4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis
Kultivasi atau produksi Spirulina pada dasarnya meliputi penumbuhan kultur, pemanenan, pencucian, pengeringan, dan penyimpanan produk. Kultur Spirulina
dalam media
Zarouk dilakukan
dengan membiakkan
inokulum mikroalga Spirulina fusiformis yang diperoleh dari koleksi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia LIPI. Penyegaran inokulum Spirulina dilakukan dalam toples kaca ukuran 5 liter,
agar Spirulina yang akan di kultivasi berada dalam keadaan optimum untuk tumbuh. Penyegaran dilakukan untuk mempercepat waktu yang dibutuhkan
Spirulina beradaptasi dengan lingkungan barunya. Kondisi optimum umumnya dicapai ketika berada pada fase pertumbuhan logaritmik, Spirulina sedang
berada dalam tingkat pertumbuhan yang maksimal Pamungkas 2005.
Faktor lingkungan sangat penting diperhatikan karena dapat berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan dan perkembangbiakan Spirulina. Faktor
lingkungan utama yang berpengaruh pada kultivasi Spirulina adalah nutrisi, suhu, dan cahaya Richmond 1988. Kondisi lingkungan selama kultivasi pada
penelitian ini adalah pada kisaran suhu ruang 28-30 ºC; suhu air 28-29 ºC; pH 9-10; dan intensitas cahaya 5480 lux dari lampu TL tube lamp.
Cahaya buatan dari lampu TL dapat mengganti fungsi sinar matahari pada kultur alga fotoautotrof yang dipelihara di dalam laboratorium Diharmi 2001.
Sinar lampu TL mencakup spektrum warna yang dapat berfungsi sebagai sumber energi cahaya pada proses fotosintesis. Reaksi fotosistem dijalankan oleh
spektrum cahaya yang berbeda, yaitu fotosistem II yang bekerja pada panjang gelombang 680 nm dan fotosistem I pada panjang gelombang 700 nm. Cahaya
yang berasal dari lampu TL sebenarnya merupakan sebaran cahaya dalam bentuk horizontal dari semua spektrum, yaitu spektrum ungu dan ultra ungu sampai
merah dan infra merah Hadioetomo 1993. Pertumbuhan didefinisikan sebagai suatu peningkatan masa sel dan disertai
ukurannya oleh sintesis makromolekul yang menghasilkan struktur baru Becker 1994. Pertumbuhan sel ditandai dengan bertambah pekatnya warna
hijau kultur pada media dan bertambah tingginya nilai absorban. Penentuan pola pertumbuhan Spirulina fusiformis dilakukan dengan cara sampling untuk
menghitung kepadatan sel menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 480 nm. Nilai absorbansinya diturunkan dengan pendekatan anti log
Ln dan diplotkan pada grafik sehingga diperoleh kurva pertumbuhan seperti pada Gambar 5.
Gambar 5 Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis yang ditumbuhkan dalam media Zarouk dan indoor
a: fase lag; b: fase log; c: fase deklinasi; d: fase stasioner; e: awal fase kematian
Kultivasi Spirulina fusiformis pada penelitian ini mengalami fase lag pada hari ke-0 sampai dengan hari ke-7. Hari ke-8 merupakan awal fase logaritmik
yang ditandai dengan tingginya OD. Fase logaritmik atau eksponensial berlangsung hingga hari ke-31. Penentuan fase pada kurva pertumbuhan sel
Spirulina pada penelitian ini juga didukung oleh penggambaran fase pertumbuhan sel alga oleh Fogg dan Thake 1987 pada Gambar 2.
Kondisi pada kedua fase di atas didukung oleh pernyataan Fogg dan Thake 1987 bahwa fase lag ditandai dengan peningkatan populasi yang tidak terlalu
nyata. Fase ini disebut juga dengan fase adaptasi karena sel mikroalga Spirulina sedang beradaptasi terhadap media pertumbuhannya. Fase selanjutnya adalah fase
eksponensial atau logaritmik yang ditandai dengan tingginya laju pertumbuhan karena mikroalga sedang aktif berkembangbiak.
Berakhirnya fase logaritmik menjadi awal terjadinya fase deklinasi pada kultivasi Spirulina fusiformis, yaitu pada hari ke-32 sampai dengan hari ke-34.
Pertumbuhan dengan laju yang lebih lambat terjadi seiring dengan berkurangnya nutrien yang tersedia di dalam kultur pada fase ini. Pertumbuhan sel
-3 -2.5
-2 -1.5
-1 -0.5
0.5 1
1.5
2
Ln OD
480
nm Waktu pengamatan hari ke-
c a
b d
e
Spirulina fusiformis mencapai akhir dari produksi biomasa selnya pada fase stasioner yang terjadi pada hari ke-35 sampai dengan hari ke-75. Bagian dasar
akuarium berwarna hijau pucat pada hari ke-76 akibat banyaknya sel yang lisis dan tenggelam ke dasar akuarium. Sel Spirulina mengalami penurunan nilai
absorbansi kultur pada panjang gelombang 480 nm. Nilai absorbansi kultur pada panjang gelombang 480 nm yang mencerminkan kepadatan sel Spirulina untuk
masing-masing fase kultur dapat dilihat pada Lampiran 2. Pertumbuhan sel baru juga dihambat dengan keberadaan sel yang telah mati
dan faktor pembatas lainnya Fogg dan Thake 1987. Penurunan kepadatan sel disebabkan sel mengalami kematian dan lisis. Proses lisis terjadi karena
perbedaan tekanan osmotik di dalam sel dengan lingkungan. Sel Spirulina kehilangan kemampuan untuk mempertahankan cairan intraseluler seiring dengan
laju degradasi komponen biokimia di dalam sel Vonshak 1985.
4.2 Biomasa Spirulina fusiformis