Hiperglikemia dapat menyebabkan gejala-gejala yang diakibatkan oleh hiperosmolaritas darah. Gula darah melebihi normal, sehingga gula ikut
dikeluarkan oleh ginjal. Keadaan dengan adanya glukosa dalam urin disebut glukosuria. Gula yang bersifat menarik cairan ke dalam air kemih, akibatnya
volume air kemih berlebih dan penderita menjadi sering kencing. Keadaan ini disebut poliuria. Kehilangan cairan yang berlebihan melalui urin menyebabkan
terjadinya hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan timbulnya rasa haus sehingga penderita banyak minum atau polidipsia. Akibat adanya gangguan pada
transportasi gula ke sel-sel jaringan, terutama sel-sel otot, sel-sel tersebut akan kekurangan energi. Disamping itu, adanya glukosuria berarti tubuh kehilangan
energi secara percuma. Tubuh kehilangan 4,1 kkal untuk setiap gram glukosa. Penderita akan merasa lemas dan lapar, sehingga banyak makan. Hal ini disebut
polifagia. Konsumsi karbohidrat berlebih akan menutupi kehilangan ini dengan mudah, tetapi sekaligus meningkatkan glukosa darah lebih lanjut dan
meningkatkan glukosuria. Hal ini akan mengakibatkan mobilisasi protein endogen dan cadangan lemak sehingga terjadi penurunan berat badan
Pranadji et al. 1999. Salah satu pendekatan terbaik untuk menurunkan glukosa darah pasca makan
ialah dengan memperlambat absorpsi glukosa melalui penghambatan kerja penghidrolisis karbohidrat seperti α-glukosidase. Usaha menjaga tingkat glukosa
darah menjadi rendah atau normal dapat menurunkan angka penderita komplikasi diabetes melitus Lee et al. 2007.
2.3.2 Pengobatan Diabetes Melitus
Diabetes melitus DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol. Pengendalian DM dapat dilakukan dengan perencanaan
diet, latihan jasmani, penyuluhan atau pendidikan kesehatan, serta pemberian obat hipoglikemik. Obat antidiabetes oral maupun suntikan, khususnya untuk diabetes
tipe 2, karena obat diperlukan jika perencanaan diet dan olahraga jasmani tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Obat hipoglikemik oral dibagi dalam
5 golongan Subroto 2009, antara lain:
1 golongan sulfonilurea, obat ini bekerja dengan cara merangsang sel
β-pulau Langerhans pankreas untuk mensekresikan insulin. Contohnya glibenclamide dan glibonuride;
2 golongan biguanid, mekanisme kerja obat ini adalah mengurangi resistensi
insulin, sehingga glukosa dapat memasuki sel-sel hati, otot, dan organ tubuh lainnya. Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini adalah metformin,
phenformin, dan buformin.
3 golongan thiazolidinedion, mekanisme kerjanya sama dengan derivat
biguanid. Contoh obat golongan ini adalah troglitazone.
4 golongan miglitinida, obat ini bekerja dengan cara merangsang sekresi
insulin dari pankreas segera setelah makan. Contoh obat golongan ini adalah replaginida. Efek samping dari penggunaan obat ini meliputi hipoglikemia
dan kenaikan berat badan.
5 g olongan inhibitor α-glukosidase, mekanisme kerja obat golongan ini
adalah dengan menginhibisi secara reversibel kompetitif terhadap enzim hidrolase α-amilase pankreatik dan enzim-enzim pencernaan di usus halus
seperti isomaltase, sukrase, dan maltase. Enzim-enzim ini berperan pada hidrolisis karbohidrat makanan menjadi glukosa dan monosakarida lainnya.
Obat yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah Acarbose dan Miglitol.
Acarbose merek dagang Precose® dan Glucobay® adalah inhibitor α-glukosidase. Mekanisme kerja inhibitor α-glukosidase adalah dengan
memperlambat pemecahan disakarida, polisakarida, dan karbohidrat kompleks lainnya menjadi monosakarida Sugiwati 2005.
Pembuatan glukosa secara enzimatis dan absorpsi glukosa selanjutnya ditunda, dan dalam kondisi setelaah makan nilai glukosa darah yang tinggi pada
penderita diabetes tipe II, dapat dikurangi dengan IAG. IAG tidak mencegah absorpsi karbohidrat dan gula kompleks, tetapi menunda absorpsinya.
Kelemahannya adalah harus dimakan bersama makanan dan mempunyai efek samping pada pembentukan gas di perut, kembung, diare, dan kram usus
Lee et al. 2007.
2.3.3 Tes Toleransi Glukosa Diagnosis yang digunakan dalam mengidentifikasi penyakit diabetes melitus
dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah. Standardisasi kriteria oleh the National Diabetes Data Group of the USA NDDG dan komite pakar
organisasi kesehatan dunia WHO menghasilkan keseragaman hingga taraf tertentu bagi berbagai penelitian global terhadap kelainan metabolik tersebut.
Kriteria diagnosis yang lebih sensitif ditunjukkan oleh uji toleransi glukosa Gibney et al. 2008.
Tes ini memerlukan puasa 12-18 jam sebelum darah diambil untuk pemeriksaan. Puasa adalah keadaan tanpa suplai makanan kalori selama
minimum 8 jam, tetapi tetap diperbolehkan minum air putih. Jadi, bukan puasa makan dan minum seperti yang biasa dilakukan. Berdasarkan American Diabetes
Association ADA 1998, terdapat dua tes yang dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis terhadap diabetes mellitus yang didasarkan pada pemeriksaan kadar
glukosa plasma vena, yaitu kadar glukosa darah sewaktu tidak puasa ≥200 mgdL; dan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mgdL. Pada tes toleransi
glukosa oral TTGO, kadar glukosa darah yang diperiksa kembali setelah 2 jam Wijayakusuma 2006.
Glukosa pada penderita diabetes menumpuk di dalam darah, terutama pada keadaan setelah makan. Apabila pada penderita diabetes diberikan glukosa secara
oral dengan dosis tertentu 75 g glukosa maka gula darahnya akan meningkat lebih tinggi dari orang normal dan turunnya pun juga lebih lambat. Tes ini
disebut s ebagai “tes toleransi glukosa oral” Pranadji et al. 1999.
Metode TTGO merupakan kriteria diagnosis yang paling sensitif dan menghasilkan keseragaman hingga taraf tertentu bagi berbagai penelitian global
terhadap kelainan metabolik tersebut. Prinsip yang digunakan dalam metode TTGO adalah mengukur kemampuan tubuh untuk menggunakan glukosa. Kadar
glukosa darah ditingkatkan dengan pemberian sukrosa secara oral. Kurva Toleransi Glukosa Oral TGO akan meningkat tajam dan mencapai puncaknya
dalam waktu 60 menit, setelah pemberian sukrosa. Kurva menurun perlahan dan mencapai kadar glukosa darah normal setelah 2-3 jam Gibney et al. 2008.
2.4 Penentuan kadar glukosa darah dengan Glucose Test Strip