Semangat Kebangsaan ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA

yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama, mengusirkamu dari negerimu, dan membantu orang lain mengusirmu. Dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. ” QS. Al- Mumtahanah; 8-9. Dari uraian di atas terlihat bahwa paham cinta tanah air sama sekali tidak betentangan denggan ajaran al-Quran dan Sunnah. Bahkan semua unsur yang melahirkan paham tersebut, inklusif dalam ajaran al-Qur ‟an, sehingga seorang Muslim yang baik, pastilah seorang anggota suatu bangsa yang baik. Hal itu juga senada dengan semanta cinta tanah air yang oleh Kemendiknas dijelaskan merupakan cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

L. Menghargai Prestasi

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain diindikasikan oleh Kemendiknas dimasukan dalam pendidikan karakter menghargai prestasi. Menurut Quraish Shihab, dalam al- Qur‟an, Allah menuntun setiap anggota masyarakat dituntut untuk fastabiqul khairat berlomba-lombalah di dalam kebajikan Shihab1, 2000:                        “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah dalam membuat kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. ” QS. Al-Baqarah2: 148. Menurut penafsiran Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, setiap perlombaan menjanjikan hadiah. Dalam ayat di atas, hadiahnya adalah mendapatkan keistimewaan bagi yang berprestasi. Tentu akan tidak adil jika peserta lomba dibedakan atau tidak diberi kesempatan yang sama. Tetapi, tidak adil juga bila setelah berlomba dengan prestasi yang berbeda, hadiahnya dipersamakan, sebab akal maupun agama menolak hal ini Shihab1, 2000. Selain itu, Allah juga menuntun manusia untuk menghargai prestasi. Allah berfirman:                                      “Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk tidak berjuang kecuali yang uzur, dengan orang yang berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang- orang yang duduk tidak ikut berjuang karena uzur satu derajat. Dan kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan imbalan baik... ” QS Al-Nisa [4]: 95. Dalam Tafsir al-Mishbah, menghargai prestasi termasuk dalam keadilan social. Keadilan sosial seperti terlihat di atas, bukan mempersamakan semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam kesempatan mengukir prestasi. Sebagian pakar menyatakan bahwa puncak prestasi sebagai kesejahteraan sosial yang didambakan al-Qur ‟an tecermin dari surga yang dihuni oleh Adam dan istrinya, sesaat sebelum turunnya mereka melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi. Seperti telah diketahui, sebelum Adam dan istrinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di surga. Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu diwujudkannya di bumi, serta kelak dihuninya secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang berprestasi dalam berkesejahteraan Shihab2, 2000. Prestasi atas kesejahteraan surgawi dilukiskan antara lain dalam peringatan Allah kepada Adam:                             “Hai Adam, sesungguhnya ini Iblis adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai ia kamu berdua dari surga, yang akibatnya engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di sini surga, tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasa dahaga maupun kepanasan.” QS Thaha20: 117- 119. Menurut Quraish, dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, den papan yang diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama prestasi kesejahteraan sosial. Dari ayat lain diperoleh informasi bahwa masyarakat di surga hidup dalam suasana damai, harmonis, tidak terdapat suatu dosa, dan tidak ada sesuatu yang tidak wajar, serta tiada pengangguran ataupun sesuatu yang sia-sia: “Mereka tidak mendengar di dalamnya surga perkataan sia- sia; tidak pula terdengar adanya dosa, tetapi ucapan salam dan salam sikap damai QS Al-Waqiah56: 25 dan 26. Mereka hidup bahagia bersama sanak keluarganya yang beriman QS. Ya Sin36: 55-58, dan QS. Al-Thur52: 21 Shihab, 1994. Adam bersama istrinya diharapkan dapat mewujudkan bayang-bayang surga itu di permukaan bumi ini dengan prestasi berusaha sungguh-sungguh, berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Ilahi. “Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu hai Adam, setelah engkau berada di dunia, maka ikutilah. Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tiada ketakutan menimpa mereka dan tiada pula kesedihan QS. Al-Baqarah2: 38. Itulah rumusan meraih prestasi kesejahteraan yang dikemukakan oleh Al-Quran. Rumusan prestasi ini dapat mencakup berbagai aspek kesejahteraan sosial yang pada kenyataannya dapat menyempit atau meluas sesuai dengan kondisi pribadi, masyarakat, serta perkembangan zaman. Untuk masa kini, kita dapat berkata bahwa yang merupakan prestasi kemanusiaan adalah yang terhindar dari rasa takut terhadap penindasan, kelaparan, dahaga, penyakit, kebodohan, masa depan diri, sanak-keluarga Shihab, 1994. Perjuangan meraih prestasi kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan mewujudkan dan menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri pribadi, karena dari diri pribadi yang seimbang akan lahir masyarakat seimbang. Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi prestasi Muhammad Saw., melalui kepribadian beliau yang sangat mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga seimbang: Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fathimah Az-Zahra, dan lain-lain. Kemudian lahir di luar keluarga itu Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., dan sebagainya, yang juga membentuk keluarga, dan demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya terbentuklah pretasi umat Islam yang gemilang dengan membangun peradaban masyarakat yang seimbang antara prestasi keadilan dan prestasi kesejahteraan sosialnya. Kesejahteraan sosial dimulai dengan Islam, yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Swt. Tidak mungkin jiwa akan merasakan ketenangan apabila kepribadian terpecah split personality: “Allah membuat perumpamaan seorang budak yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan, dan seorang budak yang menjadi milik penuh seseorang. Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui QS Al-Zumar [39]: 29 Shihab, 1994. Demi mewujudkan prestasi kesejahteraan sosial, al-Qur ‟an melarang beberapa praktek yang dapat mengganggu keserasian hubungan antar anggota masyarakat, seperti larangan riba QS Al-Baqarah2: 275, dan larangan melakukan transaksi bukan atas dasar kerelaan QS Al-Nisa [4]: 29. Di samping itu, ditetapkan bahwa pada harta milik pribadi terdapat hak orang-orang yang membutuhkan dan harus disalurkan, baik berupa zakat maupun sedekah QS Al-Dzariyat [51]: 19 Shihab, 1994. Berdasarkan uraian di atas, prestasi yang dicirikan dengan sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain, antara konsep Kemendiknas selaras dengan konsep pendidikan karakter menghargai prestasi dalam al- Qur‟an. Namun menurut Quraish Shihab, dalam al-Qur‟an, Allah menuntun setiap anggota masyarakat dituntut untuk fastabiqul khairat, berlomba- lombalah di dalam kebajikan. Prestasi tersebut dalam al-Qur ‟an menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan belum tentu harus mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Prestasi kejahatan atau kezaliman tidak diakui serta dihormati dalam al- Qur‟an.

M. BersahabatKomunikatif

Kemendiknas mencirikan pendidikan karakter bangsa bersahabat atau komunikatif dengan tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Salah satu ayat yang sering dikemukakan oleh para mufassir berkaitan dengan ciri bersahabat dan komunikatif tersebut adalah surat al-Taubah ayat 71 Shihab, 1994:                            Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. QS. Al-Taubah: 71. Secara umum, menurut Quraish, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan berkomunikasi atau bersahabat dengan kerja sama untuk berbagai bidang kehidupan yang ditunjukkan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah yang munkar. Pengertian kata awliya mencakup kerja sama, bantuan, dan penguasaan; sedangkan pengertian yang terkandung dalam frase menyuruh mengerjakan yang makruf mencakup segala segi kebaikan dan perbaikan kehidupan, termasuk memberikan nasihat atau kritik kepada penguasa, sehingga setiap lelaki dan perempuan Muslim hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mampu berkomunikasi