Uji Stabilitas Fisik dan Kimia Sediaan Krim Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku (Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.)

(1)

i

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI STABILITAS FISIK DAN KIMIA SEDIAAN KRIM

EKSTRAK ETANOL TUMBUHAN PAKU (Nephrolepis

falcata (Cav.) C. Chr.)

SKRIPSI

PUTRI WULANDARI

1112102000072

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JUNI 2016


(2)

ii

UJI STABILITAS FISIK DAN KIMIA SEDIAAN KRIM

EKSTRAK ETANOL TUMBUHAN PAKU (Nephrolepis

falcata (Cav.) C. Chr.)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

PUTRI WULANDARI

1112102000072

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JUNI 2016


(3)

(4)

(5)

(6)

vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Nama : Putri Wulandari

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Uji Stabilitas Fisik dan Kimia Sediaan Krim Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku (Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.)

Tumbuhan paku spesies Nephrolepis falcata diketahui memiliki aktivitas antioksidan karena memiliki kandungan diantaranya senyawa flavonoid dan fenolat. Senyawa tersebut diketahui dapat mencegah radikal bebas yang menyebabkan penuaan dini. Pada penelitian ini ekstrak etanol Nephrolepis falcata diformulasi menjadi sediaan krim antioksidan dengan variasi konsentrasi emulgator asam stearat yaitu F1 (12%), F2 (13%), dan F3 (14%). Konsentrasi asam stearat yang dapat menghasilkan kestabilan krim belum diketahui, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi asam stearat sebagai emulgator untuk dapat menghasilkan krim yang stabil secara fisik dan kimia. Uji kestabilan fisik dilakukan pada suhu + 250C dan 400C . Penentuan evaluasi stabilitas kimia dilakukan dengan metode peredaman DPPH dengan menghitung persen inhibisinya. Evaluasi karakteristik mutu fisik krim meliputi organoleptik, homogenitas, pH, daya sebar, viskositas, dan uji mekanik (sentrifugasi) pada hari ke-0 dan ke-21. Hasil pengamatan organoleptik menunjukan adanya perubahan warna krim F1 dan F2 pada hari ke-21 penyimpanan suhu 400C, terjadi perubahan warna krim F1 setelah pengujian cycling test, ketiga krim memiliki kestabilan pada penyimpanan suhu ruang dan uji mekanik. Hasil pengukuran pH krim F1, F2, dan F3 menunjukan adanya perubahan namun masih berada dalam rentang pH normal kulit,4,5-8. Pengukuran persen inhibisi krim dilakukan pada penyimpanan hari ke-1 dan hari ke-22, uji statistik t-test meunjukan bahwa krim F1 dan F2 menunjukan adanya penurunan yang bermakna dengan nilai P< 0,05, sedangkan F3 tidak terjadi penurunan bermakna dengan nilai P> 0,05. Hal ini menunjukan sediaan yang memnuhi stabilitas mutu fisik dan kimia krim yaitu F3 dengan menggunakan emulgator asam stearat konsentrasi 14%.

Kata Kunci : Ekstrak Etanol Nephrolepis falcata, krim antioksidan, persen inhibisi, DPPH, asam stearat


(7)

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ABSTRACT

Name : Putri Wulandari

Title : Stability Test of Physical and Chemical Cream Ethanol

Extracts Fern (Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.)

Fern species Nephrolepis falcata have powerful antioxidant activity because it contains flavonoid and fenolat compound. These compounds are known to prevent and inhibit the formation of free radical that cause premature aging. In this research ethanolic extract of Nephrolepis falcata formulated into antioxidant cream have been done by applying variation of stearic acid emulgator. The variation were F1 (12%), F2 (13%), and F3 (14%). The concentration of stearic acid to produce the stability of the cream unknown, the study aims to determine the concentration of stearic acid as an emulsifier to produce a cream which is stable physically and chemically. Physical stability test conducted by keeping those three concentration of creams at two temperature conditions : in + 250C and 400C. Determination of antioxidant activity was done based on DPPH method. evaluation on physical characteristics was done based on organoleptic test, homogenity, pH, dispersive ability, viscosity and mechanical test (centrifugation). Observation was done during 21 days. This research showed their organoleptic cream color of F1 and F2 were change on the 21st day at 400C storage temperature, the color changes of cream F1 after testing the cycling test, the three creams stable at room temperature and mechanical tests. Results of pH measurement cream F1, F2, and F3 show the changes but still in normal pH of the skin, from 4.5 to 8. while DPPH reduce percent of F1, F2 and F3 made on 1st day and 22nd day. the result test statistic of T-test showed that cream F1 and F2 was significant decrease in the value of P <0.05, while F3 does not decrease significantly with P > 0.05. Our result showed that cream F3 using stearic acid emulsifier concentration of 14% was stable in physical and chemical during storage.

Key word : Ethanol extract Nephrolepis falcata, antioxidant creams, percent inhibition, DPPH, stearic acid


(8)

viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Alhamdulillahhirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Uji Stabilitas Fisik dan Kimia Sediaan Krim Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku (Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.)”. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Penulis skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian sampai penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis secara khusus mengucapkan terima kasih banyak kepada :

1. Ibu Nelly Suryani, Ph.D. Apt, dan Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D. Apt, selaku pembimbing yang dengan sabar memberikan bimbingan, ilmu, masukan, dukungan, dan semangat kepada penulis,

2. Dr. Arif Sumantri, M.KM selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Bapak Supandi, M.Si., Apt selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan menerima keluh kesah selama perkuliahan berjalan

5. Kedua orang tua tercinta, mamah dan papah yang senantiasa memberikan kasih sayang dan dukungan baik moril maupun materil, serta doa tanpa henti yang selalu menyertai setiap langkah penulis

6. Orang terdekat Martin Darmawan, Vemy Suci A, Ranu Andika, Fahmi Adam

yang selalu memberikan dukungan dan doa

7. Seluruh keluarga besar yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas dukungannya kepada penulis


(9)

ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 8. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis

9. Teman-teman seperjuangan di laboratorium Khoirun Nisak, Risha Natasha, Annisa F M, Nisa Utami, Nurul Fitri, Fenny Delfiyanti, Siti Windi yang telah memberikan motivasi selama penelitian dan dukungan dari awal hingga akhir penyelesaian skripsi ini

10.Sahabat Cetar; Bella Alkaff, Nursetyowati Rahayu, Rouli Meparia, Mauliana, Pipit Fitriah yang telah memberikan motivasi, dukungan, dan tempat berbagi suka duka.

11.Sahabat Cera Alba (Ami Indil, Endang, Moethia, Zakiyah jeki, Intan, Ichamar, Laila lele, Risha, Icak ikan, ibu Nunud, dan Dian) yang telah menjadi sahabat sehati sejak awal perkuliahan hingga membantu dalam selesainya penelitian ini

12.Sahabat seperbudutan (Feby Fitriani, Chairinaya, Hanny, Elis) yang telah memberikan motivasi dari jauh dan tempat berbagi cerita.

13.Teman-teman Cabe Farmasi 2012 AC atas persaudaraan dan kebersamaan yang telah banyak membantu dan memotivasi penulis baik selama pengerjaan skripsi ini maupun selama di bangku perkuliahan

14.Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyelesaian naskah skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas semua bantuan dan dukungan yang diberikan Akhir kata, penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih belum sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran serta kritik yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi

penulis dan pembaca. Aamiin Ya Rabbal’alamiin.

Jakarta, Juni 2016


(10)

(11)

xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSYARATAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ………..xvii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 2

1.3Tujuan Penelitian ... 3

1.4Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2. 1.Kosmetik ... 4

2. 2.Kulit ... 4

2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit ... 4

2.2.2 Penetrasi Obat Melalui Kulit ... 8

2.2.3 Faktor yang Mmempengaruhi Penetrasi ... 9

2. 3.Krim ... 9

2.3.1 Pengertian Krim ... 9

2.3.2 Tipe Krim ... 10

2.3.3 Komponen Krim ... 10

2.3.3.1 Setil Alkohol ... 10

2.3.3.2 Gliserin ... 11

2.3.3.3 Metil Paraben ... 11

2.3.3.4 Propil Paraben ... 11

2.3.3.5 Trietanolamin ... 11

2.3.3.6 Asam Stearat ... 12

2.3.3.7 Akuadest ... 12

2.3.4 Stabilitas Emulsi ... 12

2.3.4.1 Kriming dan Sedimentasi ... 14

2.3.4.2 Flokulasi ... 14

2.3.4.3 Koalesen ... 14

2. 4.Tumbuhan Paku ... 14

2.4.1 Penyebaran Tumbuhan Paku ... 15

2.4.2 Ciri Umum Tumbuhan Paku ... 15


(12)

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.5.4 Distribusi dan Habitat ... 17

2.5.5 Kandungan Kimia dan Aktivitas Biologi ... 18

2. 6.Antioksidan dan Radikal Bebas ... 18

2. 7.Tekhnik Ekstraksi dan Identifikasi Senyawa ... 20

2.7.1 Tinjauan Ekstraksi ... 20

2.7.1.1 Pengertian Ekstraksi ... 20

2.7.1.2 Metode Ekstraksi ... 21

2.7.1.3 Proses Pembuatan Ekstrak ... 23

2.7.2 Identifikasi Senyawa ... 24

2.7.2.1 Skrining Fitokimia ... 24

2.7.2.2 Uji Kadar Air ... 26

2.7.3 Senyawa Flavonoid Ekstrak ... 27

2. 8.Spektrofotometri UV-Vis ... 27

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 30

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 30

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 30

3.2.1 Alat Penelitian ... 30

3.2.2 Bahan Penelitian ... 30

3.3 Prosedur Penelitian ... 30

3.3.1 Penyiapan Simplisia ... 30

3.3.2 Ekstraksi Tanaman Nephrolepis falcata ... 31

3.3.3 Rancangan Formulasi Krim ... 31

3.3.4 Proses Pembuatan Krim ... 32

3.4 Evaluasi Fisik Sediaan Krim ... 32

3.4.1 Pengamatan Organoleptis Krim... 32

3.4.2 Pengujian Homogenitas Krim ... 32

3.4.3 Pengukuran pH ... 32

3.4.4 Pengukuran Viskositas ... 33

3.4.5 Pengukuran Daya Sebar ... 33

3.5 Pengujian Stabilitas Krim ... 33

3.5.1 Metode cycling test ... 33

3.5.2 Stabilitas pada Suhu 400C ... 34

3.5.3 Stabilitas pada Suhu +250C ... 34

3.5.4 Uji Mekanik (sentrifugasi) ... 34

3.5.5 Uji Perenedeman DPPH Krim ... 34

3.6 Alur Penelitian ... 36

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1 Ekstraksi ... 38

4.2 Pengujian Perendeman DPPH Krim ... 39


(13)

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.4 Hasil Pengamatan ... 43

4.4.1 Hasil Pengamatan Organoleptis ... 43

4.4.2 Hasil Pemeriksaan pH ... 45

4.4.3 Hasil Pengamatan Daya Sebar ... 46

4.4.4 Hasil Pengukuran Sifat Alir ... 47

4.4.5 Hasil Pengujian cycling test ... 48

4.4.6 Hasil Uji Mekanik ... 49

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

5.1 Kesimpulan ... 51

5.2 Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52


(14)

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel Halaman

Tabel 2.1 Tipe Emulsi ... 12

Tabel 2.2 Skrining Fitokimia Ekstrak ... 18

Tabel 2.3 Penapisan Fitokimia Ekstrak Pelarut N-heksan ... 26

Tabel 3.1 Formula Krim Ekstrak Nephrolepis falcata ... 31

Tabel 4.1 Karakteristik Ekstrak Nephrolepis falcata ... 38

Tabel 4.2 Rata-rata Persen Inhibisi Krim ... 40

Tabel 4.3 Hasil Pengamatan Organoleptik Krim ... 43

Tabel 4.4 Hasil Pemeriksaan pH ... 45

Tabel 4.5 Hasil Pengamatan Daya Sebar ... 46

Tabel 4.6 Hasil Pengamatan cycling test... 48


(15)

xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur Kulit Manusia ... 5

Gambar 2.2 Ketidak Stabilan Sediaan Emulsi ... 13

Gambar 2.3 Nephrolepis falcata ... 16

Gambar 2.4 Kerangka Flavonoid ... 27

Gambar 2.5 Spektrofotometri UV-Vis ... 28

Gambar 4.1 Ekstrak Nephrolepis falcata ... 38

Gambar 4.2 Mekanisme DPPH Akseptor ... 39

Gambar 4.3 Grafik Persen Peredaman ... 42


(16)

xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 1. Perhitungan Bahan Krim ... 59

Lampiran 2. Skema Pengujian Persen Inhibisi Krim ... 60

Lampiran 3. Gambar Hasil Pengamatan ... 61

Lampiran 4. Nilai Viskositas Krim ... 65

Lampiran 5. Perhitungan Persen Inhibisi Krim ... 67

Lampiran 6. COA Asam Stearat ... 71

Lampiran 7. COA Setil Alkohol ... 72

Lampiran 8. COA Trietanolamin ... 73

Lampiran 9. COA Gliserin ... 74

Lampiran 10. COA methanol for analysys ... 75

Lampiran 11 .Hasil Identifikasi Tanaman ... 76


(17)

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nephrolepis falcata merupakan salah satu dari jenis tanaman paku yang mudah ditemukan pada daerah beriklim tropis atau negara yang memiliki hutan tropis seperti Indonesia. Selain digunakan sebagai tanaman hias Nephrolepis falcata diketahui memiliki aktivitas antioksidan dan antiinflamasi (Komala, 2015). Berdasarkan studi fitokimia tumbuhan paku jenis Nephrolepis falcata memiliki aktivitas farmakologi dengan kandungan senyawa diantaranya golongan flavonoid, terpenoid, senyawa fenol, dan saponin (Komala, 2015).

Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa fenolik yang terdiri atas gugus hidroksil (R-O-H) dan gugus karbonil (R-CO-R’). Flavonoid berperan sebagai antioksidan dengan cara mendonasikan atom hidrogennya (Redha, 2010). Penelitian in vitro yang sebelumnya telah dilakukan menunjukan bahwa esktrak etanol Nephrolepis falcata memiliki potensi antioksidan dengan nilai IC50 yang dimiliki sebesar 25,8+3,5 ppm dan nilai indeks

aktivitas antioksidan (AAI) 3,8+0,3 (Komala, 2015) sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi sediaan antioksidan, namun demikian, belum ditemukan pemanfaatan ekstrak Nephrolepis falcata dalam sediaan semi solid seperti krim, gel, maupun salep.

Krim merupakan bentuk sediaan setengah padat, berupa emulsi kental mengandung tidak kurang dari 60% air, dimaksudkan untuk pemakaian luar. Terdapat dua macam sistem dispersi sediaan krim, fase air yang terdispersi dalam fase minyak (A/M) dan fase minyak yang terdispersi dalam fase air (M/A) (Lachman et al., 1994). Sediaan krim dipilih karena memiliki beberapa keuntungan diantaranya; mudah diaplikasikan karena bentuknya yang semi


(18)

padat, mampu melekat pada permukaan tempat pemakaian dalam waktu cukup lama, lebih nyaman digunakan pada wajah, tidak lengket, serta lebih mudah dibersihkan dengan air bila dibanding sediaan gel, salep, atau pasta (Sharon, et al., 2013). Sediaan krim dengan tipe emulsi minyak dalam air (m/a) lebih disukai dibanding tipe emulsi air dalam minyak (a/m), karena lebih tidak terasa lengket atau berlemak, mudah dicuci, tidak meninggalkan bekas pada kulit atau pakaian dan menimbulkan rasa nyaman dan dingin (Lachman et al., 1994).

Berdasarkan penelusuran literatur (Allen, 2009), formulasi sediaan krim dengan penggunaan emulgator asam stearat dan TEA dapat berpengaruh terhadap kekentalan dan pH sediaan. Pada jurnal dari sumber berbeda, disebutkan perlakuan variasi emulgator asam stearat : TEA dapat mempengaruhi kekerasan krim serta mempengaruhi stabilitas sediaan krim secara fisik yang meliputi organoleptik, pH, viskositas, dan secara kimia (Sharon et al., 2013).

Syarat yang harus dipenuhi sediaan krim yang stabil adalah stabil dalam batas yang masih diterima selama periode waktu penyimpanan, baik secara fisik dan komponen kimia. Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk membuat sediaan krim antioksidan ekstrak etanol tanaman paku Nephrolepis falcata (Cav.) C.Chr tipe emulsi (m/a) yang memenuhi syarat kestabilan fisik krim dan secara komponen kimia dengan membandingkan konsentrasi emulgator asam stearat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah ekstrak etanol tanaman paku Nephrolepis falcata dapat diformulasikan menjadi sediaan krim yang stabil selama proses penyimpanan?

2. Berapa konsentrasi emulgator asam stearat yang dapat menghasilkan sediaan krim Nephrolepis falcata yang stabil secara kimia?

3. Berapa konsentrasi emulgator asam stearat yang dapat menghasilkan sediaan krim Nephrolepis falcata yang stabil secara fisik?


(19)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Memformulasi sediaan krim yang stabil dari ekstrak tanaman paku Nephrolepis falcata selama proses penyimpanan

2. Mencari konsentrasi emulgator asam stearat yang stabil terhadap stabilitas kimia sediaan krim ekstrak etanol Nephrolepis falcata selama periode penyimpanan

3. Mencari konsentrasi emulgator asam stearat yang stabil terhadap stabilitas fisik sediaan krim ekstrak etanol Nephrolepis falcata selama periode penyimpanan

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pemanfaatan ekstrak tanaman paku Nephrolepis falcata dalam sediaan krim serta pengaruh perbedaan konsentrasi emulgator asam stearat terhadap stabilitas sediaan krim selama penyimpanan.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kosmetik

Kosmetika adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan, dilekatkan, dituangkan, dipercikkan atau disemprotkan pada, dimasukkan dalam, dipergunakan pada badan atau bagian badan manusia dengan maksud untuk membersihkan, memelihara, menambah daya tarik atau mengubah rupa, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit.. (Depkes RI, Undang-undang tentang Kosmetika dan Alat Kesehatan, 1976). Tujuan pemakaian kosmetik dimaksudkan untuk melindungi tubuh dari lingkungan luar, panas, sinar matahari, maupun kekeringan. Akan tetapi semakin berkembangnya pengetahuan dan tekhnologi pemakaian kosmetik saat ini dapat digunakan juga untuk meningkatkan daya tarik seperti pemakaian make up, meningkatkan kepercayaan diri, serta melindungi kulit dari sinar UV, polutan dan penuaan dini (Tranggono & Latifah, 2007)

2.2 Kulit

2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit

Kulit merupakan organ terbesar tubuh yang membentuk sekitar 15% berat badan orang dewasa dan melapisi semua bagian tubuh. Kulit memiliki beberapa fugsi vital diantaranya sebagai penghalang fisik dari lingkungan luar, pencegahan kelebihan kehilangan air dari tubuh dan berperan dalam termoregulasi, memberikan perlindungan terhadap mikro-organisme, radiasi ultraviolet, serta paparan agen beracun. Kulit merupakan organ dinamis karena sifatnya yang dapat mengalami perubahan sel secara konstan, dimana sebagai sel dari lapisan luar kulit akan digantikan secara kontinu oleh sel-sel


(21)

(22)

sintetis keratin dan kemudian mengalami fase degradatif (Chu, 2008).

 Stratum basale

Merupakan lapisan terdalam epidermis yang terletak berdekatan dengan lapisan dermis. Terdapat keratinosit berbentuk kolom pada lapisan ini, dimana keratinosit membedakan antara stratum basal dengan bagian bawahnya. Hal lain yang membedakan lapisan basal adalah sel yang ber bentuk oval atau memanjang terdapat inti, warnanya yang gelap serta adanya pigmen warna atau melanin yang memproduksi melanosit. Melanin akan terakumulasi dalam melanosom untuk dihantarkan ke keratinosit. Pigmen melanin berfungsi memberikan perlindungan terhadap paparan radiasi ultraviolet (UV); paparan kronis sinar akan meningkatkan rasio melanosit ke keratinosit, sehingga lebih banyak ditemukan di kulit wajah dibandingkan dengan punggung bawah dan lebih banyak di lengan luar dibandingkan dengan lengan bagian dalam (Chu, 2008).

 Stratum spinosum

Seperti pada lapisan basal, sel, sel-sel pada lapisan ini tumbuh membentuk sel baru dengan bergerak menuju lapisan luar kulit dengan membentuk spinosum stratum dan dihantarkan ke ruang antara, untuk menghubungkan antar sel terdapat jembatan desmosom atau penghubung desmosome sebagai penghubung ruang-ruang antar sel. Lapisan ini memiliki fungsi sebagai penahan gesekan dari luar (Chu, 2008). Pada lapisan ini terdapat Sel Langerhans yang merupakan makrofag turunan dari sumsum tulang, berfungsi sebagai perangsang sel Limfosit T, mengikat,


(23)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengolah, dan merepresentasikan antigen kepada sel Limfosit T. Dengan demikian, sel Langerhans berperan penting dalam imunologi kulit.

 Stratum granulosum

Merupakan lapisan paling dangkal dari epidermis. Pada lapisan ini terdapat lapisan granular atau stratum granulosum dengan sel berbentuk gepeng, sitoplasmanya berisikan granul keratohialin. Sel-sel ini bertanggung jawab dalam sintesis dan modifikasi protein yang terlibat dalam keratinisasi (Chu, 2008). Ketebalan lapisan granular bervariasi sesuai dengan lapisan sel tanduk pada bagian atasnya.

 Stratum korneum

Lapisan ini berfungsi emberikan perlindungan mekanik untuk epidermis sebagai penghalang untuk mencegah kehilangan air dan invasi dari zat asing. tanpa inti dengan sitoplasma yang dipenuhi keratin (Chu, 2008).

2. Lapisan Dermis

Dermis terdiri dari fibroblas, yang memproduksi kolagen, elastin dan proteoglikan structural, mengakomodasi stimulus saraf dan jaringan pembuluh darah, makrofag,serta sel mast. Lapisan dermis berfungsi dalam melindungi tubuh dari cedera mekanis, mengikat air, membantu dalam regulasi termal, dan termasuk reseptor dalam rangsang sensorik. Kolagen, elastin dan serat merupakan komponen utama dermis. Berfungsi dalam memberikan kekuatan dan fleksibilitas pada kulit. Usia serta radiasi sinar UV merupakan faktor utama penyebab berkurangnya produksi kolagen dan elastin sehingga menyebabkan menurunnya fleksibilitas, pengembangan keriput dan kendur kulit (Tortora dan Grabowski 2000).


(24)

3. Lapisan Subkutan

Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar dan lemak. Pada embrio lapisan subkutan mulai berkembang pada bulan ke 5, pada lobulus ini sel-sel lemak dan kolagen dipisahkan oleh septa fibrosa dari pembuluh darah. Jaringan subkutan berfungsi dalam penyediaan energi (James et al., 2006).

2.2.2 Penetrasi Obat Melalui Kulit

Proses penetrasi melalui stratum korneum dapat terjadi dengan adanya proses difusi melalui dua mekanisme:

A. Absorbsi transepidermal

Merupakan jalur difusi melalui stratum korneum yang dapat terjadi melalui dua jalur yakni jalur transeluler yang berarti proses difusi terjadi melalui protein dalam sel serta melewati daerah kaya akan lipid atau bersifat lipofil, dan jalur paraseluler yang berarti proses difusi berlangsung melalui ruang antar sel. Penetrasi berlangsung melalui dua tahap: pertama pelepasan obat dari pembawa ke stratum korneum, tergantung koefisien partisi obat dalam pembawa serta stratum korneum, kedua difusi melalui epidermis dan dermis dibantu oleh aliran pembuluh darah dermis (Banker & Rhode 2002). B. Absorbsi transappendageal

Merupakan jalur masuknya obat melalui folikel rambut dan kelenjar keringat melalui pori-pori, sehingga memungkinkan obat berpenetrasi. Penetrasi obat melalui jalur transepidermal lebih baik dari jalur ini, dikarenakan luas permukaan jalur transappendageal lebih kecil (Banker & Rhode 2002).


(25)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penetrasi

 Usia - penetrasi lebih baik pada bayi baru lahir dan anak-anak dibandingkan pada orang dewasa.

 Kondisi kulit - penetrasi kulit lebih baik pada permukaan kulit yang terluka atau terkelupas.

 Hidrasi kulit - penetrasi lebih baik pada kulit terhidrasi dari

pada kulit kering. Hidrasi dapat meningkatkan

permeabilitas stratum korneum sebab air merupakan peningkat penetrasi yang efektif.

 Jenis pembawa - pembawa pada sediaan topikal dapat mempengaruhi penetrasi dan penyerapan obat pada permukaan kulit. Hal ini tergantung pada jenis pembawa yang digunakan dan kondisi kulit.

 Hiperemia - vasodilatasi pembuluh darah dapat meningkat penetrasi lokal atau sistemik (Banker & Rhode 2002).

2.3 Krim

2.3.1 Pengertian Krim

Krim merupakan suatu bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai (FI Edisi IV). Mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar tubuh (FI Edisi III). Krim merupakan bentuk emulsi dengan konsistensi semisolida sehingga mempunyai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan sediaan likuida. Pada umumnya sediaan krim dibagi menjadi dua tipe emulsi yaitu tipe minyak dalam air (O/W) terdiri dari tetes-tetes kecil minyak (fase internal) yang terdispersi dalam air (fase eksternal), dan sebaliknya pada krim air dalam minyak (W/O) (Huczko, 1999). Krim dengan basis minyak dalam air memiliki sifat yang lebih nyaman dan cenderung disukai oleh masyarakat, karena memberikan


(26)

konsistensi yang berminyak dan cenderung lengket, akan tetapi banyak bahan aktif yang bersifat hidrofobik yang pelepasannya lebih mudah, dan meningkatkan konsentrasi bahan larut air jika menggunakan basis jenis ini . Krim tipe air dalam minyak sering digunakan untuk memberikan efek emolien pada kulit, digunakan sebagai ointment dan lebih mudah menyebar saat dioleskan (Nayank, 2004).

2.3.2 Tipe Krim

Sediaan krim dapat dibuat dua tipe emulsi yakni fase minyak yang terdispersi dalam air (m/a) dan fase air yang terdispersi dalam minyak (a/m). Sediaan krim tipe minyak dalam air (m/a) megandung fase minyak yang terdispersi dalam fase air yang bertindak sebagai fase kontinu, digunakan sebagai pembersih dan pelembab kulit, meninggalkan lapisan berminyak atau film pada kulit. Pada krim tipe (m/a) fase kontinu akan menguap dan meningkatkan konsentrasi obat larut air yang terikat dalam film sehingga meningkatkan konsentrasi obat di stratum korneum, krim tipe ini bersifat non-oklusif karena tidak mendeposit film terus menerus namun dapat mendeposit lipid dan bahan pelembab lainnya pada stratum korneum,. Pada sediaan krim tipe (a/m) dimana fase air terdispersi dalam fase minyak sebagai fase kontinu digunakan sebagai ointment atau salep karena kandungan mineral oil yang besar sehingga dapat digunaan untuk kulit yang meradang (Nayank, 2004).

2.3.3 Komponen Krim 2.3.3.1 Setil alkohol

Dalam krim setil alcohol digunakan karena mempunyai sifat

pengemulsi. Hal tersebut dapat meningkatkan stabilitas, memperbaiki tekstur, dan juga meningkatkan konsistensin sediaan krim. Sifat emolien dimaksudkan karena penyerapan dan retensi setil allkohol pada epidermis yang dapat meminyaki dan melembutkan kulit. Konsentrasi yang digunakan untuk emollient yaitu 2 - 10 % sedangkan sebagai pengemulsi konsentrasi yang


(27)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta digunakan yaitu 2 – 5 %. Setil alkohol sangat mudah larut dalam etanol 95% dan eter. Kelarutan dapat dipercepat jika suhu dinaikan (Wade dan Weller, 1994).

2.3.3.2Gliserin

Gliserin banyak digunakan dalam formulasi farmasi dan topical sebagai humektan dan emolien. Gliserin larut dalam pelarut air, methanol, etanol, tidak larut dalam benzene dan kloroform. Konsentrasi yang digunakan sebagai humektan 1 – 30 %.

2.3.3.3Metil Paraben

Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet antimikroba dalam

kosmetik, produk makanan, dan formulasi farmasi. Metil paraben dapat digunakan baik sendiri, dalam kombinasi dengan paraben lain, atau dengan agen antimikroba lain. Pada produk kosmetik, metil adalah yang paling sering digunakan dalam pengawet antimikroba. Mempunyai aktivitas mikroba antara pH 4 – 8. Konsentrasi yang digunakan adalah 0,02 – 0,3 %.

2.3.3.4Propil Paraben

Propil paraben digunakan juga sebagai antimikroba dalam produkn farmasi. Mempunyai aktivitas antimikroba pada rentang pH 4 – 8. Konsentrasi yang digunakan sebagai antimikroba adalah 0,01 – 0,6 %.

2.3.3.5Trietanolamin

Trietanolamin banyak digunakan dalam formulasi sediaan topikal, terutama dalam pembentukan emulsi. Trietanolamin terbentuk sebagai cairan kental yang jernih, tidak berwarna hingga kuning pucat, dan berbau sedikit amoniak. Trietanolamin merupakan emulgator yang berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan dua fase sehingga bersifat sebagai surfaktan, juga untuk menstabilkan tingkat pH. Larut dalam 95% etanol, methanol, air (Rowe, et al., 2009).


(28)

2.3.3.6Asam Stearat

Berbentuk padatan Kristal berwarna putih atau sedikit kuning, mengkilat, praktis tidak larut air, berfungsi sebagai emulsifying agent (Rowe, et al., 2009).

2.3.3.7Aquadest

Aquadest merupakan air murni yang diperoleh dengan penyulingan. Perolehan air murni yaitu dengan cara penyulingan, pertukaran ion, osmosis terbalik atau cair lain yang sesuai. Air murni bebas dari kotoran dan mikroba dibanding dengan air biasa. Air murni banyak digunakan dalam bentuk-bentuk sediaan yang mengandung air, kecuali dimaksud untuk pemberian parenteral (Ansel, 1989).

2.3.4 Stabilitas Emulsi

Emulsi terdiri atas dua cairan berupa tetesan kecil atau droplet yang tidak bercampur. Emulsi diklasifikasikan menjadi dua jenis; emulsi minyak dalam air (O/W) dimana tetesan minyak terdispersi dalam media air, emulsi air dalam minyak (W/O) dimana tetesan air terdispersi dalam media minyak (Dalgleish, 2006). Berdasarkan ukuran droplet, emulsi dibedakan menjadi 3 jenis:

Tabel 2.1 Tipe Emulsi

Jenis Emulsi Ukuran Droplet Makroemulsi tipe O/W dan W/O 0.1–5 m

Nanoemulsi 20–100nm

Mikroemulsi 5–50nm


(29)

(30)

2.3.4.1 Kriming dan Sedimentasi

Kriming dan sedimentasi merupakan perubahan ketidakstabilan emulsi yang dapat terlihat secara kasat mata, ditandai dengan warna keputihan yang berkumpul di lapisan atas emulsi ataupun terdapat dilapisan bawah yang disebut sedimentasi (Pichot, 2010). Proses ini terjadi akbit gaya gravitasi dan sentrifugal, gradient konsentrasi akan menumpuk pada lapisan atas emulsi karena droplet bergerak naik jika densitasnya lebih rendah dari medium pendispersi. Gradient konsentrasi akan menumpuk bergerak ke lapisan bawah sediaan jika densitas droplet lebih besar dibanding medium (Wiley, 2013).

2.3.4.2 Flokulasi

Metode termudah untuk mengamati flokulasi droplet dengan menggunakan mikroskop. Flokulasi adalah efek antagonis dalam stabilitas emulsi. Proses flokulasi terbentuk akibat gaya tarik vander walls, menyebabkan agregasi droplet tanpa perubahan ukuran droplet. Pembentukan droplet flokulasi mempengaruhi laju kriming sediaan. Dalam emulsi encer, interaksi antar droplet hanya sedikit atau tidak terjadi sama sekali sehingga cenderung meningkatkan laju kriming karena dentitas media yang lebih kecil dibanding droplet menyebabkan droplet berkumpul di lapisan atas. Adanya flokulasi dapat meningkatkan viskositas sediaan emulsi (Pichot, 2010).

2.3.4.3 Koalesen

Koalesen merupakan bergabungnya dua droplet atau lebih membentuk satu kesatuan menjadi lebih besar, sehingga terbentuk lapisan minyak dibagian atas emulsi. Hal tersebut terjadi akibat adanya penipisan atau pecahnya lapisan film antar droplet sehingga terbentuk kesatuan antar droplet (Wiley, 2013).

2.4 Tumbuhan Paku

Tumbuhan paku memiliki keaneka ragaman tinggi dan merupakan vegetasi yang lebih mudah ditemui di daerah dataran tinggi. Secara ekologis


(31)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tumbuhan paku memiliki fungsi sebagai penyeimbang ekosistem karena dapat mencegah erosi, pengaturan tata air, juga membantu dalam proses pelapukan serasah hutan (Arini, 2009) . dalam kegunaannya terhadap manusia tumbuhan paku dapat dimanfaatkan menjadi sayur-sayuran, kerajinan tangan, tanaman hias, serta obat-obatan tradisional (Rismunandar dan Ekowati, 1991). Berbeda dengan lumut, tumbuhan paku (Pteridophyta) memiliki ukuran lebih besar dengan panjang daun mencapai 3 m dan terdapat jaringan pembuluh berupa xilem dan floem. Pada sporofit dewasa tumbuhan ini telah memiliki akar, batang, dan daun sejati (Hartini, 2006).

2.4.1 Penyebaran Tumbuhan Paku

Tumbuhan paku dapat tumbuh pada daerah dataran tinggi maupun rendah, lebih banyak ditemukan pada dataran tinggi dan tempat lembab, ada pula yang bersifat epifit. Pola penyebaran tumbuhan paku umumnya tergantung pada faktor lingkungan dan keistimewaan biologis yang terdapat pada setiap jenis tumbuhan ini. (Sastrapradja, 1979 dalam Haryadi, 2000).

2.4.2 Ciri Umum Tumbuhan Paku

Umunya berupa kormus karena memiliki akar, batang, dan daun sejati. Berkembang biak dengan spora. Akar tumbuhan paku berfungsi sebagai penahan tumbuhan di dalam tanah, menyerap air dan mineral dari dalam tanah. Pada bawah permukaan daun dewasa sering dijumapi bitnik hitam yang disebut sorus, dibagian dalamnya terdapat kumpulan spora yang dilindungi suatu selaput disebut indusium. Bentuk indusium berbeda-beda pada setiap jenisnya, sehingga dapat membedakan antara satu jenis tumbuhan paku dengan tumbuhan paku jenis lainnya (Hartini,2006).


(32)

(33)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  Fishtail swordfern

 Aspidium biserratum var. furcans  Aspidium gibbosum

 Nephrolepis davallioides var. furcans  Nephrolepis biserratavar. furcans

 Tectaria falcata

2.5.3 Deskripsi

Nephrolepis falcata memiliki stolon yang menyebar dengan ketebalan 1-1,5 mm. Memiliki cabang dengan sudut sempit. Pada paku dengan spesies ini jarang ditemukan sisik yang terdapat pada stolon. Panjang daun + 65-200 cm, lebar + 7-10 cm. Pinnae pada bagian tengahnya melengkung sampai berbentuk bulan sabit. Sisik yang terdapat pada lamina berbeda-beda, dapat tersebar pada seluruh pemukaan daun, ada pula yang hanya tersebar pada titik tertentu. Sorus atau kantung spora berbetuk bulat menyerupai bitnik hitam, marginal membentuk 19-29 pasang pinnae yang berfungsi dalam fertilisasi. Memiliki indusium berbetuk ginjal (Hovenkamp & Miyamoto 2005).

2.5.4 Distribusi dan Habitat Nephrolepis falcata

Tumbuhan paku spesies Nephrolepis falcata dilaporkan tersebar dari daerah dataran rendah sampai dataran tinggi, dengan ketinggian 300-2500 m. mudah ditemui pada daerah lembab, dibebatuan, ada pula yang menempel di pohon (Hovenkamp dan Miyamoto, 2005). Tumbuhan paku ini memiliki penyebaran yang relative cepat. Penyebarannya dapat ditukan di hutan tropis Amerika terutama Florida dan Hawai, Filipina, tersebar di wilayah Asia, juga di daerah perairan seperti Australia dan Papua nugini (Wunderlin dan Hansen, 2000; Wilson, 2002).


(34)

2.5.5 Kandungan Kimia dan Aktivitas Biologi

Telah dilakukan penelitian sebelumnya yang mempublikasikan kandungan kimia dan aktivitas biologi Nephrolepis falcata. Hasil uji aktivitas tumbuhan paku menunjukan, Nephrolepis falcata memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan antiinflamasi, dengan kandungan kimia antara lain senyawa fenolat dan flavonoid (Komala, 2015).

Table 2.2 Skrining Fitokimia Ekstrak Nephrolepis falcata

No Kandungan Kimia Nephrolepis falcata

MeOH EtOAc

1 Alkaloid - -

2 Flavonoid + +

3 Triterpenoid - +

4 Steroid - -

5 Fenol + -

6 Saponin + -

(Komala, 2015)

2.6 Antioksidan dan Radikal Bebas

Antioksidan merupakan suatu zat yang berperan dalam perlindungan terhadap sel-sel tubuh dari kerusakan yang diakibatkan oleh molekul tidak stabil yakni radikal bebas dengan cara berinteraksi dan menstabilkan radikal bebas sehingga mencegah terjadinya kerusakan sel. Antioksidan adalah molekul yang dapat mencegah ataupun memperlambat oksidasi molekul lain. Oksigen merupakan suatu atom sangat reaktif yang berpotensi merusak molekul atau disebut radikal bebas. Radikal bebas mampu menyerang sel-sel tubuh normal, menyebabkan sel berubah struktur maupun fungsinya dan merupakan faktor utama penyebab penuaan, dan timbulnya penyakit degeneratif seperti kanker (Sies, 1997).


(35)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Radikal bebas merupakan molekul bermuatan berfragmen, yang memiliki satu atau lebih elektron bebas pada orbit terluarnya dan cenderung mencari elektron dari zat lain untuk dapat berikatan dan membentuk reaksi berantai (Valko et al., 2007). Spesies oksigen reaktif (ROS) adalah istilah yang meliputi semua molekul mengandung oksigen yang bersifat reaktif, termasuk molekul, termasuk radikal bebas. (Menurut Mark Percival dalam clinical nutrition insights, Antioxidant) terdapat beberapa jenis ROS, termasuk radikal hidroksil, anion radikal superoksid , hidrogen peroksida, singlet oksigen, radikal nitrat oksida, radikal hipoklorit, dan berbagai lipid peroksida. Semua ROS tersebut dapat bereaksi dengan membran lipid, asam nukleat, protein dan enzim, serta molekul kecil lainnya, sehingga mengakibatkan kerusakan sel. Berdasarkan mekanismenya, reaksi rantai melibatkan radikal bebas dibagi dua tahapan yakni inisiasi dan propagasi. Menurut Gordon (1990), antioksidan fenol memiliki aktivitas yang dapat menghentikan atau menghambat tahapan inisiasi dengan cara bereaksi dengan radikal asam lemak atau menghambat tahapan propagasi dengan cara bereaksi dengan radikal peroksi atau radikal alkoksi, dengan reaksi berikut :

Tahapan Reaksi Inisiasi dan Propagasi:

Inisiasi : AH + R* A* + RH merupakan tahap awal pembentukan radikal bebas.

Propagasi : AH + ROO* A* + ROOH merupakan pemanjangan rantai

radikal bebas.

AH + RO* A* +ROH

Radikal bebas antioksidan kemudian akan menginterferensi reaksi tahapan propagasi dengan membentuk komponen antioksidan peroksida sebagai berikut :


(36)

A* + ROO ROA (non radikal)

(Menurut Hamid et al dalam jurnalnya yang berjudul Antioxidants: Its medicinal and pharmacological applications) Klasifikasi antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya dibedakan menjadi dua:

 Antioksidan primer (antioksidan alami)

Merupakan antioksidan yang memiliki gugus fenolik pada umunya, meliputi mineral antioksidan, vitamin antioksidan, dan senyawa fitokimia. Senyawa fitokimia merupakan senyawa fenolik dan bukan termasuk dalam jenis mineral ataupun vitamin yang banyak terdapat pada tumbuhan contohnya flavonoid, katekin, karotenoid, dan lycopene.

 Antioksidan sekunder (antioksidan buatan)

Merupakan senyawa fenolik yang mampu menghambat atau

menghentikan reaksi rantai radikal bebas. yang termasuk kedalam jenis ini adalah Butylated hydroxyl anisole (BHA), Butylated hydroxyrotoluene (BHT), Propyl gallate (PG) dan metal chelating agent (EDTA).

(Hurrell, 2003)

2.7 Tekhnik Ekstraksi dan Identifikasi Senyawa 2.7.1 Tinjauan Ekstraksi

2.7.1.1 Pengertian Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan bahan dari campurannya

yang dimaksudkan untuk menarik senyawa tertentu dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan metode yang berbeda-beda sesuai dengan sifat dan tujuan dari ekstraksi.(Mukhriani, 2014). Proses ekstraksi pada awalnya terjadi gumpalan ekstrak dalam pelarut. Terjadi pengendapan masa pada bidang antar muka secara difusi yang disebabkan adanya kontak antar muka antara bahan dengan pelarut. Pelarut menembus kapiler dalam suatu bahan padat dan melarutkan masa dengan konsentrasi di


(37)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bagian dalam bahan ekstraksi lebih tinggi. Serta dengan cara difusi akan terjadi suatu kesetimbangan konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi senyawa dalam bahan (Bernasconi, et al., 1995).

2.7.1.2 Metode Ekstraksi

Beberapa macam metode ekstraksi:

A. Cara Dingin

1. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengdukan pada temperature ruangan (kamar). Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat oleh pelarut, dengan prinsip meode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Remaserasi adalah pengulangan dalam penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat, dan seterusnya (Depkes RI, 1995). Metode ini dilakukan dengan memasukan simplisia dan pelarut yang sesuai kedalam wadah gelap bersifat inert dan tertutup rapat. Selama proses maserasi atau perendaman dilakukan pengocokan berulang ulang, upaya ini menjamin keseimbangan konsentrasi senyawa bahan ekstraksi dan pelarut cepat tercapai (Mukhriani, 2014).

2. Perkolasi

Perkolasi adalah metode ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruang. Prinsip perkolasi adalah menempatkan simplisia pada bejana berbentuk silinder, yang pada bagian bawahnya diberi sekat berpori. Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) (Depkes RI, 1995).


(38)

B. Cara Panas 1. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperature didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relative konstan dengan adanya pendinginan balik (Depkes RI, 1995).

2. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan dengan alat khusus sampai terjadi ekstraksi kontinu, dengan jumlah pelarut yang relative konstan dengan adanya pendinginan balik (Depkes RI, 1995). Keuntungan metode ini adalah proses ekstraksi yang kontinu, sampel terekstraksi dari pelarut murni hasil kondensasi, sehingga tidak membutuhkan banyak pelarut dan waktu pengerjaan relatif singkat. Kerugian metode ini adalah dapat senyawa termolabil dapat terdegradasi, karena ekstrak yang diperoleh terus-menerus berada pada titik didih (Mukhriani, 2014).

3. Digesti

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperature yang lebih tinggi dari temperature kamar, yaitu secara umum dilakukan pada suhu 40-500C (Depkes RI, 1995).

4. Infus

Infus adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperature penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 900C) selama 15 menit (Depkes RI, 1995).

5. Dekok

Dekok adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur terukur 900C selama 30 menit (Depkes RI, 1995).


(39)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.7.1.3Proses Pembuatan Ekstrak

Pembuatan ekstrak melalui tahapan-tahapan berikut:

a. Pembasahan

Pembasahan serbuk dilakukan pada tahap penyarian, dimaksudkan agar cairan penyari dapat memasuki pori-pori dalam simplisia sehingga mempermudah tahap penyarian berikutnya (Depkes RI, 2000).

b. Penyari/Pelarut

Cairan penyari yang digunakan dalam pembuatan ekstrak adalah penyari yang baik untuk menarik senyawa yang terkandung dalam bahan. Faktor utama dalam pemilihan cairan penyari adalah selektifitas, ekonomis, kemudahan bekerja, ramah lingkungan, dan aman. Dalam keamanan untuk manusia atau hewan uji, cairan pelarut yang digunakan harus memenuhi syarat kefarmasian (pharmaceutical grade). Pelarut yang aman dalam penggunaannya antara lain air, alkohol (etanol) atau campuran keduanya (air dan alkohol) (Depkes RI, 1995; Depkes RI, 2000).

c. Pemisahan dan Pemurnian

Tujuan dari pemisahan adalah untuk memisahkan (menghilangkan) senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa mempengaruhi kandungan senyawa yang dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih murni. Proses-proses pada tahapan ini adalah pengendapan, pemisahan dua cairan tak bercampur, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi, serta proses absorpsi dan penukaran ion (Depkes RI, 2000).

d. Pemekatan/Penguapan

Pemekatan berarti peningkatan jumlah partikel solut (senyawa terlarut), dengan cara penguapan pelarut sampai ekstrak menjadi kental/pekat (Depkes RI, 2000).


(40)

2.7.2 Identifikasi Senyawa 2.7.2.1 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia dilakukan untuk menentukan metabolit sekunder yang terkandung dalam suatu tanaman. Telah dilakukan identifikasi parameter standar ekstrak Nephrolepis falcata pada penelitian sebelumnya. Metabolit yang diuji keberadaannya yaitu; alkaloid, flavonoid, saponin, fenol, steroid, terpenoid, asam lemak, kumarin dan tanin.

1.Uji Alkaloid

Ekstrak dilarutkan dalam HCl encer kemudian disaring.

Tes Mayer: filtrat ditambahkan reagen mayer ( potassium Mercuric Iodide ). Terjadinya endapan berwarna kuning mengindikasikan adanya senyawa alkaloid (Tiwari, et al., 2011)

Tes Dragendorf: filtrat ditambahkan reagen dragendorf ( Solution of Potassium Bismuth Iodide ). Terjadinya endapan berwarna merah mengindikasikan adanya senyawa alkaloid (Tiwari, et al., 2011).

2.Uji Flavonoid

Sejumlah ekstrak dilarutkan dalam 5 mL air, didihkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat ditambahkan serbuk Mg secukupnya, 1 mL asam klorida pekat dan 2 mL etanol. Dikocok kuat dan dibiarkan terpisah. Terbentuk warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan etanol, mengindikasikan adanya senyawa flavonoid (Tiwari, et al., 2011).

3.Uji Saponin

Tes busa: ekstrak dilarutkan dalam 20 mL aquades, kemudian larutan dikocok dalam labu ukur selama 15 menit. Terbentuknya lapisan busa setinggi 1 cm mengindikasikan adanya senyawa saponin (Tiwari, et al., 2011).


(41)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4.Uji Steroid dan Terpenoid

Tes Salkowski: ekstrak dilarutkan dalam kloroform dan disaring. Kemudian ditambahkan beberapa tetes asam sulfat dan dikocok. Terbentuknya warna kuning emas mengindikasikan adanya senyawa triterpen.

Tes Lieberman Buchard: ekstrak dilarutkan dalam kloroform lalu disaring, ditambahkan beberapa tetes asam asetat anhidrat, kemudian dipanaskan dan didinginkan. Ditambahkan beberapa tetes asam sulfat. Terbentuknya cincin coklat mengindikasikan adanya senyawa phytosterol (Tiwari, et al., 2011).

5.Uji Fenol

Ekstrak ditambahkan beberapa tetes larutan FeCl3. Terbentuknya warna

hitam kebiruan mengindikasikan adanya senyawa fenol (Tiwari, et al., 2011).

6.Uji Tanin

Tes Gelatin: ke dalam sejumlah ekstrak, ditambahkan larutan gelatin yang

mengandung natrium hidroksida. Terbentuknya endapan putih

mengindikasikan adanya senyawa tannin (Tiwari, et al., 2011).

7.Uji Kumarin

Sejumlah 0,5 gram ekstrak ditambahkan 2,5 mL kloroform kemudian dipanaskan selama 10 menit, selanjutnya didinginkan dan disaring. Filtrat diuapkan kemudian ditambahkan 10 mL air panas lalu didinginkan. Tambahkan 0,5 mL ammonia 10%. Adanya kumarin ditunjukan dengan adanya flourosensi hijau/biru pada sinar UV (panjang gelombang 365 nm) (Tiwari, et al., 2011).


(42)

8.Uji Asam Lemak

0,5 gram ekstrak dicampur dengan 5 mL eter, tuang larutan diatas kertas saring lalu biarkan sampai mengering. Munculnya transparan diatas kertas saring menunjukan adanya asam lemak (Kumari, et al., 2012).

Tabel 2.3 Hasil Uji Penapisan Fitokimia Ekstrak n-Heksan Tanaman Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.

No Kandungan Kimia Pengamatan Sampel

Ekstrak n-Heksan

1 Alkaloid -

2 Flavonoid -

3 Tanin -

4 Saponin -

5 Steroid +

6 Terpenoid +

7 Kumarin -

8 Fenol -

9 Asam Lemak +

.

(Skripsi Siti Zamilatul Azkiyah, 2013)

2.7.2.2 Uji Kadar Air

1 gram ekstrak ditimbang saksama dalam wadah kosong yang telah ditara, keringkan pada suhu 1050C selama 5 jam lalu ditimbang. Lanjutkan pengeringan dan timbang dalam jarak 1 jam, sampai perbedaan antara dua penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25% (Tiwari, et al., 2011). Kadar air adalah perbedaan antara berat bahan sebelum dan sesudah dilakukan pemanasan, pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kadar air yang


(43)

(44)

(45)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prinsip kerja spektrofotometri berdasarkan hukum Lambert Beer, menyatakan hubungan linearitas antara konsentrasi sampel dengan energi absorpsi. Jika radiasi monokromatis melewati larutan mengandung zat yang dapat menyerap, radiasi ini akan dipantulkan, diabsorbsi oleh zatnya, dan sisanya ditransmisikan. Lambert Beer telah menurunkan secara empirik hubungan antara intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan konsentrasi, dalam persamaan (Harmita, 2006):

Dimana: A = Serapan

Io = Intensitas sinar datang

It = Intensitas sinar diteruskan

= Absorbtivitas molekuler (mol.cm.It-1)

a = daya serap (g.cm.It-1)

b = tebal kuvet


(46)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian II FKIK, Laboratorium PDR FKIK, Laboraturium PNA FKIK, dan Labolatorium Kimia Obat FKIK, Laboratorium Biologi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berlangsung sejak bulan Januari 2015 - Mei 2016.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu peralatan gelas, vacuum rotary evaporator, timbangan analitik (and GH-202), hotplate, homogenizer (Nissei), viskometer (Haake viscoTester 6R), pH meter digital (Horba), sentrifugator (Hettich Zentrifugen D-78532), vortex (Wiggen Hauser), mikroskop, spektrofotometer UV-Vis

3.2.2 Bahan Penelitian

Ekstrak etanol tanaman paku Nephrolepis falcata, etanol 70%, setil alkohol, gliserin, trietanolamin, asam stearat, metil paraben, propil paraben, pengaroma, aquadest, metanol pro-analysis, DPPH (Sigma), standar vitamin C (Sigma)

3.3 Prosedur Penelitian

Formulasi krim ekstrak etanol tanaman paku Nephrolepis falcata dan evaluasi fisik sediaan dilakukan melalui beberapa tahapan yang meliputi : 3.3.1 Penyiapan Simplisia

Pada tahap ini dilakukan pencarian tanaman paku Nephrolepis falcata di daerah Balitro Bogor pada bulan Desember, diambil tanaman segar sampai ke bagian batang lalu dilakukan sortasi basah dengan pencucian menggunakan air mengalir untuk memisahkan dari kotoran atau bahan asing lainnya,


(47)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kemudian dilakukan pengeringan tanpa terkena sinar matahari secara langsung hanya dikering anginkan dalam suhu ruangan, setelah itu dilakukan sortasi kering untuk memisahkan kotoran atau benda asing yang masih tertinggal, simplisia di haluskan dengan cara di blender sampai menjadi serbuk kering. Selanjutnya serbuk kering ditimbang menggunakan timbangan analitik (Kristiana, 2012).

3.3.2 Ekstraksi tanaman Nephrolepis Falcata

Serbuk kering tanaman paku Nephrolepis falcata dimaserasi dengan menggunakan pelarut etanol 70%, serbuk kering dimaserasi dengan pelarut etanol selama 4 × 24 jam, penambahan etanol dilaukan sampai simplisia terendam dan berada 5-10 cm diatasnya. Hasil maserasi selanjutnya disaring menggunakan kapas lalu di filtrasi menggunakan kertas saring. Dilakukan beberapa kali hingga berwarna jernih. Filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan vaccum rotary evaporator, selanjutnya dihitung untuk mengetahui hasil rendemennya:

3.3.3 Rancangan Formula Krim Ekstrak Etanol Nephrolepis falcata Tabel 3.1 Formula Krim Ekstrak Etanol Nephrolepis falcata

(Sharon et al., 2013, dengan modifikasi)

Bahan Konsentrasi (%)

F1 F2 F3

Ekstrak 0,25 0,25 0,25

Setil alkohol 0,2 0,2 0,2

Asam stearat 12 13 14

Trietanolamin 2 2 2

Gliserin 10 10 10

Metil paraben 0,1 0,1 0,1

Propil paraben 0,08 0,08 0,08

Vitamin E 0,02 0,02 0,02


(48)

3.3.4 Proses Pembuatan Krim Ekstrak Etanol Nephrolepis falcata

Proses diawali dengan penimbangan bahan-bahan yang akan digunakan. Basis krim yang dibuat terdiri dari dua fase, yaitu fase minyak (asam stearat, setil alkohol) dan fase air (trietanolamin, gliserin, metil paraben, propil paraben, aquadest). Setiap fase dipanaskan hingga suhu 70º C diatas penangas air. Fase air dipindahkan ke dalam lumpang panas dan tambahkan fase minyak, diaduk sampai dingin hingga terbentuk masa krim. Langkah berikutnya adalah pembuatan krim dari ekstrak dengan cara mencampurkan basis krim dengan ekstrak etanol Nephrolepis falcata. Prosedur kerja dilanjutkan dengan pengujian kelayakan sediaan krim dengan menggunakan beberapa pengujian meliputi evaluasi fisik sediaan yang diantranya adalah uji organoleptik, uji pH sediaan, uji homogenitas, uji daya sebar, sifat alir, serta dilakukan pengujian stabilitas krim dengan metode cycling test dan pengaruh penyimpanan suhu + 250C dan 400C (Agral et al., 2013).

3.4 Evaluasi Fisik Sediaan Krim 3.4.1 Pengamatan Organoleptik Krim

Uji organoleptik dilakukan dengan melihat perubahan warna, bau tengik, dan adanya pemisahan fase (Elya et al., 2013).

3.4.2 Pengujian Homogenitas Krim

Homogenitas dan konsistensi krim diamati dengan memeriksa ukuran partikel diatas kaca objek untuk melihat adanya partikel kasar (Elya et al., 2013).

3.4.3 Pengukuran pH

Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter. Sebelumnya pH meter dikalibrasi dengan larutan standar buffer pada pH 4 dan 7 (Elya et al., 2013).


(49)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.4.4 Pengukuran Viskositas

Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan viscometer brokfield, yaitu dengan memasang spindle yang sesuai pada alat kemudiaan dicelupkan kedalam sediaan sampai batas tertentu, alat dinyalakan dan kecepatannya 2, 4, 10, 20 rpm, kemudian kecepatannya dibalik secara berturut-turut. Tiap masing-masing pengukuran dibaca skalanya ketika jarum merah yang bergerak telah stabil. Nilai viskositas (n) dalam centipoise (cps) diperoleh dari hasil perkalian dial reading dengan faktor koreksi khusus pada masing-masing kecepatan spendel. Sifat aliran dapat diperoleh dengan membuat kurva antara tekanan geser (sharing stress (F/A)) terhadap kecepatan geser (rate of shear (dv/dr)) (Rieger M, 2000).

3.4.5 Daya Sebar

Sebanyak 0,5 g krim ditimbang diletakan ditengah alat kaca, dan kaca penutup yang mula – mula sudah ditimbang bobotnya, kemudian diletakan diatas basis, dibiarkan selama 1 menit. Diameter penyebaran krim diukur setalah satu menit dengan mengambil panjang rata – rata diameter dari beberapa sisi, beban ditambahkan seberat 20 g kemudian dilakukan pengukuran kembali setelah satu menit, dilakukan penambahan bobot tiap 20 g sampai bobot yang ditambahkan kurang dari 150 g, dicatat diameter penyebarannya setiap penambahan bobot (Shovyana, 2013)

3.5 Pengujian Stabilitas Krim

10g sampel krim ditempatkan dalam tabung sentrigugasi (diameter 1 cm) dan disentrifugasi 3750 rpm selam 5 jam atau 5000-10000 rpm selama 30 menit. Kemudian terjadi pemisahan fase (Handali, et al., 2011).

3.5.1 Metode Cycling Test

Dimana satu siklus sediaan krim disimpan pada suhu 40 C selama 24 jam lalu dikeluarkan dan ditempatkan pada suhu 40 + 20 C selama 24 jam. Percobaan ini diulang sebanyak 6 siklus. Kondisi fisik krim dibandingkan


(50)

selama percobaan dengan sediaan sebelumnya (ASEAN Guideline on Stability Studi of Drug Product, 2005).

3.5.2 Uji Stabilitas pada Suhu (400C)

Stabilitas krim meliputi bau, warna, kejernihan, dan pH dievaluasi pada suhu 40 + 20 C selama 21 hari dengan pengamatan hari 0 dan hari ke-21 (Sharon et al., 2013).

3.5.3 Penyimpanan pada Suhu Kamar (+ 250C)

Sampel krim dievaluasi pada suhu kamar antara 270– 280 C selama 21 hari dan dilakukan pengamatan organoleptis yaitu bau, warna, kejernihan, pH, daya sebar, dan viskositas nya pada hari ke-0 dan hari ke-21 (Sharon et al., 2013).

3.5.4 Uji Mekanik (sentrifugasi)

Sampel krim disentrifugasi dengan kecepatan 3750 rpm pada radius sentrifugasi selama 5 jam karena hasilnya ekivalen dengan efek gravitasi selama 1 tahun. Setelah disentrifugasi, diamati bila terjadi perubahan fase antara fase air dan fase minyak (ASEAN Guideline on Stability Studi of Drug Product, 2005).

3.5.5 Uji Perendeman DPPH Krim Ekstrak Etanol Nephrolepis falcata 1) Pembuatan Larutan DPPH 0,25 mM

Timbang saksama DPPH sebanyak 4,9 mg (BM 394,32), kemudian dilarutkan dengan metanol pro analisis hingga 50 mL kedalam labu ukur yang ditempatkan dalam tempat gelap dan dikocok homogen (Komala et al., 2015). 2) Pembuatan Larutan Blanko dan Optimasi Panjang Gelombang

Dipipet 1 mL larutan DPPH 0,25 mM kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 4 mL metanol, tutup mulut tabung dengan alumunium foil dan di homogenkan dengan vortex, selanjutnya diinkubasi dalam ruang gelap selama 30 menit 370C. Tentukan spektrum serapannya menggunakan spektrofotometri UV-VIS pada panjang gelombang 400-800 nm dan tentukan panjang gelombang maksimumnya.


(51)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3) Pembuatan Larutan Vitamin C

Timbang saksama 25 mg vitamin C pro-analisis, kemudian dilarutkan dengan metanol pro-analisis hingga 25 mL (1000 ppm), dipipet sebanyak 5 mL larutan induk 1000 ppm dan ditambahkan metanol hingga 25 mL (200 ppm). Dipipet sebanyak 4 mL larutan uji ditambahkan 1 mL larutan DPPH 0,25 mM, dilakukan sebanyak tiga kali ke dalam tabung reaksi kemudian di vortex hingga homogen dan inkubasi selama 30 menit pada ruang gelap 370C. Selanjutnya larutan uji diukur serapannya pada panjang gelombang 515 nm. 4) Pembuatan Larutan Uji Krim

Timbang saksama 50 mg krim, kemudian dilarutkan dengan metanol pro-analisis hingga 50 mL (1000 ppm), dipipet sebanyak 5 mL larutan induk 1000 ppm dan ditambahkan metanol hingga 25 mL (200 ppm). Dipipet sebanyak 4 mL larutan uji ditambahkan 1 mL larutan DPPH 0,25 mM, dilakukan sebanyak tiga kali ke dalam tabung reaksi kemudian di vortex hingga homogen dan inkubasi selama 30 menit pada ruang gelap 370C. Selanjutnya larutan uji diukur serapannya pada panjang gelombang 515 nm.


(52)

3.6 Alur Penelitian

Formulasi Krim ekstrak etanol Nephrolepis falcata

dalam beberapa konsentrasi

Pembuatan Krim Ekstraksi Tanaman

Nephrolepis falcata

Sediaan Krim ekstrak

Nephrolepis falcata tipe O/W

Uji Stabilitas Krim Evaluasi Fisik Sediaan

Uji Pendahuluan Krim tipe O/W dengan optimasi emulgator konsentrasi sesuai

Penyiapan Simplisia

Analisa Data

Perhitungan % inhibisi metode


(53)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan membandingkan stabilitas sediaan krim ekstrak tumbuhan paku Nephrolepis falcata secara fisik dan kimia dengan konsentrasi asam stearat yang berbeda-beda. Perbedaan konsentrasi asam stearat sebagai emulgator dimaksudkan untuk melihat dan membandingkan perbedaan stabilitas fisik dan stabilitas kimia sediaan dengan melihat nilai persen inhibisi dalam masing-masing krim, dimana akhirnya akan didapatkan formula yang memiliki stabilitas fisik dan kimia paling baik.

Formula krim dibuat dan dikembangkan dari riset Sharon, et al., 2013 yang telah disesuaikan dengan ketersediaan bahan yang mudah diperoleh, kesesuaian zat aktif, dengan bahan sediaan krim seperti, emulgator, humektan, stiffening agent, pengawet, antioksidan tambahan, dan akuades. Zat pengemulsi atau emulgator berfungsi sebagai penurun tegangan permukaan, lapisan pelindung antar muka, dan membentuk laipsan film disekeliling lapisan terdispersi untuk mencegah terjadinya koalesen dan terpisahnya dua fase (Purwani, 2002). Krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata dibuat menggunakan kombinasi asam stearat dan trietanolamin sebagai emulgator. Pada sediaan krim F1 dibuat dengan konsentrasi asam stearat 12%, F2 dengan konsentrasi asam stearat 13%, dan F3 dengan konsentrasi asam stearat 14%.


(54)

4.1 Hasil Ekstraksi

Tabel 4.1 karakterisasi ekstrak etanol Nephrolepis falcata

Cara pembuatan ekstrak tumbuhan paku Nephrolepis falcata adalah menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol 70%. Simplisia tumbuhan paku Nephrolepis falcata yang didapat sebanyak 736,55 g ditambahkan etanol 70% sampai terendam + 3 cm diatas simplisia, lalu di kocok-kocok, dibiarkan selama 3 hari, kemudian di filtrasi menggunakan kapas selanjutnya filtrat disaring dengan kertas saring, filtrat yang didapat dikumpulkan dan diuapkan sampai menjadi ekstrak kental dan didapat bobot ekstrak sebanyak 58,75 g. Setelah didapatkan ekstrak, didapatkan total rendemen ekstrak etanol Nephrolepis falcata sebesar 7,97 % dan perolehan kadar air 6,45 %, kadar air ekstrak telah memenuhi syarat yang diharapkan secara umum yaitu tidak lebih dari 10% (Depkes, 2010).

Gambar 4.1 Ekstrak Nephrolepis falcata (sumber: foto pribadi)

Uji Bobot Awal Bobot Akhir Perolehan Rendemen 736,55 g (simplisia) 58,75 g (ekstrak) 7,97 % Kadar Air 36,1 g 33,77 g 6,45 %

Organoleptik


(55)

(56)

agar dapat menyatakan kestabilan sediaan krim pada hari ke-0 dan hari ke-21 secara kimia. Hasil absorbansi dapat dilihat pada Lampiran 5.

Dalam formula krim terdapat senyawa yang mempunyai aktivitas antioksidan yaitu vit E, namun dalam pengukuran ini krim vit E dijadikan sebagai blanko sehingga dapat dilihat perbandingan persen inhibisi dalam sediaan krim dengan vit E saja. Selain itu digunakan juga vit C pro-analisis sebagai blanko positif. Perolehan nilai persen inhibisi dapat dilihat pada Tabel 4.2

Tabel 4.2 Rata-rata Persen Inhibisi Krim Ekstrak Nephrolepis falcata

Krim Konsentrasi

Rata – rata persen inhibisi (%)

Blanko Uji ke- 1 Uji ke- 22 Vit C

F1 200 ppm 63,88 + 0,008 87,26 + 0,052 69,59 +

0,002 97,9 +

0,002

F2 61,99 +

0,005

80,35 + 0,026

64,41 + 0,007

F3 58,95 +

0,004

74,02 + 0,020

69,39 + 0,022 Keterangan : *blanko = basis krim tanpa ekstrak

-nilai persen inhibisi diatas merupakan nilai rata-rata dari tiga kali replikasi + SD

Hasil rata-rata perhitungan persen inhibisi dari blanko menunjukan adanya potensi antioksidan krim F1 sebesar 63,88%, F2 sebesar 61,99%, F3 sebesar 58,95%, adanya potensi antioksidan dikarenakan adanya penambahan vit E pada basis krim, penambahan vit E dilakukan akibat adanya perubahan warna yang terjadi selama proses penyimpanan, keadaan tersebut tidak baik dilihat dari nilai estetika. Dari data hasil pengamatan menunjukan sediaan krim F1, F2, F3 memiliki persen inhibisi 87,26%, 80,35%, 74,02% secara berturut – turut pada hari ke-0.


(57)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ekstrak tumbuhan paku Nephrolepis falcata memiliki kandungan salah satunya senyawa flavonoid pada Tabel 2.2. Sifat antioksidan dari flavonoid berasal dari kemampuan untuk mentransfer sebuah elektron ke senyawa radikal bebas. Flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang menghambat reaksi oksidasi. Flavonoid bertindak sebagai penampung radikal hidroksi dan superhidroksi, sehingga dapat melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak. Semakin banyak subtitusi gugus hidroksi pada flavonoid, maka aktivitas antiradikalnya semakin besar (Yuhernita, 2011).

Ketiga sediaan krim mengalami penurunan setelah penyimpanan selama 21 hari, sediaan krim F1 mengalami penurunan persen inhibisi sebesar 17,67%, F2 mengalami penurunan sebesar 15,94%, F3 mengalami penurunan sebesar 4,63%, namun pada penelitian ini tidak dilakukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui penyebab penurunan persen inhibisi krim ekstrak Nephrolepis falcata.

Untuk mengetahui apakah penurunan persen inhibisi yang terjadi selama penyimpanan hari ke-0 sampai ke-21 bermakna atau tidak maka dilakukan uji statistik menggunakan paired sample T -test . Pemilihan uji ini berdasarkan varian yang diuji homogen, data terdistribusi normal, dan jenis data yang dihubungkan numerik dan kategori (Hastono, 2007). Hasil pengukuran dengan uji paired sample T -test ini yaitu data terdistribusi

normal, homogen, dan H ≠ 0 (ditolak). Hasil analisis statistik T –test terhadap penurunan persen inhibisi pada masing – masing sediaan krim menunjukan krim F2 dan F1 memiliki penurunan yang persen inhibisi bermakna dengan P <0,05 sedangkan krim F3 menunjukan penurunan persen inhibisi yang tidak signifikan dengan nilai P >0,05. Hasil data uji statistik dapat dilihat pada Lampiran 12.


(58)

Gambar 4.3 Grafik Persen Peredaman krim selama pennyimpanan

Hal ini menunjukan bahwa sediaan krim F3 lebih stabil secara kimia dibanding krim F1 dan F2 karena penurunan persen inhibisi sebelum dan setelah penyimpanan selama 21 hari tidak menunjukan adanya penurunan yang bermakna.

4.3 Evaluasi Krim Ekstrak Nephrolepis falcata

Pembuatan krim dilakukan menggunakan homogenizer dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit dimana pemilihan kecepatan ini didasarkan kecepatan pengadukan yang lazim digunakan dalam pembuatan sediaan krim. Bahan aktif yang digunakan dalam krim antioksidan ini adalah ekstrak tanaman paku spesies Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. dengan bahan tambahannya terdiri dari setil alkohol asam stearat, trietanolamin, gliserin, metil paraben, propil paraben, aquadest (Sharon, 2013), dimana bahan ini sering digunakan dalam formulasi krim. Pada pembuatan krim, ekstrak Nephrolepis falcata ditambahkan setelah basis krim terbentuk dan suhu basis sudah mulai menurun, dengan tujuan agar senyawa aktif antioksidan ekstrak tidak hilang atau rusak.

Fase minyak yang dipilih dalam formulasi ini adalah asam stearat dan setil alkohol karena memiliki karakteristik pembentuk basis dan emolien yang baik dalam pembuatan krim. Emulgator yang digunakan berupa asam stearat dan trietanolamin karena aman penggunaannya untuk kulit sehingga sering digunakan sebagai emulsifier dasar sediaan krim. Metil paraben dan propil

0.00% 20.00% 40.00% 60.00% 80.00% 100.00%

F1 F2 F3

Persentase Inhibisi Krim

hari ke-1


(59)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta paraben berfungsi sebagai antimikroba. Gliserin digunakan sebagai humektan, dan vit E digunakan sebagai antioksidan untuk menunda atau mencegah oksidasi lemak dalam krim (Scalia, 2013, Wade & Weller, 1994).

Setelah terbentuk krim, dilakukan evaluasi fisik yang dilakukan dengan parameter-parameter pengujian meliputi pengamatan organoleptis, pengukuran pH, homogenitas, uji daya sebar, pengukuran viskositas konsistensi, dan uji sentrifugasi. Uji stabilitas fisik krim dilakukan penyimpanan pada suhu 400C, suhu kamar, dan cycling test, pengamatan dilakukan pada hari ke 0 dan 21. Tahap selanjutnya dilakukan pengujian stabilitas kimia dengan melihat perubahan nilai % inhibisi antioksidan dengan metode DPPH, pengamatan dilakukan pada hari ke-1 dan hari ke-22.

4.4 Hasil Pengamatan

Pada uji stabilitas krim ekstrak Nephrolepis falcata dilakukan pengamatan organoleptis, homogenitas, pH, uji daya sebar, dan viskositas pada penyimpanan suhu ruang (250C), penyimpanan suhu 400C, cycling test, dan uji mekanik.

4.4.1 Hasil Pengamatan Organoleptis

Tabel 4.3Pengamatan Organoleptis Krim Ekstrak Nephrolepis falcata

Krim Hari Ke-

Pengamatan

Warna Bau Homogenitas

F1

0 Putih

kekuningan

Tidak berbau

Homogen

21 (250C) Putih kekuningan

Tidak terjadi perubahan

Homogen

21 (400C) Kekuningan* Tidak terjadi perubahan

Homogen

F2

0 Putih

kekuningan

Tidak berbau

Homogen

21 (250C) Putih kekuningan

Tidak terjadi


(60)

perubahan 21 (400C) Kekuningan* Tidak

terjadi perubahan

Homogen

F3

0 Putih

kekuningan

Tidak berbau

Homogen

21 (250C) Putih kekuningan

Tidak terjadi perubahan

Homogen

21 (400C) Putih kekuningan

Tidak terjadi perubahan

Homogen

Keterangan : *= Terjadi perubahan

Pemeriksaan organoleptis awal tidak menunjukan adanya perbedaan warna pada sediaan krim F1, F2, dan F3, ketiganya memiliki warna putih kekuningan disebabkan dari ekstrak Nephrolepis falcata. Ketiga krim yang dihasilkan tidak menimbulkan bau. memiliki tekstur yang lembut, mudah menyebar, membentuk konsistensi setengah padat, dan tidak terasa lengket.

Pada suhu penyimpanan yang berbeda suhu ruang (250C) dan 400C, ketiga sediaan krim ekstrak Nephrolepis facata tidak menimbulkan bau tengik, Perubahan bau atau ketengikan dapat disebabkan oleh oksigen dari udara yang mengoksidasi lemak atau minyak, selain itu cahaya merupakan salah satu katalisator yang juga dapat menimbulkan reaksi oksidasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa fase minyak yang terdapat didalam sediaan krim tidak mengalami oksidasi (Tiwari, 2014).

Setelah penyimpanan 21 hari ketiga krim ekstrak Nephrolepis falcata pada suhu kamar tidak menimbulkan perubahan warna, hal ini menunjukan kestabilan pada tiga sediaan krim. Perubahan warna terjadi pada sediaan krim F1 dan F2 penyimpanan suhu 400C yang menunjukan perubahan warna menjadi kekuningan, hal ini dapat disimpulkan faktor suhu mempengaruhi kestabilan krim, karena disebabkan pada setiap kenaikan suhu sebesar 100C dapat meningkatkan laju reaksi menjadi dua kali lipat (Rufiati, 2011).


(61)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pemeriksaan homogenitas pada ketiga krim bertujuan untuk mengamati adanya partikel-partikel kasar pada kaca objek. Hasil pengamatan menunjukan ketiga sediaan krim homogen secara fisik baik sebelum dan setelah penyimpanan, hal ini menunjukan bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan krim tercampur sempurna.

4.4.2 Hasil Pemeriksaan pH

Tabel 4.4 Hasil Pemeriksaan pH suhu 250C, dan suhu 400

Keterangan : nilai pH diatas merupakan pH rata-rata dari tiga kali

Pengulangan + simpangan deviasi

pH yang terukur dari ketiga formula krim F1 sebesar 7,50; F2 sebesar 7,43; F3 sebesar 7,19 pada hari ke-0. Ketiga krim menunjukan semakin tinggi konsentrasi asam stearat dapat menurunkan nilai pH karena banyaknya gugus asam yang terkandung dalam asam stearat. Nilai pH masih berada dalam kisaran pH krim ideal. Menurut SNI 16-4399-1996 dalam (Astikah, 2015), pH krim yang ideal adalah sesuai dengan pH kulit, yaitu berkisar 4,5 - 8,0. Jika pH krim tidak sesuai dengan pH kulit maka akan menyebabkan iritasi kulit. Hasil pengukuran pH pada penyimpanan 21 hari suhu ruang 250C ketiga sediaan krim menunjukan nilai pH yang mengalami kenaikan, ini disebabkan reaksi oksidasi senyawa fenol yang terdapat dalam krim ekstrak Nephrolepis falcata. Pada suhu 400C ketiga sediaan krim mengalami penurunan pH, namun perubahan pH masih dalam rentang pH kulit (Tranggono, 2007). Hal ini menunjukan adanya pengaruh suhu terhadap pH krim.

Formula Hari ke-0 Hari ke-21

(suhu 250C)

Hari ke-21 (suhu 400C) F1 7,50 + 0,011 7,740 + 0,004 7,480 + 0,015 F2 7,43 + 0,015 7,719 + 0,032 7,420 + 0,005 F3 7,19 + 0,011 7,629 + 0,027 7,042 + 0,001


(62)

4.4.3 Hasil Pengamatan Daya Sebar

Uji daya sebar dilakukan untuk mengetahui kemampuan basis menyebar pada permukaan kulit ketika diaplikasikan. Kemampuan penyebaran basis yang baik akan memberikan kemudahan saat sediaan krim diaplikasikan ke kulit.

Tabel 4.5 Hasil Pengamatan Daya Sebar Krim Ekstrak Nephrolepis falcata Selama 21 Hari

K

e t e

keterangan : nilai daya sebar diatas merupakan nilai rata-rata dari tiga kali pengulangan + simpangan deviasi (SD)

Hasil pengamatan menunjukan krim F1 memiliki nilai daya sebar lebih besar dibanding F2, dan F3. Hal ini menunjukan semakin besar konsentrasi asam stearat, semakin kecil luas area penyebaran yang dihasilkan karena adanya peningkatan viskositas. Semakin luas area penyebaran yang dihasilkan oleh suatu krim maka krim tersebut akan mempunyai kemampuan penyebaran yang lebih baik saat dioleskan. Pengujian daya sebar krim ekstrak Nephrolepis falcata hari ke-0 dan hari ke-21 memperlihatkan hasil yang sama pada ketiga sediaan krim dilihat dari penurunan dan peningkatan luas yang tidak jauh berbeda. Sehingga dapat dikatakan ketiga krim ekstrak Nephrolepis falcata memiliki daya sebar yang stabil.

Luas (cm2)

Beban (g)

F1 F2 F3

Hari ke-0 Hari ke-21 Hari ke-0 Hari ke-21 Hari ke-0 Hari ke-21 65,5 4,6 +

0,264 4,5 + 0,132 4,5 + 0,250 4,45 + 0,180 4 + 0,300 3,85 + 0,134 85,5 5,3 +

0,150 5,2 + 0,200 5,2 + 0,284 5,2 + 0,200 4,6 + 0,224 4,5 + 0,200 105,5 5,65 +

0,300 5,55 + 0,288 5,55 + 0,225 5,3 + 0,200 5,5 + 0,284 5,35 + 0,214 125,5 6,2 +

0,300 6,05 + 0,229 6,1 + 0,152 6,1 + 0,278 5,8 + 0,186 5,7 + 0,134 145,5 6,5 +

0,132 6,55 + 0,229 6,4 + 0,132 6,35 + 0,264 6,15 + 0,254 6,0 + 0,180


(63)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 0 20 40 60 80 100

0 10 20 30

F3

4.4.4 Hasil Pengukuran Sifat Alir

Pengukuran viskositas krim ekstrak Nephrolepis falcata bertujuan untuk mengetahui besar tahanan yang dihasilkan krim. Pengukuran sifat alir ketiga krim menggunakan viskometer brookfield spindel R5. Hasil pengukuran viskositas dapat dilihat pada Tabel 4.8- 4.9.

Gambar 4.4 Sifat alir krim ekstrak Nephrolepis falcata

Sifat alir ketiga sediaan krim yaitu pseudoplastis tiksotropik. Berdasarkan grafik terlihat bahwa sediaan krim memiliki nilai viskositas lebih rendah pada setiap harga kecepatan geser dari kurva yang menurun dibandingkan dengan kurva yang menaik. Hal tersebut lebih dikenal dengan sebutan tiksotropotik karena adanya pemecahan struktur yang tidak terbentuk kembali dengan segera jika tekanan tersebut dihilangkan atau dikurangi. Tiksotropotik merupakan suatu alir yang mempunyai konsistensi tinggi dalam wadah namun dapat dengan mudah dituang dari wadah dan juga mudah tersebar, hal tersebut yang diharapkan dalam tipe sediaan krim. Hasil pengukuran ketiga formula menunjukan krim F1 dan F2 mengalami perubahan kurva sifat alir yang lebih terlihat pada pengukuran hari ke-0 dan hari ke-21 dibandingkan krim F3, namun dari hasil pengukuran sifat alir ketiga sediaan krim tersebut tidak mengalami perubahan yaitu tetap memiliki

Hari ke-0 Hari ke-21 0 20 40 60 80 100

0 20 40

F2

0 20 40 60 80 100

0 20 40


(64)

sifat alir tiksotropik. Perubahan viskositas dapat dipengaruhi beberapa hal seperti pencampuran, pengadukan, pemilihan surfaktan, emulgator, dan proporsi fase terdispersi (Alfred et al., 1993).

4.4.5 Hasil Pengujian Cycling test

Pengujian cycling test dilakukan dengan tujuan untuk menguji kestabilan emulsi dalam sediaan krim uji ini dilakukan untuk melihat adanya kristalisasi atau berawan dan untuk menguji emulsi dan krim sebagai indikator kestabilan emulsi (Rieger, 2000).

Tabel 4.6 Hasil Pengamatan Cycling test

Pengamatan

Krim Pengamatan warna Pemisahan fase

Awal Siklus ke-6

F1 Putih kekuningan kekuningan* Tidak terjadi pemisahan

F2 Putih kekuningan Putih kekuningan Tidak terjadi pemisahan

F3 Putih kekuningan Putih kekuningan Tidak terjadi pemisahan

Keterangan : *= terdapat perubahan

Pengujian dilakukan dengan menyimpan krim pada suhu 4ºC selama 24 jam kemudian dipindahkan kedalam oven pada suhu 40ºC selama 24 jam. Perlakuan ini di sebut satu siklus, siklus ini dilakukan sebanyak 6 kali untuk memperjelas perubahan yang terjadi. Berdasarkan hasil pengamatan cycling test yang dilakukan sebanyak 6 siklus, pada krim F1 terlihat adanya perubahan warna pada penyimpanan ke-0 menunjukan warna putih kekuningan, setelah 6 siklus menjadi kekuningan, hal ini menunjukan terjadi ketidak stabilan sediaan krim F1 selama penyimpanan 6 siklus. Gambar hasil pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 2, dari hasil pengamatan menunjukan tidak adanya pemisahan fase, hal ini menunjukan sediaan krim bersifat stabil. Hal ini disebabkan, setelah sediaan krim didinginkan akan terjadi pelepasan air pada sediaan krim, namun film pengemulsi ketiga


(65)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sediaan krim dapat bekerja kembali dibawah tekanan yang diinduksi oleh es sehingga tidak terjadi pemisahan fase dan sistem emulsi dikatakan stabil.

4.4.6 Hasil Uji Mekanik

Tabel 4.7 Hasil Pengamatan Uji Mekanik 250C dan 400C (uji sentrifugasi)

Krim Awal Akhir 250C Akhir 400C

F1 Tidak terjadi

pemisahan fase

Tidak terjadi pemisahan fase

Tidak terjadi pemisahan fase

F2 Tidak terjadi

pemisahan fase

Tidak terjadi pemisahan fase

Tidak terjadi pemisahan fase

F3 Tidak terjadi

pemisahan fase

Tidak terjadi pemisahan fase

Tidak terjadi pemisahan fase

Uji mekanik dilakukan dengan menggunakan alat sentrifugasi, krim dimasukan ke tabung eppendorf dengan kecepatan 5000 rpm selama 30 menit yang ekivalen dengan efek gravitasi selama 1 tahun. Pengujian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat kestabilan krim setelah pengocokan dengan kecepatan tinggi. Pada penyimpanan hari ke-21 suhu 250C dan suhu 400C tidak menunjukan adanya pemisahan fase pada ketiga sediaan krim F1, F2, dan F3.

Dari keseluruhan pengamatan, nilai persen inhibisi menunjukan daya antioksidan sediaan krim F1 dan F2 yang lebih besar dibanding krim F3, hal ini ditunjukan pula oleh nilai persen inhibisi basis krim F1 dan F2 yang lebih

dari F3 sebelum adanya penambahan ekstrak Nephrolepis falcata.

Antioksidan sendiri memiliki sifat mudah teroksidasi dan pengaruh penyimpanan suhu 400C dapat mempercepat laju reaksi sediaan krim (Rufiati, 2011), sehingga pada krim F1 dan F2 yang memiliki persen daya lebih tinggi lebih mudah teroksidasi dan menimbulkan perubahan warna. Hal tersebut menunjukan kemampuan penghambatan radikal bebas juga dipengaruhi oleh


(66)

jumlah emulgator dalam sediaan. Semakin besar konsentrasi emulgator yang digunakan dalam sediaan krim, aktivitas antioksidan mengalami penurunan, disebabkan karena akan lebih banyak emulgator yang dilindungi terhadap oksidasi oleh antioksidan ekstrak yang kemudian bereaksi dengan radikal bebas DPPH dan menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas.


(67)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Sediaan krim ekstrak etanol Nephrolepis falcata dengan konsentrasi asam stearat 14% (F3) dapat diformulasi menjadi sediaan krim yang memenuhi syarat kestabilan fisik selama 21 hari penyimpanan.

2. Krim ekstrak etanol Nephrolepis falcata dengan konsentrasi emulgator asam stearat 14% (F3) stabil secara fisik dan kimia dibandingkan krim F1 (12%) dan F2 (13%) dengan penurunan persen inhibisi yang tidak bermakna selama penyimpanan.

3. Variasi emulgator asam stearat berpengaruh terhadap stabilitas sediaan krim. Konsentrasi asam stearat 12% dan 13% mengalami perubahan warna setelah penyimpanan yang merupakan indikator ketidak stabilan sediaan krim.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait faktor yang

menyebabkan penurunan nilai persen inhibisi ketiga sediaan krim selama penyimpanan

2. Perlu dilakukan formulasi sediaan krim dengan meningkatkan

konsentrasi ekstrak etanol Nephrolepis falcata

3. Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk uji aktivitas antioksidan krim ekstrak Nephrolepis falcata secara in-vivo


(1)

(2)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(3)

(4)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 12. Uji Statistik T-test Penurunan Nilai Persen Inhibisi hari ke-1 dan hari ke-22

Tujuan : Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan bermakna pada penurunan persen inhibisi pada masing-masing formula krim ekstrak Nephrolepis falcata

Hipotesis :

H0 = Tidak ada perbedaan bermakna pada penurunan persen inhibisi selama penyimpanan krim ekstrak Nephrolepis falcata

H1 = Ada perbedaan bermakna pada penurunan persen inhibisi selama penyimpanan krim ekstrak Nephrolepis falcata

Level signifikansi : 0,05

Taraf kepercayaan sampel T-test : 95%

Kriteria pengujian : H0 ditolak dan H1 diterima jika signifikansi < 0,05

Keputusan : Krim F1 ada perbedaan bermakna selama penyimpanan F1


(5)

(6)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Keputusan : Krim F3 tidak mengalami perbedaan bermakna selama penyimpanan F3