Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

pendidikan sejak dini menjadi lebih mandiri, disiplin, dan mudah diarahkan untuk menyerap ilmu pengetahuan secara optimal Isjoni, 2010: 40. Sementara itu, Anton Widyanto dalam penelitiannya di wilayah Bireun dan Banda Aceh, seperti yang dikutip oleh Anshari 2012: 2, menyatakan bahwa salah satu kondisi yang menyebabkan kemorosotan moral bangsa saat ini yang terjadi di sekolah adalah terkait dengan akhlak siswa. Keluhan-keluhan tentang sikap dan perilaku siswa terhadap guru, ketaatan terhadap peraturan sekolah, maupun sikap dan perilaku antar sesama siswa itu sendiri, walaupun bukanlah hal yang baru. Intinya, kebanyakan tentu tidak semua para siswa dan bahkan mahasiswa di tingkat perguruan tinggi dewasa ini telah mengalami kemorosotan akhlak yang semakin memperihatinkan. Mengingat adanya tuntutan tingkat intensitas dan kualitas pendidikan karakter, proses pendidikan karakter ini akan dapat dilakukan dengan berpedoman pada konsep pendidikan dari al-Q ur‟an. Karena dalam hal ini konsep pendidikan Al- Qur‟an yang apabila ditanamkan sejak kecil, dapat dijadikan sebagai tonggak utama terbentuknya mental dan kepribadian anak sehat. Hal tersebut berlandaskan pada hasil penelitian Diana Mutiah 2010: 10 yang berkesimpulan bahwa masa kanak-kanak yang bahagia dapat menjamain paling tidak lebih dari separuh keberhasilannya di masa dewasa. Masa-masa ini adalah peletak dasar dalam keberhasilannya kelak usia dewasa, peletak dasar dalam perkembangan fisik, kognitif, bahasa, emosi, kepribadian, sosial dan spiritualanak usia dini memiliki karakter yang khas, baik secara fisik maupun mental. Oleh karena itu, metode pengajaran yang diterapkan untuk anak usia dini juga perlu disesuaikan dengan kekhasan yang dimiliki oleh anak. Potensi dan kemampuan anak akan berkembang secara optimal bila pengunaan metode pengajaran yang diterapkan tepat dan sesuia dengan karakter anak sehingga memacu tumbuhnya sikap dan prilaku yang positif Isjoni, 2010: 41. Berdasarkan hal tersebut, Bimo Walgito 2010: 180 menyatakan bahwa sikap seseorang merupakan sesuatu yang tidak dibawa sejak lahir, tetapi dibentuk dan dipelajari, seperti dari kedua orang tuanya, orang yang disekitarnya, atau dari masyarakat. Sikap dibentuknya atau dipelajari terhadap objek tertentu, misalnya objek terhadap anak, sikap terhadap orang tua, sikap terhadap orang asing.Karena sikap dibentuk atau dipelajari maka sikap dapat disesuaikan dengan perilaku, namun sebaliknya orang dapat mengubah perilaku sesuai dengan sikapnya, yang mengubah perilaku sesuai dengan sikapnya. Selaras dengan Waalgito, Samsul Munir 2007: 224 berpendapat bahwa berkaitan dengan konsep pendidikan al- Qur‟an, biasanya anak kecil oleh kebanyakan orang dianggap tidak layak untuk diberi penjelasan mengenai al- Qur‟an dan dianggap tidak berhak untuk diberi perhatian terhadap mentalisasinya. Padahal sebenarnya mereka mampu menyimpan memori seperti yang terdapat disimpan oleh computer. Dapat ditegaskan pula bahwa pendidikan karakter di atas merupakan upaya- upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatanyang berpedoman paada al- Qur‟an Amin, 2007: 224. Abuddin Nata 2012: 166 memperkuat pernyataan itu dengan menjelaskan bahwa ketika menjelaskan tentang karakter, al- Qur‟an memperkenalkan sejumlah karakter yang buruk dan baik, apabila orang mempraktikannya akan mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Al- Qur‟an, misalnya, memperkenalkan karakter Fira ‟un yang sombong, melanggar larangan Tuhan, melampui batas, berbuat zalim, durhaka diktator, dan otoriter, bahkan mengaku dirinya sebagai Tuhan dan memperkenalkan juga karakter Nabi Muhammad Saw yang tidak mau kompromi terhadap kemungkaran, kasih sayang terhadap sesama, senantiasa ruku, sujud, dan senantiasa mengharap ridha Allah. Dalam konteks kekinian, pendidikan karakter menjadi tema hangat untuk diterapkan melalui lembaga pendidikan formal. Bahkan Kementrian Pendidikan Nasional melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurilulum telah merumuskan proram “Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” atau disingkat dengan PBKB, sejak tahun 2010 lalu Kesuma dkk, 2009: 8. Adapun tentang istilah pendidikan karakter bangsa, Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan fungsi dan tujuan Pendidikan Nasioanal yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, ” Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam proses PBKB, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat. Dan dalam program tersebut, terdapat 18 nilai yang dikembangkan, yaitu: religius, jujur, toleransi, displin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,bersahabatkomunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab Puskur Balitbang-Kemendiknas, 2010: 4. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Pemerintah sudah mencanangkan sejak 2010 mengenai pendidikan karakter. Ada delapan belas karakter yang diterapkan oleh pemerintah berkaitan dengan karakter bangsa. Karena hal-hal tersebut itulah penulis merasa tertarik untuk meneliti kedelapan belas karakter bangsa tersebut secara Islami. Oleh karenanya, konsep pendidikan karakter bangsa akan dibahas menurut persfektif Tafsiral-Misbah karya Quraisy Shihab.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian mengenai latar belakang permasalahan yang diungkapkan, maka dapat diidentifikasi berbagai masalah yang muncul dalam penelitian ini, antar lain: pertama, tentang kemerosotan akhlak bangsa Indonesia yang hal ini memunculkan beberapa persoalan, antara lain: pertama, terdapat kerusakan karakter bangsa yang terjadi dan dialami oleh bangsa Indonesia saat ini, khususnya dalam dunia pendidikan. Kedua, penyebab kemerosotan moral bangsa Indonesia. Ketiga, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi kemerosotan moral bangsa. Keempat, apakah pendidikan karakter di sekolah sudah menjadi jembatan bagi pemerintah dan insan pendidikan untuk membangun bangsa. Kelima, apakah pendidikan karakter bangsa sudahkah sejalan dengan tuntunan dan tuntutan nilai-nilai Islami. Keenam, Bagaimana pandangan tafsir al-Misbah terhadap pendidikan karakter Bangsa.

2. Batasan Masalah

Berdasarkan dari masalah-masalah di atas penelitian ini dibatasi hanya akan difokuskan pada delapan belas karakter bangsa. Focus obyek permasalahan pun dibatasi hanya mengenai pendidikan karakter bangsa dalam perfektif Tafsir al- Misbah Karya Quraisy Shihab. Sekali lagi, sebagaimana sudah di jelaskan di atas, karya tafsir al-Misbah dijadikan focus objek kajian karena tafsir ini banyak diakui dan dipercayai oleh segenap kalangan umat Islam di Indonesia dan dunia dalam segenap mazhabnya. Di samping itu, selain sebagai seorang mufassir, M. Quraish Shihab juga sekaligus merupakan seorang praktisi pendidikan. Hal tersebut ditunjukkan dengan jabatan kerjanya yang pernah menjadi Mantan Rektor Universita Islam Negeri Peringkat Kesatu di Indonesia, yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bahkan ia juga pernah menjadi Menteri Kementerian Agama, yang salah satu divisinya adalah menangani Pendidikan Islam di Indonesia.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka permasalahan dalam tesis ini dapat dirumuskan ke dalam sebuah pernyataan sebagai berikut: a. Bagaimana rumusan pendidikan karakter bangsa yang Islami sebagaimana yang terdapat dalam Tafsir al-Misbah? b. Bagaimana konsep al-Qur‟an dalam Tafsir al-Misbah tentang delapan belas nilai karakter bangsa yang ditetapkan oleh pemerintah? c. Apakah nilai-nilai karakter bangsa yang ditetapkan oleh pemerintah sudah sesuai dengan tuntunan dan tuntutan al- Qur‟an?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui konsep al-Qur‟an dalam Tafsir al-Misbah tentang delapan belas nilai karakter bangsa yang ditetapkan oleh pemerintah? 2. Apakah nilai-nilai karakter bangsa yang ditetapkan oleh pemerintah sudah sesuai dengan tuntunan dan tuntutan al- Qur‟an?

D. Tinjauan Keperpustakaan

Penelitian mengenai pendidikan karakter bangsa dalam pandangan al-Q ur‟an memang bukanlah hal yang baru untuk diteliti, banyak sudah peneliti yang melakukan kajian terhadap permasalahan ini, di bawah ini penulis akan menguraikan satu persatu penelitian-penelitian tersebut, yaitu: Disertasi yang ditulis oleh Anshori UIN Syarif Hidayatullah 2006 yang berjudul Penafsiran Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Misbah. Desertasi ini menuliskan langkah-langkah yang ditempuh Muhammad Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran berkenaan dengan jender dalam Tafsir al-Misbah. Meskipun sama-sama memfokuskan kajian pada Tafsir al-Misbah, Disertasi ini tidak menganalisa ayat-ayat yang berkaitan dengan karakter bangsa tetapi hanya terbatas pada penafsiran ayat-ayat jender. Metode dan Konsep Pendidikan Akhlak dalam Tafsir al-Misbah karya Lailatul Maskhuroh 2010. Penelitian tesis ini mengemukakan bagaimana Tafsir M. Quraish Shihab terhadap ayat-ayat akhlak dan konsep pendidikan akhlak menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah. Tesis ini tidak menganalisa ayat-ayat yang berkaitan dengan karakter bangsa tetapi hanya terbatas pada penafsiran ayat-ayat akhlak, adapun relevansi karakter dan akhlak saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Berdasarkan kajian literatur pustaka sependek yang penulis temukan tersebut, maka apa yang menjadi kajian penulis bukan merupakan pengulangan tema-tema penelitian yang sudah ada. E. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Penelitian ini tergolong ke dalam penelitian yang bersifat kualitatif, karena hanya memustakan pada kegiatan ontologisme, yaitu pengumpulan data berupa kata-kata, gambar yang memiliki yang lebih nyata daripada sekedar angka atau frekuensi, sehingga analisis pun bukan menggunakan angka, tetapi dengan interprestasi terhadap data yang berupa kata-kata, kalimat ataupun dokumentasi lainnya Sugiono, 2006: 20. Metode yang digunakan adalah Tafsir Maudhu ’I tafsir tematik. Tafsir maudhu’i menurut ‟Abd al-Sattar ialah salah satu metodologi ilmu tafsir yang membahas dalam berbagai masalah al- Qur‟an yang menyatu dari sisi makna atau tujuan, yaitu dengan cara mengumpulkan ayat- ayatnya yang bertebaran di dalam berbagai surah, kemudian menelitinya dalam bentuk khusus dan dengan beberapa syarat khusus untuk menjelaskan maknanya, mengeluarkan inti sarinya, dan menyatukannya dengan ikatan yang menyeluruh al-Farmawi, 1994: 41. Selain itu, penelitian ini juga menekankan pada analis induktif Raco, 2010: 44. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dengan pendekatan kualitatif dengan membaca sumber utama atau primer Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab.

2. Sumber Penelitian

Dalam penelitian ini penulis melakukan pengumpulan data pada dua sumber, yaitu sumber primer dan sumber sekunder Sugiono, 2006: 308. Sumber primer berupa Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab. Adapun sumber sekundernya adalah Kitab-kitab tafsir, baik yang berbahasa Arab maupun bahasa Indonesia. selain itu, juga penulis menggunakan jurnal-jurnal, buku-buku, makalah-makalah seminar, tesis atau desertasi yang ada kaitannya dengan yang pembahasan yang penulis teliti. Sumber tersebut juga dilengkapi dengan Kamus-kamus bahasa yang memuat daftar kata-kata, yang mana isinya dipakai untuk menemukan ayat-ayat dalam al-Quran dan merupakan petunjuk praktis dan kamus-kamus yang lain yang relevan dengan pembahasan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka cara pengumpulan data yang dilakukan penulis menggunakan teknik studi dokumentasi. Karena itu, penulis menggunakan metode maudhu ’i pendekatan tafsir tematik, yaitu dengan cara menghimpun ayat ayat yang bekaitan dengan tema, teknik studi dokumentasi di antaranya: Studi dokumen serta studi pustaka. Sebuah tafsir akan coba menelaah noktah-noktah al- Qur‟an berdasarkan tema per tema, agar ditemukan titik konfigurasi antara satu ayat dengan ayat yang lainnya secara logis, agar bisa ditemukan kuantum epistemologis yang ditorehkannya secara relevan Umar, 2005: 4.

4. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data merupakan upaya mencari dan mengumpulkan serta menata sistematis berdasarkan pada konsep teori tentang Pendidikan karakter bangsa dengan data-data yang diperoleh penulis dari sumber-sumber primer maupun sekunder Sugiono, 2006: 309. Dalam penelitian ini data-data yang telah terkumpul, selanjutnya diidentifikasi, diolah dengan menggunakan pola diskriptif- analisis, lalu diuraikan secara sistematis. Kemudian data tesebut akan dielaborasi dengan teori-teori yang dikembangkan oleh para pakar pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan karakter bangsa dan al- Qur‟an Sugiono, 2006: 309. 11

BAB II KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA

A. Pengertian dan Tujuan Pendidikan

Dalam dunia pendidikan ada dua istilah yang hampir sama bentuknya dan juga sering digunakan, yaitu paedagogie dan paedagogiek. Paedagogie berarti pendidikan, sedangkan paedagogiek artinya ilmu pendidikan. Istilah ini berasal dari kata pedagogia Yunani yang berarti pergaulan dengan anak-anak Djumransyah, 2008: 21. Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1999: 232, pendidikan merupakan kata benda yang mendapat awala n „pe‟ dan akhiran „an‟ yang berarti proses, perbuatan, cara mendidik. Dalam bahasa Inggris, kata “pendidikan” diterjemahkan dengan “education” merupakan kata benda dari kata “educate” yang berarti mendidik. Sedangkan dalam bahasa Arab, umumnya pendidikan disepadankan dengan kata ta‟lim. Kata ta‟lim, dalam Kamus Munjid Ma‟luf, 1986: 526, 512, 247 merupakan bentuk masdar dari „alama yang berarti pengajaran. Sementara itu kata ta‟dib berasal dari kata adaba artinya mendidik dan melatih akhlaknya. Adapun kata tarbiyah yang memiliki akar kata rabaya berarti mendidik, mengasuh dan memelihara. Selaras dengan pengertian sematik tersebut, Abuddin Nata 2012: 164 menyatakan bahwa pendidikan secara umum adalah upaya mempengaruhi orang lain agar berubah pola pikir, ucapan, perbuatan, sifat dan wataknya sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Berdasarkan hal tersebut, dalam pengertian yang sederhana dan umum, makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan Djumransyah, 2008: 22. Sama dengan pendapat Abudin, Doni Koesoema 2007: 4 mendefinisikan bahwa pendidikan bukan hanya berurusan dengan penanaman nilai pada diri peserta didik semata, melainkan sebuah usaha bersama untuk menciptakan sebuah lingkungan pendidikan tempat setiap individu dapat menghayati kebebasannya sebagai sebuah prasarat bagi kehidupan moral yang dewasa. Ia juga menjelaskan bahwa dalam perkembangan selanjutnya, kata “pendidikan” secara terminologi memiliki beberapa pengertian di antaranya, dalam ensiklopedi pendidikan, pendidikan berarti sutu usaha manusia untuk membawa si anak yang belum dewasa ketingkat kedewasaan dalam arti sadar dan mampu memikul tanggung jawab atas segala perbuatan secara moril Poerbakawatja, 1981: 257. Pengertian pendidikan yang jelas lagi didefinisikan oleh Azyumardi Azra 1999: 3. Menurut Azra, meskipun pendidikan didefinisikan secara berbeda oleh berbagai kalangan, namun pada dasarnya semua pandangan tersebut bertemu pada satu kesimpulan awal bahwa pendidikan merupakan proses penyuapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara efektif dan efisien. Dalam konstituas legalitas pendidikan nasional, khususnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara, ” UU RI Nomor 14 Tahun 2005 dan Permendiknas Nomor 11 Tahun 2011 . Konstitusi pendidikan sebelumnya, menjelaskan bahwa ada tiga tujuan pendidikan, yaitu pertama, menurut Undang-undang No.2 tahun 1985, pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa. Kedua, dalam TAP MPR No. llMPR1993 tujuan pendidikan lebih terperinci disebutkan bahwa pendidikan bertujuan meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja professional, serta sehat jasmani dan rohani. Ketiga, TAP MPR No. 4MPR1975 secara lebih terperinci dari point kedua menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membangun dibidang pendidikan yang didasarkan atas falsafah Negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangun yang berpancasila sekaligus membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggung jawab, menyuburkan sikap demokratis dan penuh tenggang rasa , mampu mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, serta mencintai bangsa dan ssama manusia sesuai dngan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945 bab ll Pasal 2,3 dan 4 Aunillah, 2011: 11-12. Fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional menurut UUSPN No.20 tahun 2003 bab 2 pasal 3 adalah; Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab Kesuma dkk, 2012: 6. Sementara itu, menurut Hasan Langgulung, sebagaimana dikutip oleh Hamdani dan Saebani 2013: 5, menjelaskan bahwa bahwa pendidikan memiliki empat fungsi, yaitu: pertama, fungsi edukatif, artinya mendidik dengan tujuan memberi ilmu pengetahuan kepada anak didik agar terbebas dari kebodohan. Kedua, fungsi pengembangan kedewasaan berfikir melalui proses transmisi ilmu pengetahuan. Ketiga, fungsi penguatan keyakinan terhadap kebenaran yang diyakini dengan pemahaman ilmiah. Keempat, fungsi ibadah, yaitu sebagai bagian dari pengabdian hamba kepada Sang Pencipta yang telah menganugerahkan kesempurnaan jasmani dan rohani kepada manusia. Azyumrdi Azra 1999: 5 menjelaskan bahwa pendidikan sejatinya membuat manusia menjadi lebih terarah dengan tuntunan yang dipelajari dan memiliki kedewasaan dalam berfikir dan bertindak untuk mencapai tujuan hidup, pendidikan itu sendiri bermanfaat bagi manusia untuk berfikir kreatif dan ketajaman analisis serta tetap menjaga kelembutan hati. Dengan demikian, dapat disimpulkan proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan yang dilakukan dan dipersiapkan menuju kedewasaan, berkecakapan tinggi, berkepribadian akhlak mulia kecerdasa berfikir dan bertindak serta tunduk dan patuh terhadap norma sosial masyarakat dan agama dan menjadi manusia bertakwa kepada Tuhannya. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan dalam tulisan ini adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam semua lingkungan dan sepanjang hayat dan semua situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hidup.

B. Pengertian Karakter

Karakter merupakan kepribadian yang mendasar dalam kehidupan seseorang yang menjadi indikator perilaku kehidupan sehari-hari, jika baik karakter seseorang maka baik pula kehidupannya begitu juga sebaliknya jika buruk karakter seseorang maka buruk pula kehidupannya. Menurut Thomas Lickona 2012: 10-12 menyatakan bahwa terdapat beberapa konsep lain yang memiliki kemiripan makna dengan karakter, yaitu moral, etika, akhlak, dan budi pekerti. Antara karakter dan moral misalnya, memiliki hubungna yang sangat erat, antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Karakter merupakan sikap dan kebiasaan seseorang yang memungkinkan dan mempermudah tindakan moral. Dengan kata lain, karakter merupakan kualitas moral seseorang. Jika seseorang mempunya moral yang baik, maka akan memiliki yang baik terwujud dalam sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Poerwadarminta, 1991: 1149, watak diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya, dan berarti pula tabi‟at, dan budi pekerti. Selanjutnya jika ada ungkapan pendidikan karakter, maka yang dimaksud adalah upaya mempengaruhi segenap pikiran dengan sifat-sifat batin tertentu, sehingga dapat membentuk watak, budi pekerti, dan mempunyai kepribadian. Sedangkan yang dimaksud dengan sifat adalah rupa dan keadaan yang tampak pada sesuatu benda Poerwadarminta, 1991: 941. Dalam bahasa Arab, karakter sering disebut dengan istilah akhlak, yang oleh Ibnu Maskawaih diartikan sebagai sifat atau keadaan yang tertanam dalam jiwa yang paling dalam yang selanjutnya lahir dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi. Sedangkan menurut Imam al-Ghazali, akhlak adalah sifat dan yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan berbagai macam perbuatan dengan gampang kungan.dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan Kasron, 2000: 56. Secara etimologi, kata akhlak berasal dari bahasa arab yang merupakan bentuk jamak „khuluk‟ yang berarti watak, budi pekerti, karakter Mustofa, 1999: 11. Dengan demikian, kata akhlak menujukan pada