Teori Negosiasi Prinsip Teori Kebutuhan Manusia

5. Kebutuhan Akan Aktualisasi Diri Menurut Maslow dalam Lianto 2010: 31 setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya. Kebutuhan manusia untuk bertumbuh, berkembang, dan menggunakan kemampuannya disebut Maslow dalam Lianto 2010: 31 sebagai aktualisasi diri. Maslow dalam Lianto 2010: 31 juga menyebut aktualisasi diri sebagai hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuan sendiri, menjadi apa menurut kemampuan yang dimiliki. Teori di atas diperkuat oleh teori Simon Fisher 2001:7-8 yang menjelaskan bahwa penyebab konflik dalam masyarakat yaitu ; Pertama, teori hubungan masyarakat, bahwa konflik yang terjadi lebih disebabkan polarisasi, ketidakpercayaan distrust maupun permusuhan antar kelompok yang berada ditengah-tengah masyarakat kita. Kedua, teori negosiasi prinsip, bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras serta perbedaan pandangan tentang konflik antara pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Ketiga, teori kebutuhan manusia, bahwa konflik yang muncul ditengah masyarakat disebabkan perebutan kebutuhan dasar manusia, seperti kebutuhan fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi dalam perebutan tersebut. Keempat,teori identitas, bahwa konflik lebih disebabkan identitas yang terancam atau berakar dari hilangnya sesuatu serta penderitaan masa lalu yang tidak terselesaikan. Kelima, teori transformasi konflik, bahwa konflik disebabkan oleh hadirnya masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam ranah kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Hidayat dalam Wahyudi 2009: 144 menjelaskan secara sederhana bahwa konflik disebabkan oleh pertama, adanya latar belakang sosial politik, ekonomi dan budaya yang berbeda. Kedua, adanya pemikiran yang menimbulkan ketidaksepahaman antara yang satu dengan yang lain. Ketiga, adanya sikap tidak simpatik terhadap suatu pihak. Keempat, adanya rasa tidak puas terhadap lingkungan organisasi, sikap frustasi, rasa tidak senang, dan lain-lain, sementara tidak dapat berbuat apa-apa dan apabila harus meningggalkan kelompok berarti harus menanggung resiko yang tidak kecil. Kelima, adanya dorongan rasa harga diri yang berlebihan dan berakibat pada keinginan untuk berusaha sekuat tenaga untuk melakukan rekayasa dan manipulasi.

2.2.3 Tipe-Tipe Konflik

Konflik dikelompokkan menjadi dua tipe, kedua tipe ini meliputi konflik positif dan konflik negatif. Konflik positif adalah konflik yang tidak mengancam eksistensi sistem politik, yang biasanya disalurkan lewat mekanisme penyelesaian konflik yang disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme yang dimaksud adalah lembaga-lembaga demokrasi, seperti partai politik, badan-badan pewakilan rakyat, pengadilan, pemerintah, pers, dan forum-forum terbuka lainnya. Tuntutan seperti inilah yang dimaksud dengan konflik yang positif. Sedangkan konflik negatif adalah konflik yang disalurkan melalui tindakan anarki, kudeta, saparatisme, dan revolusi Surbakti, 1992: 153.

2.2.4 Struktur Konflik

Menurut Paul Conn dalam Surbakti 1992: 154, situasi konflik ada dua jenis, pertama konflik menang-kalah zero-sum-confict dan konflik menang-menang non-zero-sum-confict. Konflik menang kalah adalah konflik yang bersifat antagonistik sehingga tidak mungkin tercapainya suatu kompromi antara masing-masing pihak yang berkonflik. Ciri-ciri dari konflik ini adalah tidak mengadakan kerjasama, dan hasil kompetensi akan dinikmati oleh pemenang saja. Konflik menang-menang adalah suatu konflik dimana pihak-pihak yang terlibat masih mungkin mengadakan kompromi dan kerjasama sehingga semua pihak akan mendapatkan keuntungan dari konflik tersebut Surbakti, 1992: 154.

2.2.5 Manajemen Konflik

Resolusi konflik menurut Harjana dalam Darmawan 2010: 6 terdiri dari 5 lima bentuk. Pertama, bersaing dan bertanding competiting, menguasai dominating, dan memaksa forcing. Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik yang berciri menang dan kalah. Kedua, kerjasama collaborating dan menghadapi confronting. Dalam hal ini, pihak yang terlibat konflik bekerja sama dan mencari pemecahan konflik yang memuaskan kepentingan kedua belah pihak. Cara ini merupakan pendekatan menang-menang. Ketiga, kompromi compromising dan berunding negotiating. Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik dimana pihak-pihak yang berkonflik tidak ada yang menang dan kalah. Lebih lanjut Harjana dalam Darmawan 2010: 6 menjelaskan resolusi konflik dengan menghindari avoiding atau menarik withdrawal. Dalam pendekatan kalah-kalah ini, kedua belah pihak tidak memperjuangkan kepentingan masing-masing bahkan mereka tidak memperhatikan perkara yang dikonflikkan. Terakhir, menyesuaikan accommodating memperlunak smoothing dan menurut obliging. Bentuk pengelolaan konflik ini merupakan pendekatan kalah menang Darmawan, 2010: 6. Selanjutnya, Dahrendorf dalam Surbakti 1992: 160 menyebutkan tiga bentuk pengaturan konflik. Pertama, bentuk konsiliasi seperti parlemen dimana semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka dan tanpa memonopoli pihak lain atau memaksakan kehendak. Kedua, bentuk mediasi yaitu pihak-pihak yang berkonflik sepakat mencari nasihat dari pihak ketiga seperti mediator berupa tokoh, ahli atau lembaga tertentu yang dipandang memiliki pengetahuan dan keahlian mendalam mengenai hal yang dipertentangkan. Ketiga, bentuk arbitrasi dimana kedua pihak sepakat untuk mendapatkan keputusan akhir yang bersifat legal sebagai jalan keluar konflik kepada pihak ketiga. Pengadilan atau lembaga- lembaga lainnya dapat dijadikan arbitrator Surbakti, 1992: 160. Dalam penelitian ini penulis mencoba meneliti fungsi tata kelola dan akomodasi yang di turunkan menjadi 4 empat buah indikator untuk mengetahui keberhasilan KPU Lampung dalam menyelenggarakan Pilgub Lampung Tahun 2015. Indikator yang pertama ialah transparansi dan akuntabilitas, kedua efektivitas dan keadilan, supremasi hukum, serta akomodasi.

2.2.5.1 Tata Kelola

Resolusi konflik membutuhkan penanganan dari dalam organisasi itu sendiri maupun dari luar organisasi tersebut dalam tesis ini menggunakan analisis fungsi tata kelola dan akomodasi yang dimiliki KPU Lampung dalam mengelola konflik penentuan jadwal Pilgub Lampung 2014. Tata kelola merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran, serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh komponen terkait. Sutiono 2004 memberi contoh bahwa UNDP United Nations Development Program mendeskripsikan adanya 6 indikator untuk kesuksesan tata kelola yang baik yaitu: 1. Mengikutsertakan semua Partisipasi; 2. Transparan dan Bertanggung jawab Akuntabel; 3. Efektif dan Adil; 4. Menjamin supremasi hukum; 5. Menjamin bahwa prioritas politik, sosial, dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat; 6. Memperhatikan yang paling lemah dalam pengambilan keputusan.

2.2.5.1.1 Transparansi dan Akuntabilitas

Konsep transparansi didefinisikan oleh Hardjasoemantri 2003 bahwa, “seluruh proses pemerintah, lembaga- lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-