Marketing politik calon anggota DPR RI Ledia Hanifa Amaliah dalam pemilihan anggota DPR RI periode 2014-2019

(1)

Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Sulastri Damayanti (1110051000192)

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

dalam sidang munaqosyah Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 2 Juli 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S.Kom.I) pada program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Jakarta, 2 Juli 2014 Dewan Sidang Munaqosyah

Ketua merangkap anggota Sekretaris merangkap anggota

Drs. Jumroni, M. Si Fita Fathurrokhmah, M. Si

NIP. 19630515 199203 1006 NIP. 19830610 200912 2 001

Anggota

Penguji I Penguji II

Dr. Armawati Arbi, M. Si Ade Masturi, MA

NIP. 19650207 199103 2 002 NIP. 197506062007101001

Pembimbing

Dr. Gun Gun Heryanto, M. Si NIP. 197608122005011005


(4)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah penulis skripsi dengan judul

“Marketing Politik Calon Anggota DPR RI Ledia Hanifa Amaliah dalam Pemilihan Anggota DPR RI Periode 2014-2019” dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil saya atau merupakan hasil orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Demikianlah pernyataan ini dibuat, diharapkan dapat dipergunakan dengan semestinya. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr wb

Jakarta, 2 Juli 2014 Penulis

Sulastri Damayanti NIM 1110051000192


(5)

Ledia Hanifa Amaliah merupakan politisi perempuan yang berasal dari partai islam. Selama karir politiknya ia telah tiga kali mengikuti pemilihan umum. Keberhasilannya pada tiap pemilu tak terlepas dari marketing politik. Selama menjabat ia menggunakan marketing politik untuk mensosialisasikan kinerjanya sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014, sekaligus mensosialiasikan dirinya sebagai caleg incumbent yang maju pada pemilu 2014-2019.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui marketing politik Ledia yang menggunakan pendekatan marketing politik. Dan berusaha menjelaskan faktor pendukung dan penghambat yang didapati Ledia dalam Pemilihan Anggota Legislatif Periode 2014-2019.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus. Studi kasus bertujuan untuk memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai interrelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus tersebut. Pengumpulan data melalui teknik observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Responden yang diwawancarai adalah Ledia Hanifa Amaliah, Yudiyana asisten pribadi Ledia di daerah pemilihan dan Zyrlifera Jamil asisten pribadi Ledia bidang media. Dokumen, gambar dan artikel berasal dari tim sukses Ledia juga dimasukan sebagai data.

Marketing politik yang dilakukan Ledia melalui pasar politik, produk politik dan positioning politik (penanaman dan penempatan image). Upaya positioning

yang dibangun Ledia dan tim sukses dengan cara menanamkan image kedekatan dengan masyarakat, image kedekatatan hubungan dengan media, dan image kerja nyata. Menggunakan dua saluran komunikasi politik, yakni tatap muka dan media. Saluran tatap muka sering digunakan karena cenderung mengena di hati masyarakat dan bersandar pada anggapan bahwa tidak semua masyarakat bisa mengakses media. Jenis-jenis saluran tatap muka yang dilakukan Ledia seperti: seminar, bank sampah, pelatihan mendongeng, pelatihan pemadam kebakaran, wayang dakwah, silaturahim ke tokoh atau warga dan lain-lain. Saluran media digunakan untuk mensosialisasikan figur dan kinerja Ledia serta untuk mensosialisasikan dirinya sebagai caleg incumbent. Jenis-jenis media yang digunakan seperti media cetak, media elektronik dan media sosial. Semenjak menjadi anggota dewan periode 2009-2014 ia mulai aktif menghidupkan sosial media. Facebook dan twitter ia kelola sendiri sedangkan untuk website dan news letter dikelola oleh tim media. Ledia memanfaatkan media elektronik ketika diminta menjadi narasumber pada acara tersebut. Dan faktor pendukung Ledia pada Pemilihan Anggota Legislatif periode 2014-2019 terdiri dari beberapa faktor, keberhasilan marketing politik, popularitas, jaringan, dan finansial. Adapun faktor penghambatnya adalah black campaign (kampanye gelap) dan money politic.


(6)

ii

Nya penulis bisa menyelesaikan pendidikan sampai tingkat Strata satu (S1). Shalawat dan salam tak lupa penulis haturkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, para keluarganya, para sahabatnya dan pengikutnya hingga

akhir zaman. Atas do’a dan usaha, dan perjalanan panjang, akhirnya penulis dapat menyelesaikan salah satu tugas penting yang mempertaruhkan segenap keilmuan yang penulis pelajari selama menuntut ilmu di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, walaupun jauh dari kesempurnaan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materiil, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, sebagai Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Arief Subhan, MAg. Sebagai Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Yang telah memberikan nasihat serta arahan kepada penulis.

3. Drs. Rachmat Baihaky, MA. Dan Fita Fathurakhmah, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

4. Bapak Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya, tenaga dan pikiran untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. Dan sebagai Dosen Komunikasi Politik yang merupakan ruang lingkup dari skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah memberikan begitu banyak wawasan, ilmu dan pengetahuan kepada penulis.


(7)

iii

7. Ibu Hj. Ledia Hanifa Amaliah, SSI. MPSI.T., Anggota DPR RI periode 2014-2019 yang juga sebagai Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI periode 2009-2014, yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan kepada penulis untuk melakukan wawancara dan penelitian dalam rangka mengumpulkan data-data untuk penyusunan skripsi ini.

8. Seluruh staff ibu Ledia Hanifa, Pak Yudiyana, Mba Fera, Mba Dewi dan DPD PKS Bandung, yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian.

9. Ayahanda Wawan dan Ibunda Entin Suhartini yang telah membesarkan

dengan kasih sayang, mendidik, selalu memberikan do’a dan berjuang

membanting tulang agar penulis bisa menyelesaikan kuliahnya. Pengorbanan kalian tak akan pernah penulis lupakan. Semoga keberkahan dan kebaikan senantiasa dilimpahkan kepada kalian serta senantiasa dalam lindungan Allah SWT.

10.Kakakanda Dwi Suhartono yang telah memperjuangkan penulis untuk bisa masuk kuliah dan Adinda Novia Anggraeni yang telah mengalah untuk menunda kuliah supaya penulis bisa menyelesaikan kuliahnya.

11.Keluarga besar Alm. Mumun, sepupu, encang, encing, mamang, keponakan dan semuanya, terima kasih banyak atas supportnya.

12.Seluruh keluarga besar Leadership Student Center (LSC) yang sudah memberikan penulis banyak pelajaran berharga dan kemudahan-kemudahan dalam menjalani studi. Spesial kepada Kak Endah Mawarti, S.TP yang telah mendorong penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang Strata satu (S1), yang sudah menjadi teman diskusi sekaligus guru buat penulis Teh Ainun Nurul Fitriyah, S.TP, yang selalu memberikan support, menemani dan berbagi suka duka Kak Sari Elput, SHI., Kak Sartika Dewi, A.Md., Kak Diah Cahaya Chanifa, S.Pd dan Kak Fitri Apriyani, S.Si., kalian the best sisters ever.


(8)

iv

mulai lemah dan menjadi motivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

14.Rekan-rekan mahasiswa KPI (F) angkatan 2010, yang telah bersama-sama berbagi ilmu, berdiskusi, bercanda, jalan-jalan dan saling berbagi rasa. Kalian luar biasa dan teristimewa. Untuk teman-teman KKN TEAM 87 Cariu, yang sudah bersama selama sebulan, berbagi suka duka. Dan teman-teman lain yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Kebersamaan bersama kalian, tawa canda memecah kejenuhan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya hanya kepada Allah penulis kembalikan semoga semua yang teah diberikan kepada penulis akan menjadi amal ibadah dan bermanfaat bagi penulis maupun yang lain.

Jakarta, 2 Juli 2014


(9)

v

KATA PENGANTAR………... ii

DAFTAR ISI……….. v

DAFTAR TABEL……… viii

DAFTAR DIAGRAM………. ix

DAFTAR GAMBAR………. x

DAFTAR LAMPIRAN……….. xi

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang……….. 1

B. Pembatasan Masalah……….. 14

C. Perumusan Masalah………... 14

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian……… 14

E. Metedologi Penelitian………..… 15

F. Kerangka Penelitian... 21

G. Tinjauan Pustaka………..… 22

H. Sistematika Penulisan……… 23

BAB II Landasan Teoritis Komunikasi Politik dan Markeeting Politik A. Konseptualisasi Komunikasi Politik………. 25


(10)

vi

B. Marketing Politik……….… 38

1. Pengertian Marketing Politik……….… 38

2. Konsep Marketing Politik………... 46

a. Pasar Politik……… 47

b. Produk Politik………. 48

c. Positioning Politik……….. 49

C. Konseptualisasi Anggota Legislatif…... 52

BAB III Profil Ledia Hanifa Amaliah A. Pendidikan……….. 62

B. Karir Politik………. 63

BAB IV Temuan dan Analisis Data A. Marketing Politik Ledia Hanifa Amaliah pada Pemilihan Anggota DPR RI………... 67

1. Pasar Politik………... 68

2. Produk Politik……... 70

3. Positioning Politik……… 72

a. Saluran Tatap Muka……… 76

b. Saluran Media………. 89


(11)

vii

B. Saran-saran………. 104

DAFTAR PUSTAKA


(12)

viii

2009 daerah pemilihan JABAR 1... 9

Tabel 2 Kegiatan tatap muka dan sosialisasi Ledia 14 Maret 2014 – 1 April 2014... 80

Tabel 3 Peringkat Kegiatan Tatap Muka Ledia Hanifa 9 Februari – 6 April

2014……… 84

Tabel 4 Penampilan Ledia di radio lokal dan nasional masa pra kampanye Mei 2011 – Januari 2013... 93

Tabel 5 Artikel Ledia di harian nasional masa pra kampanye Juni 2011 – Juni 2013... 93

Tabel 6 Artikel Ledia di majalah masa pra kampanye November 2011 – Desember 2013... 94

Tabel 7 Penggunaan media massa pada kampanye terbuka 20 Maret 2014 – April 2014... 95

Tabel 8 Pemetaan media berdasarkan jenis media... 99


(13)

ix

Lima Pasar dalam Kampanye Politik………. 47


(14)

x

Gambar 1.2 Ledia bersama KRu dan Dalang Wayang Dakwah………… 85

Gambar 2.1 Sosialisasi Komisi VIII melalui account twitter @lediahanifa 97

Gambar 2.2 Kampanye Politik Ledia Hanifa melalui account twitter


(15)

xi

2. Profil Ledia Hanifa Amaliah 3. Surat keterangan penelitian

4. Draft wawancara dengan Ledia Hanifa Amaliah 5. Draft wawancara dengan Zyrlifera Jamil

6. Draft wawancara dengan Yudiyana 7. Data KPU 2009

8. Data KPU 2014


(16)

1 A. Latar Belakang

Menjelang pesta demokrasi besar bangsa Indonesia pada tahun 2014, sedari dini, kesibukan mulai diperlihatkan parpol-parpol peserta pemilu maupun calon-calon yang terlibat dalam pemilihan anggota legislatif. Mereka berlomba-lomba menampilkan yang terbaik dengan bermacam-macam cara untuk memperoleh dukungan dari masyarakat dan mendapat kedudukan serta kekuasaan dalam pemerintahan. Dan disinilah komunikasi politik memainkan peranannya.

Pemilihan umum sebagai agenda lima tahunan adalah momen penting untuk menentukan pilihan rakyat yang akan menjadi perwakilannya di pemerintahan yang bertugas membangun bangsa. Dalam undang-undang telah dijelaskan mengenai fungsi pemilihan umum yaitu sebagai sarana untuk memilih Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pemilu, sesuai ketentuan hukum, harus dilaksanakan menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka.1

Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolak ukur, dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat. Masyarakat bebas menentukan pilihannya sendiri yang

1

Dedi Kurnia Syah Putra, Media dan Politik: Menemukan Relasi Antara Dimensi Simbiosis-Mutualisme Media dan Politik, (Graha Ilmu, Jogjakarta: 2012), ed 1, cet 1, h. 82.


(17)

menurutnya pantas dan layak untuk dijadikan pemimpin serta dapat mewakili aspirasinya. 2

Momentum lima tahunan ini hadir sebagai agenda rutin bangsa Indonesia. Agenda terdekat adalah pemilihan anggota legislatif yang jatuh pada 9 April 2014. Parpol-parpol peserta pemilu telah mengirimkan wakil-wakil mereka dalam pemilihan anggota legislatif periode 2014-2019. Banyaknya calon yang ikut dalam pemilihan anggota legislatif semakin menambah ramai pemilihan anggota legislatif ini. Masyarakat disodorkan berbagai pilihan calon yang akan mereka percayakan untuk mengemban amanah rakyat dengan berbagai latar belakang.

Dahulu, persaingan perebutan kekuasaan politik di Indonesia umumnya di dominasi oleh kaum laki-laki. Pada kenyataannya kaum laki-lakilah yang menguasai perpolitikan di Indonesia. Merekalah yang menduduki kekuasaan tinggi dan penting dalam percaturan politik di Indonesia. Hal ini bukan tanpa alasan karena partisipasi politik perempuan di Indonesia saat itu masih sangat rendah dan partisipasi perempuan di Indonesia ibarat barang langka.

Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan adalah ide yang selalu didengungkan selama berabad-abad. Terminologi publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep jender, peran jender, dan streotipe, telah menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan laki-laki. Efek tidak langsung dari ide ini adalah membatasi partisipasi politik perempuan.3

2

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka utama: 2010), edisi revisi, cet ke 4, h. 461.

3

Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana-Esai Pilihan 1999-2004, (Jakarta, Kompas: 2005), h. 25-26.


(18)

Seolah telah mengakar pada kebudayaan manusia, mindset dan juga kerangka pemikiran tentang konsep wanita yang identik dengan hal-hal yang beraroma rumahan, sebagai juru masak, pengasuh anak, atau peran pasif lainnya, lebih ekstrem lagi wanita memandang dirinya sebagai asumsi objek seksualitas, tidak memiliki ruang untuk mengambil keputusan dan tersekat oleh Patriarchy. Hal ini semakin menegaskan ketidaktepatan perempuan jika bergabung dengan politik.4

Akibat yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marjinalisasi dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Ini artinya, keberadaan perempuan dalam kehidupan politik formal di banyak tempat memperlihatkan gambaran yang tidak menggembirakan.5

Selama ini, perempuan dalam bingkai politik belum sampai pada tingkat maksimal. Dalam sejarah pemilihan umum (Pemilu), misalnya, anggapan masyarakat Indonesia terhadap pilihan perempuan politik masih sebagai pilihan kedua untuk menduduki posisi dalam politik (jabatan politik). Masyarakat masih mempercayakan pilihan mereka pada kaum laki-laki. Pembuktian asas asumsi ini dapat dilihat dari data yang ada dalam sejarah perpolitikan Indonesia sejak dilakukannya pemilu untuk pertama kalinya pada tahun 1955. Belum lagi asumsi dari wilayah agama, perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan untuk berpolitik bahkan secara ekstrem ada beberapa keyakinan kelompok agama tertentu untuk mengharamkan perempuan berpolitik, semisal menjadi pemimpin.6

4

Dedi Kurnia Syah Putra, Media dan Politik-Menemukan Relasi Antara Dimensi Simbiosis-Mutualisme Media dan Politik, (Yogyakarta, Graha Ilmu: 2012), ed 1, cet 1, h. 95.

5

Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana-Esai Pilihan 1999-2004, (Jakarta, Kompas: 2005), h. 25-26.

6

Dedi Kurnia Syah Putra, Media dan Politik-Menemukan Relasi Antara Dimensi Simbiosis-Mutualisme Media dan Politik, (Yogyakarta, Graha Ilmu: 2012), ed 1, cet 1, H. 97


(19)

Gambaran umum dari partisipasi perempuan dan politik di Indonesia memperlihatkan representasi yang rendah dalam semua tingkatan pengambilan keputusan, baik ditingkat eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun birokrasi pemerintahan, partai politik dan kehidupan publik lainnya.

Selain rendahnya representasi atau keterwakilan perempuan dalam kehidupan politik dalam arti jumlah atau kuantitas, maka ada gambaran lain yang melengkapinya yakni persoalan kualitas. Partisipasi politik perempuan, jika memang itu ada, hanya terkesan memainkan peran sekunder. Mereka hanya dilihat sebagai pemanis atau penggembira sebagai cermin rendahnya pengetahuan mereka di bidang politik. Kita bisa mengamati bahwa betapa sedikitnya politisi atau tokoh perempuan yang mempunyai pengetahuan yang luas mengenai berbagai persoalan publik yang dihadapi masyarakat Indonesia. Persoalan sensitivitas atau kepedulian terhadap isu-isu perempuan seperti soal kekerasan negara terhadap perempuan, kesehatan reproduksi, pelecehan seksual, gizi anak dan lainnya yang sejenis, serta pernikahan dan kepedulian pada persoalan tersebut rasa-rasanya memang bukan menjadi agenda utama bagi mereka para penentu kebijakan.7

Alasan lain untuk menjelaskan rendahnya representasi perempuan sebagai

calon legislatif adalah apa yang sering dikemukakan sebagai “definisi tentang politik”. Yang sering dianggap tabu, kotor, penuh bahaya dan tidak cocok bagi

perempuan. Wilayah ini dirasa kurang tepat bagi perempuan yang selama ini dianggap sebagai kaum yang lemah. Selain itu ada juga pelabelan bahwa

7

Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana-Esai Pilihan 1999-2004, (Jakarta, Kompas: 2005), h. 22-23.


(20)

perempuan pada umumnya buta politik, tidak tertarik dengan kehidupan, dan ini semua hanya semakin mematahkan semangat mereka untuk berpartisipasi dalam ranah politik.8

Kondisi demikian tidak lagi terjadi pada masa kini, perempuan sekarang telah memperkuat posisinya sebagai penyeimbang kaum laki-laki. Kaum perempuan mulai menunjukan perannya dalam politik dengan bergelut secara praktik, politik dan juga pewaris emansipasi tentu memaknai emansipasi sebagai hak dan juga kewajiban atas dasar perilaku wanita, bukan berdasar pada asumsi emansipasi liberal. Lebih dari itu, di beberapa negara, wanita menjadi sosok penting bagi politik. Termasuk di Indonesia yang sempat dipimpin oleh seorang wanita, yaitu Megawati Soekarno Putri sang putri Presiden Ir. Soekarno.9

Peningkatan partisipasi politik perempuan pada pemilu kali ini, terlihat dari banyaknya perempuan yang terdaftar sebagai calon anggota legislatif tingkat DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten. Hal ini, ditanggapi baik oleh Ledia Hanifa Amaliah, yang turut berpartisipasi sebagai calon anggota DPR RI dari daerah pemilihan (Dapil) Jawa Barat (Jabar) I yang meliputi Kota Bandung dan Cimahi. Beliau akan bersaing dengan 83 calon lainnya yang 35 diantaranya merupakan calon legislatif perempuan.

Sebenarnya, kedudukan perempuan di Indonesia secara formal cukup kuat karena didukung oleh undang-undang serta peraturan lain yang memberi

8Susan Blackburn, “

The 1999 election in Indonesia; Where were the woman?” kertas

kerja yang dipresentasikan dalam lokakarya The Indonesian Election : An Analysis, Monash University, 25 Juni, 1999 dalam Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana-Esai Pilihan 1999-2004, (Jakarta, Kompas: 2005), h. 34.

9

Dedi Kurnia Syah Putra, Media dan Politik-Menemukan Relasi Antara Dimensi Simbiosis-Mutualisme Media dan Politik, (Yogyakarta, Graha Ilmu: 2012), ed 1, cet 1, h. 95.


(21)

perlindungan yuridis padanya. Selain itu, Indonesia pun telah meratifikasi dua perjanjian, yaitu Perjanjian mengenai Hak Politik Perempuan (Convention on the Political Rights of Women) dan Perjanjian mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Political Elimination of All Forms of Discrimination against Women atau CEDAW). Kemudian pada 1993, Indonesia telah menerima Deklarasi Wina yang sangat mendukung kedudukan perempuan. Akhirnya, dalam Undang-Undang Pemilihan Umum 2004 dibuka kesempatan agar perempuan dipertimbangkan menduduki 30% kursi wakil rakyat.

Akhirnya sukses terbesar diperoleh ketika Undang-Undang No. 12 tahun 2003 tentang pemilu memberi peluang baru dengan menetapkan dalam Pasal 65 (1):

“Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.”10

Sekalipun dianggap kurang memenuhi aspirasi sebagian besar kaum perempuan, tetapi undang-undang itu memberian kesempatan bagi perempuan untuk berperan aktif dalam politik dan menjadi cambuk bagi perempuan untuk mempersiapkan diri bertarung dalam pemilu-pemilu yang akan datang.11

Dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan di Indonesia baik secara kuantitas maupun kualitas, pemerintah dalam hal ini tidak bisa bergerak sendiri. Perlu adanya dukungan dari luar untuk bisa mewujudkannya. Dalam hal ini, partai politik memiliki peranan penting untuk membantu pemerintah dalam

10

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka utama: 2010), edisi revisi, cet ke 4, h. 257-259.

11

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka utama: 2010), edisi revisi, cet ke 4, h. 257-259.


(22)

meningkatakan partisipasi politik perempuan di Indonesia baik secara kualitas maupun kuantitas.

Partai politik adalah salah satu pilar demokrasi dan institusi strategis yang bisa dijadikan alat untuk meningkatkan keterwakilan politik perempuan. Bentuk dukungan partai politik bisa diwujudkan melalui proses internal masing-masing parpol. Proses internal yang dilakukan parpol hendaknya tidak hanya mengedepankan permasalahan kuantitas tetapi juga memerhatikan permasalahan kualitas karena persoalan kualitas bisa menjadi bekal bagi para politisi khususnya politisi perempuan.12

Ledia merupakan salah satu politisi yang lahir dari proses pengkaderan panjang di partainya. Keterlibatannya dalam dunia politik dimulai sejak reformasi 1998 bergulir. Seiring berdirinya Partai Keadilan (PK) yang akhirnya berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di partainya, ia kerab menduduki posisi-posisi strategis terutama dibidang kewanitaan seperti Staf Deputi Kewanitaan DPW PK Jakarta (1998-1999), Pjs Ketua Deputi Kewanitaan DPW PK DKI Jakarta (1999-2000), Ketua Deputi Pemberdayaan Wanita DPW PKS Jawa Barat (2000-2005), Ketua DPP PKS Bidang Kewanitaan (2005-2010).13

Proses pengkaderan di partainya membuat Ledia masuk sebagai golongan politisi ideolog yang kehadirannya bukan sebagai pendulang suara semata. Politisi ideolog adalah komunikator politik yang menjadi kader ideologi dan representasi nilai-nilai normatif yang diusung oleh individu atau kelompok politik. Biasanya

12

Lena Maryana Mukti, Kelompok Kerja Keterwakilan Perempuan, artikel diakses pada 25 September 2013 dari http://www.komnasperempuan.or.id

13

Bobby Reza Satrian, Profil Ledia Hanifa Amaliah, artikel diakses pada 19 Januari 2014 dari http://m.merdeka.com/profil/indonesia/I/ledia-hanifa-amaliah/


(23)

berdasarkan sebuah proses kaderisasi yang panjang. Politikus tipe ini adalah orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, tidak peduli apakah mereka dipilih, ditunjuk, atau pejabat karier, dan tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif atau yudikatif. Yang jelas bagi politisi jenis ini, berpolitik sesuai dengan nafas ideologi yang dia yakini jauh lebih penting dari pada kepentingan pragmatisnya.14

Jika melihat rekam jejak Ledia, perempuan berkacamata ini tergolong aktif. Saat ini ia juga tercatat sebagai anggota Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan (2009-2014). Ia menjabat Ketua Departemen Kebijakan Kesehatan, Kependudukan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bidang Kebijakan Publik DPP Partai Keadilan Sejahtera (2010-2015).15

Majunya Ledia dalam pemilu legislatif periode 2014-2019 ini merupakan kali kedua baginya. Periode lalu 2009-2014, ia berhasil menjabat Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI yang membidangi Agama, Sosial dan Pemberdayaan Perempuan.

Pada pemilihan anggota DPR RI tahun 2009 Dapil Jabar I, fraksi PKS mendapatkan dua kursi. Suharna Surapranata yang mendapat nomor urut satu, unggul dengan perolehan 36.515 suara sah. Sedangkan, Ledia Hanifa Amaliah yang mendapat nomor urut dua berhasil mengantongi 28.228 suara sah sekaligus menempati posisi kedua perolehan suara dari PKS.16

14

Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar, (Bogor, Ghalia Indonesia: 2013), cet 1.

15

Bobby Reza Satrian, Profil Ledia Hanifa Amaliah, artikel diakses pada 19 Januari 2014 dari http://m.merdeka.com/profil/indonesia/I/ledia-hanifa-amaliah/

16


(24)

Peringkat perolehan suara di Dapil Jabar I yang memperebutkan tujuh kursi, Ledia berada di peringkat kelima. Ledia menjadi satu-satunya perwakilan perempuan dari partai islam untuk Dapil Jabar I.

TABEL 1 DAFTAR TERPILIH

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PEMILIHAN UMUM TAHUN 2009

DAERAH PEMILIHAN : JAWA BARAT I

No Partai Politik

No. Urut DCT

Nama Calon Terpilih Suara Sah

Peringkat Prosentase Suara Sah 1 Partai

Demokrat

1 Agung Budi Santoso, SH

74,870 1 28,05%

2 Partai Demokrat

2 H. Daday Hudaya, SH., MH.

47,208 2 17,68%

3 Partai Keadilan Sejahtera

1 Drs. H. Suharna Surapranata, MT.

36,515 3 13,68%

4 Partai Demokrat

3 Yetti Heryati 29,841 4 11,18%

5 Partai Keadilan Sejahtera

2 Hj. Ledia Hanifa Amaliah, SSI, MPSI.T

28,228 5 10,57%

6 Partai Golongan Karya

1 Dra. Popong Otje Djundjunan

25,260 6 9,46%

7 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

1 Drs. H. Setia Permana 24,948 7 9,34%

Sumber: http://mediacenter.kpu.go.id

Torehan yang didapat Ledia pada Pemilu 2009 lalu, menggambarkan bahwa kehadiran Ledia sebagai politisi perempuan dari partai islam telah mendapat penerimaan dari masyarakat. Kepercayaan ini yang menghantarkan Ledia sebagai wakil dari Jabar I yang duduk sebagai wakil rakyat periode 2009-2014.


(25)

Perjalanan karir politik Ledia sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014 diwarnai dengan perombakan komposisi yang dilakukan oleh Fraksi PKS. Selama menjadi anggota DPR RI, Ledia pernah duduk di Komisi IX dan Komisi X. Kali ini ia duduk di Komisi VIII sebagai Wakil Ketua Komisi VIII menggantikan Jazuli Juwaini yang dipindah ke Komisi II menggantikan Rahman Amin.17

Karir Ledia di Komisi VIII diwarnai dengan kritik-kritik yang diajukan kesejumlah pelayanan dan kebijakan seperti belum maksimalnya layanan sistem komputerisasi haji terpadu (siskohat),18 temuan Komisi VIII mengenai pembagian BLSM di Yogya tidak tepat sasaran,19 Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) yang perlu disisir ulang agar menemukan fokusnya sehingga tidak tumpang tindih dengan UU yang telah berlaku20, dan permasalahan lainnya.

Selain kritik-kritik yang diajukan, Ledia turut memperjuangkan pengesahan RUU yang memihak pada rakyat seperti RUU JPH (Jaminan Produk Halal). Meskipun lobi untuk RUU JPH batal dikarenakan banyak anggota dan Kapoksi yang tidak hadir, ini tak menyurutkan langkahnya untuk tetap berupaya agar RUU JPH segera disahkan.21

Apa yang telah dilakukan Ledia selama menjabat Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI sedikit banyak memengaruhi upayanya dalam Pemilu kali ini. Sebagai Calon Anggota DPR RI dari petahana, pengalaman dan medan politik yang lebih

17

Iman Firdaus, Ini Arahan Fraksi PKS Buat Ledia Hanifa, artikel diakses pada tanggal 10 Februari 2014 dari www.jurnalparlemen.com

18

Iman Firdaus, Temuan Komisi VIII Pembagian BLSM di Yogya Tidak Tepat Sasaran, artikel diakses pada tanggal 30 Januari 2014 dari www.jurnalparlemen.com

19

Iman Firdaus, Ini Arahan Fraksi PKS Buat Ledia Hanifa, artikel diakses pada tanggal 10 Februari 2014 dari www.jurnalparlemen.com

20

Iman Firdaus, Agar Fokus RUU KKG Perlu Disisir Ulang, artikel diakses pada tanggal 30 Januari 2014 dari www.jurnalparlemen.com

21

Lobi Batal, RUU Jaminan Produk Halal Bakal Molor, artikel diakses pada tanggal 30 Januari 2014 dari www.jurnalparlemen.com


(26)

dulu ia ketahui menjadi modal besar baginya. Selain itu, pengalaman berpolitik yang cukup lama dengan menduduki jabatan-jabatan strategis di partainya membuat Ledia mantap melaju sebagai anggota DPR RI periode mendatang.

Pada pemilu legislatif 2014 ini, Ledia akan bertarung dengan lima calon rekan separtainya untuk merebutkan kursi DPR RI di Dapil Jabar 1. Daftar calon tetap anggota DPR RI Dapil Jabar 1 dari PKS adalah: (1) Asep Saefulloh Danu, (2) Ahmad Kuncaraningrat, (3) Ledia Hanifa Amaliah, (4) Arif Minardi, (5) Achmad Zulkarnain, dan (6) Zirly Nova Jamil.22

Selain menghadapi rekan separtainya, Ledia harus bersaing pula dengan caleg

incumbent di dapil Jabar 1. Para pesaingnya diincumbent diantaranya Popong Otje Djundjunan yang merupakan politisi senior dari partai Golkar, Agung Budi Santoso politisi partai Demokrat yang pada pemilu 2009 memperoleh suara terbanyak di Dapil Jabar 1 dan Daday Hudaya politisi senior partai Demokrat yang pada pemilu 2009 memperoleh suara terbanyak kedua di Dapil Jabar 1.

Pertarungan Ledia di dapil Jabar I bukanlah perkara ringan. Seperti yang disebutkan beberapa media online dalam pemberitaannya kerap kali menyebutkan dapil Jabar I sebagai dapil “neraka”. Ini merupakan gambaran pertarungan di dapil Jabar 1 sangat sengit. Di dapil Jabar 1 terdapat politisi senior, atlet dan artis terkenal yang turut berlaga dalam pileg 2014.23

22

DCS DPR 2014-3201. JABAR I. pdf. Artikel diakses pada tanggal 31 Desember 2013 dari www.kpu.go.id

23

Artis, Atlet dan Politisi Senior ‘Perang’ di Dapil Jabar 1 artikel diakses pada Jum’at,

11 Juli 2014 dari http://m.news.viva.co.id/news/read/492664-artis--atlet-dan-politisi-senior--perang--di-dapil-jabar-1


(27)

Ketatnya peta persaingan di Jabar 1 membuat Ledia dan tim suksesnya harus bekerja ekstra keras. Selain persoalan-persoalan di atas, Ledia pun harus berhadapan dengan persoalan nomor urut. Ini menjadi penting dicermati oleh seoarang kandidat yang bersaing karena tak jarang nomor urut menjadi kunci kesuksesan seorang kandidat untuk mendapatkan suara dari para pemilihnya.

Jika pada pemilu tahun 2009 lalu, Ledia mendapat nomor urut dua dan menempati urutan kedua dalam perolehan suara sah di partainya. Kini pada pemilu 2014, ada pergeseran nomor urut sehingga ia mendapat nomor urut tiga. Pergeseran nomor urut ini merupakan ketetapan partai tempat Ledia berafiliasi.

Mencermati kondisi yang demikian, strategi seperti apakah yang sekiranya bisa membantu Ledia Hanifa Amaliah, untuk dapat memenangi pemilu 2014 ini. Mengingat peta persaingan yang semakin ketat, bukan hanya dari rekan-rekan separtainya saja melainkan calon-calon dari partai lain yang turut bertanding dalam pemilu 2014.

Persaingan yang semakin ketat menuntut para kandidat berupaya lebih kuat menarik simpati calon pemilih. Para kandidat harus bisa memperkenalkan diri mereka ke publik dan meyakinkan calon pemilih bahwa mereka layak mengemban amanah yang dititipkan masyarakat. Upaya ini bisa terwujud jika diimbangi dengan pemasaran atau marketing kandidat.

Selama ini kita mengetahui bahwa marketing merupakan bagian dari ekonomi. Namun seiring kebutuhan politik dan keadaan persaingan yang semakin ketat menuntut marketing turut digunakan pula dalam politik. Marketing yang


(28)

dimaksud di sini bukanlah marketing atau pemasaran ekonomi melainkan marketing atau pemasaran politik.

Pada awalnya pemasaran atau marketing bukanlah bagian dari politik. Karena keduanya merupakan dua disiplin ilmu yang berbeda. Mencermati kebutuhan politik dan keadaan persaingan yang semakin ketat, maka marketing dan politik bersatu menjadi pedoman baru dalam persaingan politik. Dan kini para kandidat mulai ramai menggunakan marketing politik dalam persaingan politik mereka.

Saat ini masyarakat semakin cerdas dalam menentukan pilihannya. Rakyat sudah dapat membedakan mana yang gemar memberi janji dan mana yang bekerja nyata. Rakyat sudah tidak ingin lagi digempur dengan janji-janji para wakil rakyat. Ini menjadi tugas penting bagi para kandidat beserta tim suksesnya dalam meramu strategi komunikasi politik yang baik untuk dapat memenangkan hati rakyat sehingga mau memberikan suaranya pada calon tersebut.

Menyikapi persaingan sengit di dapil Jabar 1 dan kondisi masyarakat yang semakin cerdas politik membuat Ledia beserta tim suksesnya mengatur strategi untuk dapat memenangkan persaingani ini. Dan marketing politik menjadi pilihan Ledia dan tim suksesnya sejak lima tahun lalu ketika menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014 lalu.

Marketing politik seorang politisi dalam persaingan politiknya begitu menarik untuk dicermati, terlebih Ledia adalah politisi perempuan dari partai islam. Oleh sebab itu penulis tertarik meneliti marketing politik Ledia yang kemudian dituangkan dalam judul: “Marketing Politik Calon Anggota DPR RI Ledia Hanifa Amaliah dalam Pemilihan Anggota DPR RI periode 20014-2019”.


(29)

B. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitian ini dibatasi pada : Kegiatan marketing politik yang dilakukan Ledia Hanifa Amaliah dalam pemilihan anggota DPR RI periode 2014-2019.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas dapat ditarik rumusan permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimana marketing politik yang dijalankan Ledia Hanifa Amaliah dalam menghadapi Pemilihan anggota legislatif periode 2014-2019? b. Apa saja faktor pendukung dan penghambat marketing politik Ledia

Hanifa Amaliah dalam menghadapi Pemilihan anggota legislatif periode 2014-2019?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang ada sebagaimana tersebut di atas, maka tujuan tulisan sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui marketing politik yang dibangun Ledia Hanifa Amaliah, bersama tim suksesnya dalam pemilihan anggota DPR RI periode 2014-2019.

b. Untuk mengetahui faktor pendukung dan hambatan atau tantangan yang dialami Ledia Hanifa Amaliah, beserta tim suksesnya dalam pemilihan anggota legislatif periode 2014-2019.


(30)

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : a. Manfaat Akademis

Menerapkan ilmu komunikasi secara teoritis dalam hasil penelitian dan menunjang serta mengembangkan ilmu pengetahuan yang diterapkan di bidang komunikasi politik.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para teoritis, praktisi dan pemikir dalam bidang komunikasi politik, para calon anggota legislatif serta partai politik. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan baru mengenai partisipasi politik perempuan, sehingga tidak ada lagi kekeliruan dalam menyikapi partisipasi politik perempuan baik dalam konteks agama maupun bernegara.

E. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan penelitian

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah desain kualitatif dimana desain ini dinilai tepat untuk melihat proses dan keutuhan fenomena yang terjadi. Pendekatan kualitatif mencoba menerjemahkan pandangan-pandangan dasar interpretatif dan fenomenologis yang antara lain: (1) realitas sosial adalah sesuatu yang subjektif dan diinterpretasikan, bukan sesuatu yang lepas di luar individu-individu; (2) manusia tidak secara sederhana disimpulkan mengikuti hukum-hukum alam di luar diri,


(31)

melainkan menciptakan rangkaian makna menjalani hidupnya; (3) ilmu didasarkan pada pengetahuan sehari-hari, bersifat induktif, idiografis dan tidak bebas nilai, serta (4) penelitian bertujuan untuk memahami kehidupan sosial.24

Selain itu, penelitian ini menggunakan tipe penilitian Studi kasus. Studi kasus adalah penelitian yang dilakukan terbatas pada masalah khusus (kasus tertentu). Studi kasus membuat peneliti dapat memperoleh pemahan utuh dan terintegrasi mengenai interrelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus khusus tersebut.25

Studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa tipe: 26

 Studi kasus intrinsik: penelitian dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus khusus. Penelitian dilakukan untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep/teori ataupun tanpa upaya menggeneralisasi.

 Studi kasus instrumental: penelitian pada suatu kasus unik tertentu, dilakukan untuk memahami isu dengan lebih baik, juga untuk mengembangkan, memperhalus teori.

24

S. Sarantoks, Social Research. (Melbourne, MacMillan Education Australia Pty Ltd: 1993) dalam E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia,

(Depok, LPSP3 UI: 2005), edisi 3, h.25-26.

25

S. Sarantoks, Social Research. (Melbourne, MacMillan Education Australia Pty Ltd: 1993) dalam E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, h. 108.

26

S. Sarantoks, Social Research. (Melbourne, MacMillan Education Australia Pty Ltd: 1993) dalam E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, h. 108.


(32)

 Studi kasus kolektif: suatu studi kasus instrumental yang diperluas sehingga mencakup beberapa kasus. Tujuannya adalah untuk mempelajari fenomena/populasi/kondisi umum dengan lebih mendalam. Karena menyangkut kasus majemuk dengan fokus baik di dalam tiap kasus maupun antar kasus, studi kasus ini sering juga disebut studi kasus majemuk, atau studi kasus komparatif.

Dalam penelitian kali ini, penulis menggunakan studi kasus instrinsik karena dalam marketing politik Ledia terdapat beberapa keunikan.

Pertama, Ledia telah mengikuti tiga kali pemilihan umum. Pada tahun 2004 Ledia menjadi calon anggota DPRD Provinsi pada daerah pemilihan Jabar VI (Depok-Bekasi). Saat itu, pemilu di Indonesia masih menggunakan sistem proporsional tertutup (berdasarkan nomor urut) sehingga Ledia yang saat itu tak mendapat nomor urut satu harus kandas meski perolehan suaranya besar. Tahun 2009 ia terpilih sebagai anggota DPR RI dari Dapil Jabar I (Bandung-Cimahi). Dan tahun 2014 kembali mencalonkan dari Dapil yang sama.

Kedua, Ledia merupakan salah satu politisi yang ditunjuk partainya (PKS) untuk menjadi wakil rakyat di Dapil Jabar I. Hal yang perlu kita ketahui, bahwasannya, Ledia bukan berasal dari Dapil Jabar I. Ia lahir dan tinggal di Jakarta. Namun, pada pemilu 2009 lalu ia berhasil mendulang kesuksesan sebagai wakil rakyat dari Jabar I. Ia berhasil meyakini para pemilih di Jabar I untuk memberikan dukungan dan suara mereka kepada Ledia meskipun ia bukan berasal dari daerah yang diwakilinya.


(33)

Ketiga, dalam hal distribusi dan alokasi kader partai terjadi melalui tahapan yang panjang dalam proses kaderisasi. Setiap wakil rakyat yang maju sebagai calon wakil rakyat bukan atas dasar keinginan pribadi, melainkan perintah dan penunjukan langsung dari Partai. Penunjukan yang dilakukan partai terhadap Ledia, melalui proses pertimbangan dan musyawarah majelis syuro PKS. Sehingga wakil yang ditunjuk benar-benar memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam politik, bukan sekedar pendongkrak suara.

2. Tahapan Penelitian

Berdasarkan manfaat empiris, bahwa metode pengumpulan data kualitatif yang paling independen terhadap semua metode pengumpulan data dan teknik analisis data adalah metode wawancara mendalam, observasi, dan dokumenter. Dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Pengumpulan data

1) Wawancara mendalam merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)

wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan


(34)

informan.27 Dalam hal ini, peneliti mewawancarai Ledia Hanifa Amaliah dan Tim Suksesnya.

2) Observasi, istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut.28 Pada observasi ini, peneliti mengamati marketing politik yang dilakukan Ledia Hanifa Amaliah, berserta Tim Suksesnya serta mengamati berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Ledia Hanifa Amaliah, beserta Tim Suksesnya.

3) Dokumenter adalah suatu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada intinya metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis.29 Dalam hal ini peneliti mengumpulkan data-data dari berbagai sumber yang dapat mendukung penelitian yang sedang dilakukan.

b. Pengelolaan Data

Berdasarkan wawancara dan observasi yang dilakukan, peneliti mendapatkan sejumlah data. Data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa narasi, deskripsi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis (gambar, foto)

27

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya, (Jakarta, Kencana: 2010), ed 1, cet 4, h. 208.

28

E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia,

(Depok, LPSP3 UI: 2005), edisi 3, h. 116.

29

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya, h. 121.


(35)

ataupun bentuk-bentuk non angka lain.30 Data-data tersebut kemudian diolah dan dihubungan dengan berbagai data yang ada sehingga menjadi sebuah kesimpulan yang bermakna. Kesimpulan tersebut diangkat dari fakta-fakta yang ditemukan selama penelitian.

Teknik penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku bimbingan skripsi UIN Jakarta “PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI”, (FITK UIN: Jakarta, 2011) serta terikat dengan peraturan pemakaian bahasa dengan ejaan (EYD). Dengan pengecualian bahasa asing. c. Analisa data

Berdasarkan wawancara dan observasi yang dilakukan, peneliti mendapatkan sejumlah data. Data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa narasi, deskripsi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis (gambar, foto) ataupun bentuk-bentuk non angka lain.31 Data-data tersebut kemudian diolah dan dihubungan dengan berbagai data yang ada sehingga menjadi sebuah kesimpulan yang bermakna. Kesimpulan tersebut diangkat dari fakta-fakta yang ditemukan selama penelitian.

3. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah Ledia dan tim suksesnya yang berkaitan dengan pembatasan dan perumusan masalah. Adapun objek

30

E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia,

(Depok, LPSP3 UI: 2005), edisi 3, h. 143.

31

E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia,


(36)

penelitiannya adalah marketing politik yang digunakan Ledia dan tim suksesnya.

F. Kerangka Penelitian

Kerangka dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Sumber: Bruce I Newman, Handbook of Political Marketing(1999) dan Zulkariem Nasution,

Komunikasi Politik Suatu Pengantar(1990)

Komunikasi politik menjadi bahasan utama dalam penelitian ini karena penelitian ini mengangkat tentang bagaimana seorang kandidat mempersiapkan diri dalam pemillihan legislatif.

Marketing politik merupakan bagian dari komunikasi politik, sama halnya seperti retorika politik maupun public relations politik. Marketing politik ini digunakan Ledia untuk mensosialisasikan dirinya dalam pemilihan anggota DPR RI periode 2014-2019.

Komunikasi Politik

Marketing Politik

Pasar Politik

Saluran Media

Produk Politik

Positioning Politik

Saluran Tatap Muka


(37)

Pasar politik, produk politik dan positioning politik merupakan bagian tak terpisahkan dalam marketing politik. Pada bagian-bagian inilah Ledia dan tim suksesnya menganalisa dan meramu strategi marketing politik mereka.

Saluran komunikasi politik terdiri dari lima saluran yakni tatap muka, sosial tradisional, masukan (input), output, dan media massa. Ledia dan tim suksesnya menggunakan dua saluran yakni media dan tatap muka. Kedua saluran ini digunakan dalam rangka positioning Ledia sebagai calon anggota DPR RI.

G. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian sebelumnya yang membahas tentang strategi komunikasi politik, diantaranya:

Misliyah menemukan tim sukses Mochtar Muhammad-Rahmat Effendi dalam kampanye Pilkada Walikota Bekasi menggunakan marketing politik melalui saluran media. Media yang digunakan meliputi media cetak dan media elektronik. Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis terletak pada proses marketing politik yang dilakukan melalui saluran media. Dan perbedaannya adalah penelitian ini memfokuskan pada agenda setting media dari marketing politik sedangkan penelitian yang dilakukan penulis memfokuskan pada saluran yang digunakan dalam marketing politik.32

Muhammad Rhagyl Indratomo menemukan Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis terdapat pada iklan PKS di media massa yang mana PKS menggunakan saluran media dalam proses marketing politik mereka. Adapun perbedaan penelitian ini adalah mereka hanya mefokuskan pada iklan partai

32

Misliyah, Komunikasi Politik Melalui Media Massa Pasangan Mochtar Muhammad-Rahmat Effendi (MuRah) dalam Pilkada Walikota Bekasi Periode 2008-201, (Jakarta, FIDKOM UIN: 2010)


(38)

politik dalam marketing politik mereka sedangkan penelitian yang dilakukan penulis memfokuskan pada saluran yang digunakan dalam marketing politik.33

Shulhan Rumaru menemukan strategi marketing politik Lembaga Konsultan Komunikasi Fastcomm di tengah persaingan lembaga-lembaga konsultan politik lainnya. Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah penggunaan proses marketing politik partai islam dan saluran komunikasi politik yang digunakan dalam proses marketing politik. Dan perbedaan penelitian ini adalah peneliti memfokuskan pada Lembaga Konsultan Komunikasi Fastcomm yang menangani marketing politik partai islam sedangkan penulis memfokuskan pada kandidat yang tidak menggunakan jasa konsultan politik.34

H. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini bersifat teratur dan sistematis, maka dari itu untuk dapat memudahkan dalam memahami isi skripsi ini, peneliti membagi skripsi ini menjadi lima bab, yang pada tiap-tiap bab terbagi dari sub-sub bab. Isi masing-masing bab secara singkat adalah sebagai berikut:

BAB 1 latar belakang, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, pedoman penelitian serta sistematika penulisan.

BAB 2 Bab ini membahas tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan permasalahan penelitian dalam membahas skripsi ini.

33

Muhammad Rhagyl Indratomo , Analisis Pemanfaatan Iklan Politik di Media Massa: Studi Terhadap Iklan Politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada Pemilu Legislatif 2009,

(Jakarta, FIDKOM UIN: 2010)

34

Shulhan Rumaru, Strategi Marketing Politik Lembaga Konsultan Komunikasi Fastcomm dalam Pemenangan Partai Islam di Pemilu Legislatif 2009, (Jakarta, FIDKOM UIN: 201)


(39)

BAB 3 Bab ini berisi uraian profil Ledia Hanifa Amaliah, dalam pemilihan anggota legislatif periode 2014-2019.

BAB 4 Bab ini membahas tentang isi penelitian secara umum di mana data-data yang telah dikumpulkan dipaparkan oleh peneliti dan menganalisis data yang sudah diperoleh.

BAB 5 Bab ini merupakan bab terakhir dari skripsi yang dibuat oleh peneliti yang membahas tentang hasil keseluruhan penelitian yang menguraikan tentang kesimpulan dari semua uraian yang ada pada bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini, peneliti juga akan memberikan kesimpulan dan saran sebagai hasil dari penelitian yang telah dilakukan.


(40)

25 1. Pengertian Komunikasi Politik

Komunikasi politik sebagai salah satu bidang kajian komunikasi, selalu menjadi fenomena yang senantiasa aktual untuk didiskusikan, terlebih ditahun-tahun politik seperti sekarang ini. Dewasa ini, politik menjadi hal yang ramai dibicarakan. Tak hanya oleh para politisi, akademisi maupun pengamat saja. Kini politik telah merambah ke masyarakat umum yang awam politik. Itulah sebabnya mengapa komunikasi politik begitu penting untuk dikaji.

Komunikasi politik telah dikenal sejak Cicero dan Aristoteles. Kemudian berkembang sekitar Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Sebagai suatu bidang kajian ilmiah, komunikasi politik melintasi berbagai disiplin dan dibesarkan secara lintas disiplin. Karena komunikasi politik terlahir dari disiplin ilmu komunikasi dan ilmu politik. 1

Keberadaan komunikasi politik sudah ada sejak manusia berpolitik dan berkomunikasi, tetapi sebagai telaah ilmu, apakah sebagai bagian ilmu politik maupun sebagai bagian ilmu komunikasi, usianya belum begitu lama. Perkembangannya sebagai sebuah subdisiplin berakar dalam revolusi ilmu sosial tujuh puluh tahun yang lalu. Alwi Dahlan menulis bahwa komunikasi politik mulai berkembang dalam bentuk awal dalam kandungan ilmu politik sesudah Perang Dunia I, meskipun belum memakai penamaan tersebut. Hal itu terlihat dari

1

Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, (Yogyakarta, Graha Ilmu: 2011), edisi II, cet I, h. 11.


(41)

studi mengenai pendapat umum, propaganda, dan perang urat saraf, serta berkembangnya teori media kritis sebagai bagian dari ilmu politik.2

Sebelum kita membahas pengertian komunikasi politik, sebaiknya kita uraikan

terminolgy yang melekat dalam konteks komunikasi politik, yakni komunikasi dan politik. Komunikasi berasal dari bahasa Latin „communis‟ atau „common‟ dalam bahasa Inggris yang berarti sama. Berkomunikasi berarti kita sedang berusaha untuk mencapai kesamaan makna, “commonness”. Atau dengan ungkapan yang lain, melalui komunikasi kita mencoba berbagi informasi, gagasan atau sikap kita seringkali mempunyai makna yang berbeda terhadap lambang yang sama. Oleh karena itu, komunikasi seharusnya dipertimbangkan sebagai aktivitas di mana tidak ada tindakan atau ungkapan yang diberi makna secara penuh, kecuali jika diinterpretasikan oleh partisipan komunikasi yang terlibat, demikian pengertian komunikasi yang diberikan Kathleen K. Reardon dalam buku

Interpersonal Commmunication, Where Minds Meet (1987). 3

Aristoteles yang hidup empat abad sebelum masehi (385-322SM) dalam bukunya Rethoric membuat definisi komunikasi dengan menekankan “siapa mengatakan apa kepada siapa.” Definisi yang dibuat Aristoteles ini sangat

sederhana, tetapi ia telah mengilhami seorang ahli ilmu politik bernama Harold D. Lasswell pada 1948, dengan coba membuat definisi komunikasi yang lebih

sempurna dengan menanyakan “SIAPA mengatakan APA, MELALUI apa, KEPADA siapa, dan apa AKIBATNYA.”

2

Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, h. 11.

3

Syaiful Rohim, Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam dan Aplikasi, (Jakarta, Rineka Cipta: 2009), cet 1, h. 108.


(42)

Para sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antarmanusia (human communication) yakni “Komunikasi adalah sautu transaksi,

proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan (1) membangun hubungan antarsesama manusia; (2) melalui pertukaran informasi; (3) untuk membuat sikap dan tingkah laku orang lain; serta (4)

berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu.”4

Sedangkan definisi politik, pada umumnya diketahui berasal dari perkataan

politicos (menyangkut warga Negara), polites (seorang warga Negara), polis

(kota, negara), dan politea (kewargaan) di zaman Yunani Klasik.5 Kemudian berkembang dalam berbagai bentuk bahasa (Inggris), seperti polity, politics, politica, political, dan policy. Selain itu dikenal juga istilah politicos yang berarti kewarganegaraan, yang kemudian berkembang menjadi politer yang bermakna hak-hak warga negara. Sejak zaman Yunani klasik telah dikenal istilah politike techne yang berarti kemahiran politik.6

Eric Louw menyebutkan, politik adalah sebuah proses pengambilan keputusan, sebuah perebutan untuk memperoleh akses pada posisi pengambilan keputusan, dan proses kewenangan untuk menjalankan keputusan-keputusan itu. 7

Dari definisi yang diungkapkan Eric Louw mengandung sejumlah konsep kenegaraan, yakni: kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy), dan pembagian atau alokasi sumber daya (resources).8

4

Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi, (Jakarta, Rajawali Pers: 2009), edisi I, cet II, h. 18-19.

5

Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2008), cet I, h. 28.

6

Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, (Yogyakarta, Graha Ilmu: 2011), edisi II, cet I, h. 2.

7

Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi, (Jakarta, Rajawali Pers: 2009), edisi I, cet II, h. 28.

8


(43)

Selain itu Lasswell merumuskan formula bahwa politik ialah siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana caranya (who, gets what, when, how). Siapa yang melakukan aktivitas politik, apa yang dicapainya dalam aktivitas itu, serta kapan dan bagaimana cara mencapainya. Aktivitas yang dilakukan oleh manusia dengan maksud mencapai tujuan bersama pada waktu tertentu bisa dilakukan dengan cara memanfaatkan pengaruh (influenze), wewenang (authority), kekuasaan (power) atau kekuatan (force). Sejalan dengan Lasswell, Dahl menyebutkan bahwa politik itu adalah aturan, kekuasaan, pengaruh, wewenang, dan pemerintahan sebagai cakupan politik.9

Adapaun pembahasan mengenai kajian komunikasi politik pada awalnya berakar pada ilmu politik, meskipun penamaan lebih banyak dikenal dengan istilah propaganda. Ini dimulai pada tahun 1922 dengan penelitian dari Ferdinand Tonnies dan Walter Lippmann yang meneliti tentang opini publik pada masyarakat, kemudian dilanjutkan oleh Bagehot, Maine, Bycre, dan Graha Wallas di Inggris yang menelaah peranan pers dan pembentukan opini publik. Bahkan ketika Harold D. Lasswell menulis disertasi doktor tentang Propaganda Technique in the World War (1927). Praktik propaganda berkembang terutama menjelang Perang Dunia II ketika Nazi Jerman berhasil melakukan ekspansi dengan gemilang di bawah propaganda Dr. Joseph Gobbel.10

Komunikasi politik merupakan persilangan antara ilmu politik dan ilmu komunikasi. Di dalamnya ada proses komunikasi dan proses politik. Pembahasan

9

Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, (Yogyakarta, Graha Ilmu: 2011), edisi II, cet I, h. 3-4.

10

Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi, (Jakarta, Rajawali Pers: 2009), edisi I, cet II, h.32.


(44)

kajian ini berkutat pada proses penyampaian pesan melalui media yang juga bersifat politis. Sama seperti pesan, media dan saluran politik formal seperti negara dan lembaga-lembaga politik lainnya juga memiliki kekuatan politik.11

Kendati komunikasi politik merupakan persilangan komunikasi dan politik, bukan berarti mendefinisikan komunikasi politik cukup dengan menggabungkan

dua definisi, “komunikasi” dan “politik”. Ia memiliki konsep tersendiri, meskipun

secara sederhana merupakan gabungan dari dua konsep tersebut. Komunikasi politik secara keseluruhan tidak bisa dipahami tanpa menghubungkannya dengan dimensi politik dengan segala aspek dan problematikanya. Kesulitan dalam mendefinisikan komunikasi politik terutama dipengaruhi oleh keragaman sudut pandang terhadap kompleksitas realitas sehari-hari. 12

Ilmuwan komunikasi A. Muis, menjelaskan bahwa istilah komunikasi politik menunjuk pada pesan sebagai objek formalnya sehingga titik berat konsepnya terletak pada komunikasi dan bukan pada politik. Pada hakikatnya komunikasi politik mengandung informasi atau pesan tentang politik. Sedang McNair, menyebutkan bahwa komunikasi politik adalah komunikasi yang diupayakan untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu. Kemudian Graber, memandang bahwa komunikasi politik adalah proses pembelajaram, penerimaan, dan persetujuan atas kebiasaan-kebiasaan atau aturan-aturan, struktur, dan faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan politik.13

11

Nurani Soyomukti, Komunikasi Politik: Kudeta Politik Media, analisa Komunikasi Rakyat dan Penguasa, (Malang: 2013), cet I, h. 1.

12

Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2008), cet I, h. 28.

13

Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, (Yogyakarta, Graha Ilmu: 2011), edisi II, cet I, h.12.


(45)

Menurut Rush dan Althoff, komunikasi politik adalah transmisi informasi yang relevan secara politis dari satu bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dengan sistem politik.14

Adapun Susanto mendefinisikan komunikasi politik sebagai “komunikasi

yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua

warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama.” Sedangkan dilihat dari

kegunaannya, menurut Kantaprawira, komunikasi politik berguna untuk

“menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intra-golongan, institut, asosiasi, ataupun sektor kehidupan politik masyarakat dengan

sektor pemerintahan.”15

2. Komponen Komunikasi Politik

Komunikasi terjadi ketika seorang pembicara menyampaikan pembicaraannya kepada khalayak dalam upaya mengubah sikap mereka. Tepatnya, ia mengemukakan tiga unsur dasar proses komunikasi, yaitu pembicara (speaker), pesan (message), dan pendengar (listener). 16

Fokus komunikasi yang ditelaah Aristoteles adalah komunikasi retoris, yang kini lebih dikenal dengan komunikasi publik (public speaking) atau pidato. Pada masa itu, seni berpidato merupakan suatu keterampilan penting yang digunakan di pengadilan dan di majelis legislatur dan pertemuan-pertemuan masyarakat.

14

Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2008), cet I, h.27.

15

Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru, h. 30.

16

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya: 2002), cet IV, h. 134-136.


(46)

Aristoteles menyadari bahwa semua komunikasi publik melibatkan persuasi maka ia tertarik menelaah sarana persuasi yang paling efektif dalam pidato.

Salah satu kelemahan model ini adalah bahwa komunikasi dianggap sebagai fenomena yang statis. Seseorang berbicara kepada khalayak, pesan yang disampaikan pembicara berjalan ke khalayak lalu khalayak mendengarkan. Tahap-tahap dalam peristiwa itu berurutan alih-alih terjadi secara simultan. Di samping itu, model ini juga berfokus pada komunikasi yang bertujuan (disengaja) yang terjadi ketika seseorang berusaha membujuk orang lain untuk menerima pendapatnya. 17

Meskipun demikian, kita harus bersikap adil untuk tidak menilai suatu model komunikasi komunikasi dengan perspektif kekinian. Kita harus menghargai dan memberi penghormatan kepada Aristoteles yang sudah mengilhami ilmuwan lain untuk mengembangkan model komunikasi yang lebih baru.

Pada tahun 1948 ilmuwan politik Harold Lasswell mengemukakan suatu model yang mudah untuk melukiskan suatu tindakan komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: 18

Siapa?

Mengatakan apa? Dengan saluran apa? Kepada siapa? Dengan akibat apa?

17

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, h. 135-136.

18


(47)

a. Komunikator Politik

Komunikator politik dapat dikategorikan sebagai orang yang memberikan atau menyampaikan pesan politik. Pengategorian ini berangkat dari perspektif umum bahwa komunikasi politik adalah proses penyampaian pesan politik dari komunikator politik kepada komunikan politik.

Menurut Harun, komunikator politik dikelompokkan menjadi dua status yang berbeda, yaitu dalam infrastruktur dan suprastruktur. Adapaun infrasruktur politik sebagaimana diungkap oleh G. A. Almond dan S. Coleman, dikualifikasikan ke dalam lima kelompok, yakni (1) partai politik/parpol (political party), (2) golongan kepentingan (interst group), (3) golongan penekanan (pressure group), (4) tokoh politik (political figure), dan (5) alat-alat komunikasi politik (political communication tools).

Kelima kelompok tersebut memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan politik karena memiliki kemampuan menggerakan masa dan memobilisasi pendapat umum agar berpihak kepada mereka. Kelompok-kelompok infrastruktur tersebut merupakan komunikator-komunikator politik yang selalu berusaha mengembangkan pengaruh untuk mendapatkan dukungan masyarakat pada waktu terjadi pergesaran atau pergantian elit yang berkuasa melalui proses pemilihan.19

Sementara, menurut Schudson sebagaimana dikutip Dedy Djamaluddin Malik (1999: v), Suprastruktur sering juga disebut dengan istilah the governmental political sphere. Pemerintah sebagai suprastruktur dalam

19

Mahi M. Hikmat, Komunikasi Politik: Teori dan Praktik, (Simbiosa Rekatama Media, Bandung : 2010), cet I, h. 42-44.


(48)

komunikator politik memiliki tugas menyampaikan atau mengkomunikasikan hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat dan pemerintaha. Adapun komunikasi yang dilaksanakan oleh pemerintah (suprastruktur) antara lain mencakup: pertama seluruh kebijakan yang menyangkut kepentingan warga; kedua upaya meningkatkan loyalitas dan integrasi nasional; ketiga penerapan aturan dan perundang-undangan untuk menjaga ketertiban dan kehormatan dalam hidup bernegera; keempat mendorong terwujudnya partisipasi masyarakat dalam mencapai tujuan nasional. Lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif masuk dalam suprastruktur politi. 20

b. Pesan Politik

Pesan sebagai fenomena yang berjalan pada rute perputarannya pada suatu saluran yang menghubungkan dua sumber/penerima atau lebih. Menurut Fisher, suatu pesan ditransformasikan pada titik-titik penyandian dan pengalihan sandi sehingga pesan merupakan pikiran atau ide pada suatu tempat pada sistem jaringan syaraf (neurophysiological) dari sumber/penerima. Setelah penyandian terjadi dalam suatu situasi tatap muka, ditransformasikan ke dalam rangkaian getaran udara dan sinar-sinar cahaya yang terpantulkan. 21

Dalam proses komunikasi politik pun, pesan politik merupakan komponen terpenting. Mengacu pada definisi komunikasi politik secara umum, pesan politik itu adalah pesan yang dibawa oleh komunikator politik, baik dalam bentuk gagasan, pikiran, ide, perasaan, sikap, maupun perilaku tentang politik

20

Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik di Era Industri Citra, (Jakarta, Lasswell Visitama: 2010), cet I, h. 6-7.

21


(49)

yang memengaruhi komunikan politik. Pada dasarnya, menurut Rochajat Harun dan Sumarno, isi pesan komunikasi politik akan terdiri dari: 22

1) Seperangkat norma yang mengatur lalu lintas transformasi pesan-pesan; 2) Panduan dan nilai-nilai idealis yang tertuju pada upaya mempertahankan

serta melestarikan sistem nilai yang sedang berlangsung;

3) Sejumlah metode dan cara pendekatan untuk mewujudkan sifat-sifat integratif bagi penghuni sistem;

4) Karakteristik yang menunjukan identitas bangsa; serta

5) Motivasi sebagai dorongan dasar yang memicu pada upaya meningkatkan kualitas hidup bangsa.

c. Media

Komunikasi massa merupakan sumber utama pesan-pesan politik yang dipertimbangkan orang dalam menyusun perbuatan politik mereka. Namun, ada media lain, dan mereka pun harus diperhatikan dalam usaha apa pun untuk memahami komunikasi politik dan opini publik yang kontemporer. 23

Peran apa yang dimiliki media berita dalam menyajikan bahan mentah bagi warga negara untuk menciptakan citra politik mereka dan menyusun perilaku politik mereka. Jika perbuatan politik kita diturunkan dari makna yang kita berikan kepada objek-objek politik, maka media berita menduduki posisi yang penting dalam proses komunikasi-opini karena kenyataan bahwa kita memperoleh begitu banyak informasi politik, langsung dari siaran berita

22

Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik di Era Industri Citra, h. 46-47.

23

Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2004), cet V, h. 18.


(50)

televisi dan dari surat kabar. Apa yang ditetapkan dan disebarkan sebagai

“berita” oleh pers adalah unsur utama dalam penyusunan opini personal.24

d. Komunikan Politik

Menurut Effendy, komunikan memiliki fungsi mengawas sandi (decode) pesan dari komunikator sehingga komunikan disebut decoder. Selain itu, komunikan pun dapat memberikan umpan balik (feedback) sebagai tanggapan atas pesan yang disampaikan kepadanya. Feedback itu dapat berbentuk langsung atau seketika (immediate feedback), misalnya dalam komunikasi antarpesona (face to face communication), atau bisa juga tertunda (delayed feedback), misalnya dalam komunikasi bermedia dengan menggunakan media surat kabar atau majalah, sedangkan menggunakan media elektronik seperti televisi dan radio sekarang dapat terjadi immediate feedback karena kecanggihan teknologi informasi. Komunikan secara sederhana dapat diartikan sebagai penerima pesan.25

e. Efek

Efek merupakan “akibat” dari “siapa mengatakan apa dengan saluran apa dengan siapa” tidak ditentukan independen dari proses menetapkan “dengan siapa” dalam rumus Lasswell. Singkatnya, akibat tidak ditentukan terpisah dari interpretasi: malahan, akibat adalah tindakan interpretatif sinambung yang diturunkan dari penyusunan opini personal, sosial dan politik.26

24

Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media, h. 18.

25

Mahi M. Hikmat, Komunikasi Politik: Teori dan Praktik, (Simbiosa Rekatama Media, Bandung : 2010), cet I, h. 48.

26

Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2004), cet V, h. 20.


(51)

3. Saluran Komunikasi Politik

Saluran komunikasi adalah alat serta sarana yang memudahkan penyampaian pesan. Sebuah pesan bisa disalurkan dan disampaikan dengan baik jika ada saluran yang menghubungkan antara komunikator dan komunikan. Menurut pendapat Kenneth Burke, saluran adalah ciptaan makhluk pemakai lambang untuk melancarkan saling tukar pesan. Saluran komunikasi memang temuan. Akan tetapi, saluran mencakup lebih dari alat, sarana dan mekanisme seperti mesin cetak, radio, telpon atau komputer. Yang harus lebih diutamakan dari semua saluran yang ditemukan ialah manusia itu sendiri, saluran yang paling asasi bagi komunikasi manusia. Seperti yang dilakukan oleh Psikolog George Miller, kita

harus “menganggap manusia sebagai saluran komunikasi, dengan masukan yang

disediakan oleh rangsangan yang kita berikan dan keluaran yang merupakan tanggapannya terhadap rangsangan itu”. 27

Dengan mengingat bahwa manusia adalah dan juga sumber penerima dalam komunikasi, maka yang pertama-tama kita tekankan ialah saluran manusia bagi komunikasi politik. Namun, kita tidak akan mengabaikan media mekanis, teknik dan sarana yang meningkatkan konstruksi citra manusia melalui saling tukar lambing. Akan tetapi, justru itulah guna alat-alat tersebut, yakni untuk memudahkan, tetapi bukan untuk menjamin ketepatan. Sebaliknya, bila dipikirkan bahwa pada dasarnya manusia, “maka saluran komunikasi itu lebih daripada sekedar titik sambungan, tetapi terdiri atas pengertian bersama tentang siapa dapat

27


(52)

berbicara kepada siapa, mengenai apa, dalam keadaan bagaimana, sejauh mana

dapatnya dipercaya”.28

Istilah struktur komunikasi oleh Almond dan Powell (1966), juga diartikan sebagai saluran komunikasi, diantaranya adalah:

a. Struktur wawanmuka (face-to-face) informal, merupakan saluran yang efektif dalam penyampaian pesan-pesan politik. Saluran wawanmuka memungkinkan komunikator politik dan komunikan politik berada dalam kedekatan jarak dan emosional karena berhadapan secara langsung. Di samping struktur yang formal dalam sebuah organisasi, selalu terdapat

struktur informal yang “membayangi”nya. Saluran ini bersifat bebas dalam

arti tidak terikat oleh struktur formal, namun tidak semua orang dapat akses ke saluran ini dalam kadar yang sama.29

b. Struktur sosial tradisional, yaitu sebuah saluran komunikasi yang ditentukan oleh posisi sosial pihak yang berkomunikasi (khalayak atau sumber). Artinya pada lapis mana yang bersangkutan berkedudukan, bagaimana peranan dalam masyarakat dan (tentunya akan menentukan pula) akses disusunan sosial masyarakat tersebut.30

c. Struktur masukan (input) politik, yaitu: struktur yang memungkinkan terbentuknya/dihasilkannya input bagi sistem politik yang dimaksud. Yang

28

Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media, h. 167.

29

Misliyah, Komunikasi Politik Melalui Media Massa Pasangan Mochtar Muhammad-Rahmat Efendi (MuRah) dalam Pilkada Walikota Bekasi Periode 2008-2013, (Jakarta, FIDKOM UIN:2010), h. 34.

30

Zulkariem Nasution, Komunikasi Politik Suatu Pengantar, (Jakarta, Ghalia Indonesia: 1990) h. 57. Dalam Misliyah, Komunikasi Politik Melalui Media Massa Pasangan Mochtar Muhammad-Rahmat Efendi (MuRah) dalam Pilkada Walikota Bekasi Periode 2008-2013, (Jakarta, FIDKOM UIN:2010), h. 34.


(53)

termasuk struktur input adalah serikat pekerja, kelompok-kelompok kepentingan, dan partai politik.31

d. Struktur output, yaitu: struktur formal dari pemerintah. Struktur pemerintahan, khususnya birokrasi, memungkinkan pemimpin-pemimpin politik mengkomunikasikan petunjuk bagi pelaksanaan peraturan-peraturan untuk bermacam-macam pemegang jabatan politik dengan cara yang efisien dan jelas.32

e. Saluran media massa adalah saluran yang penting dalam sebuah komunikasi politik. Media massa selalu mempunyai peranan tertentu dalam menyalurkan pesan, informasi, dan political content di tengah masyarakat. Informasi yang disampaikan oleh media bisa berperan dalam pembentukan opini publik.33

B. Marketing Politik

1. Pengertian Marketing Politik

Marketing telah berkembang pesat di kalangan yang lebih luas, tidak hanya di tataran akademisi. Hampir dipastikan bahwa setiap aspek kehidupan tidak terlepas dari aktivitas marketing; mulai dari iklan televisi, di majalah, diskon di supermarket, papan reklame di sepanjang jalan, sampai ke hal yang menyangkut

31

Zulkariem Nasution, Komunikasi Politik Suatu Pengantar, (Jakarta, Ghalia Indonesia: 1990) h. 57. Dalam Misliyah, Komunikasi Politik Melalui Media Massa Pasangan Mochtar Muhammad-Rahmat Efendi (MuRah) dalam Pilkada Walikota Bekasi Periode 2008-2013, (Jakarta, FIDKOM UIN:2010), h. 59

32

Zulkariem Nasution, Komunikasi Politik Suatu Pengantar, (Jakarta, Ghalia Indonesia: 1990) h. 57. Dalam Misliyah, Komunikasi Politik Melalui Media Massa Pasangan Mochtar Muhammad-Rahmat Efendi (MuRah) dalam Pilkada Walikota Bekasi Periode 2008-2013, (Jakarta, FIDKOM UIN:2010), h. 60.

33

Zulkariem Nasution, Komunikasi Politik Suatu Pengantar, (Jakarta, Ghalia Indonesia: 1990) h. 57. Dalam Misliyah, Komunikasi Politik Melalui Media Massa Pasangan Mochtar Muhammad-Rahmat Efendi (MuRah) dalam Pilkada Walikota Bekasi Periode 2008-2013, (Jakarta, FIDKOM UIN:2010), h. 61.


(54)

komunikasi dan persuasi. Ilmu marketing mengalami perembesan di segala bidang. 34

Istilah pemasaran yang selama ini dikenal dalam bidang ekonomi diterapkan

ke dalam bidang politik dengan sebutan, “Pemasaran Politik” atau “Marketing Politik” (political marketing), dipahami sebagai penyebar gagasan-gagasan politik dengan menerapkan prinsip-prinsip pemasaran komersial. Hal itu menunjukan kecenderungan konvergensi antara dunia politik dengan dunia bisnis. Tak dapat dipungkiri bahwa dunia politik dan dunia bisnis, memang semakin sangat dekat, terutama karena banyak aktor politik yang berasal dari dunia bisnis. Kemampuan dan pengalaman para pebisinis melakukan lobi, negoisasi dan pemasaran, dengan mudah mereka aplikasikan dalam komunikasi politik. 35

Pada dasarnya, marketing bertujuan bisnis komersial namun seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, semakin terintegrasinya masyarakat global, serta tuntutan untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, maka institusi politik membutuhkan pendekatan alternatif untuk membangun hubungan dengan konstituen. Dalam konteks inilah marketing dibutuhkan dan diasumsikan berguna bagi insitusi politik dan perkembangan politik itu sendiri. 36

Metode dan pendekatan marketing dalam praktik politik saat ini, dapat dirasakan sebagai sebuah keniscayaan seiring dengan semakin tingginya persaingan di ranah politik. Ilmu marketing memegang peranan penting dalam

34

Gun Gun Heryanto dan Shulhan Rumaru, Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar,

(Bogor, Ghalia Indonesia: 2013), cet 1. H. 26-27.

35

Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, (Graha Ilmu, Yogyakarta: 2011), edisi 2, cet 1, h. 145.

36

Gun Gun Heryanto dan Ade Rina Farida, Komunikasi Politik, (Ciputat, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2011), cet 1, h. 43.


(55)

aktivitas yang dilakukan institusi-institusi politik. Namun, ilmu marketing dalam penerapannya di dunia politik tentu mengalami sebuah redefinisi dengan maksud sudah saatnya ilmu marketing diterapkan dalam dunia politik sehingga dikenal dengan marketing politik.37

Agar tidak terjadi bias pemahaman terhadap penerapan metode dan konsep marketing dalam politik, maka diperlukan definisi yang jelas tentang penggunaan metode marketing dalam bidang politik atau yang lebih dikenal dengan marketing politik. Marketing atau pemasaran merupakan sebuah konsep ilmu dalam strategi bisnis yang bertujuan untuk mencapai kepuasaan berkelanjutan bagi stakeholder,

seperti yang diungkapkan Ali Hasan. 38

Bagozi melihat bahwa marketing adalah proses yang memungkinkan adanya pertukaran antara dua pihak atau lebih. Artinya, aktivitas marketing akan selalu ditemui dalam proses pertukaran. Dalam pertukaran terdapat proses hubungan yang memungkinkan interaksi, di mana dalam prosesnya, masing-masing pihak ingin memaksimalkan dan menjamin bahwa kepentingannya sendiri akan terpenuhi. Dalam konteks sistem sosial yang luas, marketing dianggap berperan dalam membangun tatanan sosial. Kotler dan Levy berargumen bahwa penggunaan konsep marketing tidak hanya terbatas pada institusi bisnis saja. 39

Menurut Bruce I. Newman, marketing adalah proses memilih costumer,

menganalis kebutuhan mereka, dan kemudian mengembangkan inovasi produk,

37

Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar, (Bogor, Ghalia Indonesia: 2013), cet 1, h. 26.

38

Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar, h. 27

39

Firmanzah, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, (Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia: 2008) dalam Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar, h. 27


(56)

advertising, harga dan strategi distribusi dalam basis informasi. Marketing dalam pengertian Bruce bukan dalam pengertian marketing biasa, melainkan produk politik berupa image politik, platform, pesan politik, dan lain-lain yang dikirim ke audiens yang diharapkan menjadi konsumen tepat. Dari semua definisi marketing yang ada, pada tataran tertentu, Estaswara menyukai definisi marketing yang dikeluarkan AMA (American Marketing Assiciation) pada tahun 2004, bahwa marketing adalah fungsi organisasi dan serangkaian proses menciptakan, mengomunikasikannya dan menyampaikan nilai bagi para pelanggan, serta mengelola relasi pelanggan sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat bagi organisasi dan para stakeholder-nya. 40

Selain definisi marketing, kita perlu mengetahui definisi politik sebab marketing politik secara mendasar ditopang oleh dua bidang ilmu, yaitu marketing dan politik. Deliar Noer mendefinisikan bahwa politik merupakan aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk memengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat. Jika berbicara tentang marketing politik, maka kedua kata ini tak lagi terpisahkan. Marketing dan politik adalah satu kesatuan dalam perkembangan disiplin ilmu sosial sehingga perlu definisi yang mengintegrasikan kedua konsep ilmu tersebut secara jelas dalam satu terminologi.

Mauser G (1983: 5) mendefinisikan marketing sebagai “influencing mass

behavior in competitive situations”. Mauser berupaya menganalogikan marketing politik kepada marketing komersial, meskipun akan ada perbedaan mendasar

40


(57)

antara marketing politik dengan marketing komersial. Misalnya, marketing politik mengukur kesuksesan tidak dalam term keuntungan, melainkan dalam hasil voting dan efektivitas power.41

Dalam tulisan Bruce I. Newman dan Richard M. Perloff tentang Political Marketing; Theory, Research and Aplication yang dikutip oleh Prisguananto (2008) dari Handbook of Political Communication Research, pemasaran politik didefinisikan sebagai aplikasi prinsip-prinsip pemasaran dalam kampanye politik yang beraneka ragam individu, organisasi, prosedur-prosedur, dan melibatkan analisis, pengembangan, eksekusi dan strategi manajemen kampanye oleh kandidat, partai politik, pemerintah, pelobi, kelompok-kelompok tertentu yang bisa digunakan untuk mengarahkan opini publik terhadap ideologi mereka.42

Dalam studi pemasaran politik disebutkan bahwa pemasaran politik adalah konsep permanen yang harus dilakukan oleh sebuah partai politik atau kontestan dalam membangun kepercayaan dan citra public, seperti yang dituliskan Butler & Collins. Menurut Dean & Croft, membangun kepercayaan dan citra ini hanya bisa dilakukan dalam jangka panjang, tidak hanya pada masa kampanye dan bukan proses instan. Publik akan mencatat dan menyimpan dalam memorinya semua kegiatan politik, wacana politik dan kepedulian kepada masyarakat yang telah dilakukan atau dikerjakan oleh partai politik atau aktor politik secara individual.

41

Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar, h. 28

42

Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi, (Jakarta, Rajawali Pers: 2011), ed 1, cet 3, h. 223.


(58)

Hal itu akan dingat terus oleh publik pada saat akan memberikan suaranya dalam pemilihan umum.43

Dapat dipahami jika sampai saat ini masih terdapat kontroversi dikalangan intelektual tentang penerapan prinsip-prinsip pemasaran produk dalam komunikasi politik, terutama yang menyangkut etika dan moralitas dalam aplikasi pemasaran politik. Ada kekhawatiran kuat bahwa penggunaan prinsip pemasaran dalam dunia politik tidak ubahnya seperti dunia bisnis kapitalis beserta implikasinya yang sarat dengan manipulasi informasi dan sarat kepentingan, sehingga dapat mereduksi arti berpolitik itu sendiri. Berkembangnya iklan politik melalui media massa (pers, film, radio dan televisi), dikhawatirkan akan semakin menjauhkan masyarakat dari ikatan ideologis sebuah partai dan massanya. Selain

itu aplikasi prinsip pemasaran, juga dikhawatirkan akan “meracuni” dunia politik

dengan eksploitasi dan manipulasi. 44

Menurut O’Soughnessy, pada hakikatnya isu politik sangat berbeda dengan produk komersial. Isu politik berkaitan dengan nilai dan ideologi, dan bukan sebuah produk yang diperjualbelikan hanya demi keuntungan semata. Oleh sebab itu penerapan pemasaran dalam politik harus mengacu dan mengadaptasi nilai-nilai yang ada dalam dunia politik, terutama yang berkaitan dengan ideologi politik. Selain itu kehadiran politik menurut Radcliff dalam sistem sosial

43

Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, (Graha Ilmu, Yogyakarta: 2011), edisi 2, cet 1, h. 146.

44

Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, h. 146.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)