BersahabatKomunikatif ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA
                                                                                “Sesungguhnya  orang-orang  mukmin,  orang-orang  Yahudi,  orang-orang Nasrani,  dan  orang-orang  Sa
bi‟in,  siapa  saja  di  antara  mereka  yang  benar-benar beriman  kepada  Allah,  hari  kemudian  dan  beramal  saleh,  mereka  akan  menerima
pahala  dari  Tuhan  mereka;  tidak  ada  kekhawatiran  terhadap  mereka,  dan  tidak pula mereka bersedih hati.” QS. Al-Baqarah: 62.
Quraish  Shihab  menolak  pandangan  sekelompok  orang  yang  menyatakan bahwa  semua  agama  itu  sama.  Dia  mengatakan,
“Ada  sementara  orang  yang perhatiannya  tertuju  kepada  penciptaan  toleransi  antar  umat  beragama  yang
berpendapat  bahwa  ayat  ini  dapat  menjadi  pijakan  untuk  menyatakan  bahwa penganut  agama-agama  yang disebut oleh  ayat  ini, selama beriman kepada Tuhan
dan Hari Kemudian, maka mereka semua akan memperoleh keselamatan dan tidak
akan diliputi oleh rasa takut di akhirat kelak, tidak pula akan bersedih.” Shihab1, 2000: 216.
Pendapat  semacam  ini  menurutnya  nyaris  menjadikan  semua  agama  sama, padahal agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah serta ibadah
yang  diajarkannya.  Dia  katakan, “Bagaimana  mungkin  Yahudi  dan  Nasrani
dipersamakan,  padahal  keduanya  saling  mempersalahkan.  Bagaimana  mungkin yang  ini  dan  itu  dinyatakan  tidak  akan  diliputi  rasa  takut  atau  sedih,  sedang  yang
ini  menurut  itu,  dan  atas  nama  Tuhan  yang  disembah,  adalah  penghuni  surga  dan yang itu penghuni neraka? Yang ini tidak sedih dan takut, dan yang itu, bukan saja
takut tetapi disiksa dengan aneka siksa.” Shihab1, 2000: 216. Di dalam menafsirkan ayat ini, dia belum secara tegas menegaskan agar pilihan
manusia  jatuh  kepada  Islam,  selain  agar  setiap  pemeluk  agama  menyerahkan keputusannya  kepada  waktu  Kemudian,
“Bahwa  surga  dan  neraka  adalah  hak prerogatif Allah memang harus diakui. Tetapi hak tersebut tidak menjadikan semua
penganut  agama  sama  dihadapan-Nya.  Bahwa  hidup  rukun  dan  damai  antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan agama, tetapi
cara  untuk  mencapai  hal  itu  bukan  dengan  mengorbankan  ajaran  agama.  Caranya adalah  hidup  damai  dan  menyerahkan  kepadaNya  semata  untuk  memutuskan  di
hari  Kemudian  kelak,  agama  siapa  yang  direstui-Nya  dan  agama  siapa  pula  yang keliru,  kemudian  menyerahkan  pula  kepada-Nya  penentuan  akhir,  siapa  yang
dianugerahi  kedamaian  dan  sur
ga  dan  siapa  pula  yang  akan  takut  dan  bersedih.” Shihab1, 2000: 216.
Dia  menguatkan  bahwa  kita  harus  percaya  bahwa  di  hari  Kemudian  ada  yang dinamai penimbangan amal. Bagaimana cara menimbang dan apa alatnya tidaklah
harus kita ketahui, tetapi yang jelas dan yang harus dipercaya adalah bahwa ketika itu keadilan Allah Swt. akan sangat nyata lagi sangat sempurna dan tidak seorang
pun – walau yang terhukum – mengingkari keadilan itu Shihab, 2006: 141.
Terdapat  ayat  yang  hampir  serupa  redaksinya  dengan  ayat  ini,  yakni  yang terdapat dalam firman Allah Surat al-Maidah ayat 69,
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, siapa saja di antara mereka  yang  benar-benar  beriman  kepada  Allah,  hari  kemudian,  dan  beramal
saleh,  maka  tidak  ada  kekhawatiran  terhadap  mereka  dan  tidak  pula  mereka bersedih hati.”
Kalau  di  ayat  yang  awal  penyebutan  kata an-Nashârâ adalah  yang  kedua setelah hâdu dan  sebelum ash-
Shâbi‟în,  sedang  di  sini  gilirannya  adalah  yang ketiga  setelah hâdu dan ash-
Shâbi‟ûn.  Perbedaan  yang  lain  adalah  dalam  al- Baqarah ada kalimat “bagi mereka ganjaran mereka di sisi Tuhan mereka”, sedang
dalam  al- Ma‟idah  kalimat  ini  tidak  disebut.  Dari  segi  redaksional,  kelihatannya
perurutan  penyebutan  kelompok-kelompok  tersebut  pada  ayat  al-Baqarah  lebih sesuai,  yakni  tidak  memisahkan  antara  orang-orang  Yahudi  dan  Nasrani  dengan
kata ash- Shabi‟un, lebih sesuai dengan pemisahan yang terjadi pada ayat ini.
Mengutip  pakar  tafsir  al-Zamakhsyari  dalam  tafsirnya,  dia  mengemukakan bahwa  ayat  ini  mengandung  satu  makna  yang  ingin  dikemukakan  dan  karena  itu
pula bentuk kata ash- Shabi‟un yang digunakan di sini, bukan al-Shabi‟in semacam
QS.  al-Baqarah  di  atas  dan  yang  sepintas  harus  demikian  itu  menurut  kaidah kebahasaan.  Redaksi  ini  menurutnya  bertujuan  untuk  menggarisbawahi  bahwa
jangankan  orang-orang  Yahudi  dan  Nasrani,  para Shabi‟un yang  kedurhakaan
mereka terhadap Allah jauh lebih besar, diterima taubatnya oleh Allah, apalagi Ahl al-Kitab itu, selama mereka beriman dengan benar dan beramal shaleh.
Ketika  menafsirkan  firman  Allah  dalam  Surat  al-Baqarah  ayat  62,  Quraish Shihab  mengemukakan  bahwa  persyaratan  beriman  kepada  Allah  dan  hari
kemudian seperti bunyi Surat Ali „Imran ayat 69,
“Segolongan  dari  ahli  kitab  ingin  menyesatkan  kamu,  padahal  mereka sebenarnya  tidak  menyesatkan  melainkan  dirinya  sendiri,  dan  mereka  tidak
menyadarinya.” Menurut  Quraish,  bukan  berarti  hanya  kedua  rukun  itu  yang  dituntut  dari
mereka,  tetapi  keduanya  adalah  istilah  yang  biasa  digunakan  oleh  Al- Qur‟an dan
Sunnah untuk  makna iman  yang benar dan mencakup semua rukunnya.  Dan akan sangat  panjang  bila  semua  objek  keimanan  disebut  satu  demi  satu.  Rasul  Saw.
dalam  percakapan  sehari-hari  sering  hanya  menyebut  keimanan  kepada  Allah  dan hari kemudian. Misalnya sabda beliau Saw
., “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari  kemudian,  maka  hendaklah  dia  menghormati  tamunya,
”  di  kali  lain  beliau bersabda, “… mengucapkan kata-kata yang baik atau diam, ….,” Muslim, Shahih
Muslim Bab al-Iman No. 67, Maktabah Syamilah dan masih banyak yang serupa. Quraish  Shihab  cukup  serius  dalam  mengomentari  pendapat  sementara  orang
yang  perhatiannya  tertuju  kepada  penciptaan  toleransi  antar  umat  beragama  yang berpendapat  bahwa  ayat  ini  dapat  menjadi  pijakan  untuk  menyatakan  bahwa
penganut  agama-agama  yang disebut oleh  ayat  ini, selama beriman kepada Tuhan
dan hari kemudian, maka mereka semua akan memperoleh keselamatan, tidak akan diliputi  oleh  rasa  takut  di  akhirat  kelak,  tidak  pula  akan  bersedih.  Menurutnya,
pendapat  semacam  ini  nyaris  menjadikan  semua  agama  sama,  padahal  agama- agama  itu  pada  hakikatnya  berbeda-beda  dalam  akidah  serta  ibadah  yang
diajarkannya.  Bagaimana  mungkin  Yahudi  dan  Nasrani  dipersamakan  padahal keduanya  saling  mempersalahkan.  Dia  mengakui  bahwa  surga  dan  neraka  adalah
hak prerogatif Allah, tetapi  hak tersebut  tidak menjadikan semua penganut  agama sama di hadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antar pemeluk agama adalah
sesuatu  yang  mutlak  dan  merupakan  tuntunan  agama,  tetapi  cara  untuk  mencapai hal  itu  bukan  dengan  mengorbankan  ajaran  agama.  Caranya  adalah  hidup  damai
dan menyerahkan kepada-Nya semata untuk  memutuskan di  hari kemudian kelak, agama  siapa  yang  direstui-Nya  dan  agama  siapa  pula  yang  keliru,  kemudian
menyerahkan pula kepada-Nya penentuan akhir, siapa yang dianugerahi kedamaian dan surga dan siapa pula yang akan takut dan bersedih Shihab1, 2000: 146.
Ketegasan  Quraish  Shihab  di  dalam  menjadikan  Islam  sebagai  pilihan  hidup yang utama yakni memilih Islam sebagai agama-Nya baru dapat terlihat ketika dia
menafsirkan firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 132 Shihab1, 2000: 146,
“Dan  Ibrahim  telah  mewasiatkan  ucapan  itu  kepada  anak-anaknya,  demikian pula  Ya‟qub.  Ibrahim  berkata,  “Hai  anak-anakku,  sesungguhnya  Allah  telah
memilih  agama  ini  bagimu,  maka  janganlah  kamu  mati  kecuali  dalam  memeluk agama Islam.”
Quraish  mengatakan, “Memang  banyak  agama  yang  dikenal  oleh  manusia,
tetapi  yang  ini,  yakni  yang  intinya  adalah  penyerahan  diri  secara  mutlak  kepada- Nya,  itulah  yang  direstui  dan  dipilih  oleh-Nya.  Karena  itu maka  janganlah  kamu
mati kecuali kamu dalam keadaan berserah diri kepada-Nya, yakni memeluk agama Islam.  Pesan  ini  berarti  kamu  jangan  meninggalkan  agama  itu  walau  sesaat  pun.
Sehingga  dengan  demikian,  kapanpun  saatnya  kematian  datang  kepada  kamu,
kamu semua tetap menganutnya.” Shihab1, 2000: 331. Muhammad  Quraish  Shihab  ketika  Menafsirkan  firman  Allah  dalam  surat  Ali
„Imrân ayat 19, “Sesungguhnya agama yang ada di sisi Allah adalah al-Islam.”
Ia  menafsirkan  dengan  menegaskan  bahwa  ketundukan  dan  ketaatan  kepada-
Nya  adalah  keniscayaan  yang  tidak  terbantah,  sehingga  jika  demikian,  hanya keislaman,  yakni  penyerahan  diri  secara  penuh  kepada  Allah  yang  diakui  dan
diterima  di  sisi- Nya. Dan Islam dalam arti “penyerahan diri” adalah hakikat yang
ditetapkan  Allah  dan  diajarkan  oleh  para  nabi  sejak  Nabi  Adam  a.s.  hingga  Nabi Muhammad SAW Shihab2, 2000: 38.
Dalam  pengamatannya,  tidak  ditemukan  kata Islam dalam  Al- Qur‟an  kecuali
setelah  agama  ini  sempurna  dengan  kedatangan  Nabi  Muhammad  SAW.  Ditinjau dari sudut pandang agama maupun sosiologis, menurutnya, itulah nama ajaran yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW., dan secara Aqidah Islamiyah, siapapun yang  mendengar  ayat  itu  dituntut  untuk  menganut  ajaran  yang  dibawa  oleh  para
rasul adalah Islam, sehingga siapapun sejak Adam hingga akhir zaman  yang tidak menganut  agama  sesuai  yang  diajarkan  oleh  rasul  yang  diutus  kepada  mereka,
maka Allah tidak menerimanya Shihab2, 2000: 38.
Perselisihan  di  antara  pengikut  para  Nabi  yang  diutus  Allah  untuk  membawa ajaran  Islam,  menurutnya,  terjadi  lebih  karena  kedengkian  yang  ada  di  antara
mereka.  Bukan  kedengkian  antara  mereka  dengan  yang  lain,  tetapi  antara  mereka satu  dengan  yang  lain.  Kedengkian  yang  merupakan  terjemahan  dari  kata
„baghyan‟ yang digunakan ayat 19 surat Ali „Imran adalah ucapan atau perbuatan yang  dilakukan  untuk  tujuan  mencabul  nikmat  yang  dianugerahkan  Allah  kepada
pihak  lain  disebabkan  rasa  iri  hati  terhadap  pemilik  nikmat  itu  Shihab2,  2000: 39, dan  ajaran  Nabi  Ibrahim  a.s.  adalah hanif,  tidak  bengkok,  tidak  memihak
kepada pandangan hidup orang-orang Yahudi, tidak juga mengarah kepada agama Nasrani, demikian tafsirannya Shihab2, 2000: 111
pada surat Ali „Imran ayat 67 yang berbunyi,
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus.”
Quraish Shihab di dalam menjelaskan surat al-Maidah ayat 18,
“Orang-orang  Yahudi  dan  Nasrani  mengatakan,  „Kami  ini  adalah  anak-anak Allah  dan  kekasih-kekasih-
Nya.‟  Katakanlah,  „Maka  mengapa  Allah  menyiksa kamu  karena  dosa-
dosamu?‟  Kamu  bukanlah  anak-anak  Allah  dan  kekasih- kekasih-Nya,  tetapi  kamu  adalah  manusia  biasa  di  antara  orang-orang  yang
diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-
Nya.” Ia menafsirkan bahwa salah satu kegelapan utama yang menyelubungi jiwa dan
pikiran ahl  al-Kitâb,  lebih-lebih  kelompok  Nasrani,  adalah  keyakinan  mereka tentang  Tuhan.  Inilah  yang  utama  dan  pertama  yang  diluruskan  oleh  Nabi
Muhammad SAW. dan Al- Qur‟an Shihab3, 2000: 52.
                                            
                