Penghinaan Pencemaran Nama Baik dalam Tindak Pidana Teknologi

berbagai bidang kejahatan tersebut sebagaimana dijelaskan di awal merupakan imbas dari pesatnya perkembangan teknologi tanpa disertai pengembangan pola piker masyarakat. Sehingga pada pengaturan tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan pengaturan khusus dari tindak pidana umum yang ada karena memang pengaturan tindak pidana secara umum tersebut belum dapat menjangkau modus operandi kejahatan yang dilakukan melalui jaringan internet. Secara konsep tindak pidana teknologi informasi dapat dilihat secara sempit maupun luas. Secara sempit tindak pidana teknologi informasi ini ialah perbuatan yang dikategorikan tindak pidana yang ditujukan terhadap integritas, ketersediaan, dan kerahasiaan data, termasuk terhadap sistem. Sedangkan dalam arti luas tindak pidana ini merupakan perbuatan pidana yang dilakukan dengan menggunakan atau melalui sarana komputer sistem atau jaringan, termasuk tindak pidana konvensional dengan menggunakan komputer atau sistem elektronik. Akan tetapi secara perundang-undangan di Indonesia, tindak pidana teknologi informasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ITE sebagaimana diatur dalam BAB VII dan BAB XI. Hampir semua ketentuan perbuatan yang dilarang dalam undang-undang ITE telah mengakomodir substantive law dari Convention on Cybercrime.

C. Penghinaan Pencemaran Nama Baik dalam Tindak Pidana Teknologi

Informasi Sebagaimana telah kita ketahui adanya pengaturan pidana dalam undang- undang ITE ini, yang menjadi sorotan penulis adalah “Penggunaan Informasi pada Universitas Sumatera Utara Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam Tindak Pencemaran Nama Baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.” Sehingga pembahasan lebih lanjut pengenai tindak pidana dalam pasal ini akan membahas secara rinci bagaimana undang-undang ini mengatur tindak pidana pencemaran nama baik. Tindak pidana pencemaran nama baik dalam undang-undang ini diatur dalam pasal 27 ayat 3. Pasal 27 ayat 3 undang-undang ITE menyebutkan “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik danatau yang memiliki muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik. Seiring dengan perkembangan teknologi, maka kejahatan pun terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi tersebut. Jika dahulu orang hanya bisa melakukan penghinaan dan lewat tulisan surat atau perkataan lisan, sekarang dengan adanya internet seseorang juga bisa melakukan perbuatan tersebut melalui internet. Dalam KUHP sendiri juga telak diatur rumusan terhadap delik penghinaan danatau pencemaran nama baik ini. Dalam KUHP terdapat adanya enam macam penghinaan yaitu, menista pasal 310 ayat 1, menista dengan surat pasal 310 ayat 2, memfitnah pasal 311, penghinaan ringan pasal 315, mengadu secara memfitnah pasal 317, dan menuduh secara memfitnah pasal 318. 49 49 Budi Suhariyanto, Op Cit, hlm. 116. Universitas Sumatera Utara Dalam uraian pasal tersebut maka dapat dilihat ada beberapa unsur yang akan diuraikan dalam bagian ini. Adapun unsur-unsurnya ialah “orang”, “dengan sengaja dan tanpa hak”, “mendistribusikan”, “mentransmisikan”, “membuat dapat diaksesnya”, “informasi elektronik”, dan “dokumen elektronik”, serta “Muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik”. Dalam penjelasan sebelumnya telah diketahui bahwa tindak pidana pencemaran nama baik dalam undang-undang ini merupakan bagian dari tindak pidnaa yang berhubungan dengan aktivitas ilegal, khususnya tindak pidana yang memuat konten ilegal illegal contetnt. Secara umum dapat kita artikan bahwa konten ilegal merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke Internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. 50 Pada dasarnya konten merupakan informasi yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Pornografi dan judi dapat menimbulkan kecanduan. Pembuatan informasi elektronik khusususnya pornografi dapat atau bahkan sering melanggar hak asasi manusia. Selain itu, penyebaran konten dapat membentuk opini publik. Rusaknya kehormatan atau nama baik seseorang akibat opini publik yang terbentuk melalui penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik orang tersebut merupakan alasan diaturnya ketentuan penghinaan dalam dunia siber. Kerusuhan antar suku, agama, ras, dan antar golongan SARA juga dapat terjadi akibat penyebarluasan informasisensitif tentang SARA. 50 http:tujuh-sekawan-ilegal-content.blogspot.com diakses pada 28 Maret 2014 Universitas Sumatera Utara Kedua, dengan adanya internet, informasi dapat disebar dan diteruskan ke berbagai penjuru dunia dengan seketika serta dapat diakses dari berbagai negara. Terlebih lagi setiap orang dapat menggunakan nama lain selain nama diri yang sebenarnya di dunia siber baik secara anonym maupun dengan nama alias. Informasi-informasi yang dikirimkan atau digandakan tersebut dapat tersimpan untuk jangka waktu yang sangat lama. 51 Dri dua hal tersebut telah dapat kita lihat bahwa memang perlu untuk diaturnya dalam undang-undang ITE tentang konten ilegal ini. Sehingga dalam undang-undang ITE ini dapat kita lihat dalam pasal 27 -29 undang-udnang ITE. Perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi dalam pasal 27 undang-undang ITE adalah perbuatan yang pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. Demikian juga dengan perbuatan penyebaran muatan yang ditujukan menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA. Akan tetapi, karakteristik dalam dunia siber seperti yang telah digambarkan sebelumnya menyebabkan pembentuk undang-undang merasa perlu penyesuaian agar nilai- nilai perlindungan yang diberikan dalam dunia siber sama seperti yang telah diberikan dalam dunia nyata. 52 Kembali kepada unsur-unsur pasal 27 ayat 3 sebelumnya Dalam bahasan ini penulis menguraikan isi pasal 27 ayat 3 ini. Dalam rumusan pasal yang menjadi subjek adalah “setiap orang”. Dalam undang-undang ITE deisebutkan bahwa yang dimaksud dengan orang di sini adalah perseorangan baik warga 51 Josua Sitompul, Op. Cit., hlm.. 148-149 52 Ibid, hlm. 150. Universitas Sumatera Utara negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum asing. Dalam penerapan pasal ini dan pasal-pasal lain yang akan dibahas, harus juga diperhatikan pasal 2 undang-undang ITE ini yang menegaskan bahwa undang- undang ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum yangdiatur dalam undang-undang tersebut baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun diluar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. 1. Dengan sengaja dan tanpa hak Unsur ini merupakan unsur subjektif tindak pidana. Sengaja mengandung makna mengetahui knowingly dan menghendaki intentionally dilakukannya suatu akibat yang dilarang oleh undang- undang ITE. Terkait dengan pasal 27 ayat 1 sengaja yang dimaksud ditujukan terhadap perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. 53 Sedangkan tanpa hak adalah tidak memiliki hak baik yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau alas hak lain yang sah. Termasuk dalam pengertian ini adalah melampaui hak atau kewenangan yang diberikan kepada orang yang bersangkutan berdasarkan alas hak yang diberikan. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau alas hak lain yang sah tersebut adalah patokan atau dasar untuk menilai dan menentukan ada atau 53 Ibid., hlm. 152. Universitas Sumatera Utara tidaknya hak seseorang, atau dilampaui tidaknya hak yang diberikan kepadanya. Alas hak yang dimaksud harus memberikan hak kepada seseorang untuk mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya muatan yang melanggar kesusilaan. 2. Mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya. 54 Undang-undang ITE tidak memberikan definisi mengenai mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya. Yang dimaksud dengan “mendistribusikan” di sini ialah mengirimkan informasi atau dokumen elektronik kepada beberapa pihak atau tempat melalui atau dengan sistem elektronik. Tindakan ini dapat dilakukan dengan mengirimkan email, sms atau mms, atau sarana pengiriman melalui jaringan internet lainnya. Perbuatan membuat informasi dapat dilihat oleh siapa saja seperti publikasi di blogspot, facebook, twitter atau media lain, ataupun menggunggah video melalu sarana website juga termasuk dalam kategori mendistribusikan ini. Sedangkan yang dimaksud dengan “mentransmisikan”adalah mengirimkan atau meneruskan informasi atau dokumen elektronik dari satu pihak atau tempat ke satu orang atau tempat lain. Dalam pengertian dari mendistribusikan memang sudang terkandung makna mentransmisikan ini, tetapi perbedaannya adalah esensi dari mendistribusikan ialah menyebarluaskan informasi atau dokumen elektronik, sedangkan mentransmisikan hanya terbatas pada satu 54 Ibid, hlm. 153-154. Universitas Sumatera Utara pengirim kepada satu penerima. Tindakan ini dapat dilakukan dengan mengirimkan pesan atau meneruskan pesan kepada penerima lain.l tindakan mentransmisikan ini dapat dilakukan melalui mekanisme jual beli secara elektronik. Misalnya penyedia konten dapat mengirimkan konten yang diminta oleh penerima setelah penerima mengirimkan alamat email dan membayar harga untuk konten tersebut. “Membuat dapat diaksesnya” memiliki makna membuat informasi atau dokumen elektronik dapat diakses oleh orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan linkhyperlink yaitu tautan atau referensi yang dapat digunakan oleh pengguna internet untuk mengakses lokasi atau dokumen. Membuat dapat diaksesnya juga dapat dilakukan dengan memberikan kode akses password. 3. Informasi atau Dokumen Elektronik 55 Undang-undang ITE memberikan definisi informasi elektronik sebagai: “satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange EDI, surat elektronik electronic mail, telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang 55 Ibid, hlm. 255. Universitas Sumatera Utara memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.” Definisi informasi elektronik bersifat luas karena mencakup berbagai bentuk data elektronik mulai dari tulisan, suara gambar, bahkan perforasi. Sepanjang data elektronik yang telah diolah tersebut memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya, data tersebut merupakan informasi elektronik. Sedangkan dokumen elektronik ialah : “setiap Informasi Elektronik yang dibuat, deteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, danatau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau rforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Esensi perbedaan antara informasi elektronik dan dokumen elektronik ialah bahwa pada esensinya informasi elektronik merupakan konten, sedangkan dokumen elektronik merupakan media dari konten itu sendiri yang dapat berbentuk analog, digital, elektromagnetik, atau optikal. Sebagai gambaran sederhana dalam bentuk file “.doc”, “.xls”, “.pdf” yang dimaksud informasi elektronik adalah kata-kata, kalimat, paragraph, Universitas Sumatera Utara angka, data, atau font yang terdapat dalam file-file tersebut, sedangkan dokumen elektroniknya adalah “.doc”, “.xls”, “.pdf”. begitu juga dengan gambar, video, atau suara. Gambar dalam bentuk “.jpg”, video dalam bentuk “.flv”, atau suara dalam bentuk “.mp3” merupakan informasi elektronik, sedangkan format dari “.jpg”, “.flv”, “.mp4” merupakan dokumen elektronik. Selain perbedaan tersebut tampaknya tidak ada perbedaan yang esensi dari informasi elektronik dan dokumen elektronik. 4. Muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik Unsur “muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik”yang diatur dalam pasal 27 ayat 3 undang-undang ITE ini juga mengacu pada KUHP sebagai mana sempat disebutkan pada awal pembahasan pasal ini. 56 Namun sebelum kita membahas lebih lanjut mengnai penghinaan yang dimaksud dalam pasal ini, ada baiknya untuk diterangkan terlebih dahulu apakah yang sebenarnya diartikan dengan “penghinaan” itu. “Menghina” yaitu menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Subjek yang diserang tersebut biasanya merasa malu atau dengan kata lain penyerangan nama baik hanya dapat dirasakan oleh korban dan sifatnya subjektif. Kehormatan yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang nama baik bukan kehormatan dalam arti kehormatan seksual. 57 Dari uraian tersebut, maka terlihatlah bahwa perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya yang 56 Ibid., hlm. 178. 57 Budi Suhariyanto, Op Cit, hlm. 118-119. Universitas Sumatera Utara ada dalam pasal ini haruslah dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui umum. Orang tersebut haruslah pribadi kodrati naturelijke person dan bukan badan hukum rechts person. Karena berdasarkan sifat yang ada pada badan hukum , badan hukum tidak mungkin memiliki perasaan terhina atau nama baiknya tercemar mengingat pada dasarnya badan hukum merupakan abstraksi hukum. Meskipun badan hukum dipresentasikan oleh para pengurusnya yang resmi bertindak atas nama badan hukum tersebut, tetapi delik penghinaan ini hanya dapat ditujukan pada pribadi kodrati , sama seperti pembunuhan ataupun penganiayaan yang tidak mungkin dapat dilakukan terhadap badan hukum. Hal lain yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa delik penghinaan dalam undang-undang ini bersifat subjektif sama halnya dengan pengaturan penghinaan dalam KUHP. Maksudnya adalah perasaan telah terserangnya nama baik atau kehormatan seseorang hanya ada pada korban. Korbanlah yang dapat menentukan bagian mana dari informasi atau dokumen elektronik tersebut yang menyerang kehormatan atau nama baiknya. Akan tetapi criteria yang subjektif ini juga harus diimbangi dengan kriteria-kriteria yang lebih objektif. Tenpa kriteria yang lebih objektif maksud dari perlindungan hukum yang diberikan oleh pasal 27 ayat 3 undang-undang ini akan dapat dengan mudah disalahgunakan. Kriteria-kriteria tersebut dapat dibangun berdasarkan kejelasan identitas orang yang dihina dan juga muatan dari informasi atau dokumen Universitas Sumatera Utara elektronik yang dianggap menghina atau mencemarkan nama baik seseorang. Sebagaimana telah disampaikan berulang kali, bahwa karakteristik yang paling mencolok dalam dunia siber sendiri adalah setiap orang dapat menjadi siapa saja yang diinginkannya tergantung pada indentitas yang digunakannya dalam dunia siber tersebut, misalnya 13ent03L_toedjoeh, atau identitas identitas palsu lain. Oleh karena itu, dalam mempermasalahkan konten yang diduga memiiki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik ada beberapa hal yang perlu ditelaah, yaitu : 58 a. Dalam konten yang dipermasalahkan harus ada kejelasan dari identitas orang yang dihina. Identitas tersebut harus mengacu kepada orang pribadi natural person tertentu dan bukan kepada badan hukum recht person, kepada orang secara umum, atau kepada sekelompok orang berdasarkan suku, agama, ras, atau pun antar golongan. Identitas tentunya dapat berupa gambar foto, nama pengguna dalam dunia maya namun juga harus memiliki kejelasan, riwayat hidup eseorang, atau informasi lain yang berhubungan dengan orang- orang tertentu yang dimaksud. b. Dalam hal identitas yang dipermasalahkan bukanlah identitas asli, maka perlu ditentukan bahwa identitas tersebut memang mengacu pada korban, dan bukan pada orang lain. c. Identitas tersebut ~ meskipun bukan identitas asli ~ diketahui oleh umum bahwa identitas tersebut mengacu kepada orang yang dimaksud korban dan bukan orang lain. Prinsip ini penting mengingat bawha esensi dari tindak pidana ini adalah menyerang kehormatan orang lain untuk diketahui umum. Sebagai contoh, ketika ada seorang dalam akun media sosialnya dengan nama akun jojo_unyu hendak menuliskan hinaan terhadap 58 Josua Sitompul, Op. Cit., hlm.. 179-180 Universitas Sumatera Utara seorang temannya yang dapat kita sebut Mr.X, dia membuat tulisan pada akunya yang berisi “dasar manusia tolol.. ngakunya anak terdidik, tapi toh kelakuan kayak binatang liar” dari tulisan tersebut, terlihat bahwa pada tulisan dari pengguna akun jojo_unyu tidak didapati subjek tertentu dalam kalimat itu, maka konten yang dibuat pada media sosial itu tidaklah dapat digolongkan sebagai muatan penghinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat 3. Apabila memang ada seseorang yang merasa bahwa kalimat tersebut memang ditujukan kepada dirinya ~ kecuali pelaku mengaku demikian ~ diperlukan usaha yang besar untuk mengaitkan antara konten serta tujuan penulisannya bahwa memang tulisan tersebut ditujukan kepada Mr.X. Kriteria yang lebih objektif untuk menilai hubungan antarra muatan informasi atau dokumen elektronik yang dianggap menghina atau mencemarkan nama baik seseorang dan korban dapat dibangun berdasrkan konten dan konteks dari tiap-tiap kasus. Konten yang dipermasalahkan dapat dinilai dari sisi sosial maupun psikologi. 59 Dalam penerapannya, pasal 27 ayat 3 ini telah memberikan kekhuatiran kepada masyarakat. Masyarakat beranggapan bahwa adanya pengaturan ini hanya menjadikan kebebasan berekspresi dari masyarakat menjadi terkekang. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh aktivis blogger, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia PBHI, Aliansi Jurnalis Independen AJI, serta Lembaga Bantuan Hukum Pers yang mengajukan permohonan uji materiil 59 Ibid. hlm., 180-181 Universitas Sumatera Utara terhadap pasal 27 ayat 3 undang-undang ITE ini kepada Mahkamah Konstitusi MK. MK sendiri telah menyatakan bahwa pengaturan tersebut konstitusional sebagaimana tertera dalam putusan MK Nomor 50PUU-VI2008 dan Nomor 2PUU-VIII2009. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas dari pasal 27 ayat 3 undnag-undang ITE, yaitu , antara lain : bahwa penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan tidak boleh tercederai oleh tindakan-tindakan yang mengusik nilai-nilai kemanusiaan melalui tindakan penghinaanpencemaran nama baik. Kedua, masyarakat internasional juga menjunjung tinggi nilai-nilai yang memberikan jaminan dan perlindungan kehormatan atas diri pribadi, seperti dalam pasal 12 Unversal Declaration of Human Rights UDHR, pasal 17 dan pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR. Ketiga, rumusan KUHP dinilai belum cukup karena unsur “di muka umum” sebagaimana diatur dalam pasal 310 KUHP kurang memadai sehingga perlu rumusan khusus yang bersifat ekstentif yait “mendistribusikan, mentransmisikan, danatau membuat dapat diaksesnya”. Penghinaan yang diatur dalam KUHP dinilai tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber karena ada unsur “di muka umum”. Keempat, rumusan pasal 27 ayat 3 undang-undang ITE ini telah memberikan perlindungan dengan mengatur unsurt “dengan sengaja” dan “tanpa hak”. Kelima, bahwa penafsiran norma yang termuat dalam pasal 27 ayat 3 undang-undang ITE mengenai penghinaan danatau pencemaran nama baik, tidak bisa dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang penghinaan yang termuat dalam pasal 310 Universitas Sumatera Utara dan 311 KUHP, sehingga konstitusionalitas dari pasal 27 ayat 3 undang-undang ITE harus dikaitkan dengan pasal 310 dan 311 KUHP. Pertimbangan MK yang menyatakan bahwa penghinaan dalam KUHP tidak dapat menjangkau tindak pidana penghinaan dan.atau pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber karena ada unsur “di muka umum.” Perlu dimaknai dengan hati-hati. Lebih lengkapnya menurut Mahkamah Konstitusi “dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” dalam pasal 310 KUHP mencakup ekspresi dunia maya? Memasukkan dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” sebagaimana dalam KUHP, secara harafiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstentif yaitu kata “mendistribusikan” danatai “mentransmisikan” danatau “membuat dapat diakses”. Pendapat Mahkamah Konstitusi “secara harafiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstentif” adalah tepat sepanjang maksudnya ialah bahwa penghinaan dalam dunia siber tidak dapat dilakukan di muka umum dalam konteks yang konvensional yang terjadi dalam dunia nyata, yaitu di hadapan orang banyak secara fisik. Pasal 310 dan 311 KUHP merupakan pengaturan yang dibuat dalam zaman paper based dunia yang masih dalam basis kertas sebagai sarana tulisan yang paling utama. Mungkin pendapat undang-undang pada waktu itu belum memikirkan bahwa perkembangan Universitas Sumatera Utara teknologi dapat memfasilitasi tindak pidana penghinaan yang paperless penghinaan tanpa menggukanak media kertas, seperti dalam internet. Akan tetapi, dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa unsur “di muka umum” atau “diketahui oleh umum” dapat digantikan dengan unsur “mendistribusikan”, “mentransmisikan”, dan “membuat dapat diaksesnya” maka pendapat tersebut menjadi tidak sesuai dengan esensi dari pengaturan penghinaan atau pencemaran nama baik yang diatur dalam pasal 310 dan 311 KUHP. Dengan kata lain, urgensi pasal 27 ayat 3 undang-undang ITE bukanlah terletak pada tidak dapat dipenuhinya unsur “di muka umum” sebagaimana dimaksud dalam pasal 310 KUHP, melainkan pada bentuk “di muka umum” yang dimaksud dalam pasal 27 ayat 3 undang-undang ITE ialah dalam konteks dunia siber, dan bukan dunia nyata, yaitu informasi atau dokumen elektronik tersebut dapat diakses oleh umum sehingga dengan demikian dapat diketahui oleh umum. Esensi penghinaan baik dalam dunia nyata maupun dalam dunia siber adalah sama, yaitu menyerang kehormatan atau nama baik orang lain untuk diketahui umum atau sehingga diketahui oleh umum. Oleh karena itu unsur “mendistribusikan”, “mentransmisikan”, dan “membuat dapat diaksesnya” dalam pasal 27 ayat 3 undang-undang ITE ialah tindakan-tindakan dalam dunia siber yang dapat mencapai pemenuhan unsur “di muka umum” atau “diketahui umum”. Tindakan “mendistribusikan, mentransmisikan, danatau mebuat dapat diaksesnya” dilakukan dalam rangka atau agar informasi dan atau dokumen elektronik dapat diketahui oleh umum. Dengan demikian unsur “di muka umum” atau “diketahui umum” yang penjadi esensi pasal 310 KUHP menjadi satu ruh Universitas Sumatera Utara dalam pasal 27 ayat 3 undang-undang ITE, sehingga haus tetap dibuktikan terpenuhinya unsur tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan transmisi adalah mengirimkan dari satu tempat atau orang kepada tempat atau orang lain. Jika unsur ini di terpakan secara harafiah, maka pengiriman pesan singkat dari satu orang kepada orang lain yang berisi penghinaan telah memnuhi unsur “mentransmisikan”. Akan tetapi pada hakikatnya tidak ada unsur penghinaan di sana karena penghinaan tersebut tidak diketahui umum. Demikian juga tindakan berupa pengiriman email dari satu orang kepada satu orang lain. Maksud unsur “mentransmisikan” dalam pasal 27 ayat 3 undang-undang ITE ialah mengirimkan informasi atau dokumen elektronik dari satu orang atau satu tempat ke tempat lain sehingga diketahui oleh umum. 60 60 Ibid., 181-184 Universitas Sumatera Utara

BAB III ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Dokumen yang terkait

Pencemaran Nama Baik Melalui Situs Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

1 37 128

Pencemaran Nama Baik Melalui Situs Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 35 128

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKT

0 6 20

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKT

0 8 66

EKSISTENSI PASAL 27 AYAT (3) UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 DALAM PERKARA PENCEMARAN NAMA BAIK.

0 4 17

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA ELEKTRONIK DALAM UNDANG -UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

4 5 20

TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK DI MEDIA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

0 1 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Keabsahan Informasi pada Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

0 0 19

PENERAPAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA ELEKTRONIK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR: 390Pid.B2014PN.Mks.)

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG - Penerapan Hukum Dalam Memberikan Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial Elektronik Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik (Putusan Nomor 390/Pi

0 0 15