sendiri Desmita, 2005. Perkembangan sosial pada remaja merupakan salah satu tugas yang paling sulit, karena hal tersebut berhubungan dengan penyesuaian
sosial mereka. Remaja juga harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan diri
dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja juga harus membuat banyak
penyesuaian baru yaitu penyesuaian diri dengan pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan,
nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial serta nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin Hurlock, 1980.
Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bersosialisasi
sozialed, memerlukan tiga proses. Dimana masing-masing proses tersebut terpisah dan sangat berbeda satu sama lain, tetapi saling berkaitan, sehingga
kegagalan dalam satu proses akan menurunkan kadar sosialisasi individu. Menurut Hurlock 1980 tiga proses dalam perkembangan sosial adalah sebagai
berikut :
1. Berperilaku dapat diterima secara sosial
Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang perilaku yang dapat diterima. Untuk dapat bersosialisasi, seseorang tidak
hanya harus mengetahui perilaku yang dapat diterima, tetapi mereka juga harus menyesuaikan prilakunya sehingga ia bisa diterima sebagain dari
masyarakat atau lingkungan sosial tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2. Memainkan peran di lingkungan sosialnya.
Setiap kelompok sosial mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan dengan seksama oleh para anggotanya dan setiap anggota dituntut untuk
dapat memenuhi tuntutan yang diberikan kelompoknya.
3. Memiliki Sikap yang positif terhadap kelompok Sosialnya
Untuk dapat bersosialisasi dengan baik, seseorang harus menyukai orang yang menjadi kelompok dan aktifitas sosialnya. Jika seseorang disenangi
berarti, ia berhasil dalam penyesuaian sosial dan diterima sebagai anggota kelompok sosial tempat mereka menggabungkan diri.
Perkembangan kehidupan sosial remaja juga ditandai dengan gejala meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan remaja itu sendiri.
Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan teman-teman sebayanya Desmita, 2005. Remaja memiliki kebutuhan yang kuat
untuk disukai dan diterima kawan sebaya atau kelompoknya. Remaja akan merasa senang apabila diterima oleh kelompoknya, dan sebaliknya mereka akan merasa
sangat tertekan dan cemas apabila dikeluarkan dan diremehkan oleh kawan-kawan sebayanya Santrock, 2007. Pada masa ini remaja cenderung menghabiskan
waktu di luar rumah dan lebih bergantung pada teman-temannya. Kelompok teman sebaya mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap, minat,
penampilan, dan tingkah laku remaja dibandingkan dengan pengaruh keluarga Hurlock, 1980. Horrocks dan Benimoff dalam Hurlock, 1980 menjelaskan
pengaruh teman sebaya pada masa remaja adalah sebagai tempat dimana remaja dapat menguji dirinya sendiri dan orang lain. Di dalam kelompok teman sebaya
Universitas Sumatera Utara
remaja merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya. Kelompok teman sebaya memberikan sebuah dunia dimana remaja dapat melakukan sosialisasi dimana
nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman-teman seusianya.
Hubungan relasi yang baik di antara kawan-kawan sebaya dibutuhkan bagi perkembangan sosial yang normal di masa remaja. Relasi di antara kawan-kawan
sebaya di masa kanak-kanak dan masa remaja juga berdampak bagi perkembangan di masa selanjutnya Santrock, 2007. Pada masa remaja, remaja
cenderung konform dengan teman-teman sebayanya, konformitas terjadi apabila individu mengadopsi sikap atau perilaku orang lain karena merasa didesak oleh
orang lain baik desakan nyata atau hanya bayangan saja. Desakan untuk konform pada kawan-kawan sebaya cenderung sangat kuat selama masa remaja Santrock,
2007. Konformitas terhadap desakan kawan-kawan sebaya dapat bersifat positif
ataupun negatif. Remaja belasa tahun dapat terlibat dalam semua jenis perilaku konformitas yang bersifat negatif, misalnya saja menggunakan bahasa gaul,
mencuri, melakukan pengerusakan, serta mempermainkan orang tua dan guru. Meskipun demikian, terdapat banyak bentuk konformitas kawan-kawan sebaya
yang tidak bersifat negatif dan lebih merupakan keinginan untuk bergabung dalam dunia yang sama dengan kawan-kawan, seperti gaya berpakaian yang mirip
dengan kawan-kawan, dan ingin meluangkan waktu bersama kawan-kawan. Situasi semacam itu mungkin melibatkan aktivitas-aktivitas prososial, seperti
kelompok yang mengumpulkan dana untuk tujuan mulia Santrock, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Clasen Brown dalam Santrock, 2007 mengungkapkan desakan dari kawan-kawan sebaya merupakan suatu tema yang terdapat dalam kehidupan
remaja. Kekuatan pengaruh ini dapat teramati dalam hampir semua dimensi perilaku remaja, seperti pilihan dan cara berpakaian, musik, dan gaya bahasa.
II.C.4.b. Perkembangan Hubungan Terhadap Lawan Jenis
Dari semua perubahan yang terjadi pada masa remaja, baik dalam sikap maupun perilaku sosial, yang paling menonjol terjadi dalam hubungan dengan
lawan jenis Hurlock, 1980. Dalam waktu yang singkat remaja melakukan perubahan radikal, yaitu dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi
lebih menyukai teman dari lawan jenisnya dari pada sejenisnya Hurlock, 1980. Perkembangan hubungan terhadap lawan jenis mengikuti pola tertentu. Namun,
terdapat perbedaan usia dalam mencapai berbagai tahap dalam perkembangannya, sebagian karena adanya perbedaan kematangan seksual dan sebagian lagi karena
adanya perbedaan dalam kesempatan untuk mengembangkan minat Hurlock, 1980. Ada dua unsur yang berbeda dalam perkembangan hubungan terhadap
teman sebaya. Yang pertama adalah perkembangan pola perilaku yang melibatkan kedua jenis kelamin dan kedua adalah perkembangan sikap yang berhubungan
dengan relasi antara kedua kelompok jenis kelamin Hurlock, 1980. Pada masa ini, remaja juga melakukan interaksi dengan lawan jenis
mereka, interaksi tersebut merupakan hubungan romantis yang pada awalnya remaja belum termotivasi untuk memenuhi kebutuhan kelekatan atau bahkan
kebutuhan seksual. Hubungan romantis pada remaja hanya berfungsi untuk
Universitas Sumatera Utara
berekplorasi mengenai seberapa menariknya diri mereka, bagaimana berinteraksi secara romantis, dan bagaimana kesannya dirinya bagi kelompok kawan sebaya
Santrock, 2007. Hubungan romantis yang dijalin pada masa remaja mempunyai banyak
tujuan bagi kehidupan remaja itu sendiri, khususnya untuk remaja masa kini Hurlock, 1980. Karena hubungan romantis yang terjalin tersebut menyajikan
berbagai tujuan maka dapatlah dimengerti bila remaja menghendaki bermacam- macam orang sebagai pasangan untuk setiap jenis hubungan yang berbeda
Hurlock, 1980. Hubungan romantis yang terjalin pada remaja saat ini sudah mengalami
perubahan perilaku seksual yang tampak menonjol, namun perubahan sikap seksual lebih menonjol lagi Hurlock, 1980. Hal tersebut terlihat dari adanya
anggapan normal dikalangan remaja bila hubungan seks sebelum menikah dilakukan atas dasar saling mencintai dan saling terikat Hurlock, 1980. Remaja
masa kini menganggap bahwa ungkapan-ungkapan cinta dalam hubungan romantis mereka apa pun bentuknya, adalah baik sejauh kedua pasangan remaja
saling tertarik Hurlock, 1980. Furman Werner 1998, dalam Santrock, 2007 mengatakan bahwa
setelah remaja memperoleh sejumlah kompetensi dasar dalam berinteraksi dengan pacarnya, maka pemenuhan kebutuhan kelekatan dan kebutuhan seksual menjadi
hal yang utama dalam hubungan romantis tersebut. Selain itu, remaja yang menjalin hubungan romantis juga memiliki sikap-sikap tertentu terhadap lawan
Universitas Sumatera Utara
jenisnya ketika berinteraksi. Sikap tersebut sering diwarnai hal-hal yang tidak realistis dan sangat romantis. Remaja putri tidak lagi memandang laki-laki seperti
anak laki-laki melainkan sebagai pahlawan Hurlock, 1980. Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan
sosial remaja adalah kemampuan remaja membina hubungan dengan teman-teman sebayanya, baik dengan teman yang berjenis kelamin sama maupun berbeda dan
juga dengan orang dewasa lainnya. Perkembangan sosial remaja juga meliputi bagaimana remaja tersebut membangun hubungan romantisnya dengan pacarnya.
II.D. Resiliensi Pada Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil
Masten, Best dan Garmezy dalam Alvord dan Grados, 2005 mendefinisikan resiliensi sebagai proses, kapasitas atau keberhasilan adaptasi
terhadap situasi yang penuh tantangan atau mengancam. Sementara itu, Dyer dan McGuinness 2004 melihat resiliensi sebagai sesuatu yang lebih global, sebagai
proses yang dinamis, sangat di pengruhi oleh faktor-faktor protektif, karena itu individu menjadi tahan terhadap kemalangan dan dapat meneruskan
kehidupannya. Resiliensi merupakan satu perangkat karakteristik yang dimiliki individu
yang membuatnya memiliki kekuatan dalam menghadapi kesulitan dan rintangan dalam keehidupan, kapasitas seseoranbg untuk menghadapi coping terhadap
stres dan masalah-masalah besar, serta merupakan indikasi dari adanya daya tahan dalam menghadapi situasi yang negatif dan tetap berkembang menjadi individu
yag berkualitas positif dan sehat Sagor, 1996; Foster, 2006 dalam Paddock, 2006;
Universitas Sumatera Utara
Wolin dan Wolin, dalam Alimi, 2005. Luthar 1999 dalam Schoon, 2006 mengatakan bahwa resiliensi
merrupakan keberhasilan berperilaku dalam menyelesaikan tugas perkembangan yang penting walaupun untuk menghadapinya terjadi tekanan stressor yang
berat dan kemungkinan distress emosional. Thompson 2006 mengatakan jika perlakuan eksploitasi yang dialami oleh
remaja putri termasuk perilaku yang menyimpang, baik secara medis, sosial, emosional serta psikologis. Alter-Reid dalam Thompson, 2006 mengungkapkan
sebagian besar remaja putri yang menjadi korban kekerasan, mengalami eksploitasi seksual yang dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri, misalnya
orangtua angkat seperti ayah titi, atau remaja putri yang tinggal bersama pacarnya. Remaja yang telah dieksploitasi, akan mengalami rasa takut, rendah diri,
menyesal, dan perasaan bersalah karena sudah “dirusak” setelah berhasil keluar dari lingkaran eksploitasi seksual Thompson, 2006. Reaksi yang diperlihatkan
remaja korban eksploitasi seksual komersil juga berbeda, sesuai dengan tipe dari peristiwa eksploitasi seksual yang dialami remaja dan apakah remaja akan
menyalahkan dirinya sendiri atau orang lain setelah dirinya menjadi korban eksploitasi seksual komersil Thompson, 2006.
Sebagian besar remaja putri korban eksploitasi seksual akan menyalahkan dirinya sendiri, mengalami kebingungan serta memiliki pola pikir yang negatif
Thompson, 2006. Thompson 2006 juga mengungkapkan jika remaja putri korban eksploitasi menganggap eksploitasi yang dialaminya disebabkan oleh
kesalahan mereka sendiri, maka remaja akan memperlihatkan perilaku-perilaku
Universitas Sumatera Utara
yang dapat merugikan diri sendiri, depresi, timbul pikiran-pikiran yang berbahaya, bersikap pasif, menarik diri, merasa malu, jarang berkomunikasi, gelisah dan sulit
tidur. Namun, remaja yang cenderung menganggap kejadian yang dialaminya disebabkan karena faktor eksternal, remaja tersebut akan cenderung mengalami
gangguan yang berbeda, seperti rasa takut, agresi, memperlihatkan perilaku bermusuhan, perilaku impulsif, serta respon yang kurang baik terhadap rasa takut.
Grotberg 2000 menyatakan remaja yang telah dieksploitasi oleh orang dewasa, akan mengembangkan rasa tidak percaya terdahap orang lain, hal itu
disebabkan karena remaja merasa dirinya telah disiksa oleh orang dewasa dan mengambil keuntungan dari penderitaan yang mereka alami. Namun, rasa percaya
merupakan hal yang paling medasar untuk pembentukan resiliensi remaja Grotberg, 2000.
Menurut Grotberg 2000, hanya sedikit remaja yang tidak memiliki factor-faktor resiliensi, setiap remaja korban eksploitasi sesksual komersil
memiliki factor-faktor resiliensi tapi banyak korban eksploitasi itu yang tidak tahu bagaimana cara untuk mengembangkan faktor-faktor resiliensi yang ada dalam
diri mereka dan dihubungkan denngan kesulitan hidup yang mereka alami. Remaja korban eksploitasi seksual harus mengenali fakor-faktor resiliensi
yang telah mereka miliki untuk meningkatkan resiliensi pada diri mereka, membentuk diri mereka dan memperkuat diri mereka serta meningkatkan faktor-
faktor resiliensi yang lemah atau tidak ada Grotberg, 2000. Lama waktu untuk melakukan penyesuian diri pada remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual
Universitas Sumatera Utara
menentukan bagaimana gambaran resiliensi remaja tersebut berkembang dimasa yang akan datang Grotberg, 2000.
Grotberg 2000 menjelaskan dalam peningkatan resiliensi remaja ada beberapa faktor resiliensi yang dimiliki oleh semua remaja termasuk remaja yang
menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Faktor-faktor resiliensi tersebut dapat dikenali dan dapat dikembangkan bersamaan dengan factor-faktor resiliensi
lainnya pada waktu yang sama. Orangtua mempunyai pengaruh yang besar dalam resiliensi remaja yang
menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Dimana remaja yang menjadi korban mampu mengatasi kemalangan mereka dalam hidup melalui pengamatan mereka
terhadap bagaimana orangtua mereka mengatasi kesulitan Webster, 1995, dalam Kosteck, 2005. Orangtua bisa menjadi model perilaku yang sukses dalam
mengatasi masalah misalnyanya pada sebuah komitmen, kemampuan memiliki impian dan memiliki tujuan dan kemampuan dalam beradaptasi dengan perubahan
yang ada dalam kehidupan.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL
MENIMPA REMAJA PUTRI YANG SEDANG MENGALAMI PERUBAHAN
FISIK SOSIAL
SEKSUAL EMOSIONAL
Eksploitasi Seksual Komersi
Prostitus Perdagangan
Wisata Seks Pornografi
Pernikahan Dini
Faktor pendorong : 1. Kondisi ekonomi
2. Ketidaksetaraan gender 3. Disintegrasi keluarga
4. DLL Faktor penarik :
1. Jaringan criminal yang terorganisi
2. Permintaan dari pekerja migrant
3. DLL Remaja putri yang
menjadi korban
Remaja mengalami pengalaman traumatis
dan mengalami trauma Dampak positif :
Remaja putri menjadi kuat dan resilien
Dampak negative : Remaja tetap terpuruk dan
mengalami trauma
Adanya sumber-sumber resiliensi yang dimiliki oleh
remaja yaitu : dukungan sosial, kekuatan individu dan
kemampuan interpersonal
Gambaran Resiliensi Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil Prostitusi
Universitas Sumatera Utara
BAB III
METODE PENELITIAN
III.A. METODE PENELITIAN
Dalam melaksanakan suatu studi atau penelitian, para peneliti memakai beberapa pendekatan yang mempermudah proses penelitian dan menghasilkan
tujuan yang ingin di capai dari penelitian tersebut. Salah satu pendekatang yang sering digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini umumnya dikenal
sebagai pendekatan yang mengukur suatu gejala secara fenomenologis. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang sering dipakai dalam
bidang studi atau penelitian tentang manusia dan berbagai bentuk tingkah lakunya. Pendekatan ini digunakan karena banyak perilaku manusia yang sulit
dikuantifikasikan, apalagi penghayatan terhadap berbagai pengalaman pribadi Poerwandari, 2007. Menurut Bogdan Taylor dalam Poerwandari, 2007.
Pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dan
tidak dinilai benar-salah atau iya-tidak. Penelitian ini lebih mementingkan segi
proses daripada hasil.
Penelitian mengenai resiliensi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Alasan menggunakan pendekatan kualitatif karena
pendekatan ini dapat memahami gejala tingkah laku yang nyata dan emosi manusia menurut penghayatan individu, dengan kata lain melalui sudut pandang
subjek penelitian. Dengan pendekatan kualitatif, peneliti dapat menggali lebih
Universitas Sumatera Utara
dalam bagaimana resiliensi remaja putri korban eksploitasi seksual komersil. Jenis pendekatan kualitatif yang digunakan adalah kualitatif deskriptif yang bertujuan
untuk memberikan gambaran mengenai resiliensi remaja putri yang menjadi
korban eksploitasi seksual komersil. III.B. METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam in-depth interview. Wawancara mendalam dilakukan
dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud
melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, satu hal yang tidak dapat dilakukan
melalui pendekatan lain Banister dkk dalam Poerwandari, 2007.
Penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang di buat berdasarkan sumber dan faktor resiliensi yang ingin di ketahui. Pedoman wawancara tersebut
terlebih dahulu telah di standarisari oleh profesional judgment. Kegunaan pedoman wawancara tersebut adalah untuk mengingatkan peneliti mengenai hal-
hal yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek checklist apakah sumber serta faktor tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Pada saat proses
wawancara juga akan disertai dengan proses observasi terhadap perilaku responden penelitian Poerwandari, 2007. Tujuan dilakukannya observasi adalah
sebagai crosscheck terhadap hal-hal yang diungkapkan oleh subjek penelitian secara verbal.
Universitas Sumatera Utara
III.C. RESPONDEN PENELITIAN III.C.1. KARAKTERISTIK RESPONDEN
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, karakteristik responden penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja putri berusia 15 hingga 21
tahun, dengan karakteristik sebagai berikut : 1.
Pernah menjadi korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi dan di eksploitasi oleh orang lain.
2. Sudah kembali menetap dilingkungan sosialnya dan sudah tidak