BAB IV PENERAPAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK
Dalam bab ini nantinya akan dibahas mengenai penggunaan alat bukti elektronik dan validitasnya. Juga nantinya akan dibahas bagaimana Hakim
menggunakan alat bukti elektronik dalam penanganan perkara pidana. Sehingga kita juga dapat mengetahui penggunaan alat bukti elektronik dalam penanganan
tindak pidana di bidang teknologi informasi. Dan pembahasan ini akan diawali pada bagaimana menguji validitas penggunaan alat bukti elektronik dalam
penggunaannya sebagai alat bukti dalam perkara pidana.
A. Penerapan Penggunaan Alat Bukti Elektronik dalam Pembuktian
Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik
Dalam penerapan proses pembuktian khususnya dalam perkara pidana masih mengalami banyak kendala dalam pengakuan penggunaan alat bukti
elektronik. Di Indonesia penggunaan alat bukti elektronik memang masih belum biasa digunakan, sehingga mengalami banyak kendala. Masalah pengakuan data
elektronik memang menjadi isu yang menarik seiring dengan penggunaan teknologi informasi internet. Beberapa negara seperti Australia, Chili, China,
Jepang, dan Singapura telah memiliki peraturan hukum yang memberikan pengakuan data elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. China
misalnya, membuat peraturan khusus untuk mengakui data elektronik. Salah satu pasal Contract Law of the Peoples Republic of China 1999 menyebutkan, bukti
tulisan yang diakui sebagai alat bukti dalam pelaksanaan kontrak perjanjian
Universitas Sumatera Utara
antara lain: surat dan data teks dalam berbagai bentuk, seperti telegram, teleks, faksimili, dan e-mail.
101
Seperti telah kita sadari, bahwa makin hari, penggunaan teknologi khususnya teknologi informasi dalam kehidupan masysarakat Indonesia ini sendiri
makin besar. Dan oleh karena itu sehingga dalam berbagai perundang-undangan yang ada telah memunculkan adanya penggunaan alat bukti elektronik dalam
proses pembuktian sebelum pada akhirnya diundangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Dalam penerapannya undang-undang ini telah membawa kita
memasuki era yang baru yang berbasis pemanfaatan teknologi informasi. Dalam penerapannya seringkali penggunaan alat bukti elektronik ini
mengalami kendala dalam pengakuan terhadap validitasnya. Sebelumnya telah kita ketahu berbagai macam alat bukti elektronik yang ada. Semua bukti tadi
diakui secara hukum setelah mendengarkan pendapat keterangan seorang ahli atau kustodian dalam pasar modal. Dokumen tersebut juga bisa diakui tanpa
adanya keterangan, jika sebelumnya telah ada sertifikasi terhadap metode bisnis tersebut. Cara di atas disebut sebagai pengakuan yang didasarkan atas
kemampuan komputer untuk menyimpan data computer storage. Pengakuan tersebut sering digunakan dalam praktek bisnis maupun non-bisnis untuk
menyetarakan dokumen elektronik dengan dokumen konvensional. Cara kedua untuk mengakui dokumen elektronik adalah dengan
menyandarkan pada hasil akhir sistem komputer. Misalkan, dengan output dari
101
http:www.hukumonline.comberitabacahol5954data-elektronik-sebagai-alat-bukti- masih diakses pada 19 Mei 2014.
Universitas Sumatera Utara
sebuah program komputer yang hasilnya tidak didahului dengan campur tangan secara fisik. Contohnya, rekaman log in internet, rekaman telepon, dan transaksi
ATM. Artinya, dengan sendirinya bukti elektronik tersebut diakui sebagai bukti elektronik dan memiliki kekuatan hukum. Kecuali bisa dibuktikan lain, data
tersebut bisa di kesampingkan. Kemudian yang terakhir adalah dengan perpaduan dari dua metode di atas.
Beberapa data elektronik dihasilkan oleh output suatu sistem komputer dan proses penyimpanan suatu sistem computer storage. Dalam konteks ini, barulah tepat
jika mempermasalahkan suatu dokumen elektronik jika ternyata di dalamnya mengandung perpaduan dari dua metode.
Sebenarnya ada satu hal yang patut dipertimbangkan dalam pengakuan suatu data elektronik. Sejauh mana keamanan suatu sistem dan keterlibatan dari
orang terhadap sistem komputer tersebut. Karena biasanya, kejahatan dengan menggunakan komputer internet melibatkan orang dalam. Dalam praktek bisnis,
keberadaan dokumen elektronik memang tidak bisa dihindari. Transaksi ekspor dan impor antar negara sudah sejak lama menggunakan
EDI electronic data interchange. Hampir semua negara di dunia menggunakan dan menerima suatu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan
EDI. Indonesia sudah menggunakan teknologi EDI sejak 1967 hingga saat ini. Namun anehnya, pengadilan sendiri belum menerima bukti elektronik tersebut
sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Dalam konteks ini, tidaklah tepat jika
Universitas Sumatera Utara
dikatakan Indonesia telah ketinggalan dalam menggunakan data elektronik sebagai bukti transaksi.
Dengan adanya internet, seolah ada semacam pengaburan akan adanya pengakuan terhadap data elektronik dalam transaksi. Lalu kemudian orang
mempermasalahkan, apakah data tersebut bisa dipertanggungjawabkan di hadapan hukum. Padahal jika dilihat esensi dari transaksi yang dilangsungkan secara
elektronik, sepanjang para pihak tidak berkeberatan dengan prasyarat dalam perjanjian tersebut, segala bukti transaksi yang dihasilkan dalam transaksi tersebut
memiliki nilai yang sama dengan dokumen transaksi konvensional.
102
Dalam memutus suatu perkara, tentu saja hakim harus mendasarkan ketentuan hukum acara yang mengatur masalah pembuktian. Apalagi hampir di
semua negara, termasuk Indonesia, mengakui alat bukti surat sebagai salah satu bukti untuk yang bisa diajukan ke pengadilan. Lalu bagaimana dengan dokumen
elektronik yang notabene merupakan bagian dari tulisan yang dihasilkan secara elektronik. Indonesia sendiri memiliki Undang-Undang Pokok Kearsipan No 71
tahun 1971. Keberadaan dokumen elektronik telah dikenal sejak tigapuluh tahun lalu. Kemudian Kepres No. 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, secara
tegas mengakui keberadaan media lainnya selain kertas seperti CD ROM dan mikrofilm.
Keberadaan dokumen elektronik selalu menjadi pelengkap terhadap alat bukti lainnya. Artinya, penggunaan hasil cetakan dalam praktek hukum di
102
Ibid. diakses pada 20 Mei 2014.
Universitas Sumatera Utara
Amerika bersifat sebagai ringkasan atau kesimpulan terhadap dokumen lainnya. Sepertinya, pola yang diterapkan di Amerika dan beberapa negara lainnya juga
diikuti oleh negara lain termasuk Indonesia. Jadi, tidak serta merta karena tidak ditegaskan secara spesifik, maka dokumen elektronik tidak bisa diterima sebagai
alat bukti yang sah di pengadilan. Secara hukum, sepanjang tidak ada penyangkalan terhadap isi dari dokumen, dokumen elektronik tersebut harusnya
diterima layaknya bukti tulisan konvensional. Masalah otentikasi adalah persoalan yang berbeda dengan pengakuan data
elektronik. Jika data atau dokumen elektronik tersebut diterima atau diakui secara hukum, dengan sendirinya proses otentikasi atas data tersebut akan mengikutinya.
Persoalannya, terlalu dini kita membicarakan validitas dari dokumen elektronik sementara kita membicarakan metode otentikasi. Proses otentikasi adalah
persoalan teknologi, sedang pengakuan dokumen elektronik menyangkut pengakuan secara formal di dalam peraturan perundang-undangan.
Sebenarnya, Indonesia bukan tidak mampu untuk melakukan satu revolusi pengembangan hukum. Namun, lebih didasarkan pada tidak ada kemauan untuk
mengakui dokumen elektronik tersebut. Jika logika berpikir hanya melandasarkan pada cara lama, dapat dipastikan sampai kapan pun tidak akan pernah ada
pengakuan terhadap dokumen elektronik. Sekali lagi, dalam penguasaan teknologi, Indonesia tidaklah kalah jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Praktek bisnis di Indonesia sudah sejak lama menggunakan peralatan komputer. Namun hingga kini, tidak ada keberatan dari para pihak yang melangsungkan
transaksi pertukaran informasi. Hanya kemudian terkesan Indonesia adalah
Universitas Sumatera Utara
negara terbelakang dalam penguasaan teknologi ketimbang negara lainnya. Jika pemerintah dan masyarakat sudah siap, praktis masalah pengakuan dokumen
elektronik bukanlah satu hal yang tabu dalam praktek hukum di Indonesia.
103
Namun, sekelumit dari masalah pengakuan yang terjadi dalam penerapan penggunaan alat bukti elektronik dalam pembuktian khususnya pada perkara
pidana ini, telah juga banyak putusan pengadialan yang mana dalam proses pembuktiannya juga menggunakan alat-alat bukti elektronik.
Sesuai dengan topik dalam skripsi ini, maka yang menjadi kajian secara khusus adalah penggunaan alat bukti elektronik dalam segi tindak pidana
pencemaran nama baik. Dalam kenyataannya telah kita sadari bahwa penggunaan teknologi yang menuju ke arah yang semakin negatif juga menimbulkan evolusi
terhadap jenis kejahatan. Dimana salah satunya terjadi dalam pencemaran nama baik yang saat ini menggunakan media internet. Sesuai dengan bahasan
sebelumnya, bahwa masalah utama dalam proses penanganan perkara pidana adalah untuk menemukan kebenaran materil atau kebenaran yang sesungguhnya.
Dan tentu sumber utama dalam mencari kebenaran materil itu adalah pembuktian yang menghendaki agar semua alat bukti yang dipergunakan guna mendapatkan
suatu kebenaran yang sesungguhnya dapat ditampilkan sedemikian rupa di muka pengadilan agar hakim dapat memperoleh gambaran secara jelas tentang adanya
suatu tindak pidana.
104
103
Ibid. diakses pada 20 Mei 2014.
104
http:repo.unsrat.ac.id681ELEKTRONIK_SEBAGAI_ALAT_BUKTI_DALAM_C YBER_CRIME.pdf diakses pada 22 Mei 2014
Universitas Sumatera Utara
Dalam beberapa kasus telah terjadi banyak pencemaran nama baik dengan menggunakan media internet. Yang masih teringat dalam benak kita adalah
peliknya kasus yang dihadapi Prita Mulyasari dalam kasusnya yang dituduh mencemarkan nama baik RS Omni Internasional. Yang mana dalam kasus
tersebut yang paling mengherankan adalah adanya perbedaan presepsi diantara Hakim Mahkamah Agung, dimana dalam putusan Kasasi Prita dinyatakan
bersalah melalui alat bukti yang diajukan berupa hasil cetak dari potongan e-mail surat elektronik dari akun
Prita, dan kemudian pada Peninjauan Kembali, Hakim pada Mahkamah Agung membatalkan putusan pada tingkat Kasasi dan menyatakan Prita
tidak bersalah.
Dalam penerapannya juga telah banyak kasus, yang mau-tidak mau harus digunakannya alat bukti elektronik. Dalam putusan pengadilan ada beberapa yang
menggunkan alat bukti elektronik dalam pembuktiannya, yaitu putusan perkara pidana nomor 574Pid.B2003PN.Jak.Pus yang mana dalam perkara tersebut, JPU
mengajukan enam orang saksi yang mana semua saksi berada di luar negeri dan berstatus sebagai tahanan, sehingga JPU meminta agar keenam saksi terebut
diperiksa melalui teleconference. Dan Hakim menerima usulan tersebut meskipun ada keberatan dari pihak terdakwa. Majelis hakim member pertimbangan dalam
perkara tersebut bahwa keenam saksi tersebut memang perlu didengar keterangannya dan diuji kebenarannya dalam siding tersebut untuk mendapat
Universitas Sumatera Utara
kebenaran materiil dalam perkara tersebut, tentunya dengan beberapa syarat yang membuat kesaksian melalui teleconference tersebut menjadi objektif..
105
Sebagai contoh lain juga dalam perkara pidana nomor 1361Pid.B2005PN.JKT.PST, dimana dalam perkara ini, JPU mengajukan alat
bukti berupa hasil ceta dari call data resource CDR yang dikeluarkan oleh salah satu dari perusahaan telekomunikasi. Melalui hasil cetak tersebut dapat diketahui
adanya hubungan telekomunikasi dengan menggunakan telepon selular antara saksi dengan korban dan juga antara saksi dengan saksi yang juga menjadi
terdakwa dalam kasus yang sama. Dan tidak hanya itu, dalam hasil cetak CDR yang diserahkan dapat terlihat juga kapan tepatnya percakapan tersebut terjadi.
Dan dalam perkara tersebut, para pihak yang nomor teleponnya tertera pada hasil cetak CDR tersebut, meski melakukan penyangkalan terhadap percakapan yang
terdapat dalam hasil cetak tersebut, hakim memberikan pertimbangan lain yang mana menganggap sangkalan dari terdakwa tidak mendasar, sehingga hakim juga
meyakini kebenaran dari alat bukti yang diajukan tersebut.
106
Selain dari kedua hal tersebut, nantinya akan juga kita lihat salah satu kasus terbaru yang terjadi baru-baru ini antar Benny Handoko pemilik aku
benhan, yang mana telah dijatuhi pidana oleh majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Di mana dalam hal
105
Josua Sitompul, Op. Cit., hlm., 295.
106
Ibid. hlm., 298.
Universitas Sumatera Utara
tersebut yang menjadi sorotan adalah, apakah memang dalam masyarakat saat ini kebebasan berpendapat yang terjadi dalam masyarakat telah dikekang, atau malah
pemikiran masyarakat yang menjadi semakin sempit dalam mengartikan kebebasan berpendapat tersebut.
Dalam penerapan-penerapan yang terjadi dapat terlihat, seberapa besar kebutuhan alat bukti elektronik dalam sistem peradilan di Indonesia. Dengan
pesatnya perkembangan teknologi, akan menjadi mutlak harus adanya terhadap pengakuan penggunaan teknologi alat bukti elektronik dalam sistem hukum di
Indonesia, yang khususnya kita pergunakan pada saat melakukan pembuktian. Terlebih sebenarnya pada masa sebelum adanya pengaturan terhadap alat bukti
elektronik sudah diakui dalam undang-undang dokumen perusahaan adanya dokume n elektronik. Sehingga patutulah dalam masa teknologi saat ini, adanya
pengakuan terhadap alat bukti elektronik. Memang kendalanya adalah harus ada perlakukan khusus terhadap alat bukti ini, sehingga hal tersebutlah nantinya yang
akan disempurnakan dalam pengaturan kedepannya, dalam hal ini untuk menutup segala kemungkinan terburuk terhadap adanya manipulasi dari alat-alatbukti
elektronik, maka aka nada perlindungan khusus terhadapnya.
B. Proses Penanganan dalam Menjamin Keabsahan Alat Bukti Eletronik