Sistematika Penulisan al-Mishbah Karakteristik Tafsir al-Misbah
                                                                                mengarahkan pandangan  kepadanya dan membatasi diri dalam pembicaraan, serta tidak mengarahkan pandangan kepadanya kecuali pandangan yang sukar dihindari.
Apapun  hubungannya,  yang  jelas  ayat  ini  memerintahkan  Nabi  Muhammad Saw,  bahwa  hai  Rasul
„katakanlah,‟  yakni  perintahkanlah,  kepada  pria-pria Mukmin  yang  demikian  mantap  imannya  bahwa  hendaklah  mereka  menahan
sebagian  pandangan  mereka,  yakni  tidak  membukanya  lebar-lebar,  untuk  melihat segala  sesuatu  yang  terlarang,  seperti  aurat  wanita,  dan  sesuatu  yang  kurang  baik
dilihatnya,  seperti    tempat-tempat  yang  kemungkinan  dapat  melengahkan,  tetapi tidak  juga  menutupnya  sekali  sehingga  merepotkan  mereka.  Di  samping  itu,
hendaklah  mereka  memelihara  secara  utuh  dan  sempurna  kemaluan  mereka sehingga sama sekali tidak menggunakannya, kecuali pada  yang halal. Tidak juga
membiarkannya  kelihatan,  kecuali  kepada  siapa  yang  boleh  melihatnya.  Bahkan, kalau dapat  tidak menampakkannya sama sekali walau terhadap istri-istri  mereka;
yang  demikian  itu,  yakni  menahan  pandangan  dan  memelihara  kemaluan,  adalah lebih  suci  dan  terhormat  bagi  mereka.  Karena  dengan  demikian,  mereka  telah
menutup  rapat-rapat  salah  satu  pintu  kedurhakaan  yang  besar,  yakni  perzinahan. Wahai Rasul, sampaikanlah tuntunan ini kepada orang-orang mukmin agar mereka
melaksanakannya dengan baik dan hendaklah mereka terus awas dan sadar karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui  apa yang mereka perbuat Shihab8, 2000:
523.
Ayat  ini  menggunakan  kata  al- Mu‟minun  yang  mengandung  makna
kemantapan  iman  yang  bersangkutan,  berbeda  dengan  yaa  ayyuha  al-ladzina amanu  yang  digunakan  oleh  ayat  27  ketika  berbicara  tentang  perizinan  masuk
rumah. Hal ini menurut  al-Biqa ‟i dalam Tafsir al-Misbah mengisyaratkan sulitnya
menghindarkan  mata  di  tempat  umum  dan  bahwa  ini  hanya  dapat  dilaksanakan secara  baik  oleh  mereka  yang  telah  mantap  iman  dalam  kalbunya.  Karena
kedurhakaan  di  sini  tidak  sejelas  dan  sekentara  kedurhakaan  ketika  memasuki rumah  tanpa  izin.  Kata  yaghudhdhu  terambil  dari  kata  ghadhdha  yang  berarti
„menundukkan‟  atau  „mengurangi.‟  Yang  dimaksud  di  sini  adalah  mengalihkan arah  pandangan  serta  tidak  memantapkan  pandangan  dalam  waktu  yang  lama
kepada sesuatu yang terlarang atau kurang baik Shihab8, 2000: 524.
Thabaathaba‟i  memahami  perintah  memelihara  furj  kemaluan  bukan  dalam arti  memeliharanya  sehingga  tidak  digunakan  bukan  pada  tempatnya,  tetapi
memeliharanya sehingga tidak terlihat oleh orang lain.  Bukan dalam  arti larangan berzina.  Ayat  ini  tidak  menyebutkan  pengecualian  dalam  hal  kemaluan
sebagiamana  halnya  dalam  QS.al- Mu‟minun23:  5-6.  Agaknya,  ayat  ini
mencukupkan  penjelasan  surah  al- Mu‟minun  itu  dan  juga  karena  di  sini  ia
berbicara tentang orang-orang Mukmin yang sempurna imannya dan dikemukakan dalam konteks peringatan Shihab8, 2000: 525.
Faktor  yang  ketiga  adalah  Taubat,  manusia  adalah  manusia,  al-nas  huwa  al- nas,  begitu  kata  Ibrahim  ibn  Adham  dalam  kata-kata  hikmahnya.  Adalah
manusiawi, bahwa manusia mungkin ada kesalahan, baik disengaja maupun tidak. Maka  Allah  Maha  Ghaffur  selalu  menerima  taubat  dari  hambanya.  Orang  yang
memilki kualitas spiritual tinggi akan selalu bertaubat jika ada kesalahan atau dosa
yang  dilakukannya  Lajnah  Pentashihan  al- Qur‟an  Kemenag,  2011:  90.  Seperti
dalam ayat al-Furqan25: 70-71;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
“Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan kebajikan; maka  kejahatan  mereka  diganti  Allah  dengan  kebaikan.  Allah  Maha  Pengampun,
Maha  Penyayang.  Dan  barang  siapa  bertobat  dan  mengerjakan  kebajikan,  maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.
Asbabun  Nuzul  ayat  70  dari  riwayat  al-Bukhari,  Muslim  dan  an- Nasa‟i
meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas ra; Dia berkata: ” Beberapa orang musyrik
sudah  banyak  membunuh  dan  sering  berzina,  lalu  datang  kepada  Nabi  Saw.  Dan berkata:  “Apa  yang  engkau  katakan  dan  serukan  itu  baik  jika  engkau
memberitahukan kepada kami bahwa semua  yang kami perbuat ada tebusannya.” Maka  turun:  “Walladzina  la  yad‟una….‟  Dan  turun  pula:  “Qul  Ya
„ibadiyahlladzina asrafu….‟ QS. Al-Zumar39: 53.” Shihab, 2013: 366-367. Dalam  ayat  tersebut  dijelaskan,  “kecuali  dia  yang  telah  taubat,”  yakni
menyesali  perbuatannya,  bertekad  untuk  tidak  mengulanginya,  serta  memohon ampun  kepada  Allah,  dan  telah  beriman  kepada  Allah  dan  Rasul-Nya  dengan
keimanan  yang  benar  dan  tulus,  serta  mengamalkan  amal  shaleh  yang  sempurna. Maka, mereka itu akan diampuni Allah, sehingga mereka terbebaskan dari ancaman
siksa, bahkan akan diganti Allah dosa-dosa mereka dengan kebajikan. Dan adalah Allah  senantiasa  Maha  Pengampun  lagi  Maha  penyayang
Lajnah  Pentashihan  al- Qur‟an Kemenag, 2011: 90
. Penjelasan  di  atas  sejalan  dengan  Firman  Nya  dalam  surah  Yunus10:  9,
sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, niscaya diberi  petunjuk  oleh  Tuhan  karena  keimanannya.  Mereka  di  syurga  yang  penuh
kenikmatan, mengalir di bawahnya sungai-sungai. ” QS. Yunus10: 9.
Penjelasan  dalam  Tafsir  al-Misbah  Shihab9,  2000:  156  Ayat  70  di  atas menyatakan  bahwa  siksa  dan  ancaman  itu  akan  menimpa  semua  yang  melakukan
dosa-dosa  di  atas.  Kecuali,  siapa  yang  telah  bertaubat  yakni  menyesali perbuatannya,  bertekad  untuk  tidak  mengulanginya.  Serta,  bermohon  ampun
kepada  Allah,  dan  telah  beriman  kepada  Allah  dan  Rasul-Nya    dengan  keimanan yang benar dan tulus serta telah mengamalkan amal shaleh yang sempurna. Kalau
itu  telah  dipenuhinya,  maka  mereka  itu,  yakni  bertaubat,  beriman,  dan  beramal shaleh,  akan  diampuni  Allah  sehingga  mereka  terbebaskan  dari  ancaman  siksa.
Bahkan, akan diganti  oleh Allah dosa-dosa mereka dengan kebajikan.  Dan adalah Allah senantiasa Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini berkaitan dengan pertanyaan  yang diajukan kepada Nabi  Muhammad Saw,  menyangkut  sekelompok  orang  musyrik  yang  ingin  insyaf  namun  telah
membunuh  sedemikian  banyak  banyak  orang  dan  telah  sering  kali  pula  berzina. Mereka  mengakui  keunggulan  Islam,  tetapi  kata  mereka;
”Bagaimana  dosa-dosa kami  itu,  adakah  jalan  kelua
rnya?” ayat ini demikian juga surat al-Zumar ayat 53 turun  mengomentari  pertanyaan  itu.  Demikian  penjelasan  sahabat  Nabi  Saw,  Ibn
Abbas,  sebagaimana  diriwayatkan  oleh  Imam  Bukhari.  Para  Ulama  berbeda pendapat  tentang  makna  firman-Nya:  Yubiddilu  Allah  sayyiathim  hasanatakan
diganti oleh Allah dosa-dosa mereka dengan kebajikan. Yang jelas, ia bukan berarti bahwa amal-amal buruk yng pernah meraka lakukan akan dijadikan baik oleh Allah
dan  diberi  ganjaran.  Karena,  jika  demikian  bisa  aja  seseorang  yang  selama hidupnya berbuat kejahatan lalu bertaubat, memeroleh kedudukan yang lebih tinggi
dari pada orang yang tidak banyak berdosa Shihab9, 2000: 156.
Ada  ulama  yang  memahami  penggalan  ayat  ini  dalam  arti  Allah  mengganti aktivitas mereka, yakni yang tadinya merupakan amal-amal buruk, setelah mereka
bertaubat  menjadi  aktivitas  yang  berkisar  pada  amal-amal  baik.  Dengan  kata  lain, kalau    yang  bersangkutan  karena  akibat  dosa-dosa  yang  dilakukannya  bagaikan
mengasah  dan  mengembangkan  potensi  negatifnya  sehingga  selalu  terdorong untuk melakukan dosa, dengan bertaubat secara tulus, ia mengasah, mengasuh dan
mengembangkan  potensinya  positif  sehingga  pada  akhirnya  dia  selalu  terdorong untuk melakukan amal-amal shaleh Shihab9, 2000: 157.
Ada juga yang memahaminya dalam arti kenangan mereka terhadap amal-amal buruk  itu  membuahkan  kebajikan.  Itu  terjadi  karena  ,  begitu  mereka
mengenangnya,  mereka  bertaubat.  Taubat  pertama  ini  diterima  Allah  sehingga terhapuslah  dosa  itu.  Namun,  yang  bersangkutan  masih  terus  mengenangnya    dan
takut jangan sampai Allah belum menerima taubatnya, maka dia taubat lagi untuk kedua  kalinya  .  Nah  disini  karena  dosanya  telah  terhapus  oleh  taubat  pertama
– maka  taubat  kedua  ini  dicatat  sebagai  amal  shaleh.  Demikian  seterusnya,
bertambah  amal  baiknya  setiap  dia  mengenang  dosa  tersebut  sambil  bertaubat Shihab9, 2000: 158.
Di  sisi  lain,  boleh  jadi  juga  ada  yang  terheran-heran  mendengar  pergantian keburukan  dengan  kebaikan  sebagaimana  diinformasikan  ayat  yang  lalu.  Di
samping itu, ayat yang lalu boleh jadi mengesankan bahwa penganugerahan taubat yang  dimaksud  hanya  tertuju  kepada  kaum  musyrikin  yang  melakukan  dosa-dosa
yang disebut disana, bukan kepada selain mereka dari orang Muslim yang berdosa. Untuk  menampik  kesan  dan  kemungkinan  kesalah  pahaman  di  atas,  ayat  ini
                                            
                