Pengaturan Tindak Pidana Teknologi Informasi Berdasarkan Undang-

data input dengan maksud untuk mengubah output. Bentuk kejahatan yang kedua, yang relatif lebih canggih dan lebih berbahaya adalah apabila seseorang mengubah program komputer baik secara langsung ditempat komputer tersebut berada maupun secara tidak langsung yang dilakukan secara remot melalui jaringan komunikasi data. Pada kasus ini penjahat melakukan penetrasi ke dalam sistem komputer dan selanjutnya mengubah susunan program dengan tujuan menghasilkan keluaran output yang berbeda dari yang seharusnya, meski program tersebut memperoleh masukan input yang benar. 40

B. Pengaturan Tindak Pidana Teknologi Informasi Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008. Teknologi selain membawa keuntungan berupa dipermudahnya hidup manusia, juga membawa kerugian-kerugian berupa semakin dipermudahkannya penjahat dalam melakukan kejahatannya. Teknologi juga memberikan pengaruh yang signifikan dalam pemahaman mengenai kejahatan terutama terhadap aliran- aliran kriminologi yang memberatkan pada faktor manusia,baik secara lahir maupun psikologis. Perkembangan teknologi merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan kejahatan, sedangkan kejahatan itu sendiri telah ada dan muncul sejak permulaan zaman sampai sekarang dan masa yang akan datang. Bentuk- bentuk kejahatan yang ada pun semakin hari semakin bervariasi. Suatu hal yang patut untuk diperhatikan bahwa kejahatan sebagai gejala sosial sampai sekarang 40 Merry Magdalena dan Maswigrantoro Roes Setyadi, Cyberlaw Tidak Perlu Takut, Yogyakarta: Andi, 2007,hlm. 38. Universitas Sumatera Utara belum diperhitungkan dan diakui untk menjadi suatu tradisi atau budaya, padahal jika dibandingkan dengan berbagai budaya yang ada, usia kejahatan tentulah lebih tua. Kejahatan pada dasarnya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tidak ada kejahatan tanpa masyarakat atau seperti ucapan lacassagne bahwa masyarakat mempunyai penjahat sesuai dengan jasanya. Betapapun kita mengetahui banyak tentang faktor kejahatan yang ada dalam masyarakat, namun yang pasti adalah bawa kejahatan merupakan salah satu bentuk perkembangan perilaku manusia yang perkembangannya terus sejajar dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu kejahatan telah diterima sebagai suatu fakta, baik pada masyarakat yang paling sederhana primitif maupun pada masyarakat yang modern, yang merugikan masyarakat. 41 Begitu eratnya pengaruh perkembangan teknologi dengan kejahatan terkadang membuat hukum seakan terpana melihat pesatnya perkembangan tersebut. Seingga terkadang hukum terlambat untuk mengimbangi perkembangan teknologi. Dalam tindak pidana teknologi informasi ini juga, hukum seakan sempat tertinggal dalam pesatnya kemajuan internet. Sehingga seperti telah diuraikan di awal bab I dimana dunia internet atau dunia maya akan menjadi hutan belantara yang tak bertuan bila terus dibiarkan tanpa hukum yang mengatur secara khusus. Karena memang meskipun dunia tersebut virtual, tetap ada suatu kehidupan di dalamnya yang sempat belum ada aturan yang mengatur di dalamnya. 41 Agus Raharjo, Op. Cit., hlm. 29-30 Universitas Sumatera Utara Untuk mengatasi hal tersebut di atas, jelas diperlukan tindakan legislatif yang cermat dengan mengingat suatu hal, yakni jangan sampai perundang- undangan menjadi terpana pada perkembangan teknologi sehingga membuat peraturan menjadi overlegislate, yang pada gilirannya justru akan membawa dampak negatif, baik di bidang hukum lainnya maupun di bidang sosial ekonomi. 42 Pada mulanya, terdapat dua pendapat mengenai perlu tidaknya undang- undang yang mengatur mengenai kejahatan teknologi informasi, diantaranya: 43 Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa sampai hari ini belum ada perundangan yang mengatur masalah cybercrime. Karena itu jika terjadi tindakan kriminal di dunia cyber, sangat sulit bagi aparat hukum untuk menjerat pelakunya. Pendapat ini diperkuat dengan banyaknya kasus cybercrime yang tidak dapat dituntaskan oleh sistem peradilan kita. Persoalannya berdasar pada sulitnya aparat mencari pasal-pasal yang dapat dipakai sebagai landasan tuntutan di pengadilan. Kelompok kedua adalah mereka yang beranggapan bahwa tidak ada kekosongan hukum. Mereka yakin, walau belum ada perundangan yang mengatur masalah tersebut, para penegak hukum dapat menggunakan ketentuan hukum yang sudah ada. Untuk melaksanakannya diperlukan keberanian hakim menggali UU yang ada dan membuat ketetapan hukum yurisprudensi sebagai landasan keputusan pengadilan. 42 Budi Suharyanto, Op. Cit., hlm 5 43 Merry Magdalena dan Maswigrantoro Roes Setyadi, Op.Cit., hlm. 82. Universitas Sumatera Utara Dari timbulnya banyak perdebatan tersebut sesuai dengan yang juga telah diuraikan pada bab I dimana pada bulan maret tahun 2008 disahkannya Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ITE. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ITE merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang secara khusus mengatur tindak pidana teknologi informasi. Undang-undang ini memiliki sejarah tersendiri dalam pembentukan dan pengundangannya. Rancangan undang- undang ITE mulai dibahas sejak maret 2003 oleh Kementrian Negara Komunikasi dan Informatika dengan nama Rancangan Undang-Undang Informasi Komunikasi dan Transaksi Elektronik. Pada awalnya, RUU ini merupakan penyatuan dua rancangan undang-undang yang disusun oleh dua kementrian, yaitu Departemen Perhubungan dan Departemen Perindustrian dan Perdangan, bekerja sama dengan Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Universita Indonesia, Tim dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, serta Tim Asistensi dari ITB. Kemudian pada tanggal 5 September 2005 naskah UU ITE secara resmi disampaikan kepada DPR RI. Pada tanggal 21 April 2008, undang-undang ini disahkan; dengan demikian proses pengundangan undang-undang ITE ini berlangsung selama 5 tahun. Oleh karena itu undang-undang ITE yang terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal ini merupakan undang-undang yang relatif baru baik dari segi waktu pengundangannya maupun segi materi yang diatur 44 . Dalam undang-undang ITE ada dua muatan besar yang diatur di dalamnya. Yang pertama ialah pengaturan tentang transaksi elektronik dan yang kedua ialah 44 Josua Sitompul, Op. Cit., hlm. 135-136. Universitas Sumatera Utara pengaturan tentang tindak pidana teknologi informasi. Materi tersebut merupakan implementasi dari beberapa prinsip ketentuan internasional, yaitu UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, UNCITRAL Model Law on Electronic Signature, Convention on Cybercrime, EU Directives on Electronic Commerce, dan EU Directives on Electronic Signature. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah instrument internasional dan regional yang banyak diterapkan oleh negara-negara Eropa, Amerika, dan Asia. 45 Substansi pengaturan dalam tindak pidana teknologi informasi dalam undang-undang ITE mencakup hukum pidana materiil, yaitu kriminalisasi perbuatan-perbuatan yang termasuk kategori tindak pidana teknologi informasi. Pedoman yang digunakan adalah Convention on Cybercrime. Undang-undang ini juga memuat hukum pidana formil yang khusus untuk menegakkan hukum pidana di bidang teknologi informasi ini. 46 Berkaitan dengan perumusan delik yang mempunyai beberapa elemen, diantara para ahli mempunyai jalan pikiran yang berlainan. Sebagian besar berpendapat membagi elemen perumusan delik secara mendasar asja, dan ada juga yang berpendapat yang membagi elemen perumusan delik secara terperinci. Diantaranya unsur subjektif dan objektif. Unsur objektif dalam perumusan delik tindak pidana teknologi informasi ini mengalami beberapa terobosan dari sifat-sifat umum KUHP. Hal ini disebabkan kegiatan pada dunia maya meskipun bersifat virtual tetapi ` 45 Ibid, hlm. 136. 46 Ibid. Universitas Sumatera Utara dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata.secara yuridis untuk ruang cyber sudah tidak ada tempatnya lagi untuk mengategorikan sesuatu dengan ukuran dan kualifikasi konvensional untuk dapat dijadikan objek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan cyber adalah kegiatan virtual, tetapi berdampak sangat nyata meskipun alat bukti elektronik, dengan subjek perlakunya harus dikualifikasikan pula sebagai telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan benda tidak berwujud, missalnya dalam kasus pencurian listrik sebagai perbuatan pidana. Dalam keyataan kegiatan cyber tidak lagi sederhana karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh wilayah suatu negara, yang mudah diakses kapan pun dan dari mana pun. Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi, misalnya pencurian kartu kredit melalui pembelanjaan internet. 47 dalam undang-undang ITE, tindak-tindak pidana diatur dalam BAB VII tentang perbuatan yang dilarang. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok sebagai berikut: 48 1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas ilegal, yaitu: a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten illegal, yang terdiri dari: 47 Budi Suhariyanto, Op. Cit., hlm 103-104 48 Josua Sitompul, Op. Cit., hlm. 147-148 Universitas Sumatera Utara 1 Kesusilaan; 2 Perjudian; 3 Penghinaan atau pencemaran nama baik; 4 Pemerasan atau pengancaman; 5 Berita bohong yang menyesatkan atau merugikan konsumen; 6 Menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA; 7 Mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekeasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi; b. Dengan cara apapun melakukan akses ilegal; c. Intersepsi ilegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan sistem elektronik; 2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan interfensi, yaitu: a. Gangguan terhadap informasi atau dokumen elektronik data interference; b. Gangguan terhadap sistem elektronik system interference; 3. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang; 4. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik; 5. Tindak pidana tambahan accesoir; dan 6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana. Sebagian besar pengaturan tindak pidana dalam undang-undang ITE mengadopsi ketentuan pidana dalam Convention on Cybercrime. Dalam bagian ini dijeleskan mengenai perbuatan yang dilarang dan unsur-unsur pidana dalam setiap pasal yang dimasud. Sepanjang ketentuan dalam undang-undang ITE terkait dengan Convention on Cybercrime, akan dibahas juga dalam bagian yang dimaksud hubungan antara pasal dalam undang-undang ITE dengan ketentuan dalam Convention on Cybercrime. Pada dasarnya pengaturan dari tindak pidana tersebut merupakan desakan dari kebutuhan nasional dalam meluasnya berbagai bidang kejahatan. Meluasnya Universitas Sumatera Utara berbagai bidang kejahatan tersebut sebagaimana dijelaskan di awal merupakan imbas dari pesatnya perkembangan teknologi tanpa disertai pengembangan pola piker masyarakat. Sehingga pada pengaturan tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan pengaturan khusus dari tindak pidana umum yang ada karena memang pengaturan tindak pidana secara umum tersebut belum dapat menjangkau modus operandi kejahatan yang dilakukan melalui jaringan internet. Secara konsep tindak pidana teknologi informasi dapat dilihat secara sempit maupun luas. Secara sempit tindak pidana teknologi informasi ini ialah perbuatan yang dikategorikan tindak pidana yang ditujukan terhadap integritas, ketersediaan, dan kerahasiaan data, termasuk terhadap sistem. Sedangkan dalam arti luas tindak pidana ini merupakan perbuatan pidana yang dilakukan dengan menggunakan atau melalui sarana komputer sistem atau jaringan, termasuk tindak pidana konvensional dengan menggunakan komputer atau sistem elektronik. Akan tetapi secara perundang-undangan di Indonesia, tindak pidana teknologi informasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ITE sebagaimana diatur dalam BAB VII dan BAB XI. Hampir semua ketentuan perbuatan yang dilarang dalam undang-undang ITE telah mengakomodir substantive law dari Convention on Cybercrime.

C. Penghinaan Pencemaran Nama Baik dalam Tindak Pidana Teknologi

Dokumen yang terkait

Pencemaran Nama Baik Melalui Situs Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

1 37 128

Pencemaran Nama Baik Melalui Situs Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 35 128

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKT

0 6 20

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKT

0 8 66

EKSISTENSI PASAL 27 AYAT (3) UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 DALAM PERKARA PENCEMARAN NAMA BAIK.

0 4 17

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA ELEKTRONIK DALAM UNDANG -UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

4 5 20

TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK DI MEDIA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

0 1 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Keabsahan Informasi pada Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

0 0 19

PENERAPAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA ELEKTRONIK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR: 390Pid.B2014PN.Mks.)

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG - Penerapan Hukum Dalam Memberikan Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial Elektronik Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik (Putusan Nomor 390/Pi

0 0 15