tersebut masih berguna untuk membantu menemukan alat bukti di siding dengan syarat keterangan tersebut didukung oleh suatu alat
bukti yang sah mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Ketentuan dan persyaratan mengenai alat bukti yang diatur dalam KUHAP
seperti yang telah dijelaskan dimaksudkan agar alat bukti yang diajukan di persidangan adalah alat bukti yang sah sehingga dapat digunakan di persidangan.
Dengan memenuhi ketentuan dan persyaratan tersebut, alat bukti yang diajukan telah diuji terlebih dahulu baik dari segi keautentikan, relevansinya dengan tindak
pidana terdakwa, maupun kualitas alat bukti tersebut. Akan tetapi, terpenuhinya seluruh syarat tersebut hanyalah salah satu kunci dalam menentukan kesalahan
terdakwa. Kunci lainnya adalah keyakinan hakim. Sebab tanpa keyakinan hakim, hukuman tidak dapat dijatuhkan. Dengan kata lain, alat bukti yang sah dan
keyakinan hakim adalah dua unsur yang membentuk check and balance mechanism dalam menentukan tindak pidana yang didakwakan dan kesalah
terdakwa, keduanya saling bergantung dan tidak dapat dipisahkan.
B. Pengaturan Alat Bukti Elektronik
Dari penjelasan sebelumnya kita telah melihat alat-alat bukti yang dapat diajukan dalam persidangan. Dan dalam penjelasan tersebut memang terlihat
bahwa KUHAP memang belum mengatur ~ setidaknya secara tegas ~ mengenai alat bukti elektronik yang sah. Akan tetapi, perkembangan peraturan perundang-
undangan setelah KUHAP menunjukkan adanya kebutuhan untuk mengatur alat bukti elektronik. Surat Mahakamah Agung kepada Menteri Kehakiman Nomor
Universitas Sumatera Utara
39TU88102Pid tanggal 14 Januari 1988 menyatakan bahwa “microfilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana
di pengadilan menggantikan alat bukti surat, dengan catatan microfilm tersebut sebelumnya dijamin keotentikannya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi
maupun di berita acara.” Dalam putusan Mahkamah Agung tersebut diakui bahwa fotokopi dapat diterima sebagai alat bukti bila disertai keterangan atau dengan
jalan apapun secara sah dapat ditunjukkan bahwa fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya. Oleh karena itu, berdasarkan analogi maka hasil printout mesin faksimili,
microfilm, atau microfische juga dapat diterima sebagai alat bukti. Sampai saat ini ada beberapa peraturan perundang-undangan yang secara
parsial telah mengatur eksistensi alat bukti elektronik. Pengaturan alat bukti pada perundang-undangan tersebut menunjukkan keberagaman, tetapi keberagaman
tersebut telah diselesaikan dengan munculnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentan Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada bagian ini akan ditelaah
lebih lanjut mengenai pengaturan alat bukti elektronik yang dimaksud dalam beberapa undang-undang yang memuat tentang alat bukti elektronik.
76
1. Undang-Undang Dokumen Perusahaan
Undang-Undang Dokumen Perusahaan
77
ini telah meletakkan dasar penting dalam penerimaan informasi atau dokumen elektronik. Dalam Bab III
tentang Pengalihan Bentuk Dokumen Perusahaan dan Legislasi, Pasal 15 ayat 1 undang-undang Dokumen Perusahaan menegaskan bahwa dokumen perusahaan
76
Ibid, hlm., 270
77
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
Universitas Sumatera Utara
yang telah dimuat dalam microfilm atau media lainnya dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah.
78
Memang bila ditinjau lebih lanjut, undang-undang ini tidak mengatur masalah pembuktian, namun melalui undang-undang ini pemerintah berusaha
mengetur pengakuan atas microfilm dan media lainnya yang dilauar dari jangkauan KUHAP yang diatur dalam pasal 12 undang-undang Dokumen
Perusahaan ini.
79
Di mana dalam pasal 12 ini diakui bahwa dokumen perusahaan dapat dialihkan kedalam bentuk microfilm atau media lainnya. Dan pengakuan
atas hal tersebut diperjelas dalam ayat 4 dimana naskah asli dari dokumen perusahaan tersebut harus tetap disimpan agar menjamin keabsahaan dan kekuatan
hukum dari dokumen perusahaan yang telah dialihkan bentuknya tersebut. Pengalihan dokumen perusahaan ke dalam bentuk microfilm atau media
lainnya tersebut harus memenuhi persyaratan yang secara implisit diatur dalam undang –undang ini.
a. Setiap pengalihan dokumen wajib dilegislasi yang dilakukan oleh
pimpinan perusahaan atau pejabat yang ditunjuk di lingkungan perusahaan tersebut dengan dibuatkan berita acara yang memuat
sekurang-kurangnya: 1
Keterangan tempat waktu pelaksanaan legislasi; 2
Keterangan bahwa pengalihan dokumen tersebut telah sesuai dengan aslinya;
78
Josua Sitompul, Op. Cit., hlm., 271
79
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op. Cit., hlm 108
Universitas Sumatera Utara
3 Tanda tangan dan nama jelas pejabat yang
bersangkutan; b.
Dapat dilakukan sejak dokumen dibuat atau diterima perusahaan; c.
Pimpinan perusahaan wajib mempertimbangkan kegunaan naskah asli dokumen yang perlu;
d. Pimpinan perusahaan wajib menyimpan naskah asli dokumen
perusahaan yang dialihkan ke dalam microfilm atau media lainnya adalah naskah asli yang mempunyai kekuatan pembuktian otentik
dan masih mengandung kepentingan hukum tertentu; Lebih lanjut undang-undang Dokumen Perusahaan juga mengatur bahwa apabila
dianggap perlu maka dalam hal tertentu dan untuk keperluan tertentu, dapat dilakukan legislasi terhadap hasil cetak dokumen perusahaan yang telah dimuat ke
dalam microfilm atau media lainnya. Dari pengaturan tersebut setidaknya ada dua kesimpulan yang dapat
diambil. Pertama informasi atau dokumen elektronik harus dilegalisasi. Sebenarnya legalisasi ini merupakan usaha untuk menjaga atau mempertahankan
keotentikan konten dari dokumen perusahaan. Melalui proses ini dokumen perusahaan dalam bentuk microfilm atau media lainnya tersebut dinyatakaan
sesuai dengan aslinya sehingga dapat diterima sebagai alat bukti yang sah. Kedua, yang dimaksud dengan alat bukti yang sah menurut pasal 15 ayat
1 Undang-Undang Dokumen Perusahaan adalah alat bukti surat, khususnya akta
Universitas Sumatera Utara
dibawah tangan. Dengan kata lain isi dalam microfilm atau media lainnya yang telah dilegalisasi tersebut dapat dijadikan alat bukti surat di pengadilan.
2. Undang-Undang Terorisme
Undang-Undang Terorisme
80
ini juga merupakan undang-undang yang mengakui adanya alat bukti elektronik. Pasal 27 Undang-Undang Terorisme
mengatur bahwa alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi: a.
Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
c. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, danatau didengar… yang terekam secara elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada
1 Tulisan, suara, gambar;
2 Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya
3 Huruf, tanda, angka simbol atu perforasi yang
memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
80
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Pemerintah Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Menjadi Undang-Undang
Universitas Sumatera Utara
Alat bukti yang diatur dalam Pasal 27 ayat 2 dan 3 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut berdasarkan KUHAP tidak diakui sebagai alat
bukti, tetapi berdasarkan doktrin ilmu hukum dikategorikan sebagai Barang Bukti yang berfungsi sebagai data penunjang bagi alat bukti. Akan tetapi dengan
adanya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 ini, kedua alat bukti tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan mengikat serta memiliki kekuatan
pembuktian sama dengan alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Meskipun demikian, prinsip lex specialis derogat legi generalis tetap berlaku. Dengan
penafsiran secara a contrario, dapat diartikan hal yang tidak diatur dalam ketentuan khusus, dalam hal ini Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003,
berlakulah ketentuan umum, dalam hal ini KUHAP.
81
Jika dihubungkan dengan KUHAP, Undang-Undang Teroris mengatur alat bukti elektronik sebagai alat bukti keenam. Alat bukti elektronik menurut undang-
undang ini terdiri dari dua jenis, yaitu
82
: 1.
Alat bukti elektronik yang menggunakan alat optic atau yang serupa dengan itu. Undang-Undang Terorisme dengan tegas
menyatakan bahwa alat bukti elektronk tersebut dikategorikan sebagai alat bukti lain, yang tidak termasuk alat bukti dalam
KUHAP.
2. Alat bukti elektronik berupa data, rekaman, atau informasi.
Walaupun tidak diatur secara tegas sebagai alat bukti lain, alat bukti ini tetap dikategorikan sebagai alat bukti lain karena pada
esensinya sama dengan poin sebelumnya.
81
http:lawskripsi.blogspot.com201101skripsi-website-sebagai-alat-bukti.html diakses pada tanggal 13 April 2014.
82
Josua Sitompul, Op. Cit., hlm., 274.
Universitas Sumatera Utara
3. Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang
83
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang TPPU
84
juga ikut mengatur alat bukti elektronik. Alat bukti elektronik dalam undang-undang TPPU
ini diatur lebih lanjut dalam pasal 38. Dalam pasal 38 diatur bahwa ada 3 jenis alat bukti dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.
Alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang meliputi: a alat bukti sebagaimana dimaksud dalam KUHAP; b alat bukti
lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan c dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang TPPU. Dokumen yang dimaksud adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, danatau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain
kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada : 1
Tulisan, suara, atau gambar; 2
Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; 3
Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu membaca atau memahaminya.
83
Ibid, hlm., 275
84
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.
Universitas Sumatera Utara
Pada prinsipnya ketentuan alat bukti elektronik yang diatur dalam Undang- Undang Terorisme serupa dengan pengaturan yang ada dalam Undang-Undang
TPPU. Namun Undang-Undang TPPU mengatur bahwa alat bukti elektronik dapat diklasifikasikan sebagai dokumen, yaitu data, rekaman, atau informasi yang
dapat dilihat, dibaca, danatau didengar yang terekam secara elektronik. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Undang-Undang TPPU, alat bukti surat telah
diperluas hingga mencakup dokumen yang terekam secara elektronik. 4.
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi PTPK
85
Serupa dengan ketiga undang-undang yang sudah dipaparkan sebelumnya. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
86
juga mengatur tentang penggunaan alat bukti elektronilk. Dalam undang-undang ini mengatur
secara khusu tentang alat bukti yang digunakan dalam Pasal 26A Undang-Undang PTPK. Pasal 26A Undang-Undang PTPK mengatur bahwa :
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat 2Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan
85
Josua Sitompul, Op. Cit., hlm., 277.
86
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Universitas Sumatera Utara
yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik” misalnya data yang disimpan dalam microfilm,
Compact Disk Read Only Memory CD-ROM, atau Write Once Read Many WORM.
Yang dimaksud dengan “alat optic atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada data
penghubung elektronik electronic data intercharge, surat elektronik e-mail, telegram, teleks, dan faksimili.
b. Dokumen, yakni setiap rekaman atau informasi yang
dapat dilihat, dibaca, danatau didengar … yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Dari pasal tersebut dapat ditarik dua buah kesimpulan, pertama adalah bahwa pasal tersebut mengatur alat bukti elektronik sebagai alat bukti lain dan
sebagai dokumen, yaitu perluasan dari alat bukti surat- pengaturan ini selaras dengan Undang-Undang TPPU. Kedua, pasal 26A ini merupakan penegasan
bahwa alat bukti elektronik dapat dijadikan sebagai sumber petunjuk sebagai mana dalam pasl 188 KUHAP. Kesimpulan ini merupakan hal yang logis
mengingat pada prinsipnya petunjuk hanya dapat dieroleh dari alat bukti lain yang sah.
Dalam penangan kasus tindak pidana korupsi, pengaturan alat bukti elektronik tidak hanya ada pada Undang-Undang PTPK saja, tetapi juga terdapat
Universitas Sumatera Utara
dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK
87
dalam Pasal 44 ayat 2 disebutkan “bukti permualaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 dua alat bukti, termasuk
tapi tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.” Berdasarkan
pasal tersebut, terlihat bahwa Undang-Undang KPK juga mengakui adanya keberadaan undang-undang elektronikm tetapi pengaturan alat bukti elektronik
dalam undang-undang ini masih sangat abstrak karena belum dapat ditarik kesimpulan yang tegas apakah alat bukti elektronik tersebut merupakan perluasan
dari alat bukti yang terdapat dalam KUHAP atau merupakan alat bukti tambahan. Seharusnya ketentuan dalam pasal 44 ayat 2 Undang-Undang KPK tersebut
dimasukkan dalam Undang-Undang PTKP mengingat dalam undang-undang tersebut telah diatur dalam bab tersendiri mengenai penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di pengadilan. 5.
Undang-Undang ITE
Seperti telah dijealaskan sebelumnya bahwa memang alat bukti elektronik telah menjadi kebutuhan dalam penanganan tindak pidana di Indonesia. Dalam
berbagai undang-undang sebelumnya telah dapat dilihat bahwa memang sebagai kebutuhan, telah ada upaya untuk menjangkau alat bukti elektronik tersebut.
Dalam Undang-Undang ITE
88
telah menjadi tonggak dalam pengakuan terhadap alat bukti elektronik ini. Dalam pengaturannya alat bukti elektronik dalam
87
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
88
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang ITE diatur dalam BAB III tentang Informasi, dokumen, dan tanda tangan ekektronik, serta pasal 44 Undang-Undang ITE. Dalam pasaal 5
Undang-Undang ITE telah secara tegas dinyatakan bahwa informasi atau dokumen elektronik beserta dengan hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah.
Lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat 2 lebih menegaskan lagi bahwa informasi atau dokumen elektronik beserta dengan hasil cetaknya adalah perluasan dari alat bukti
yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Ketentuan ini menegaskan bahwa alat bukti elektronik telah diterima dalam sistem hukum
pembuktian di Indonesia di berbagai peradilan termasuk juga peradilan arbitrase.
Dua hal penting yang dapat dilihat dari ketentuan tersebut ialah mengenai “perluasan dari alat bukti yang sah” dan “sesuai dengan hukum acara yang
berlaku di Indonesia”. Pemahaman “perluasan” haruslah dihubungkan dengan Pasal 5 ayat 1 UU ITE. Perluasan yang dimaksud ialah:
a.
memperluas jumlah alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Dalam KUHAP diatur 5 lima alat bukti. Berdasarkan Pasal 5 UU ITE maka alat bukti
dalam KUHAP ditambah satu alat bukti yaitu Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik. Inilah yang disebut dengan Alat Bukti Elektronik.
b.
memperluas cakupan alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Hasil cetak dari Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik secara hakiki ialah
surat. Alat Bukti surat telah diatur dalam KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
Perlu ditegaskan juga bahwa perluasan juga dimaksudkan bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik dapat dijadikan sebagai sumber petunjuk sebagaimana
dimungkinkan dalam beberapa undang-undang.
Pemahaman “sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia” maksudnya ialah bahwa sama seperti alat bukti yang diatur dalam KUHAP harus
memenuhi persyaratan baik formil maupun materil agar dapat dinyatakan sah sebagai alat bukti, demikian juga dengan Alat Bukti Elektronik. Undang-Undang
ITE mengatur beberapa persyaratan – yang dapat dilihat dari segi formil maupun materi, sama seperti alat bukti lain dalam KUHAP – agar Informasi atau
Dokumen Elektronik dapat diterima sebagai alat bukti yang sah.
Persyaratan formil yang dimaksud ialah persyaratan mengenai formalitas atau bentuk dari Informasi atau Dokumen Elektronik.
a. Pasal 5 ayat 4 Undang-Undang ITE. Dengan perkataan lain,
Informasi atau Dokumen Elektronik tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah apabila Informasi atau Dokumen Elektronik tersebut berupa
a surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, atau b surat beserta dokumennya yang menurut Undang-
Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Persyaratan materil yang dimaksud ialah mengenai substansi dari Informasi atau Dokumen Elektronik
Universitas Sumatera Utara
1
Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang ITE
2
Pasal 6 Undang-Undang ITE
3
Pasal 15 Undang-Undang ITE
4
Pasal 16 Undang-Undang ITE
Pada intinya persyaratan materil tersebut ialah bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik yang akan dijadikan alat bukti yang sah haruslah:
1
berasal dari Sistem Elektronik yang andal, aman, dan bertanggung jawab;
2
terjaga integritas, keotentikan, ketersediaan, dan menerangkan suatu keadaan, serta dapat dipertanggung jawabkan;
Oleh karena itu, untuk memenuhi persyaratan materil dalam Undang-Undang ITE diperlukan digital forensik, yaitu keseluruhan proses dalam mengambil,
memulihkan, menyimpan, memeriksa Informasi atau Dokumen Elektronik yang terdapat dalam Sistem Elektronik atau media penyimpanan, berdasarkan cara dan
dengan alat yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk kepentingan pembuktian.
89
Memang dalam penjelasannya Undang-Undang ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “perluasan alat bukti yang sah”. Akan tetapi dari seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya kita juga telah mendapat makna dari “perluasan alat bukti yang sah”. Pasal 5 ayat 2 juga memberikan petunjuk
89
http:warungcyber.web.id?p=84 diakses pada tanggal 14 April 2014
Universitas Sumatera Utara
penting mengenai perluasan yang dimaksud, yaitu perluasan tersebut harus “sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.” Mengacu kepada
pembahasannya sebelumnya, perluasan tersebut menganduk makna :
1 Memperluas cakupan atau ruang lingkup alat bukti yang diatur
dalam pasal 184 KUHAP; dan 2
Mengatur sebagai alat bukti lain, yaitu menambah jumlah alat bukti yang diatur dalam pasal 184 KUHAP.
Mengacu kepada ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang diatur dalam KUHAP maka “sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia”
maksudnya adalah bahwa harus ada alatpenguji terhadap alat bukti elektronik agar alat bukti elektronik agar alat bukti tersebut dapat dinyatakan sah di persidangan –
sama seperti terhadap alat bukti lainnya, yaitu persyaratan formil dan persyaratan materil. Persyaratan tersebut ditentukan berdasarkan jenis alat bukti elektronik
yang dimaksud dalam bentuk original atau hasil cetaknya.
90
a. Alat bukti elektronik memperluas cakupan atau ruang lingkup alat
bukti. Alat bukti dalam kuhap yang diperluas adalah alat bukti surat.
Esensi dari surat ialah kumpulan dari tanda baca dalam bahasa tertentu yang memiliki makna. Esensi ini sama dengan hasil cetak dari
informasi atau dokumen elektronik. Hasil cetak dari informasi atau dokumen elektronik dikategorikan sebagai surat lain sebagaimana
90
Josua Sitompul, Op. Cit., hlm 280-281
Universitas Sumatera Utara
dimaksud dalam pasal 187 huruf d KUHAP dan hanya dapat dijadikan alat bukti apabila hasil cetak tersebut memiliki hubungan dengan isi
dari alat pembuktian yang lain. Hasil cetak informasi atau dokumen elktronik tersebut belum dapat dikategorikan sebagai akta otentik
mengingat pembatasan yang diberikan oleh Pasal 5 ayat 4 Undang- Undang ITE.
b. Alat bukti elektronik sebagai alat bukti lain
Hal alat bukti elektronik sebagai alat bukti lain dipertegas dalam pasal 44 Undang-Undang ITE yang mengatur bahwa informasi
atau dokumen elektronik adalah alat bukti lain. Penegasan bahwa informasi atau dokumen elektronik dalam bentuk originalnya
merupakan alat bukti selain yang telah diatur dalam KUHAP ialah pengaturan yang sangat penting mengingat informasi atau dokumen
elektronik dalam bentuk originalnya dapat mengandung informasi yang tidak dapat diperoleh apabila informasi atau dokumen elktronik
tersebut dicetak. c.
Alat bukti elektronik sebagai sumber petunjuk Pasal 188 ayat 2 KUHAP menentukan secara limitatif
sumber petunjuk, yaitu: keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Akan tetapi, berdasarkan uraian sebelumnya, alat bukti
elektronik juga dapat dijadikan sumber petunjuk, yaitu hasil cetak informasi atau dokumen elektronik dapat dikategorikan sebagai surat.
Surat yang dimaksud adalah “surat lain” sepanjang surat itu memiliki
Universitas Sumatera Utara
hubungan dengan isi dari alat pembuktian yang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 187 huruf d. walaupun demikian khusus untuk
pembuktian dalam tindak pidana korupsi, Pasal 26A Undang-Undang PTPK telah mengatur bahwa alatbukti original dapat juga dijadikan
sumber petunjuk.
C. Alat Bukti Elektronik dalam Sistem Hukum Indonesia