Pengaturan Alat Bukti Elektronik

tersebut masih berguna untuk membantu menemukan alat bukti di siding dengan syarat keterangan tersebut didukung oleh suatu alat bukti yang sah mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Ketentuan dan persyaratan mengenai alat bukti yang diatur dalam KUHAP seperti yang telah dijelaskan dimaksudkan agar alat bukti yang diajukan di persidangan adalah alat bukti yang sah sehingga dapat digunakan di persidangan. Dengan memenuhi ketentuan dan persyaratan tersebut, alat bukti yang diajukan telah diuji terlebih dahulu baik dari segi keautentikan, relevansinya dengan tindak pidana terdakwa, maupun kualitas alat bukti tersebut. Akan tetapi, terpenuhinya seluruh syarat tersebut hanyalah salah satu kunci dalam menentukan kesalahan terdakwa. Kunci lainnya adalah keyakinan hakim. Sebab tanpa keyakinan hakim, hukuman tidak dapat dijatuhkan. Dengan kata lain, alat bukti yang sah dan keyakinan hakim adalah dua unsur yang membentuk check and balance mechanism dalam menentukan tindak pidana yang didakwakan dan kesalah terdakwa, keduanya saling bergantung dan tidak dapat dipisahkan.

B. Pengaturan Alat Bukti Elektronik

Dari penjelasan sebelumnya kita telah melihat alat-alat bukti yang dapat diajukan dalam persidangan. Dan dalam penjelasan tersebut memang terlihat bahwa KUHAP memang belum mengatur ~ setidaknya secara tegas ~ mengenai alat bukti elektronik yang sah. Akan tetapi, perkembangan peraturan perundang- undangan setelah KUHAP menunjukkan adanya kebutuhan untuk mengatur alat bukti elektronik. Surat Mahakamah Agung kepada Menteri Kehakiman Nomor Universitas Sumatera Utara 39TU88102Pid tanggal 14 Januari 1988 menyatakan bahwa “microfilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan menggantikan alat bukti surat, dengan catatan microfilm tersebut sebelumnya dijamin keotentikannya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi maupun di berita acara.” Dalam putusan Mahkamah Agung tersebut diakui bahwa fotokopi dapat diterima sebagai alat bukti bila disertai keterangan atau dengan jalan apapun secara sah dapat ditunjukkan bahwa fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya. Oleh karena itu, berdasarkan analogi maka hasil printout mesin faksimili, microfilm, atau microfische juga dapat diterima sebagai alat bukti. Sampai saat ini ada beberapa peraturan perundang-undangan yang secara parsial telah mengatur eksistensi alat bukti elektronik. Pengaturan alat bukti pada perundang-undangan tersebut menunjukkan keberagaman, tetapi keberagaman tersebut telah diselesaikan dengan munculnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentan Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada bagian ini akan ditelaah lebih lanjut mengenai pengaturan alat bukti elektronik yang dimaksud dalam beberapa undang-undang yang memuat tentang alat bukti elektronik. 76 1. Undang-Undang Dokumen Perusahaan Undang-Undang Dokumen Perusahaan 77 ini telah meletakkan dasar penting dalam penerimaan informasi atau dokumen elektronik. Dalam Bab III tentang Pengalihan Bentuk Dokumen Perusahaan dan Legislasi, Pasal 15 ayat 1 undang-undang Dokumen Perusahaan menegaskan bahwa dokumen perusahaan 76 Ibid, hlm., 270 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan Universitas Sumatera Utara yang telah dimuat dalam microfilm atau media lainnya dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. 78 Memang bila ditinjau lebih lanjut, undang-undang ini tidak mengatur masalah pembuktian, namun melalui undang-undang ini pemerintah berusaha mengetur pengakuan atas microfilm dan media lainnya yang dilauar dari jangkauan KUHAP yang diatur dalam pasal 12 undang-undang Dokumen Perusahaan ini. 79 Di mana dalam pasal 12 ini diakui bahwa dokumen perusahaan dapat dialihkan kedalam bentuk microfilm atau media lainnya. Dan pengakuan atas hal tersebut diperjelas dalam ayat 4 dimana naskah asli dari dokumen perusahaan tersebut harus tetap disimpan agar menjamin keabsahaan dan kekuatan hukum dari dokumen perusahaan yang telah dialihkan bentuknya tersebut. Pengalihan dokumen perusahaan ke dalam bentuk microfilm atau media lainnya tersebut harus memenuhi persyaratan yang secara implisit diatur dalam undang –undang ini. a. Setiap pengalihan dokumen wajib dilegislasi yang dilakukan oleh pimpinan perusahaan atau pejabat yang ditunjuk di lingkungan perusahaan tersebut dengan dibuatkan berita acara yang memuat sekurang-kurangnya: 1 Keterangan tempat waktu pelaksanaan legislasi; 2 Keterangan bahwa pengalihan dokumen tersebut telah sesuai dengan aslinya; 78 Josua Sitompul, Op. Cit., hlm., 271 79 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op. Cit., hlm 108 Universitas Sumatera Utara 3 Tanda tangan dan nama jelas pejabat yang bersangkutan; b. Dapat dilakukan sejak dokumen dibuat atau diterima perusahaan; c. Pimpinan perusahaan wajib mempertimbangkan kegunaan naskah asli dokumen yang perlu; d. Pimpinan perusahaan wajib menyimpan naskah asli dokumen perusahaan yang dialihkan ke dalam microfilm atau media lainnya adalah naskah asli yang mempunyai kekuatan pembuktian otentik dan masih mengandung kepentingan hukum tertentu; Lebih lanjut undang-undang Dokumen Perusahaan juga mengatur bahwa apabila dianggap perlu maka dalam hal tertentu dan untuk keperluan tertentu, dapat dilakukan legislasi terhadap hasil cetak dokumen perusahaan yang telah dimuat ke dalam microfilm atau media lainnya. Dari pengaturan tersebut setidaknya ada dua kesimpulan yang dapat diambil. Pertama informasi atau dokumen elektronik harus dilegalisasi. Sebenarnya legalisasi ini merupakan usaha untuk menjaga atau mempertahankan keotentikan konten dari dokumen perusahaan. Melalui proses ini dokumen perusahaan dalam bentuk microfilm atau media lainnya tersebut dinyatakaan sesuai dengan aslinya sehingga dapat diterima sebagai alat bukti yang sah. Kedua, yang dimaksud dengan alat bukti yang sah menurut pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Dokumen Perusahaan adalah alat bukti surat, khususnya akta Universitas Sumatera Utara dibawah tangan. Dengan kata lain isi dalam microfilm atau media lainnya yang telah dilegalisasi tersebut dapat dijadikan alat bukti surat di pengadilan. 2. Undang-Undang Terorisme Undang-Undang Terorisme 80 ini juga merupakan undang-undang yang mengakui adanya alat bukti elektronik. Pasal 27 Undang-Undang Terorisme mengatur bahwa alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi: a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan c. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, danatau didengar… yang terekam secara elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada 1 Tulisan, suara, gambar; 2 Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya 3 Huruf, tanda, angka simbol atu perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. 80 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Pemerintah Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang Universitas Sumatera Utara Alat bukti yang diatur dalam Pasal 27 ayat 2 dan 3 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut berdasarkan KUHAP tidak diakui sebagai alat bukti, tetapi berdasarkan doktrin ilmu hukum dikategorikan sebagai Barang Bukti yang berfungsi sebagai data penunjang bagi alat bukti. Akan tetapi dengan adanya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 ini, kedua alat bukti tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan mengikat serta memiliki kekuatan pembuktian sama dengan alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Meskipun demikian, prinsip lex specialis derogat legi generalis tetap berlaku. Dengan penafsiran secara a contrario, dapat diartikan hal yang tidak diatur dalam ketentuan khusus, dalam hal ini Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, berlakulah ketentuan umum, dalam hal ini KUHAP. 81 Jika dihubungkan dengan KUHAP, Undang-Undang Teroris mengatur alat bukti elektronik sebagai alat bukti keenam. Alat bukti elektronik menurut undang- undang ini terdiri dari dua jenis, yaitu 82 : 1. Alat bukti elektronik yang menggunakan alat optic atau yang serupa dengan itu. Undang-Undang Terorisme dengan tegas menyatakan bahwa alat bukti elektronk tersebut dikategorikan sebagai alat bukti lain, yang tidak termasuk alat bukti dalam KUHAP. 2. Alat bukti elektronik berupa data, rekaman, atau informasi. Walaupun tidak diatur secara tegas sebagai alat bukti lain, alat bukti ini tetap dikategorikan sebagai alat bukti lain karena pada esensinya sama dengan poin sebelumnya. 81 http:lawskripsi.blogspot.com201101skripsi-website-sebagai-alat-bukti.html diakses pada tanggal 13 April 2014. 82 Josua Sitompul, Op. Cit., hlm., 274. Universitas Sumatera Utara 3. Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang 83 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang TPPU 84 juga ikut mengatur alat bukti elektronik. Alat bukti elektronik dalam undang-undang TPPU ini diatur lebih lanjut dalam pasal 38. Dalam pasal 38 diatur bahwa ada 3 jenis alat bukti dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang. Alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang meliputi: a alat bukti sebagaimana dimaksud dalam KUHAP; b alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan c dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang TPPU. Dokumen yang dimaksud adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, danatau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada : 1 Tulisan, suara, atau gambar; 2 Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; 3 Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. 83 Ibid, hlm., 275 84 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Universitas Sumatera Utara Pada prinsipnya ketentuan alat bukti elektronik yang diatur dalam Undang- Undang Terorisme serupa dengan pengaturan yang ada dalam Undang-Undang TPPU. Namun Undang-Undang TPPU mengatur bahwa alat bukti elektronik dapat diklasifikasikan sebagai dokumen, yaitu data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, danatau didengar yang terekam secara elektronik. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Undang-Undang TPPU, alat bukti surat telah diperluas hingga mencakup dokumen yang terekam secara elektronik. 4. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi PTPK 85 Serupa dengan ketiga undang-undang yang sudah dipaparkan sebelumnya. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 86 juga mengatur tentang penggunaan alat bukti elektronilk. Dalam undang-undang ini mengatur secara khusu tentang alat bukti yang digunakan dalam Pasal 26A Undang-Undang PTPK. Pasal 26A Undang-Undang PTPK mengatur bahwa : Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat 2Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan 85 Josua Sitompul, Op. Cit., hlm., 277. 86 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Universitas Sumatera Utara yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik” misalnya data yang disimpan dalam microfilm, Compact Disk Read Only Memory CD-ROM, atau Write Once Read Many WORM. Yang dimaksud dengan “alat optic atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik electronic data intercharge, surat elektronik e-mail, telegram, teleks, dan faksimili. b. Dokumen, yakni setiap rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, danatau didengar … yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Dari pasal tersebut dapat ditarik dua buah kesimpulan, pertama adalah bahwa pasal tersebut mengatur alat bukti elektronik sebagai alat bukti lain dan sebagai dokumen, yaitu perluasan dari alat bukti surat- pengaturan ini selaras dengan Undang-Undang TPPU. Kedua, pasal 26A ini merupakan penegasan bahwa alat bukti elektronik dapat dijadikan sebagai sumber petunjuk sebagai mana dalam pasl 188 KUHAP. Kesimpulan ini merupakan hal yang logis mengingat pada prinsipnya petunjuk hanya dapat dieroleh dari alat bukti lain yang sah. Dalam penangan kasus tindak pidana korupsi, pengaturan alat bukti elektronik tidak hanya ada pada Undang-Undang PTPK saja, tetapi juga terdapat Universitas Sumatera Utara dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK 87 dalam Pasal 44 ayat 2 disebutkan “bukti permualaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 dua alat bukti, termasuk tapi tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.” Berdasarkan pasal tersebut, terlihat bahwa Undang-Undang KPK juga mengakui adanya keberadaan undang-undang elektronikm tetapi pengaturan alat bukti elektronik dalam undang-undang ini masih sangat abstrak karena belum dapat ditarik kesimpulan yang tegas apakah alat bukti elektronik tersebut merupakan perluasan dari alat bukti yang terdapat dalam KUHAP atau merupakan alat bukti tambahan. Seharusnya ketentuan dalam pasal 44 ayat 2 Undang-Undang KPK tersebut dimasukkan dalam Undang-Undang PTKP mengingat dalam undang-undang tersebut telah diatur dalam bab tersendiri mengenai penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. 5. Undang-Undang ITE Seperti telah dijealaskan sebelumnya bahwa memang alat bukti elektronik telah menjadi kebutuhan dalam penanganan tindak pidana di Indonesia. Dalam berbagai undang-undang sebelumnya telah dapat dilihat bahwa memang sebagai kebutuhan, telah ada upaya untuk menjangkau alat bukti elektronik tersebut. Dalam Undang-Undang ITE 88 telah menjadi tonggak dalam pengakuan terhadap alat bukti elektronik ini. Dalam pengaturannya alat bukti elektronik dalam 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. 88 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Universitas Sumatera Utara Undang-Undang ITE diatur dalam BAB III tentang Informasi, dokumen, dan tanda tangan ekektronik, serta pasal 44 Undang-Undang ITE. Dalam pasaal 5 Undang-Undang ITE telah secara tegas dinyatakan bahwa informasi atau dokumen elektronik beserta dengan hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat 2 lebih menegaskan lagi bahwa informasi atau dokumen elektronik beserta dengan hasil cetaknya adalah perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Ketentuan ini menegaskan bahwa alat bukti elektronik telah diterima dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia di berbagai peradilan termasuk juga peradilan arbitrase. Dua hal penting yang dapat dilihat dari ketentuan tersebut ialah mengenai “perluasan dari alat bukti yang sah” dan “sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia”. Pemahaman “perluasan” haruslah dihubungkan dengan Pasal 5 ayat 1 UU ITE. Perluasan yang dimaksud ialah: a. memperluas jumlah alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Dalam KUHAP diatur 5 lima alat bukti. Berdasarkan Pasal 5 UU ITE maka alat bukti dalam KUHAP ditambah satu alat bukti yaitu Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik. Inilah yang disebut dengan Alat Bukti Elektronik. b. memperluas cakupan alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Hasil cetak dari Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik secara hakiki ialah surat. Alat Bukti surat telah diatur dalam KUHAP. Universitas Sumatera Utara Perlu ditegaskan juga bahwa perluasan juga dimaksudkan bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik dapat dijadikan sebagai sumber petunjuk sebagaimana dimungkinkan dalam beberapa undang-undang. Pemahaman “sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia” maksudnya ialah bahwa sama seperti alat bukti yang diatur dalam KUHAP harus memenuhi persyaratan baik formil maupun materil agar dapat dinyatakan sah sebagai alat bukti, demikian juga dengan Alat Bukti Elektronik. Undang-Undang ITE mengatur beberapa persyaratan – yang dapat dilihat dari segi formil maupun materi, sama seperti alat bukti lain dalam KUHAP – agar Informasi atau Dokumen Elektronik dapat diterima sebagai alat bukti yang sah. Persyaratan formil yang dimaksud ialah persyaratan mengenai formalitas atau bentuk dari Informasi atau Dokumen Elektronik. a. Pasal 5 ayat 4 Undang-Undang ITE. Dengan perkataan lain, Informasi atau Dokumen Elektronik tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah apabila Informasi atau Dokumen Elektronik tersebut berupa a surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, atau b surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Persyaratan materil yang dimaksud ialah mengenai substansi dari Informasi atau Dokumen Elektronik Universitas Sumatera Utara 1 Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang ITE 2 Pasal 6 Undang-Undang ITE 3 Pasal 15 Undang-Undang ITE 4 Pasal 16 Undang-Undang ITE Pada intinya persyaratan materil tersebut ialah bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik yang akan dijadikan alat bukti yang sah haruslah: 1 berasal dari Sistem Elektronik yang andal, aman, dan bertanggung jawab; 2 terjaga integritas, keotentikan, ketersediaan, dan menerangkan suatu keadaan, serta dapat dipertanggung jawabkan; Oleh karena itu, untuk memenuhi persyaratan materil dalam Undang-Undang ITE diperlukan digital forensik, yaitu keseluruhan proses dalam mengambil, memulihkan, menyimpan, memeriksa Informasi atau Dokumen Elektronik yang terdapat dalam Sistem Elektronik atau media penyimpanan, berdasarkan cara dan dengan alat yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk kepentingan pembuktian. 89 Memang dalam penjelasannya Undang-Undang ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “perluasan alat bukti yang sah”. Akan tetapi dari seperti yang telah dipaparkan sebelumnya kita juga telah mendapat makna dari “perluasan alat bukti yang sah”. Pasal 5 ayat 2 juga memberikan petunjuk 89 http:warungcyber.web.id?p=84 diakses pada tanggal 14 April 2014 Universitas Sumatera Utara penting mengenai perluasan yang dimaksud, yaitu perluasan tersebut harus “sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.” Mengacu kepada pembahasannya sebelumnya, perluasan tersebut menganduk makna : 1 Memperluas cakupan atau ruang lingkup alat bukti yang diatur dalam pasal 184 KUHAP; dan 2 Mengatur sebagai alat bukti lain, yaitu menambah jumlah alat bukti yang diatur dalam pasal 184 KUHAP. Mengacu kepada ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang diatur dalam KUHAP maka “sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia” maksudnya adalah bahwa harus ada alatpenguji terhadap alat bukti elektronik agar alat bukti elektronik agar alat bukti tersebut dapat dinyatakan sah di persidangan – sama seperti terhadap alat bukti lainnya, yaitu persyaratan formil dan persyaratan materil. Persyaratan tersebut ditentukan berdasarkan jenis alat bukti elektronik yang dimaksud dalam bentuk original atau hasil cetaknya. 90 a. Alat bukti elektronik memperluas cakupan atau ruang lingkup alat bukti. Alat bukti dalam kuhap yang diperluas adalah alat bukti surat. Esensi dari surat ialah kumpulan dari tanda baca dalam bahasa tertentu yang memiliki makna. Esensi ini sama dengan hasil cetak dari informasi atau dokumen elektronik. Hasil cetak dari informasi atau dokumen elektronik dikategorikan sebagai surat lain sebagaimana 90 Josua Sitompul, Op. Cit., hlm 280-281 Universitas Sumatera Utara dimaksud dalam pasal 187 huruf d KUHAP dan hanya dapat dijadikan alat bukti apabila hasil cetak tersebut memiliki hubungan dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Hasil cetak informasi atau dokumen elktronik tersebut belum dapat dikategorikan sebagai akta otentik mengingat pembatasan yang diberikan oleh Pasal 5 ayat 4 Undang- Undang ITE. b. Alat bukti elektronik sebagai alat bukti lain Hal alat bukti elektronik sebagai alat bukti lain dipertegas dalam pasal 44 Undang-Undang ITE yang mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik adalah alat bukti lain. Penegasan bahwa informasi atau dokumen elektronik dalam bentuk originalnya merupakan alat bukti selain yang telah diatur dalam KUHAP ialah pengaturan yang sangat penting mengingat informasi atau dokumen elektronik dalam bentuk originalnya dapat mengandung informasi yang tidak dapat diperoleh apabila informasi atau dokumen elktronik tersebut dicetak. c. Alat bukti elektronik sebagai sumber petunjuk Pasal 188 ayat 2 KUHAP menentukan secara limitatif sumber petunjuk, yaitu: keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Akan tetapi, berdasarkan uraian sebelumnya, alat bukti elektronik juga dapat dijadikan sumber petunjuk, yaitu hasil cetak informasi atau dokumen elektronik dapat dikategorikan sebagai surat. Surat yang dimaksud adalah “surat lain” sepanjang surat itu memiliki Universitas Sumatera Utara hubungan dengan isi dari alat pembuktian yang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 187 huruf d. walaupun demikian khusus untuk pembuktian dalam tindak pidana korupsi, Pasal 26A Undang-Undang PTPK telah mengatur bahwa alatbukti original dapat juga dijadikan sumber petunjuk.

C. Alat Bukti Elektronik dalam Sistem Hukum Indonesia

Dokumen yang terkait

Pencemaran Nama Baik Melalui Situs Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

1 37 128

Pencemaran Nama Baik Melalui Situs Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 35 128

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKT

0 6 20

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKT

0 8 66

EKSISTENSI PASAL 27 AYAT (3) UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 DALAM PERKARA PENCEMARAN NAMA BAIK.

0 4 17

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA ELEKTRONIK DALAM UNDANG -UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

4 5 20

TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK DI MEDIA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

0 1 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Keabsahan Informasi pada Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

0 0 19

PENERAPAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA ELEKTRONIK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR: 390Pid.B2014PN.Mks.)

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG - Penerapan Hukum Dalam Memberikan Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial Elektronik Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik (Putusan Nomor 390/Pi

0 0 15