan 3 varian tipe H memiliki ciri-ciri jarak gulungan yang paling dekat dan tipis Richmond 1988. Morfologi Spirulina secara umum Tietze 2004 disajikan pada Gambar 1. Gambar 1 Spirulina Spirulina memiliki kandungan 62 asam amino, sebagai sumber vitamin B-12 alami paling kaya, mengandung keseluruhan spektrum alami dari campuran karoten dan xantofil Kozlenko dan Henson 2007. Awalnya, Spirulina merupakan bahan makanan tradisional penduduk asli Meksiko yang tinggal di dekat danau Texcoco dan penduduk Afrika yang bermukim di dekat danau Chad Tietze 2004. Pemanfaatan Spirulina lebih tinggi daripada mikroalga lainnya karena Spirulina memiliki kualitas tinggi terutama dalam bentuk kering. Kandungan protein Spirulina berkisar 60-71 bk Spolaroe et al. 2006. Komposisi kima Spirulina disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia Spirulina Komponen Konsentrasi ww Protein 60-71 Lemak 6-7 Karbohidrat 13-16 Sumber: Spolaroe et al. 2006 Spirulina merupakan mikroalga yang tidak menghasilkan kandungan lemak tinggi. Kandungan lemak Spirulina berkisar antara 6-7 Spolaore et al. 2006. Kandungan karbohidrat Spirulina diperoleh melalui pembentukan glukosa selama proses fotosintesis memerlukan sumber karbon dan cahaya, selain sebagai larutan penyangga, NaHCO 3 yang digunakan pada kultur Spirulina merupakan sumber karbon yang dibutuhkan untuk proses sintesis karbohidrat. Kandungan karbohidrat yang terdapat pada alga hijau biru ini berkisar antara 15-25 Belay et al. 2007. Kemampuan Spirulina untuk menurunkan kadar glukosa darah dimungkinkan melalui beberapa mekanisme. Penelitian Layam et al. 2007 menunjukkan kemampuan Spirulina platensis menurunkan kadar glukosa darah, kemudian menaikkan plasma insulin, C-peptida, dan hemoglobin darah tikus dengan kondisi diabetes. Perlakuan pemberian oral Spirulina terhadap tikus juga meningkatkan aktivitas enzim heksokinase dan menurunkan aktivitas enzim glukosa-6-fosfat G6P. Hasil penelitian dari Layam et al. 2007 dengan perlakuan pemberian oral Spirulina platensis 15 mgkg BB mampu menurunkan kadar glukosa darah dari tikus yang diinduksi streptozotocin yaitu, dari 232,33 mgdl menjadi 114,00 mgdl serta mampu mengontrol kestabilan bobot badan selama percobaan, yaitu berkisar antara 202,67 g – 213,50 g. Hasil penelitian Mridha et al. 2010 juga menunjukkan bahwa mikroalga Spirulina platensis dengan dosis 150 mgkg BB mampu menurunkan kadar glukosa darah hingga 33 dari kondisi kontrol, yaitu dari 166,9±44,95 mgdl menjadi 111,81±15,46 mgdl.

2.1.1 Kultivasi Spirulina

Kondisi optimum kultivasi umumnya dicapai ketika berada pada fase pertumbuhan logaritmik dan berada dalam tingkat pertumbuhan yang maksimal Pamungkas 2005. Faktor lingkungan sangat penting untuk diperhatikan karena dapat berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan dan perkembangbiakan Spirulina Richmond 1988. Kultivasi atau produksi Spirulina pada dasarnya meliputi penumbuhan ganggang kultur, pemanenan, pencucian, pengeringan dan penyimpanan produk Angka dan Suhartono 2000. Faktor lingkungan yang berpengaruh utama pada kultivasi Spirulina adalah nutrien, suhu, dan cahaya. Pertumbuhan sel akan ditandai dengan bertambah pekatnya warna hijau kultur pada media dan bertambah tingginya nilai absorbansi pada 480 nm Richmond 1988. Nutrien dalam media tumbuh sangat berpengaruh dalam kultivasi Spirulina fusiformis. Bila keberadaanya tidak merata maka pertumbuhan kultur akan terganggu. Faktor utama dalam media tersebut sangat tergantung dari hara nitrogen dan fosfat serta faktor eksternal pertumbuhan seperti cahaya dan suhu. Penyebaran ketiga faktor harus merata sehingga diperlukan pengadukan. Alkali tinggi merupakan hal penting dalam pertumbuhan Spirulina yang dapat diwakili oleh pH optimum pertumbuhan 8,3-11,0. Larutan penyangga yang baik pada media tumbuh adalah 0,2 M NaHCO 3 Richmond 1988. Suhu optimum untuk kultur Spirulina pada laboratorium berkisar antara 35-37°C Richmond 1988. Suhu minimumnya berkisar antara 18-20°C Borowitzka dan Borowitzka 1988. Pada daerah beriklim tropis, Spirulina dapat tumbuh optimum pada kisaran suhu 25-35ºC Kuniastuty dan Isnansetyo 1995. Ukuran Spirulina cukup besar, sehingga dapat dipisahkan dari medium melalui filtrasi. Di negara berkembang seperti Chad Afrika, pemisahan Spiruina cukup dilakukan dengan kain penyaring Angka dan Suhartono 2000. Spirulina segar difiltrasi dengan filter berukuran 20 m Desmorieux dan Decaen 2006. Proses pengeringan pada produksi Spirulina komersial merupakan pertimbangan ekonomi yang sangat penting dan dapat mencapai 30 dari biaya produksi. Pemanenan dengan filtrasi dapat mempertahankan kandungan fikosianin lebih tinggi pada Spirulina Mohammad 2007.

2.1.2 Pertumbuhan Spirulina

Pertumbuhan sel ditandai dengan bertambah pekatnya warna hijau kultur pada media dan bertambah tingginya nilai absorban. Cahaya merupakan faktor pembatas yang lebih dominan pada pertumbuhan Spirulina diikuti oleh nutrien dan temperatur. Ketersediaan cahaya untuk setiap sel pada kultur fotoautotropik merupakan fungsi dari intensitas serta lama pencahayaan dengan konsentrasi sel atau kepadatan populasi Richmond 1988. Kultivasi Spirulina dengan intensitas cahaya ≥ 5400 lux dengan bantuan lampu TL tube lamp dapat menghasilkan pertumbuhan yang maksimal setelah beberapa hari periode waktu kultur Vonshak 1985. Kultivasi mikroalga pada media yang terbatas terdiri dari beberapa fase pertumbuhan. Fase pertumbuhan tersebut meliputi fase lag, fase eksponensial, fase penurunan laju pertumbuhan, fase stasioner, dan fase kematian Fogg 1975. Fase pertumbuhan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Fase pertumbuhan sel alga Fogg 1975 1: fase lag; 2: fase eksponensial; 3: fase deklinasi; 4: fase stasioner; dan :5 fase kematian Fase lag ditandai dengan peningkatan populasi yang tidak terlalu nyata. Fase ini juga disebut dengan fase adaptasi karena sel mikroalga sedang beradaptasi terhadap media pertumbuhannnya. Fase selanjutnya adalah fase eksponensial yang ditandai dengan tingginya laju pertumbuhan. Hal ini terjadi karena mikroalga sedang aktif berkembangbiak Fogg 1975. Setelah pertumbuhan yang begitu cepat, kandungan nutrisi mulai berkurang sehingga mulai mengalami penurunan laju pertumbuhan yang disebut sebagai fase deklinasi. Menurut Diharmi 2001, berkurangnya nitrogen dan fosfat, menurunnya konsentrasi CO 2 dan O 2 , serta kenaikan pH medium menjadi faktor dalam penurunan laju pertumbuhan pada fase ini. Dua tahap selanjutnya dalam fase pertumbuhan mikroalga adalah fase stasioner dan kematian. Fase stasioner, pada fase ini pertambahan jumlah populasi seimbang dengan laju kematian sehingga seperti tidak ada penambahan populasi. Pertumbuhan sel yang baru juga dihambat dengan keberadaan sel yang telah mati dan faktor pembatas lainnya Fogg 1975. Fase kematian ditandai dengan penurunan produksi biomasa karena kematian dan sel lisis Vonshak 1985.

2.2 Fikosianin

Fikosianin merupakan senyawa protein yang termasuk ke dalam kelompok fikobiliprotein seperti fikosianin dan fikoeritrin. Seluruh kelompok fikobiliprotein bersifat larut air dan membentuk struktur senyawa fikobilosom yang melekat pada membran tilakoid. Struktur dari fikosianin bilin kromofor dan bilirubin disajikan pada Gambar 3 Chopra dan Bishnoi 2007. Gambar 3 Struktur kimia fikosianin bilin kromofor a dan bilirubin b. Fikosianin menyerap warna jingga, merah terang, dan memancarkan warna biru terang. Fikosianin umumya terdapat dalam divisi Rhodophyta alga merah, Cyanophyta alga biru-hijau dan Cryptophyta alga kriptomonad. Pigmen biru fikosianin memiliki absorbsi maksimum pada panjang gelombang 620 nm Richmond 1988. Fikosianin juga dapat dikatakan sebagai senyawa penyimpan nitrogen dengan diketahuinya bahwa konsentrasi fikosianin tertinggi diperoleh ketika Spirulina platensis dikultivasi pada konsentrasi nitrogen yang tinggi Boussiba dan Richmond 1979. Fikosianin dari Spirulina, dapat menghambat radikal hidroksil IC 50 = 0,91 mgml dan alkoksil IC 50 = 0,76µgml , menghambat peroksidasi lemak pada mikrosomal hati dengan IC 50 = 12 mgml Romay et al. 1998; ekstrak metanol fikosianin mampu menghambat lebih dari 95 proksidasi otak tikus dengan IC 50 = 180 mcg Miranda et al. 1998; mempunyai aktifitas antioksidan lebih besar dari α-tokoferol, zeaxanthin, dan asam kafeiat pada basis molar Hirata et al. 2000. Aktivitas antioksidannya juga dibandingkan dengan ekstrak mikroalga lainnya yaitu, ekstrak Chlorella, percobaan dengan metode DPPH menunjukkan EC 50 19,39 ± 0,65 µmol asam askorbatg ekstrak Spirulina lebih besar dibandingkan EC 50 14,04 ± 1,06 µmol asam askorbatg ekstrak Chlorella Wu et al. 2005.

2.2.1 Ekstraksi Fikosianin

Menurut Boussiba dan Richmond 1979, diketahui bahwa biomasa sel Spirulina akan jauh lebih mudah larut dalam pelarut polar seperti pada air dan buffer bila dibandingkan dengan pelarut kurang polar. Kandungan fikosianin dalam biomasa sel juga tergantung banyak sedikitnya suplai nitrogen yang dikonsumsi oleh Spirulina. Fikosianin merupakan pigmen fotosintetik utama pada Spirulina disamping peranannya sebagai penyimpan cadangan nitrogen dan asam amino. Fikosianin merupakan protein yang bersifat larut air yang dapat dibebaskan secara sederhana yaitu oleh penghancuran mekanis, seperti perlakuan pembekuan kemudian dicairkan freeze-thaw. Pada saat ini fikosianin dicanangkan sebagai bahan pewarna alami bagi pangan dan kosmetik Angka dan Suhartono 2000. Fikosianin dapat diperoleh dengan mengekstrak serbuk biomasa Spirulina fusiformis dengan buffer fosfat pH 7 dan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 620 nm dengan buffer fosfat sebagai blanko. Kadar fikosianin dihitung secara kuantitatif dengan cara menghitung absorbansi yang didapat dari hasil ekstraksi Lorenz 1998.

2.3 Diabetes Mellitus dan Hiperglikemia

Diabetes biasanya menunjukkan konsentrasi glukosa abnormal yang tinggi dalam darah, kondisi ini disebut hiperglikemia Lechninger 1982. Kadar gula darah normal berkisar antara 60 mgdl sampai 145 mgdl. Tanda-tanda lain dari diabetes melitus meliputi poliuria banyak kemih, polidipsia banyak minum, polifagia banyak makan, lemas, berat badan turun, dan kenaikan gula darah puasa ≥140 mgdl Gibney et al. 2008. Klasifikasi yang ada sekarang ini meliputi berbagai stadium klinis dan tipe etiologi penyakit diabetes melitus serta kategori hiperglikemia lainnya, antara lain Toleransi Glukosa Terganggu TGT, Diabetes tipe 1, Diabetes tipe 2, Diabetes gestasional, dan sindrom metabolik atau sindrom X, serta golongan resiko statistik, yaitu semua orang dengan toleransi glukosa normal tetapi mempunyai risiko yang lebih besar untuk mengidap DM Gibney et al. 2008. Kelompok toleransi glukosa terganggu TGT, impaired glucose tolerant merupakan tahap terjadinya gangguan pada regulasi glukosa karena keadaan ini dapat terlihat pada setiap kelainan hiperglikemia. Meskipun demikian, TGT sangat berpotensi untuk berkembang menjadi pasien DM. Kasus TGT akan menjadi kasus DM hingga 50 dalam waktu 2-12 tahun. Tanda-tanda TGT dapat dikenali dengan mudah melalui pemeriksaan TTGO Tes Toleransi Glukosa Oral dan kepada para penyandang TGT harus disarankan untuk mengambil langkah-langkah pencegahan Gibney et al. 2008. Gangguan toleransi glukosa pada penderita diabetes antara lain disebabkan menurunnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel jaringan perifer dan gangguan fungsi glukostatik dalam hati. Pada keadaan defisiensi insulin, jumlah glukosa yang masuk ke dalam otot rangka, otot jantung, otot polos, dan jaringan lain berkurang. Walaupun pengambilan glukosa oleh hati juga menurun, tetapi hal ini tidak mempunyai efek secara langsung. Absorbsi glukosa dalam usus tidak terpengaruh, demikian pula penyerapan kembali dari urin oleh sel-sel tubuli ginjal. Pengambilan glukosa oleh sel-sel otak dan darah merah juga normal Pranadji et al. 1999. Hormon insulin dalam kondisi normal berfungsi untuk membantu sintesis glikogen dan menghambat output glukosa dari hati. Bila kadar gula dalam darah meningkat, dalam keadaan normal sekresi insulin juga meningkat dan glukoneogenesis akan menurun. Pada keadaan diabetes, fungsi ini tidak terdapat sehingga terjadi gangguan toleransi glukosa Pranadji et al. 1999. Metabolisme glukosa dapat berjalan secara normal melalui mekanisme timbal-balik hormon insulin-gukagon untuk menjaga kadar glukosa darah tetap normal. Peranan insulin adalah membantu mengubah glukosa menjadi energi bagi sel dengan cara mentransfer glukosa darah ke dalam sel-sel yang membutuhkan. Glukosa dalam darah tidak dapat digunakan sebagai energi, untuk itu glukosa harus ditranfer terlebih dahulu ke dalam sel melalui proses oksidasi dalam sel respirasi. Kemudian, jika kondisi tubuh sedang lapar, konsentrasi glukosa darah menurun. Hormon glukagon, yang disekresikan oleh sel α pankreas, glikogen hati akan dipecah menjadi glukosa dan dilepaskan kembali ke dalam darah untuk menjaga konsentrasi darah tetap normal Wijayakusuma 2006.

2.3.1 Efek hiperglikemia pada diabetes melitus

Peningkatan glukosa darah pasca makan postprandial hyperglycemia merupakan awal terganggunya metabolisme yang terjadi pada DM tipe-2. Kondisi ini mempercepat perkembangan penyakit diabetes melitus yang disebabkan toksisitas glukosa dalam otot dan sel beta pankreas juga menginisiasi perkembangan awal komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular Lee et al. 2007. Hiperglikemia dapat menyebabkan gejala-gejala yang diakibatkan oleh hiperosmolaritas darah. Gula darah melebihi normal, sehingga gula ikut dikeluarkan oleh ginjal. Keadaan dengan adanya glukosa dalam urin disebut glukosuria. Gula yang bersifat menarik cairan ke dalam air kemih, akibatnya volume air kemih berlebih dan penderita menjadi sering kencing. Keadaan ini disebut poliuria. Kehilangan cairan yang berlebihan melalui urin menyebabkan terjadinya hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan timbulnya rasa haus sehingga penderita banyak minum atau polidipsia. Akibat adanya gangguan pada transportasi gula ke sel-sel jaringan, terutama sel-sel otot, sel-sel tersebut akan kekurangan energi. Disamping itu, adanya glukosuria berarti tubuh kehilangan energi secara percuma. Tubuh kehilangan 4,1 kkal untuk setiap gram glukosa. Penderita akan merasa lemas dan lapar, sehingga banyak makan. Hal ini disebut polifagia. Konsumsi karbohidrat berlebih akan menutupi kehilangan ini dengan mudah, tetapi sekaligus meningkatkan glukosa darah lebih lanjut dan meningkatkan glukosuria. Hal ini akan mengakibatkan mobilisasi protein endogen dan cadangan lemak sehingga terjadi penurunan berat badan Pranadji et al. 1999. Salah satu pendekatan terbaik untuk menurunkan glukosa darah pasca makan ialah dengan memperlambat absorpsi glukosa melalui penghambatan kerja penghidrolisis karbohidrat seperti α-glukosidase. Usaha menjaga tingkat glukosa darah menjadi rendah atau normal dapat menurunkan angka penderita komplikasi diabetes melitus Lee et al. 2007.

2.3.2 Pengobatan Diabetes Melitus

Diabetes melitus DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol. Pengendalian DM dapat dilakukan dengan perencanaan diet, latihan jasmani, penyuluhan atau pendidikan kesehatan, serta pemberian obat hipoglikemik. Obat antidiabetes oral maupun suntikan, khususnya untuk diabetes tipe 2, karena obat diperlukan jika perencanaan diet dan olahraga jasmani tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Obat hipoglikemik oral dibagi dalam 5 golongan Subroto 2009, antara lain: 1 golongan sulfonilurea, obat ini bekerja dengan cara merangsang sel β-pulau Langerhans pankreas untuk mensekresikan insulin. Contohnya glibenclamide dan glibonuride; 2 golongan biguanid, mekanisme kerja obat ini adalah mengurangi resistensi insulin, sehingga glukosa dapat memasuki sel-sel hati, otot, dan organ tubuh lainnya. Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini adalah metformin, phenformin, dan buformin. 3 golongan thiazolidinedion, mekanisme kerjanya sama dengan derivat biguanid. Contoh obat golongan ini adalah troglitazone. 4 golongan miglitinida, obat ini bekerja dengan cara merangsang sekresi insulin dari pankreas segera setelah makan. Contoh obat golongan ini adalah replaginida. Efek samping dari penggunaan obat ini meliputi hipoglikemia dan kenaikan berat badan. 5 g olongan inhibitor α-glukosidase, mekanisme kerja obat golongan ini adalah dengan menginhibisi secara reversibel kompetitif terhadap enzim hidrolase α-amilase pankreatik dan enzim-enzim pencernaan di usus halus seperti isomaltase, sukrase, dan maltase. Enzim-enzim ini berperan pada hidrolisis karbohidrat makanan menjadi glukosa dan monosakarida lainnya. Obat yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah Acarbose dan Miglitol. Acarbose merek dagang Precose® dan Glucobay® adalah inhibitor α-glukosidase. Mekanisme kerja inhibitor α-glukosidase adalah dengan memperlambat pemecahan disakarida, polisakarida, dan karbohidrat kompleks lainnya menjadi monosakarida Sugiwati 2005. Pembuatan glukosa secara enzimatis dan absorpsi glukosa selanjutnya ditunda, dan dalam kondisi setelaah makan nilai glukosa darah yang tinggi pada penderita diabetes tipe II, dapat dikurangi dengan IAG. IAG tidak mencegah absorpsi karbohidrat dan gula kompleks, tetapi menunda absorpsinya. Kelemahannya adalah harus dimakan bersama makanan dan mempunyai efek samping pada pembentukan gas di perut, kembung, diare, dan kram usus Lee et al. 2007. 2.3.3 Tes Toleransi Glukosa Diagnosis yang digunakan dalam mengidentifikasi penyakit diabetes melitus dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah. Standardisasi kriteria oleh the National Diabetes Data Group of the USA NDDG dan komite pakar organisasi kesehatan dunia WHO menghasilkan keseragaman hingga taraf tertentu bagi berbagai penelitian global terhadap kelainan metabolik tersebut. Kriteria diagnosis yang lebih sensitif ditunjukkan oleh uji toleransi glukosa Gibney et al. 2008. Tes ini memerlukan puasa 12-18 jam sebelum darah diambil untuk pemeriksaan. Puasa adalah keadaan tanpa suplai makanan kalori selama minimum 8 jam, tetapi tetap diperbolehkan minum air putih. Jadi, bukan puasa makan dan minum seperti yang biasa dilakukan. Berdasarkan American Diabetes Association ADA 1998, terdapat dua tes yang dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis terhadap diabetes mellitus yang didasarkan pada pemeriksaan kadar glukosa plasma vena, yaitu kadar glukosa darah sewaktu tidak puasa ≥200 mgdL; dan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mgdL. Pada tes toleransi glukosa oral TTGO, kadar glukosa darah yang diperiksa kembali setelah 2 jam Wijayakusuma 2006. Glukosa pada penderita diabetes menumpuk di dalam darah, terutama pada keadaan setelah makan. Apabila pada penderita diabetes diberikan glukosa secara oral dengan dosis tertentu 75 g glukosa maka gula darahnya akan meningkat lebih tinggi dari orang normal dan turunnya pun juga lebih lambat. Tes ini disebut s ebagai “tes toleransi glukosa oral” Pranadji et al. 1999. Metode TTGO merupakan kriteria diagnosis yang paling sensitif dan menghasilkan keseragaman hingga taraf tertentu bagi berbagai penelitian global terhadap kelainan metabolik tersebut. Prinsip yang digunakan dalam metode TTGO adalah mengukur kemampuan tubuh untuk menggunakan glukosa. Kadar glukosa darah ditingkatkan dengan pemberian sukrosa secara oral. Kurva Toleransi Glukosa Oral TGO akan meningkat tajam dan mencapai puncaknya dalam waktu 60 menit, setelah pemberian sukrosa. Kurva menurun perlahan dan mencapai kadar glukosa darah normal setelah 2-3 jam Gibney et al. 2008.

2.4 Penentuan kadar glukosa darah dengan Glucose Test Strip

Kadar glukosa darah dapat ditentukan menggunakan prinsip reaksi enzimatik yang terjadi pada glucose test strip. Reaksi yang terjadi adalah reaksi enzimatik glukosa darah dengan enzim glukosa oksidase dan peroksidase yang dilapis pada kertas strip. Pada metode ini kertas strip dilapisi dengan membran selulosa tipis yang permeabel hanya untuk molekul-molekul kecil seperti glukosa. Persamaan reaksi enzimatik dari glukosa dengan enzim glukosa oksidase dan peroksidase Soetarno et al. 1999 dapat dituliskan sebagai berikut: β-D-Glukosa + O 2 + H 2 O H 2 O 2 + asam glukonat H 2 O 2 + kalium iodida iodin + H 2 O Apabila setetes darah dikenakan pada kertas strip, maka dengan adanya oksigen, glukosa darah dioksidasi secara enzimatik oleh glukosa oksidase menghasilkan hidrogen peroksida dan asam glukonat. Selanjutnya, peroksidase mengkatalis reaksi hidrogen peroksida dengan kromogen kalium iodida menghasilkan iodin yang berwarna coklat. Intensitas warna yang terbentuk adalah sebanding dengan jumlah glukosa dalam tetesan darah.

2.5 Model Hewan Percobaan Diabetes Mellitus

Hewan Diabetes Melitus DM dapat dijadikan sebagai model dari penyakit ini pada manusia. Pada kenyataannya tidak ada gejala diabetes melitus pada hewan yang tepat sama dengan tipe DM pada manusia Soetarno et al. 1999. Gejala diabetes melitus yang paling umum dijumpai pada hewan adalah berupa obesitas, hiperinsulinemia, dan resistensi insulin. Diabetes Mellitus DM selain terjadi secara spontan juga dapat dibuat secara eksperimental dengan infeksi virus, atau melalui pemberian hormon dan senyawa kimia Subroto 2009. Model hewan DM baik spontan dan eksperimental dapat digunakan secara efektif untuk mempelajari komplikasi, pengobatan, dan pencegahan DM. Penggunaan senyawa kimia untuk menginduksi hewan menjadi DM memungkinkan mempelajari secara mendalam proses-proses biokimia, hormonal, dan morfologi yang terjadi selama dan setelah induksi senyawa kimia tersebut pada hewan. Senyawa kimia yang telah dipelajari secara ekstensif mampu menginduksi hewan coba menjadi DM, antara lain, aloksan dan streptozotocin. glukosa oksidase peroksidase Kedua senyawa ini merusak sel β-pulau Langerhans pankreas, sehingga menyebabkan hiperglikemia permanen Sugiwati S. 2005. Tikus telah banyak digunakan dalam penelitian tentang neoplasia, daya kerja obat, toksikologi, caries gigi, metabolisme lemak, manfaat vitamin, tingkah laku, alkoholisme, sirosis, arthritis, phenylketonuria, penyakit kuning, intoleransi fruktosa, hipertensi, diabetes, dan beberapa penyakit menular Smith dan Mangkoewidjojo 1988. Tikus putih telah lama digunakan untuk penelitian karena hewan ini telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Tikus putih Rattus novergicus yang dapat digunakan untuk percobaan terdiri dari beberapa galur atau varietas yang memilki ciri spesifik, antara lain galur Sprague-dawley yang berwarna albino putih, berkepala kecil, dan ekornya lebih panjang daripada kepalanya; galur Wistar yang dicirikan dengan kepala besar dan ekor yang lebih pendek; dan galur long-evans yang lebih kecil dari tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh bagian depan Malole dan Pramono 1999. Secara garis besar, fungsi dan bentuk organ, proses biokimia dan biofisik antara tikus dan manusia memiliki banyak kemiripan. Perbedaan antara tikus dan manusia antara lain terdapat pada struktur dan fungsi plasenta tikus; tingkat pertumbuhan tikus yang lebih cepat dari manusia; kekurangpekaan tikus pada senyawa neurotoksik dan teratogen. Secara umum, karakteristik fisiologis tikus disebutkan dalam Tabel 2. Tabel 2 Nilai fisiologis tikus Kriteria Nilai Berat badan dewasa jantan 450-520 g Berat badan dewasa betina 250-300 g Berat lahir 5-6 g Suhu tubuh 35,9-37,5 °C Konsumsi makanan 10 g100 ghari Konsumsi air minum 10-12 ml100 ghari Volume darah 54-70 mlkg Protein serum 5,6-7,6 gdl Glukosa serum 50-135 mgdl Sumber: Malole dan Pramono 1989 Beberapa karakteristik anatomis dan fisiologis tikus Sprague Dawley Malole dan Pramono 1989, antara lain: 1 Rumus gigi tikus Sprague Dawley adalah 2 I 11, M 33 = 16. Gigi seri tumbuh terus menerus. Tikus akan menggigit atau menjepit dengan gigi serinya yang tajam jika salah penanganan. 2 Esofagus masuk ke lambung melewati lubang yang kecil karena ada lipatan jaringan pada lambung. Karena struktur anatomis tersebut, tikus tidak mampu muntah. 3 Seperti kuda, tikus tersebut tidak mempunyai kantung empedu. 4 Paru-paru kiri terdiri dari satu lobus sementara paru-paru kanan terdiri atas empat lobus. 5 Tikus memiliki lima pasang kelenjar susu. Distribusi jaringan mammae tersebar, dari garis tengah ventral melewati panggul, toraks dan bagian leher. 6 Uretra tikus betina tidak berhubungan dengan vagina atau vulva. 7 Kelenjar membran niktitasi kelenjar Harderian merupakan kelenjar lakrimal terpigmentasi yang teletak di belakang bola mata, melingkari saraf optik. Hasil sekresi dari kelenjar ini kaya akan lemak dan porfirin. Meskipun banyak spesies lain memiliki kelenjar Harderian, pada tikus kelenjar ini memiliki fungsi khusus. Selama masa stress dan atau sakit tertentu, air mata mengalir dan mewarnai wajah di sekitar mata dan hidung. Ketika air mata mengering, pigmen tersebut memberikan warna seperti darah kering. Pigmen tersebut akan berpendar saat dipaparkan pada sinar ultraviolet dan mengandung sedikit darah atau tidak sama sekali. 8 Respon tikus terhadap penurunan suhu ruangkandang berupa termogenesis tanpa gemetar. Sedangkan saat suhu kandang meningkat, terjadi vaskularisasi pada ekornya yang panjang, yang juga berperan sebagai organ termoregulator. Sebagian besar termogenesis tersebut terjadi pada jaringan lemak yang coklat, konsentrasi yang paling tinggi ditemukan pada jaringan subkutan di antara skapula. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jantan putih Rattus norvegicus galur Sprague Dawley berumur sekitar delapan minggu. Tikus Sprague Dawley dipilih karena tikus ini secara garis besar mempunyai banyak kemiripan dengan manusia meliputi fungsi, bentuk organ, proses biokimia, dan biofisik. Penggunaan tikus Sprague Dawley dalam studi kesehatan dan penyakit pada manusia, merupakan model yang sangat bagus untuk toksikologi, reproduksi, farmakologi dan tingkah laku. Esofagus pada tikus Sprague-Dawley masuk ke lambung melewati lubang kecil karena terdapat lipatan jaringan lambung sehingga tikus tidak mampu muntah. Tikus ini juga mudah diperoleh dan telah banyak digunakan dalam penelitian Smith dan Mangkoewidjojo 1988. Galur Sprague Dawley yang umum digunakan untuk penelitian mempunyai ciri berwarna putih albino, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang dari badannya Malole dan Pramono 1989. Tikus betina tidak digunakan karena terdapat siklus hormonal bulanan yang dapat memberikan pengaruh terhadap kadar glukosa darah yang akan diukur. Tikus dikandangkan dalam kandang individual yang terbuat dari plastik dengan penambahan alas berupa sekam. Siklus gelap dan terang terjadi secara alami. Kondisi lingkungan diupayakan pada suhu 22±2ºC dengan pemberian kipas angin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Derelanko et al. 1994 bahwa suhu kandang yang baik untuk tikus berkisar antara 64,4-78,8ºF 18-26ºC.

2.6 Flavonoid dan aktivitas antidiabetes

Dokumen yang terkait

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 70% Daun Pacing (Costus spiralis) terhadap Diameter Tubulus Seminiferus, Motilitas, dan Spermisidal pada Tikus Jantan Strain Sprague-Dawley

0 10 95

Uji Efek Antifertilitas Serbuk Bawang Putih (Allium Sativum L.) Pada Tikus Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo Dan In Vitro

3 25 115

Uji Antifertillitas Ekstrak Metanol Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L) pada Tikus Jantan Strain Sprague Dawley Secara In Vivo

4 11 134

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) Terhadap Kualitas Sperma Pada Tikus Jantan Galur Sprague- Dawley Secara In Vivo dan Aktivitas Spermisidal Secara In Vitro

0 15 104

Efek Pemberian Ekstrak Kayu Nigella sativa terhadap Glukosa Darah Dan Kolesterol Tikus Diabetes Mellitus yang Diinduksi Streptozotocin. 2014

1 6 62

Uji Aktivitas Hepatoprotektif Ekstrak Air Sarang Burung Walet Putih (Collocalia fuciphaga Thunberg, 1821). Terhadap Aktivitas SGPT & SGOT Pada Tikus Putih Jantan Galur Sprague-Dawley

0 23 107

Aktivitas antifertilitas ekstrak etanol 70% daun pacing (costus spiralis) pada tikus sprague-dawley jantan secara in vivo

1 32 0

Efek Pemberian Ekstrak Kayu Nigella sativa terhadap Glukosa Darah Dan Kolesterol Tikus Diabetes Mellitus yang Diinduksi Streptozotocin. 2014.

2 6 62

Karakteristik pigmen fikosianin dari Spirulina fusiformis yang dikeringkan dan diamobilisasi

12 38 58

Aktivitas Ekstrak Cacing Laut Siphonosoma Australe Sebagai Antihiperglikemik Pada Tikus Galur Sprague Dawley Yang Diinduksi Streptozotocin

2 28 49