Namun penggunaan hasil cetak pun juga ada yang memudahkan aparaat penegak hukum dalam mencari fakta hukum dari suatu kasus pidana. Seperti
halnya dalam kasus pengancaman melalui pesan singkat atau surat elektronik e- mail, tentunya akan lebih memudahkan apabila alat bukti yang diajukan adalah
hasil cetak dari riwayat pesan singkat atau e-mail yang berisi pengancaman tersebut. Dalam kasus ini penggunaan hasil cetak dari pesan singkat atau e-mail
tersebut yang diperoleh melalui telepon selular ataupun komputer akan lebih memudahkan aparat penegak hukum dalam menilai fakta hukum tersebut. Oleh
karena itu, sepanjang dalam proses berjalannya perkara tersebut telah diperiksa telepon selular atau komputer yang berisikan pesan singkat atau e-mail dalam
bentuk aslinya, untuk menjamin integritas, keotentikan, dan keoriginalannya, maka pengajuan hasil cetak dari alat bukti elektronik tersebut sudahlah cukup.
Para penegak hukum tidak perlu lagi membawa atau memperagakan serta menunjukkan alat bukti elektronik dalam bentuk aslinya yang terdapat dalam
telepon selular atau komputer tersebut.
97
D. Berlakunya Alat Bukti Elektronik dalam Tindak Pidana Pencemaran
Nama Baik
Dalam pembahasan ini telah terlihat penggunaan alat bukti elektronik merupakan kebutuhan. Tidak hanya untuk tindak pidana penghinaan pencemaran
nama baik yang menjadi topik pembahasan dalam tulisan ini tetapi memang menjadi kebutuhan dari segala jenis tindak pidana secara keseluruhan. Dalam
97
Josua Sitompul, Op. Cit., hlm 285
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaannya media untuk melaksanakan kejahatan mau tidak mau memang telah meluas dengan adanya jaringan internet sebagai media baru untuk
melakukan kejahatan. Dalam pembahasan sebelumnya kita telah melihat tindak pidana pencemaran nama baik dalam Undang-Undang ITE. Juga pada bagian ini
akan dijelaskan lebih lanjut urgensi dari pengaturan yang lebih spesifik dari alat bukti elektronik ini.
Seperti telah dijelaskan dalam Bab sebelumnya, bahwa dalam Undang- Undang ITE, Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik memiliki hal khusus yang
membedakan dengan pengaturan yang terdapat dalam KUHP. Pada dasarnya esensi dari pengaturan terhadap tindak pidana pencemaran nama baik adalah
menyerang nama baik atau kehormatan seseorang. Namun yang membedakan adalah sifat dari tindak pidananya, dimana dalam KUHP adalah unsur yang dapat
menyatakan tindakan itu melawan hukum adalah apabila penghinaan itu menjadi diketahui umum, sedangkan dalam Undang-Undang ITE adalah apabila adanya
Informasi atau Dokumen elektronik yang berisi muatan penghinaan itu didistribusikan, ditransmisikan, atau menjadi dapat diakses oleh orang lain.
Dari sini telah terlihat bahwa memang terjadinya tindak pidana adalah ada perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya
informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Dalam pengaturannnya Pasal 27 ayat 3 Undang-
Undang ITE implementasi pembuktian dalam pasal tersebut harus benar-benar dengan hati-hati, jangan sampai hal ini menjadi celah bagi pihak-pihak yang
Universitas Sumatera Utara
arogan untuk menjadikan pasal ini sebagai pasal karet. Seperti yang pernah terjadi dalam kasus Prita Mulyasari misalnya, dimana aparat penegak Hukum menjerat
perbuatan prita yang hanya berkeluh kesah atas pelayanan sebuah rumah sakit yang menurutnya kurang memuaskan lewat e-mail tersebut dengan menggunakan
Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITE.
Leo Batubara
98
berpendapat bahwa kasus Prita Mulyasari yang dipidakan karena mengirimkan surat elektronik tentang kekecewaannya terhadap pelayanan
sebuah rumah sakit hanyalah satu contoh dari beberapa kasus penggunaan internet untuk tujuan yang positif, yang justru berujung pada perkara hukum. Yang harus
diingat, perangkat hukum dibuat bertujuan untuk menciptakan keadilan, khususnya bagi rakyat kebanyakan. Untuk itu, penegak hukum harus kembali
pada tujuan awal tersebut setiap kali bertindak.
dalam perjalanan di peradilan kasus prita ini terjadi perbedaan penafsiran dari para penegak hukum terkait apakah prita telah melawan hukum atau tidak.
Hal tersebut terlihat dari berjalannya kasus yang terjadi dimana pada peradilan perdata yaitu tingkat kasasi, Prita dinyatakan tidak bersalah. Dalam hal
pertimbangan majelis hakim kasasi perdata menyatakan bahwa perbuatan Prita bukanlah perbuatan melawan hukum melainkan hanyalah perbuatan yang
berkeluh kesah pada media internet, sehingga apa yang dilakukan Prita tersebut bukanlah penghinaan. Sementara pada peradilan pidana tingkat kasasi Prita
dinyatakan secara sah dan melawan hukum Bersalah melakukan tindak pidana
98
Budi Suhariyanto, Op. Cit., hlm. 170
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITE. Pada putusan Kasasi tersebut perbuatan Prita tersebut dikategorikan sebagai penghinaan.
Meskipun pada akhirnya dalam Peninjauan Kembali, Majelis Hakim pada tingkatan ini membebaskan Prita dan menyatakan Prita tidak bersalah. Namun
yang menjadi pokok adalah masih terdapatnya perbedaan penafsiran mengenai sifat melawan hukum dari perbuatan penghinaan ini yang terjadi pada tingkatan
Hakim Agung dalam lingkup Pidana dan Perdata. Oleh karena itu dalam implementasi Pasal 27 ayat 3 masih menimbulkan kontroversi dan bahkan
diindikasikan sebagai pasal “karet”.
99
Hal tersebut telah menjadi contoh berlakunya alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana pencemaran
nama baik melalui internet.
Alat bukti elektronik memiliki cakupan yang luas dan jenis yang beragam, seperti surat elektronik, situs-situs pada jaringan internet, layanan pesan singkat,
video, electronically stored information ESI
100
, foto digital, computer-generated documents and data files, termasuk hasil cetak dari informasi atau dokumen
elektronik lainnya. Tiap jenis alat bukti elektronik tersebut memiliki karakteristik secara teknis yang memerlukan penanganan tersendiri dalam menentukan
keabsahannya secara hukum. Oleh karena itu perlu adanya kesepahaman diantara kalangan aparat pengeak hukum mengenai prinsip-prinsip pengumpulan,
99
Ibid, hlm 172
100
ESI adalah “information created, manipulated, communicated, stored, and bes utilized in digital form, recuiring the use of computer hardware and software.” Kenneth J. Withers,
Electronically Stored Information: the December 2006 Amendments to the Federal Rules of Civil Procedure, Northwestern Journal of Technology and Intellectual Property, Spring 2006, Vol. 4,
No.2, dari http:www.law.northwestern.edujournalsnjtipv4n23, diakses pada tanggal 16 April 2014.
Universitas Sumatera Utara
penganalisaan, serta penyajian alat bukti elektronik yang beragam itu. Dalam hal diperlukan, dapat ditetapkan peraturan dan putusan yang lebih spesifik yang dapat
dijadikan pedoman dalam memeriksa alat bukti elektronik baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di persidangan. Pengaturan atau patokan tersebut
dapat melalui peraturan pembentukan peraturan dibawah undang-undang, penafsiran hakim wetintepretarie dan penemuan hukum rechtsvinding oleh
hakim. Peraturan yang dimaksud juga dapat berupa peraturan bersama antara instansi aparat penegak hukum yang dapat digunakan sebagai pedoman baik di
pusat maupun di daerah seluruh Indonesia.
Sedangkan perihal kekuatan dan nilai pembuktian dari alat bukti elektronik tetntunya tetap sama dengan esensi dari yang terdapat dalam pasal 184 KUHAP,
yaitu bersifat bebas volledig bewijskracht dan bersifat tidak mengikat atau menentikan beslissende bewijskracht. Sendangkan untuk nilai pembuktian dari
seluruh alat bukti tersebut kembali pada keyakian hakim. Dan keduanya tetap harus seimbang sesuai dengan yang telah dijelaskan sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PENERAPAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK