Tabel 5 Nilai kadar fikosianin berdasarkan umur panen Umur panen
A
620 nm
Kadar fikosianin 8 hari
1a
1,390 5,850
15 hari
2a
1,610 6,717
31 hari
3a
1,968 7,969
35 hari
1b
2,006 8,102
75 hari
2b
2,102 8,204
Keterangan: 1a = awal fase log; 2a = tengah fase log; 3a = akhir fase log 1b = awal fase stasioner; 2b = akhir fase stasioner
Ekstraksi biomasa Spirulina fusiformis menggunakan air menghasilkan kadar fikosianin yang berbeda untuk setiap umur panen, yaitu berkisar antara 5,850 -
8,204. Fikosianin tertinggi dalam penelitian ini diperoleh ketika mikroalga Spirulina fusiformis berada pada fase pertumbuhan stasioner. Fase stasioner
merupakan akhir dari produksi biomasa. Kondisi ini dapat digambarkan sebagai suatu grafik pertumbuhan yang konstan Gambar 5.
Fikosianin terdiri dari dua komponen fikobiliprotein, yaitu c-fikosianin dan allofikosianin. Fikosianin dapat bertindak sebagai material penyimpan nitrogen.
Pada saat kondisi nitrogen melimpah, selain digunakan untuk pertumbuhan Spirulina, nitrogen disimpan dalam bentuk fikosianin Richmond 1988.
Oleh karena itu, pada fase stasioner dengan umur panen 75 hari diperoleh kandungan fikosianin yang lebih besar dibandingkan fikosianin pada umur panen
yang lain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar fikosianin tertinggi dihasilkan
oleh ekstraksi air biomasa kering Spirulina fusiformis pada umur panen 75 hari, yaitu sebesar 8,204 dengan nilai absorbansi fikosianin pada A
620
nm adalah 2,102 Tabel 3 dan nilai absorbansi kultur Spirulina fusiformis pada A
480
nm adalah 5,354 Lampiran 2. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Achmadi et al.
2002 yang
menyatakan bahwa
rapat optis
OD optimum
pada Spirulina platensis untuk mendapatkan pigmen fikosianin terbaik adalah diatas
1,0 pada panjang gelombang 480 nm.
4.4 Aktivitas antihiperglikemik dari biomasa Spirulina fusiformis pada
kadar glukosa darah tikus
Salah satu pendekatan terbaik untuk menurunkan glukosa darah pasca makan ialah dengan memperlambat absorpsi glukosa melalui penghambatan kerja
penghidrolisis karbohidrat seperti α-glukosidase. Usaha menjaga tingkat glukosa darah menjadi rendah atau normal dapat menurunkan angka penderita komplikasi
diabetes melitus Lee et al. 2007. Berdasarkan hal tersebut, pada penelitian ini dipilih obat Acarbose sebagai kontrol positif yang merupakan obat standar oral
pada penderita diabetes melitus tipe-2. Mekanisme obat Acarbose adalah melalui inhibisi secara reversible yang
kompetitif terhadap enzim sukrase. Obat Acarbose menghambat hidrolisis karbohidrat pada usus halus, berkompetisi dengan sukrosa atau karbohidrat lain
untuk berikatan pada sisi aktif enzim sehingga absorbsi glukosa ke dalam darah menurun seiring tidak terbentuknya D-glukosa bebas Info Obat Indonesia 2009.
Pengukuran kadar glukosa darah pada penelitian ini menggunakan metode Tes Toleransi Glukosa Oral TTGO. Model hewan uji yang digunakan dalam
penelitian ini tidak dibuat DM permanen, sehingga metabolisme karbohidrat seluruh hewan coba dianggap normal tanpa adanya defisiensi insulin, sehingga
yang diharapkan terjadi adalah hambatan naiknya kadar glukosa darah setelah diberi perlakuan.
Pengujian kadar glukosa darah dilakukan setelah tikus dipuasakan selama 18 jam agar pada saat perlakuan, metabolisme yang terjadi merupakan
metabolisme normal tanpa adanya defisiensi insulin serta untuk mendapatkan kadar glukosa darah puasanya. Sampel darah diambil sebelum perlakuan dan
pada setiap ½, 1, 2, dan 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa dan bahan uji per oral. Nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus untuk masing-masing perlakuan
ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6 Nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus untuk perlakuan dosis biomasa
Spirulina fusiformis Perlakuan
Rata-rata nilai kadar glukosa darah tikus mgdl 0 jam
½ jam 1 jam
2 jam 3 jam
Kontrol negatif sukrosa 72,8
± 0,837
116,4 ±
2,702 133,8
± 0,837
107,8 ±
1,643 72,8
± 0,837
Kontrol positif Acarbose 0,001 mgg BB + sukrosa
72,6 ±
0,849 84,2
± 1,095
94,4 ±
0,548 88,4
± 0,548
72,8 ±
0,837 B1 0,15 mgg BB tikus +
sukrosa 73,4
± 0,548
97,6 ±
0,548 112,8
± 1,304
80,0 ±
0,707 73,4
± 0,548
B2 0,30 mgg BB tikus + sukrosa
73,4 ±
0,548 91,8
± 0,447
99,8 ±
0,447 86,0
± 1,000
72,8 ±
0,837
Nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus pada jam ke-0 berkisar antara 72,8-73,4 mgdl. Pengamatan selanjutnya adalah pada nilai rata-rata kadar
glukosa darah tikus ½ jam setelah perlakuan berkisar antara 116,4-84,2 mgdl dan nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus 1 jam setelah perlakuan berkisar antara
133,8-94,4 mgdl. Nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus selanjutnya, yaitu, 2 jam setelah perlakuan berkisar antara 107,8-80,00 mgdl dan 3 jam setelah
perlakuan nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus berkisar antara 72,8-73,4 mgdl.
Tikus-tikus yang telah diadaptasikan dan dipuasakan tidak diberikan perlakuan apapun setelahnya, sehingga yang terukur pada jam ke-0 adalah kadar
glukosa darah puasa tikus. Hal ini didukung oleh pernyataan Malole dan Pramono 1989 bahwa kadar glukosa darah tikus berkisar antara 50-135 mgdl.
Produksi dan sekresi insulin dipacu oleh jumlah glukosa dalam darah. Jika jumlah glukosa telah mencapai kadar tertentu, insulin akan disekresikan dan
“membuka” sel-sel dalam hati, otot, dan lemak sehingga memungkinkan glukosa masuk ke dalam sel-sel tersebut. Dengan demikian, glukosa tidak menumpuk
dalam darah dan kadar glukosa tetap normal Wijayakusuma 2006. Pemberian sukrosa pada tes toleransi glukosa oral akan meningkatkan
glukosa darah hingga puncaknya dalam waktu 60 menit Gibney et al. 2008. Kadar glukosa darah tikus meningkat sejak ½ jam perlakuan dan mencapai nilai
kadar glukosa tertinggi pada 1 jam setelah pemberian sukrosa. Rata-rata kadar glukosa darah tikus meningkat dari 72,8 mgdl menjadi 133,8 mgdl untuk kontrol
negatif dengan hanya pemberian larutan sukrosa 80 bv. Hal ini didukung oleh pernyataan Mridha et. al 2010 bahwa pencernaan sukrosa karbohidrat terjadi
di dalam usus halus tikus, yaitu memecah karbohidrat menjadi molekul glukosa dan fruktosa.
Pencernaan karbohidrat terjadi dengan bantuan enzim sukrase. Sukrosa dihidrolisis oleh enzim sukrase menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa diserap ke
dalam darah untuk diedarkan ke seluruh sel dalam tubuh sebagai energi. Oleh karena itu, jika asupan karbohidrat meningkat, maka kadar glukosa dalaam darah
juga meningkat Gibney et al. 2008.
Kadar glukosa darah tikus meningkat hingga setelah 1 jam perlakuan. Peningkatan kadar glukosa darah tikus mampu dicegah oleh insulin secara normal
tanpa penambahan obat antidiabetes pada kontrol negatif. Rata-rata kadar glukosa darah tikus kontrol negatif setelah 1 jam pemberian sukrosa oral
meningkat hingga 45,6 dari kadar glukosa normalnya 0 jam, sedangkan kadar glukosa darah tikus kontrol positif hanya meningkat 23,1 dari kadar glukosa
darah normalnya 0 jam setelah 1 jam pemberian obat Acarbose 0,001 mgg BB tikus dan sukrosa. Persentase peningkatan dan pencegahan kenaikan kadar
glukosa darah tikus untuk masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 5.
Kadar glukosa darah tikus B1 73,4 mgdl menjadi 112,8 mgdl juga meningkat sebesar 34,9 dari kondisi awal setelah pemberian 0,15 mgg BB
biomasa Spirulina dan sukrosa, sedangkan kadar glukosa darah tikus dosis B2 73,4 mgdl menjadi 99,8 mgdl hanya meningkat sebesar 26,5 dari kadar
glukosa darah normalnya setelah 1 jam pemberian 0,30 mgg BB biomasa Spirulina dan sukrosa Tabel 6 dan Lampiran 5. Pemberian biomasa Spirulina
0,15 mgg BB tikus, setelah 1 jam, ternyata mampu mencegah kenaikan kadar glukosa darah tikus sebesar 65,1 Lampiran 5.
Sebelum perlakuan jam ke-0, perlakuan perbedaan dosis pemberian biomasa Spirulina fusiformis, menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap
rata-rata kadar glukosa darah tikus dari hasil analisis sidik ragam ρ0,05.
Perlakuan perbedaan dosis pemberian biomasa Spirulina fusiformis, yaitu dosis 0,15 mgg BB tikus, 0,30 mgg BB tikus dengan kontrol negatif sukrosa
80 bv, dan kontrol positif Acarbose 0,001 mgg BBsetelah ½, 1, dan 2 jam, menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rata-rata kadar glukosa darah
tikus dari hasil analisis s idik ragam ρ0,05, sedangkan setelah 3 jam perlakuan,
menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata p0,05 terhadap rata-rata kadar glukosa darah tikus Lampiran 7, 8, 9, 10, dan 11. Perbedaan signifikan
antar perlakuan, sebagai hasil uji lanjut Duncan, dapat dilihat pada histogram rata- rata kadar glukosa darah tikus pada Gambar 7.
Keterangan: Huruf superscrift yang berbeda a,b,c,d pada diagram batang menunjukkan berbeda nyata p0,05
Gambar 7 Histogram rata-rata kadar glukosa darah untuk kontrol negatif, kelompok N sukrosa 80 bv ; kontrol positif, kelompok P
Acarbose 0,001 mgg BB ; dan pemberian oral biomasa Spirulina fusiformis kelompok B1 dosis 0,15 mgg BB ;
kelompok B2 dosis 0,30 mgg BB
Perbedaan signifikan p0,05 terlihat pada diagram batang untuk kelompok B1 dan B2 setelah ½, 1, dan 2 jam perlakuan Gambar 7, Lampiran 8, 9, dan 10.
Kadar glukosa darah menurun pada selang 2 jam setelah perlakuan dan kembali rendah seperti pada awal perlakuan setelah 3 jam Tabel 6. Nilai kadar glukosa
darah tikus setelah 2 jam perlakuan berturut-turut adalah 107,8 mgdl, 88,4 mgdl, 80,0 mgdl B1, dan 86,0 mgdl B2. Penambahan dosis biomasa menjadi dua
kali lipatnya 0,30 mgg BB tikus, setelah 1 jam, menunjukkan kemampuan lebih baik dan berbeda signifikan p0,05 dalam mencegah kenaikan kadar glukosa
tikus kelompok B2, sebesar 73,5 Gambar 7, Lampiran 5 dan 9. Berbeda halnya ketika akhir perlakuan setelah 3 jam. Kadar glukosa darah
tikus kembali normal yang disebabkan oleh penggunaan glukosa oleh sel-sel dalam tubuhnya, sedangkan perbedaan dosis biomasa tidak menunjukkan berbeda
signifikan p0,05 terhadap kadar glukosa darah tikus pada akhir perlakuan setelah 3 jam. Hal ini dapat dilihat pada histogram Gambar 7 dan hasil uji
lanjut Duncan Lampiran 11. Pencernaan karbohidrat di usus halus ini yang diduga dihambat oleh adanya
komponen aktif dari biomasa Spirulina fusiformis. Komponen aktif dalam
20 40
60 80
100 120
140
0.5 1
2 3
a a
a a
a
a
b b
b a
a c
c c
a a
d d
d a
R ata
-r ata
kad ar
g lu
ko sa
d ar
ah ti
ku s
m g
d l
Jam ke-
biomasa Spirulina fusiformis diduga menghambat kerja dari enzim α-glukosidase
dalam memutus ikatan α-1,6 pada titik percabangan rantai glikogen sehingga tidak terbentuk glukosa bebas. Hal ini didukung oleh Layam et al. 2007 yang
menunjukkan bahwa Spirulina platensis yang diberikan pada tikus mampu menjadi inhibitor dalam pemecahan karbohidrat, yaitu dengan menghambat kerja
enzim α-glukosidase serta merangsang pembetukan insulin dalam tubuh tikus yang dirusak kelenjar pankreasnya secara kimia sehingga mengalami defisiensi
insulin. Biomasa Spirulina fusiformis dicerna terlebih dahulu dalam lambung tikus.
Enzim pepsin pada lambung memecah komponen protein yang terdapat pada dinding sel Spirulina fusiformis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chopra dan
Bishnoi 2007 bahwa dinding sel Spirulina fusiformis tersusun dari komponen mukoprotein. Dengan demikian, seluruh isi sel Spirulina fusiformis akan keluar
dan masuk ke dalam pencernaan di usus halus. Enzim
α-glukosidase merupakan katalis pada langkah akhir pemecahan karbohidrat di usus halus. Enzim ini terlibat dalam degradasi glikogen lanjutan
dari glikogen oleh fosforilase yang dapat terjadi hanya setelah kerja enzim glukanotransferase dan α-glukosidase dengan mengkatalis dua reaksi. Pada reaksi
pertama, enzim glukanotransferase memindahkan tiga dari residu glukosa yang tersisa ke ujung cabang-
cabang disebelah luar molekul lain. Enzim α-glukosidase menghidrolisis ikatan
α-1,6 pada titik percabangan rantai glikogen dan menghasilkan D-glukosa dan membuat residu glukosa dengan ikatan
α-1,4. Pada rantai lanjutan
α-1,4 tersebut kini terbuka terhadap kerja glikogen fosforilase yang menghasilkan glukosa-1-fosfat Lehninger 1982.
Komponen aktif dalam biomasa Spirulina yang berperan sebagai antihiperglikemik
antara lain
mineral kromium
Cr Belay
2002; Tietze 2004, asam lemak gamma linoleat Iyer et al. 2007, dan senyawa
flavonoid Belay et al. 2007. Senyawa fenol termasuk golongan flavonoid dan tanin pada buah mahkota dewa juga dinyatakan sebagai komponen aktif
antihiperglikemik sebagai inhibitor α-glukosidase Sugiwati 2005.
Penapisan flavonoid pada biomasa memberikan hasil positif dengan adanya senyawa flavonoid golongan flavonol dan flavon. Berdasarkan uji kualitatif
ekstrak etanol 70 pada biomasa Spirulina menunjukkan positif terhadap flavonoid dengan intensitas warna jingga yang cukup pekat pada lapisan amil
alkoholnya Gambar 8a.
a b
Gambar 8 Hasil uji kualitatif senyawa flavonoid dan golongannnya Uji golongan flavonoid dapat memberikan informasi tentang keberadaan jenis
golongan flavonoid yang terdapat pada ekstrak kasar biomasa Spirulina secara kualitatif. Ekstrak etil asetat saat ditambahkan pereaksi CH
3
COOPb dan NaOH menghasilkan warna krem dan kuning. Ekstrak tersebut menunjukkan positif
terhadap senyawa golongan flavonoid, yaitu flavon dan flavonol Gambar 8b. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Hartika 2009 bahwa komponen teraktif
yang memiliki kemampuan sebagai antihperglikemik secara in vitro dari buah mahkota dewa matang adalah golongan flavonoid terutama golongan flavonol
dengan inhibisi tertinggi sebesar 41,95.
4.5 Aktivitas antihiperglikemik dari fikosianin Spirulina fusiformis pada