Cinta Damai ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA

Dalam pengamatannya, tidak ditemukan kata Islam dalam Al- Qur‟an kecuali setelah agama ini sempurna dengan kedatangan Nabi Muhammad SAW. Ditinjau dari sudut pandang agama maupun sosiologis, menurutnya, itulah nama ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW., dan secara Aqidah Islamiyah, siapapun yang mendengar ayat itu dituntut untuk menganut ajaran yang dibawa oleh para rasul adalah Islam, sehingga siapapun sejak Adam hingga akhir zaman yang tidak menganut agama sesuai yang diajarkan oleh rasul yang diutus kepada mereka, maka Allah tidak menerimanya Shihab2, 2000: 38. Perselisihan di antara pengikut para Nabi yang diutus Allah untuk membawa ajaran Islam, menurutnya, terjadi lebih karena kedengkian yang ada di antara mereka. Bukan kedengkian antara mereka dengan yang lain, tetapi antara mereka satu dengan yang lain. Kedengkian yang merupakan terjemahan dari kata „baghyan‟ yang digunakan ayat 19 surat Ali „Imran adalah ucapan atau perbuatan yang dilakukan untuk tujuan mencabul nikmat yang dianugerahkan Allah kepada pihak lain disebabkan rasa iri hati terhadap pemilik nikmat itu Shihab2, 2000: 39, dan ajaran Nabi Ibrahim a.s. adalah hanif, tidak bengkok, tidak memihak kepada pandangan hidup orang-orang Yahudi, tidak juga mengarah kepada agama Nasrani, demikian tafsirannya Shihab2, 2000: 111 pada surat Ali „Imran ayat 67 yang berbunyi, “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus.” Quraish Shihab di dalam menjelaskan surat al-Maidah ayat 18, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, „Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih- Nya.‟ Katakanlah, „Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa- dosamu?‟ Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih- kekasih-Nya, tetapi kamu adalah manusia biasa di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki- Nya.” Ia menafsirkan bahwa salah satu kegelapan utama yang menyelubungi jiwa dan pikiran ahl al-Kitâb, lebih-lebih kelompok Nasrani, adalah keyakinan mereka tentang Tuhan. Inilah yang utama dan pertama yang diluruskan oleh Nabi Muhammad SAW. dan Al- Qur‟an Shihab3, 2000: 52. Umat Kristiani dewasa ini menganggap bahwa Al- Qur‟an atau Nabi Muhammad SAW. telah keliru dalam memahami keyakinan umat Kristiani tentang Tuhan. Dia mengingatkan bahwa keyakinan Nasrani tentang Tuhan sungguh beraneka ragam. Sehingga kalau apa yang diinformasikan Al- Qur‟an, tidak diakui oleh satu kelompok, maka itu bukan berarti bahwa tidak ada kelompok lain yang berkata demikian. Memang, uraian tentang ketuhanan dan makna-maknanya sedemikian sulit dipahami – bahkan oleh penganut-penganut agama Kristen sendiri – sampai mereka meyakini bahwa ajaran ketuhanan adalah dogma yang tidak dapat terjangkau oleh nalar. Di sisi lain, keyakinan tentang kedudukan al-Masih, baru ditetapkan pada tahun 325M. Sebelum ketetapan itu para uskup dan pemuka agama Kristen berbeda pendapat. Ada yang menyatakan bahwa Isa dan ibunya adalah dua tuhan, ada lagi yang berkeyakinan bahwa hubungan Isa as. dan Allah bagaikan hubungan kobaran api yang berpisah dari kobaran api yang lain, kobaran pertama tidak berkurang dengan adanya kobaran kedua. Ada juga yang berkeyakinan bahwa Isa as. adalah rasul Allah sebagaimana rasul-rasul yang lain. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau anak Tuhan tetapi dalam saat yang sama al-Masih adalah makhluk-Nya dan masih banyak lagi pendapat yang lain. Bahkan paham Trinitas dewasa ini mempunya penafsiran yang berbeda-beda. Sekali lagi, perlu dikemukakan adanya perkembangan pemikiran di kalangan orang-orang Kristen tentang Tuhan dan Keesaan-Nya. Namun secara umum mereka mengenal apa yang mereka istilahkan dengan Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Ruh al-Kudus Shihab3, 2000: 54. Dalam kitab Perjanjian Lama dan Baru memang ditemukan istilah anak-anak Tuhan. Dalam Kitab Ulangan 14:1 tercantum ucapan Nabi Musa as. yang ditujukan ke pada umatnya bahwa: “Kamulah anak-anak Tuhan, Allah-mu”; Dalam Injil Perjanjian Baru istilah serupa banyak juga ditemukan. Misalnya dalam Matius 5:5 antara lain ditemukan: “Berbahagialah orang-orang yang membawa damai karena mereka disebut anak-anak Alla h”. Tetapi tentu saja kata “anak” atau “bapak” bukan dalam arti sebenarnya, tetapi makna kiasan yakni yang dicintai dan yang memelihara Shihab3, 2000: 54. Lebih lanjut Quraish menjelaskan surat al-Maidah ayat 51, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu; sebagaimana mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang z alim.” Dia menjelaskan bahwa selama keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani – atau siapapun – seperti dilukiskan oleh ayat-ayat di atas, yakni lebih suka mengikuti hukum Jahiliyah dan mengabaikan hukum Allah, bahwa bermaksud memalingkan kaum muslim dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah, maka jangan mengambil mereka menjadi auliya‟ yakni orang-orang dekat. Sifat mereka sama dalam kekufuran dan dalam kebencian kepada kamu, karena itu wajar jika sebagian mereka adalah au liya‟penolong sebagian yang lain, dalam menghadapi kamu, karena kepentingan mereka dalam hal ini sama, walau agama dan keyakinan mereka satu sama lain berbeda Shihab3, 2000: 114. Lebih spesifik lagi di dalam menafsirkan kata tattakhidzukamu mengambil, terambil dari kata akhadza yang pada umumnya diterjemahkan “mengambil”, tetapi dalam penggunaannya kata tersebut dapat mengandung banyak arti sesuai dengan katahuruf yang disebut sesudahnya. Misalnya jika kata yang disebut sesudahnya – katakanlah – “buku”, maka maknanya mengambil, jika hadiah atau persembahan, maka maknanya menerima, jika keamanannya maka berarti dibinasakan. Kata ittakhadza dipahami dalam arti mengandalkan diri pada sesuatu untuk menghadapi sesuatu yang lain. Nah, jika demikian apakah ayat tersebut melarang seorang muslim mengandalkan non-muslim? Tidak mutlak, karena yang dilarang di sini adalah menjadikan mereka auliya‟ Shihab3, 2000: 115. Mengoreksi terjemahan kata auliya‟ sebagaimana yang dipakai oleh Tim Departemen Agama dalan Al-Q ur‟an dan Terjemahnya dengan “pemimpin- pemimpin”, Quraish Shihab menjelaskan bahwa sebenarnya menerjemahkannya demikian tidak sepenuhnya tepat. Kata auliya‟ adalah bentuk jama‟ dari kata wali. Kata ini terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf waw, lam dan ya yang makna dasarnya adalah “dekat”. Dari sini kemudian berkembang makna-makna baru, seperti, pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama, dan lain-lain, yang kesemuanya diikat oleh benang merah kedekatan. Itu sebabnya ayah adalah orang paling utama yang menjadi wali anak perempuannya, karena dia adalah yang terdekat kepadanya. Orang yang amat taat dan tekun beribadah dinamai wali karena dia dekat kepada Allah. Seorang yang bersahabat dengan orang lain sehingga mereka selalu bersama dan saling menyampaikan rahasia karena kedekatan mereka, juga dapat dinamai wali. Demikian juga pemimpin, karena dia seharusnya dekat kepada yang dipimpinnya. Demikian dekatnya sehingga dialah yang pertama mendengar panggilan, bahkan keluhan dan bisikan siapa yang dipimpinnya, dan karena kedekatannya itu dia pula yang pertama datang membantunya. Demikian terlihat bahwa semua makna-makna yang dikemukakan di atas dapat dicakup oleh kata auliya‟ Shihab3, 2000: 115. Kemudian, setelah menjelaskan detail pendapat Thabathaba‟i, mufassir Syi‟ah kenamaan, dia menjelaskan bahwa pada akhirnya Thabathaba‟i berkesimpulan bahwa kata auliya‟ yang dimaksud oleh ayat ini adalah cinta kasih yang mengantar kepada meleburnya perbedaan-perbedaan dalam satu wadah, menyatunya jiwa yang tadinya berselisih, saling terkaitnya akhlak dan miripnya tingkah laku sehingga Anda akan melihat dua orang yang saling mencintai bagaikan seorang yang memiliki satu jiwa satu kehendak, dan satu perbuatan, yang satu tidak akan berbeda dengan yang lain dalam perjalanan hidup dan tingkat pergaulan Shihab3, 2000: 115. Quraish Shihab melanjutkan bahwa larangan menjadikan non-muslim sebagai auliya‟ yang dikemukakan ayat di atas dikemukakan dengan sekian pengukuhan. Kendati demikian, larangan tersebut tidaklah mutlak, sehingga mencakup seluruh makna yang dikandung oleh kata auliya‟, sembari menukil pendapat Muhammad Sayyid Thantawi dalam tafsirnya, bahwa non-muslim dapat dibagi menjadi tiga kelompok Shihab3, 2000: 115. Pertama, adalah mereka yang tinggal bersama kaum muslim, dan hidup damai bersama mereka, tidak melakukan kegiatan untuk kepentingan lawan Islam serta tidak juga nampak dari mereka tanda-tanda yang mengantar kepada prasangka buruk terhadap mereka. Kelompok ini mempunyai hak dan kewajiban sosial sama dengan kaum muslim. Tidak ada larangan untuk bersahabat dan berbuat baik kepada mereka, sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Mumtahanah ayat 8 Shihab3, 2000: 115. Kedua, kelompok yang memerangi atau merugikan kaum muslim dengan berbagai cara. Terhadap mereka tidak boleh dijalin hubungan harmonis, tidak boleh juga didekati. Mereka yang dimaksud oleh ayat ini, demikian juga dengan ayat-ayat lain, sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Mumtahanah ayat 9 Shihab3, 2000: 115. Ketiga, kelompok yang tidak secara terang-terangan memusuhi kaum muslim, tetapi ditemukan pada mereka sekian indikator yang menunjukkan bahwa mereka tidak bersimpati kepada kaum muslim, bahkan bersimpati kepada musuh-musuh Islam. Terhadap mereka Allah memerintahkan kaum beriman agar bersikap hati- hati tanpa memusuhi mereka Shihab3, 2000: 115. Allah berfirman di dalam Surat al-Maidah ayat 82, “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang- orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu orang-orang Nasrani terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, juga karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” Menurut Quraish Shihab, ayat ini tidak dapat dijadikan ukuran untuk menggeneralisir orang Yahudi dan Nasrani, tetapi harus dipahami berdasar sebab turunnya, sembari menukil ath-Thabari dalam tafsirnya yang menguraikan sekian banyak sebab turun ayat ini, dan salah satunya berkaitan dengan NajasyiNegus, Penguasa Ethiopia yang memeluk islam Shihab3, 2000: 164. Mengutip pakar Tafsir al-Alusi, Quraish Shihab mengemukakan bahwa kelihatannya yang dimaksud dengan yahud pada ayat ini adalah semua orang Yahudi. Namun dia mengatakan bahwa pendapat ini sulit diterima, karena kenyataannya sejarah membuktikan bahwa ada di antara orang-orang Yahudi yang memeluk Islam dan setia melaksanakan ajaran-ajarannya, dan ada juga di antara mereka yang bersikap netraltidak memusuhi islam. Pendapat yang menggeneralisir dapat dibenarkan jika kata yahud dibatasi pengertiannya terhadap kelompok Bani Israil penganut Yudaisme dan yang dikecam oleh sekian banyak ayat Al- Qur‟an. Sepanjang pengamatannya, Al- Qur‟an tidak menggunakan kata yahud kecuali terhadap penganut Yudaisme yang durhaka lagi melampaui, sembari memberikan beberapa ayat-ayat yang menggunakan kata tersebut dalam surat al- Ma‟idah ini yakni ayat 18, 58, dan 64 Shihab3, 2000: 165. Lebih lanjut, kelompok Nasrani pun tidak dapat digeneralisir, apalagi kata nashara, digunakan Al- Qur‟an terkadang dalam konteks positif dan pujian sebagaimana dalam ayat ini, dan terkadang juga dalam bentuk kecaman sebagaimana antara lain Surat al-Baqarah ayat 120, dan pernah juga bersifat netral seperti dalam Surat al-Haj ayat 17. Kendati perbedaan ajaran Tauhid antara Islam dan Yahudi tidak semenonjol dan sebesar perbedaannya dengan ajaran Kristen, namun karena faktor iri hati serta kepentingan ekonomi, maka kebencian mereka menjadi besar. Berbeda dengan masyarakat Nasrani, yang disamping tidak adanya persaingan ekonomi, juga karena keberhasilan para pemuka agama Nasrani mengajarkan nilai-nilai spiritual kepada para penganutnya. Dan yang membuat Nasrani lebih dekat kepada umat Islam adalah adanya faktor ulama dan cendekiawan yang memberi contoh keteladanan dan kerendahan hati mereka Shihab3, 2000: 166. Pendapat di atas senada dengan pendapat Ibn Katsir yang mengatakan bahwa kekafiran orang-orang Yahudi merupakan kekafiran yang sangat ingkar, sombong, menolak kebenaran, tidak menghargai orang lain, dan menghinakan orang yang berilmu. Oleh karena itu mereka membunuh para Nabi bahkan mereka berkali-kali hendak membunuh Rasulullah. Sementara orang-orang Nasrani pengikut al-Masih, dan berjalan pada manhaj Injil, dalam diri mereka terdapat rasa cinta kasih terhadap Islam, dan para pemeluknya secara umum. Hal itu juga didukung karena di antara mereka terdapatqissisiyyun para pendeta, yang merupakan para khatib dan ulama mereka, yang memiliki ilmu, ibadah dan tawadhu. Mereka inilah yang menurut Ibn „Abbas, dating bersama Ja‟far bin Abi Thalib dari Habasyah Ethiopia, dan kemudian beriman dan mata mereka berlinang air mata, ketika Rasulullah membacakan Al- Qur‟an kepada mereka. Kemudian mereka berkata, “Kami tidak akan pernah berpindah dari agama kami.” Maka Allah memberikan pahala kepada mereka atas keimanan, pembenaran, dan pengakuan mereka terhadap kebenaran Ibn Katsir, 2006: 36. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan dari pandangan-pandangan Quraish Shihab bahwa Islam adalah agama yang paling benar, dan bahwa semua agama di luar Islam saat ini harus diyakini sebagai sebuah kesalahan secara ilmiah. Namun demikian, esensi dari keislaman adalah cinta damai terindikasikan dari sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Ketinggian ajaran Islam mengharuskan umatnya mampu memberikan teladan dalam bertoleransi antara sesama umat beragama tanpa harus menggadaikan keyakinan kita dalam wujud pluralisme agama, dan umat Islam dalam rentang sejarah sejak kelahirannya telah mampu memperlihatkan kualitas toleransinya yang sangat baik meski pada suatu tempat dan masa Islam menjadi mayoritas di antara agama-agama di sekitarnya.

O. Gemar Membaca

Pendidikan karakter bangsa gemar membaca didefinisikan oleh Kemendiknas dengan kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Dalam Islam, karena begitu sangat vital-nya tentang peradaban membaca, maka perintah untuk kata membaca dalam al- Qur‟an terdapat dalam 14 ayat Firdaus dan Syarif, 2008: 36, belum dari berbagai derivasi dari kata membaca itu sendiri. Kata “membaca” sendiri terulang sebanyak 14 kali, yaitu: QS. 2; 44, 113, 121, 129; 3; 78, 113; 10; 94; 16; 98; 17; 45; 20; 114; 29; 48; 35; 29; 75; 18; 87; 6. Kata “dibaca” sebanyak 1 kali, yaitu 2; 102. Kata “dibacakan” ada 7 kali, yaitu: 3; 103; 7;204; 8; 2, 31; 17; 107; 33; 34; 68; 15. Kata “bacalah” ada 5 kali, yaitu: 7; 14; 73; 4, 20; 96; 1, 3. Kata “bacakanlah” ada 3 kali, yaitu: 2; 252; 7; 175; 10; 71. Dan kata “bacaan” sebanyak 4 kali, yaitu: 13; 31; 56; 77; 73; 6; 75; 18. Perintah membaca dalam al-Qur ‟an sangat jelas ditegaskan agar manusia dapat mencari ilmu pengetahuan untuk mengembangkan peradaban umat manusia, juga melahirkan semangat semangat baru dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. “ Budaya baca tulis tidak lain sebagai embrio bagi lahirnya peradaban yang lebih besar lagi dalam sejarah kehidupan umat Islam, yaitu lahirnya tradisi intelektualitas dalam Islam.” Romdhoni, 2013: 71. Ayat al- Qur‟an yang secara tegas memerintahkan manusia untuk belajar membaca dan menulis adalah surat al-Alaq: 1-5. Menurut Thanthawi Jauhari dalam buku Al- Qur‟an dan Literasi, karya Ali Romdhon 2013: 72 bahwa ayat ini mendobrak kejumudan masyarakat Arab kala itu ynag hanya mementingkan tradisi pengindraan, hafalan, dan tutur kata. Melalui ayat ini, al-Quran hadir dengan menyodorkan hal lain yang tak kalah penting, yaitu kewajiban membaca dan menulis Romdhoni, 2013: 72. Perintah membaca dan menulis, pada saat itu merupakan kewajiban yang revolusioner. Pasalnya, masyarakat kala itu jauh dari tradisi tulis-menulis. Mereka dengan tiba-tiba menjalankan revolusi besar, dari tradisi lisan ke tradisi tulis, dari sifat tuisan yang semula pribadi menjadi milik publik, dari kegelapan menuju menjadi terang benderang Romdhoni, 2013: 73. Sementara, menurut Quraish Shihab, membaca adalah syarat utama guna membangun peradaban. Semakin luas wilayah pembacaan maka semakin tinggi pula peradaban. Begitu pula sebaliknya. Selain itu, apabila dilihat dari sejarah terkait dengan tradisi baca tulis, maka umat manusia bisa dikelompokkan ke dalam 2 periode utama, yaitu sebelum penemuan baca-tulis dan sesudahnya, sekitar lima ribu tahun yang lalu. Dengan ditemukannya sistem baca-tulis peradaban manusia tidak harus mengulang dan mengulang dari nol; merambah jalan dan merangkak- rangkak. Tetapi, peradaban yang datang mempelajari peradaban yang lalu melalui jejak tertulis yang dapat dibaca oleh generasi pada saat itu. Satu hal yang harus dicatat, melalui kemanpuan baca-tulis, manusia tidak harus memulai segalanya dari nol, tetapi bisa belajar dari prestasi dan kegagalan orang-orang pendahulunya Romdhoni, 2013: 74. Allah berfirman dalam Surat al-Alaq 1-5:                          “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari „alaq. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya. ” Menurut Quraish, mengapa iqra merupakan perintah pertama yang ditujukan kepada Nabi, padahal beliau seorang ummi yang tidak pandai membaca dan menulis? Mengapa demikian? Iqra terambil dari akar kata yang berarti “menghimpun” sehingga tidak selalu harus diartikan “membaca teks tertulis dengan aksara tertentu. ” Dari menghimpun, lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak. iqra‟ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis. Alhasil, objek perintah iqra‟ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya. Demikian terpadu pada perintah ini segala macam cara yang dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya. Sungguh, perintah membaca merupakan sesuatu yang paling berharga yang pernah dan dapat diber ikan kepada umat manusia. “membaca” dalam aneka maknanya adalah syarat pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi, serta syarat utama membangun peradaban Shihab, 1997: 5-6. Pada ayat itu tentunya kata iqra‟ bukannya perintah untuk membaca dari dari satu teks tertulis, karena disamping Nabi Saw tidak dapat membaca, juga karena riwayat-riwayat yang shahih menjelaskan bahwa Jibril tidak membawa suatu naskah tertulis ketika menyampaikan wahyu kepada beliau Shihab, 1997: 78. Menurut Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip Quraish shihab, memahami perintah membaca bukan sebagai beban tugas yang harus dilaksanakan amar taklify yang membutuhkan objek, tetapi perintah ini menurutnya amr takwinyyang mewujudkan kemampuan membaca secara aktual pada diri Nabi Muhammad Saw. Atau, dengan kata lain, iqra‟ bacalah adalah semacam firman Allah Kun Fa Yakun jadilah, maka jadilah ia. Jadi, perintah membaca itu sama dengan perintah “jadilah engkau wahai Muhammad orang yang dapat membaca” dan dengan perintah tersebut mampulah Nabi Saw membaca Shihab, 1997: 79. Pendapat ini masih banyak mengandung keberatan, antara lain karena pada kenyataanya belaiu setelah turunnya perintah ini pun masih dinamai Al-Quran seorang ummiy tidak pandai membaca dan menulis. Beraneka ragam pendapat ahli tafsir tentang objek bacaan yang dimaksud. Ada yang berpendapat wahyu-wahyu al-Qur ‟an, sehingga perintah itu dalam arti bacalah wahyu-wahyu al-Quran ketika dia turun nanti. Ada juga yang berpendapat objeknya adalah ismi Rabbika sambil menilai huruf ba yang menyertai kata ismi adalah sisipan sehingga ia berarti bacalah nama Tuhanmu atau berdzikirlah. Tapi jika demikian mengapa Nabi saw. menjawab: “saya tidak dapat membaca”. Seandainya yang dimaksud adalah perintah berdzikir tentu beliau tidak menjawab demikian karena jauh sebelum datang wahyubeliau telah senantiasa melakukannya. Kaidah kebahasaan menyatakan, “Apabila suatu kata kerja yang membutuhkan objek tetapi tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut” Shihab15, 2000: 455. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa karena kata iqra ‟ digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya, dan arena objeknya bersifat umum, maka objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau, baik ia merupakan bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik ia menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Alhasil, perintah iqra ‟ mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, serta bacaan tertulis, baik suci maupun tidak. Huruf arab ba‟ pada kata arab bismi ada juga yang memahaminya sebagai berfungsi penyertaan atau muldhasah sehingga demikian ayat tersebut berarti “bacalah disertai dengan nama Tuhanmu”. Sementara ulama memahami kalimat bismi Rabbika bukan dalam pengertian harfiahnya. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab sejak masa Jahiliyah, mengaitkan suatu pekerjaan dengan nama sesuatu yang mereka agungkan. Itu memberi kesan yang baik atau katakanlah “berkat” terhadap pekerjaan tersebut juga untuk menunjukan bahwa pekerjaan tadi dilakukan semata- mata karena “dia” yang namanya disebutkan itu. Dahulu, misalnya, sebelum turunnya al-Qur ‟an, kaum musyrikin sering berkata “Bismi al-Lata” dengan maksud bahwa apa yang mereka lakukan tidak lain kecuali demi karena tuhan berhala al- Lata‟ itu, dan bahwa mereka mengharapkan “anugerah atau berkat” dari berhala tersebut Shihab15, 2000: 456. Di sisi lain, penamaan dengan nama sesuatu yang dimuliakan sering kali bertujuan agar yang dinamai itu mendapat “bekas” dari sifat atau keadaan si pemilik nama yang diambil itu. Suatu lembaga, atau seorang anak diberi nama tokoh-tokoh tertentu, dengan maksud di samping mengabdikan nama tokoh tersebut, juga mengundang si anak untuk mencontohkan sifat-sifat terpuji tokoh tersebut. Mengaitkan pekerjaan membaca dengan nama Allah mengantarkan pelakunya untuk tidak melakukannya kecuali karena Allahdan hal itu akan menghasilkan keabadian karena hanya Allah Yang Kekal abadi dan hanya aktivitas yang dilakukannya secara ikhlas yang akan diterima-Nya. Tanpa keikhlasan, semua aktivitas akan berakhir dengan kegagalan dan kepunahan QS. Al-Furqan: 23 Shihab15, 2000: 456. Syeikh „Abdul Halim Mahmud mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar Mesir yang menulis dalam bukunya, al-Quran Fi Syahr al-Quran, yang dikutip oleh Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, menyatakan bahwa “Dengan kalimat iqra‟ bismi Rabbika, al-Qur ‟an tidak sekedar memerintahkan untuk membaca, tapi “membaca” adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan semangatnya ingin menyatakan “Bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah de mi Tuhanmu.” Demikian juga apabila Anda berhenti bergerak atau berhenti melakukan sesuatu aktivitas, maka hendaklah hal tersebut juga didasarkan pada bismi Rabbik sehingga pada akhirnya ayat tersebut berarti “Jadikanlah seluruh kehidupanmu, wujudmu, dalam cara dan tujuannya, kesemuanya demi karena Allah. ” Shihab15, 2000: 456. Kata Rabb seakar dengan kata tarbiyahpendidikan. Kata ini memiliki arti yang berbeda-beda namun pada akhirnya arti-arti itu mengacu pada pengembangan, peningkatan, ketinggian, kelebihan serta perbaikan. Kata Rabb maupun tarbiyah berasal dari kata arab raba‟-yarba yang dari segi pengertian kebahasaan adalah kelebihan. Dataran tinggi dinamai rabwah Arab, sejenis roti yang dicampur air sehingga membengkak dan membesar disebut al-rabw. Kata Rabb apabila berdiri sendiri maka yang dimaksud adalah “Tuhan” yang tentunya antara lain karena Dialah yang melakukan tarbiyah pendidikan yang pada hakikatnya adalah pengembangan, peningkatan, serta perbaikan makhluk ciptaan-Nya. Agaknya penggunaan kata Rabb dalam ayat ini dan ayat-ayat semacamnya dimaksudkan untuk menjadi dasar perintah mengikhlaskan diri kepada-Nya, sambil menunjuk kewajaran-Nya untuk disembah dan ditaati Shihab15, 2000: 457. Dalam wahyu-wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw tidak ditemukan kata Allah, tetapi kata yang digunakan menunjuk Tuhan adalah RabbukaTuhanmu wahai Nabi Muhammad- yakni bukan Tuhan yang dipercaya kaum musyrikin. Perhatikan lima ayat pertama surah ini. Demikian wahyu berikutnya, surah al-Muddatstsir, al-Qalam, awal surah al-Muzzammil dan surah Tabbat. Surah-surah sesudahnya sampai dengan surah sabbihisma kesemuanya tanpa menggunakan kata Allah kecuali ayat surah itu turun terpisah dengan ayat- ayat surah lain. Tidak digunakan kata Allah Karen kaum Musyrikin percaya juga kepada Allah, tetapi keyakinan mereka tentang Allah jauh berbeda dengan keyakinan yang dihayati dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Mereka misalnya beranggapan bahwa ada hubungan tertentu antara Allah dengan Jin QS. Al-Saffat: 158 dan bahwa memiliki anak-anank dan wanita QS. Al-Isra: 40 dan bahwa mereka tidak dapat berkomunikasi langsung kepada Nya sehingga para malaikat dan berhala-berhala perlu disembah sebagai perantara antara manusia dengan Allah QS. al-Zumar: 3. kepercayaan seperti yang dikemukakan ini jelas berbeda dengan ajaran al-Qur ‟an atau yang diyakini oleh Nabi Muhammad Saw. Hingga jika seandainya dinyatakan iqra‟bismillah atau “percaya kepada Allah,” maka kaum musyrikin akan berkata “kami telah melakukannya.” Shihab15, 2000: 457. Kata Khalaqa dari segi pengertian kebahasaan memiliki sekian banyak arti, antara lain: menciptakan dari tiada, menciptakan tanpa satu contoh terlebih dahulu, mengukur, memperhalus, mengatur, membuat dan sebagainya. Kata ini biasanya memberikan tekanan tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya. Berbeda dengan kata ja‟ala yang mengandung penekanan terhadap manfaat yang harus atau dapat diperoleh dari sesuatu yang dijadikan itu. Objek Khalaqo pada ayat ini tidak disebutkan sehingga objeknya pun sebagaimana iqra bersifat umum, dan dengan demikian Allah adalah Pencipta semua makhluk Shihab15, 2000: 457. Ayat ke-2 ini lebih memperkenalkan Tuhan yang disembah oleh Nabi Saw. Dia Tuhan yang menciptakan Adam dan Hawwa dari segumpal darah atau sesuatu yang bergantung di dinding rahim. Dalam memperkenalkan perbuatan-Nya penciptaan merupakan hal pertama yang dipertegas karena merupakan persyaratan bagi terlaksananya perbuatan yang lain Shihab15, 2000: 458. Kata insan menggambarkan manusia dengan berbagai keragaman sifatnya. Manusia adalah makhluk pertama yang disebut Allah dalam Al-Quran melalui wahyu pertama, bukan saja karena diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya atau karena segala alam raya ini diciptakkan dan ditundukkan Allah demi kepentingannya, tetapi juga karena Kitab Suci al-Qur ‟an ditujukan kepada manusia sebagai pedoman hidup guna menjadi pelita kehidupannya. Ayat kedua surah Iqra‟ menguraikan secara singkat hal tersebut Shihab15, 2000: 459. Ayat ketiga memerintahkan membaca dan meningkatkan motivasi yakni dengan nama Allah, kini ayat ini memerintahkan membaca dengan menyampaikan janji Allah atas manf aat membaca. Allah berfirman: “Bacalah berulang-ulang dan Tuhan Pemelihara dan Pendidikmu Maha Pemurah sehingga melimpahkan aneka karunia Shihab15, 2000: 460. Ayat ketiga mengulang perintah membaca, ulama berbeda pendapat tentang tujuan pengulangan itu. Ada yang menyatakan bahwa perintah pertama ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad Saw, sedang yang kedua kepada umatnya, atau yang pertama untuk membaca dalam shalatnya yang kedua diluar shalat. Pendapat ketiga menyatakan yang pertama perintah belajar, sedang yang kedua adalah perintah mengajar orang lain. Ada lagi yang menyatakan bahwa perintah kedua berfungsi mengukuhkan guna menanamkan rasa “percaya diri” kepada Nabi Saw. Tentang kemampuan beliau membaca karena tadinya beliau tidak pernah membaca Shihab15, 2000: 460. Menurut Syaikh Muhammad Abduh yang dikutip oleh Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, mengemukakan sebab lain, menurutnya kemampuan membaca dengan lancar dan baik tidak dapat diperoleh tanpa mengulang-ulang atau melatih diru secara teratur, hanya saja keharusan latihan demikian itu tidak berlaku atas diri Nabi Saw. Dengan adanya pengulangan perintah membaca ini bahwa Iqra adalah perintah Takwini, yaitu titah penciptaan kemampuan membaca dan menghimpun secara “aktual bagi diri nabi Muhammad Saw.” Perintah membaca yang kedua ini dimaksudkan agar beliau lebih banyak membaca, menelaah, memerhatikan alam raya, serta membaca kitab yang tertulis dan tidak tertulisdalam rangka mempersiapkan diri terjun ke masyarakat Shihab15, 2000: 460. Kata ا ّ diterjemahkan yang Maha Pemurah. Dalam al-Qur‟an ditemukan kata Karim terulang sebanyak 27 kali. Tidak kurang dari 13 subjek yang disifati kata tersebut, yang tentunya saja berbeda-beda maknanya karena pada akhirnya dapat disimpulkan untuk menggambarkan sifat terpuji yang sesuai dengan objek yang disifati Shihab15, 2000: 461. Menurut Imam al-Ghazali, dikutip Quraish shihab, Allah menyandang sifat Karim menunjukkan kepada-Nya yang mengandung makna antara lain; Dia yang berjanji, menepati janji-Nya; bila memberi melampaui batas harapan pengharap-Nya tidak peduli berapa dan kepada siapa Dia memberi. Dia yang tidak rela bila ada kebutuhan yang dimohon kepada selain-Nya. Dia yang bila hati kecil menegur tanpa lebih. Tidak mengabaikan siapapun yang menuju dan berlindung kepada-Nya dan tidak membutuhkan sarana dan prasarana Shihab15, 2000: 461. Dalam ayat ketiga ini, Allah menjajikan bahwa pada saat seseorang membaca dengan ikhlas karena Allah. Allah menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman-pemahaman, wawasan-wawasan baru walaupun yang dibacanya itu-itu juga. Apa yang dijanjikannya terbukti secara jelas. Kegiatan “membaca” ayat al- Qur ‟an menimbulkan penafsiran-penafsiran baru atau pengembangan dari pendapat-pendapat yang telah ada. Demikian juga kegiatan “membaca” alam raya ini telah menimbulkan penemuan-penemuan baru yang membuka rahasia alam, walau objek nya itu-itu aja. Ayat al-Qur ‟an yang dibaca oleh generasi terdahulu dan alam raya yang mereka huni, adalah sama tidak berbeda, namun pemahaman mereka serta penemuan rahasia terus berkembang Shihab15, 2000: 463. Ayat ke- 4 dan 5 yang artinya “Yang mengajar dengan pena, mengajar manusia apa yan belum diketahuinya. ” Kata ا terambil dari kata yang berarti memotong ujung sesuatu. Alat yang digunakan untuk menulis dinamai pula qalam karena pada mulanya alat tersebut tersebut dari suatu bahan yang dipotong dan diperuncing ujungnya. Bisa juga yang dimaksud adalah alat untuk menulis, alat yang digunakan untuk mengumpulkan pengetahuan dalam bentuk tulisan. Dari ayat tersebut dapat dijelaskan dua cara yang ditempuh Allah Swt dalam mengajarkan kepada manusia. Pertama melalui pena tulisan yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua adalah melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah „Ilm Ladunniy Shihab15, 2000: 464. Berdasarkan paparan di atas, maka pendidikan karakter bangsa gemar membaca dalam al- Qur‟an lebih komprehensif dari konsep Kemendiknas. Dalam al-Qur‟an, gemar membaca tidak hanya ditunjukkan dengan kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. iqra‟