Proses Penanganan dalam Menjamin Keabsahan Alat Bukti Eletronik

tersebut yang menjadi sorotan adalah, apakah memang dalam masyarakat saat ini kebebasan berpendapat yang terjadi dalam masyarakat telah dikekang, atau malah pemikiran masyarakat yang menjadi semakin sempit dalam mengartikan kebebasan berpendapat tersebut. Dalam penerapan-penerapan yang terjadi dapat terlihat, seberapa besar kebutuhan alat bukti elektronik dalam sistem peradilan di Indonesia. Dengan pesatnya perkembangan teknologi, akan menjadi mutlak harus adanya terhadap pengakuan penggunaan teknologi alat bukti elektronik dalam sistem hukum di Indonesia, yang khususnya kita pergunakan pada saat melakukan pembuktian. Terlebih sebenarnya pada masa sebelum adanya pengaturan terhadap alat bukti elektronik sudah diakui dalam undang-undang dokumen perusahaan adanya dokume n elektronik. Sehingga patutulah dalam masa teknologi saat ini, adanya pengakuan terhadap alat bukti elektronik. Memang kendalanya adalah harus ada perlakukan khusus terhadap alat bukti ini, sehingga hal tersebutlah nantinya yang akan disempurnakan dalam pengaturan kedepannya, dalam hal ini untuk menutup segala kemungkinan terburuk terhadap adanya manipulasi dari alat-alatbukti elektronik, maka aka nada perlindungan khusus terhadapnya.

B. Proses Penanganan dalam Menjamin Keabsahan Alat Bukti Eletronik

Kemajuan teknologi telah menyusup hampir semua sendi kehidupan, tak terkecuali sistem penegakan hukum. Kehadiran UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik UU ITE telah memperkenalkan era alat bukti yang bersifat elektronik. Hanya saja, pengaturan itu belum diimbangi dengan pengetahuan aparat penegak hukum terkait kemajuan teknologi. “Jaksa Universitas Sumatera Utara dan hakim saat ini mungkin belum banyak memiliki pengetahuan teori dan pengalaman terkait teknologi informasi. Mungkin yang memiliki pengetahuan dan pengalaman soal itu baru penyidik,” ujar Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Komunikasi dan Informatika, Josua Sitompul dalam Pelatihan hukumonline mengenai cyber law di Jakarta, Kamis 272. 107 Dalam penegakan hukum memang dapat kita lihat bahwa para hakim masih banyak yang lebih fokus pada struktur logika suatu kasus. Di sisi lain , kekurangan pengetahuan para penegak hukum terkait teknologi informasi berdampak pada penentuan keabsahan alat bukti yang bersifat digital. Menurutnya, di Indonesia terutama di daerah-daerah, masih banyak aparat yang belum mau masuk dalam era UUITE terkait penyediaan alat bukti. Menurut Josua, penentuan keabsahan alat bukti digital sangat penting. Ia mengatakan, sudah kewajiban hakim, jaksa termasuk penasihat hukum untuk memastikan bahwa alat bukti digital yang diajukan benar-benar original. Kepastian itu harus didapat melalui proses digital forensik. Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community, Teguh Ariyadi, mengatakan alat bukti digital yang diajukan dalam proses peradilan harus sah. Keabsahan tersebut harus memenuhi unsur sesuai peraturan lawful. Pasalnya, bukti eletronik yang telah sulit didapatkan jika tidak sesuai ketentuan dalam peraturan bisa saja dibawa ke praperadilan. 108 107 http:www.hukumonline.comberitabacalt530f0ab466a1bkeabsahan-alat-bukti- elektronik-bukan-oleh-aparat di akses pada tanggal 26 Mei 2014 108 Ibid. Universitas Sumatera Utara Sebagaimana juga disebutkan dalam bagian sebelumnya, bahwa salah satu sarat materiil alat bukti elektronik dapat diterima di pengadilan adalah, informasi atau dokumen elektronik harus dapat dijamin ketersediaan, keutuhan, keotentikan, dan keteraksesannya. Dalam menjamin hal tersebut tentu diperlukan adanya suatu metode ilmiah yang juga didukung dengan teknologi yang khusus untuk memeriksa alat bukti elektronik. Dalam hal ini akan dipaparkan secara singkat peranan forensik yang diterapkan untuk mengumpulkan, mengolah, serta menyajikan alat bukti elektronik untuk kepentingan pengakan hukum. Mengingat bahwa dalam pembahasan digital forensik hanya sebagai upaya untuk menjamin terpenuhinya syarat agar alat bukti elektronik dapat digunakan dalam penegakan hukum, maka dalam kesempatan ini hanya akan dipaparkan prinsip-prinsip dasar dari digital forensik. Informasi atau dokumen elektronik bila tidak ditangani dengan benar maka akan dapat berubah, rusak, atau hilang. Jika informasi tersebut hilang dan tidak dapat ditemukan lagi, maka aparat penegak hukum tidak dapat memperoleh alat bukti elektronik; Jika informasi tersebut berubah atau rusak, maka yang terjadi alat bukti tersebut tidak dapat digunakan sebagai alat bukti di persidangan. Oleh karena itu aparat penegak hukum harus mencari, mengumpulkan, dan menganalisa informasi atau dokumen elektronik tersebut dengan cepat dan tepat. Association of Chief Police Officiers ACPO memberikan empat prinsip dalam penanganan alat bukti elektronik. 109 Pertama, semua penanganan terhadap alat bukti elektronik yaitu data yang diperoleh dari komputer atau media 109 Josua Sitompul, Op. Cit., hlm., 289 Universitas Sumatera Utara penyimpanan, atau alat dan perangkat elektronik lain yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak boleh mengakibatkan adanya perubahan atau kerusakan terhadap data agar dapat diterima di pengadilan. Dengan demikian, data yang diperoleh penyidikan sama dengan data yang dihadirkan di persidangan. Karena adanya penanganan yang tidak tepat nantinya akan mengakibatkan data tersebut rusak, hilang atau berubah. Sama halnya dalam tindak pidana konvensional, dimana saat hendak memasuki Tempat Kejadian Perkara TKP, penyidik perlu, misalnya menggunakan sarung tangan agar sidik jarinya tidak menempel pada benda-benda yang ada di TKP. Penyidik juga perlu mengamankan barang bukti yang mudah rusak ke dalam tempat yang aman, agar barang bukti tersebut tidak rusak saat akan dihadirkan di persidangan. Demikian juga halnya dengan informasi atau data elektronik, ketika komputer masih hidup, maka penyidik perlu segera melakukan forensik karena apabila komputer dimatikan, data-data yang bersifat volatile dapat hilang saat komputer dimatikan. Kedua, dalam keadaan-keadaan dimana sesesorang harus mengakses data original yang terdapat dalam komputer atau media penyimpanan, orang yang dimaksud harus memiliki kompetensi untuk melakukannya, dan harus mampu memberikan penjelasan mengenai relevansi tindakannya terhadap data dan akibat dari perbuatannya itu. Dalam penyidikan konvensional tidak semua penyidik dapat masuk ke dalam TKP dan memeriksa serta mengumpulkan barang bukti, hanya orang yang memiliki kompetensi yang dapat melakukan tindakan tersebut. Misalnya, ketika ditemukan mayat dalam keadaan telungkup, penyidik yang tidak memiliki kompetensi di bidang kedokteran forensik seharusnya tidak Universitas Sumatera Utara memindahkan mayat, tetapi menunggu ahli kedokteran forensik untuk memeriksanya, termasuk menentukan waktu penyebab kematian. Prinsip yang ketiga adalah bahwa harus ada prosedur dan proses yang jelas yang diterapkan untuk mengumpulkan dan menganalisa alat bukti elektronik. Prosedur yang dimaksud memuat penanganan alat bukti elektronik mulai dari penemuan barang bukti komputer, telepon selular, USB, router, atau laptop yang mengandung alat bukti elektronik. Dilanjutkan dengan pembungkusan barang bukti, pemeriksaan, analisa, dan pelaporan. Dengan demikian, setiap pihak yang berkepentingan dapat memeriksa proses dan prosedur yang dimaksud dan memperoleh hasil sama. Terakhir, harus ada pihak atau pejabat yang bertanggung jawab untuk memastikan pelaksanaan kegiatan agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta keseluruhan proses dan prosedur yang dimaksud. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan barang bukti yang menyimpan alat bukti elektronik ialah bahwa ada begitu banyak jenis alat dan media yang menyimpan informasi. Tidak hanya komputer laptop, telepon selular, atau USB, tetapi juga router, modem, kamera digital, Harddisk eksternal, CD atau DVD, serta PDA. Menginat ada begitu banyak jenis media penyimpanan informasi dan teknologi penanganannya pun memiliki karakteristiknya masing- masing. Secara umum digital forensik dapat dibagi menjadi: 110 1. Komputer forensik, yaitu forensik yang dilakukan teradap komputer, laptop, atau media penyimpanan lain sejenis; 2. Mobile forensik, yaitu forensik yang dilakukan terhadap telepon selular; 110 Ibid. hlm 290. Universitas Sumatera Utara 3. Network forensik, yaitu forensik yang dilakukan terhadap jaringan komputer; 4. Audio forensik, yaitu forensik yang dilakukan terhadap suara; 5. Image forensik, yaitu forensik yang dilakukan terhadap gambar; dan 6. Video forensik, yaitu forensik yang dilakukan terhadap video dan CCTV. Berdasarkan prinsip ACPO yang telah disebutkan sebelumnya, maka dari prinsip-prinsip tersebut prosedur dari digital forensik dapat dibagi kedalam tiga tahap besar, yaitu: 1. Pengambilan acquisition Mengingat sifatnya yang dapat diubah, dirusak, atau dihilangkan apabila tidak ditangani dengan tepat, pengambilan informasi atau dokumen elektronik harus dilakukan dengan menjaga dan melindungi keutuhan atau integritasnya. Tahap ini dimaksudkan untuk mengambil dan mengamankan alat bukti elektronik asli. Cara atau prosedur pengambilan dapat didasarkan pada kondisi awal ditemukannya alat bukti elektronik tersebut. 2. Pemeriksaan dan Analisa Pemeriksaan terhadap alat bukti elektronik original umumnya menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak yang khusus dibuat untuk kepentingan digidigital forensik. Pada tahap ini, pemeriksa melakukan ekstraksi, yaitu mengambl seluruh data dari media dimana data tersebut Universitas Sumatera Utara tersimpan, termasuk data yang telah terhapus sebelumnya. Pemeriksaan juga menggunakan write blocker, yaitu alat yang digunakan untuk mencegah penulisan terhadap data original. Selain itu, dalam melakukan pengambilan data, pemeriksa juga perlu menentukan nilai dari keseluruhan data yang diambil. Nilai dari data original akan sama dengan nilai dari hasil ekstraksi. Sehingga, apabila diperlukan pemeriksaan ulang oleh pemeriksa yang berbeda misalnya dari pihak terdakwa, nilai dari alat bukti elektronik tersebut akan tetap sama. Setelah alat bukti elektronik original diperoleh , pemeriksaan terhadap alat bukti elektronik harus dilakukan dengan membuat salinan dari informasi atau dokumen elektronik yang asli. Setelah pengambilan informasi atau dokumen elektronik dilakukan, tahap selanjutnya ialah pemeriksaan dan analisa terhadap alat bukti elektronik. Pemeriksaan dilakukan terhadap salinan dari alat bukti elektronik yang asli. Pemeriksa juga dapat membuat salinan dari salinan alat bukti elektronik sebagai bahan kerja. Pada tahap ini, pemeriksa juga melakukan analisa, yaitu adalah menginterpretasikan informasi yang telah diekstraksi dan menentukan informasi atau data yang relevan dengan tindak pidana, dalam tahap ini pemeriksa mencari informasi atau dokumen elektronik yang menunjukkan pelaku tindak pidana. Misalnya dalam kasus pencemaran nama baik Universitas Sumatera Utara yang dilakukan melalui internet, pemeriksa menemukan isi postingan atau dokumen tertentu yang ada dalam perangkat elektronik yang telah disita yang memiliki muatan penghinaan atau muatan yang menyebabkan kehormatan nama baik seseorang tersebut tercemar. Pemeriksa juga dalam hal ini akan mencari rekaman email ataupun jejak dari alat penceri internet yang digunakan olek pelaku.dalam hal jika tindak pidananya merupakan tindak pidana akses ilegal, maka pemeriksa harus mencari dan menemukan adanya rekaman jejak aktivitas dari pelaku yang menunjukkan bahwa pelaku, dengan IP tertentu berhasil mengakses suatu website secara ilegal. 3. Dokumentasi dan Presentasi Setiap tindakan yang dilakukan dalam pengumpulan dan pemeriksaan alat bukti elektronik harus didokumentasikan secara akurat dan menyeluruh. Tidak hanya tindakan dalam melakukan digital forensik, tetapi jiga tindakan yang terkait dengannya, misalnya serah terima komputer atau perangkat lain dari petugas yang mengambil barang di TKP kepada pemeriksa forensik. Laporan dapat memuat proses dan tahapan yang dilakukan dalam pemeriksaan, termasuk alat dan perangkat yang digunakan. Selain itu, laporan juga perlu memuat Universitas Sumatera Utara informasi mengenai keseluruhan data yang diperoleh serta data yang relevan dengan tindak pidana. Penanganan yang tidak tepat terhadap komputer yang menyala akan menghilangkan informasi yang sifatnya volatil. Tidak diberinya label terhadap komponen serta kabel atau port daru alat dan perangkat yang telah dipisahkan di tempat kejadian perkara dapat menyulitkan analis digital forensik untuk menyusun kembali perangkat tersebut di laboratorium forensik. Demikian juga pencatatan yang tidak lengkap dapat menimbulkan keraguan hakim atau penasihat hukum dari terdakwa terhadap hasil forensik yang dilakukan. Dalam pengumpulan alat bukti elektronik penyidik akan menemukan berbagai informasi, baik yang relevan dengan tindak pidana, maupun yang tidak relevan. Terkait dengan hal ini penyidik harus menjaga kerahasiaan informasi, khususnya informasi terkait privasi seseorang yang tidak relevan dengan tindak pidana. Semua informasi yang tidak relevan tidak boleh diungkap di persidangan. Dalam pengumpulan dan pemeriksaan alat bukti elektronik, dalam banyak kasus di Indonesia penyidik memerlukan kerjasama dengan penyelenggara telekomunikasi. Misalnya dalam kasus-kasu yang menggunakan jaringan internet yang dilakukan oleh pelaku yang menggunakan modem dengan kartu selular. Penyidik mungkin masih dapat menemukan jejak-jejak pelaku seperti Internet Protocol IP yang digunakan pelaku untuk mengakses website tertentu. IP dari pelaku yang tercatat merupakan IP publik. Pengguna IP publik dapat dicari melalui layanan whois yang dimiliki oleh peyelenggara telekomunikasi. Dan dari Universitas Sumatera Utara layanan tersebut penyidik dapat mengetahui pemilik IP tersebut. Penyidik harus terlebih dahulu menghubungi penyelenggara telekomunikasi yang dimaksud untuk dapat memperoleh rekaman transaksi elektronik log file dari modem yang digunakan. Selain itu penyelenggara juga dapat memberikan informasi mengenai identitas yang diberikan oleh pengguna layanan telekomunikasi pada waktu mendaftarkan kartu SIM pertama kali.

C. Putusan Pengadilan Dalam Penggunaan Keterangan Pada Media Sosial

Dokumen yang terkait

Pencemaran Nama Baik Melalui Situs Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

1 37 128

Pencemaran Nama Baik Melalui Situs Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 35 128

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKT

0 6 20

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKT

0 8 66

EKSISTENSI PASAL 27 AYAT (3) UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 DALAM PERKARA PENCEMARAN NAMA BAIK.

0 4 17

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA ELEKTRONIK DALAM UNDANG -UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

4 5 20

TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK DI MEDIA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

0 1 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Keabsahan Informasi pada Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

0 0 19

PENERAPAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA ELEKTRONIK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR: 390Pid.B2014PN.Mks.)

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG - Penerapan Hukum Dalam Memberikan Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial Elektronik Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik (Putusan Nomor 390/Pi

0 0 15