BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis moneter yang menghantam Indonesia pada pertengahan tahun 1997 membawa imbas serius terhadap kondisi sektor finansial, terutama dunia
perbankan. Ketika itu, bank-bank umum nasional mengalami kesulitan likuiditas atau solvabilitas akibat terganggunya Pasar Uang Antar Bank PUAB. Sejumlah
langkah penyelamatan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter tak mempan menahan terjadinya kekeringan likuiditas di industri
strategis tersebut. Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan pun jatuh pada titik terendah. Pasca kerusuhan massal pada Mei 1998, para nasabah hampir di
seluruh wilayah tanah air menarik dananya secara besar-besaran dari bank rush. Akibatnya, kondisi bank di tanah air pun semakin terpuruk. Kondisi pelik ini
berlanjut sampai akhir tahun 1998 dengan 16 bank terpaksa ditutup oleh pemerintah Rudjito, 2011.
Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran
bank, termasuk simpanan masyarakat penjaminan dalam bentuk blanket guarantee. Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998
tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban
Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri
Universitas Sumatera Utara
perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun dari masyarakat.
Salusra Satria dalam 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan, 2011 : 154 menyatakan bahwa
kebijakan darurat yang diambil dalam masa krisis itu adalah pelajaran berharga yang tidak boleh diulang kembali. Pertama,
penjaminan menyeluruh memberatkan anggaran negara dan menjadi kebijakan yang mahal. BPPN yang dibentuk waktu itu sifatnya
hanya ad hoc, tidak dirancang sejak awal dan dipenuhi ketentuan yang serba mendadak. Kedua, penjaminan menyeluruh dapat
menimbulkan moral hazard bagi pemilik bank dan pelaku industri perbankan. Hal tersebut bisa membuat para bankir bertindak dengan
mengabaikan prnsip kehati-hatian, tidak terpuji serta penuh resiko karena merasa telah ada penjaminan dana nasabah sepenuhnya oleh
pemerintah.
Upaya untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, maka program
penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut blanket guarantee perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas limited guarantee. Dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan LPS sebagai
pelaksana penjaminan dana masyarakat. Tujuan dari dibentuknya lembaga tersebut menurut konsultan LPS, Paul Sachtleben dalam endorsement LPS yang
Terbuka, Energik dan Teorganisir 2011 : 149 adalah memberi jaminan pada para deposan yang jumlahnya banyak sekali agar bisa ikut menjaga kestabilan sistem
perbankan di suatu negara” Rudjito, 2011. Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia
mengesahkan UU No. 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang tersebut, LPS merupakan suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam
memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya www1.lps.go.idinwebguestsejarah.
Dr. Zulkarnaen Sitompul, SH, LL.M. dalam Pentingnya Keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Sistem Perbankan, 2007 : 2 menyatakan
bahwa alasan dasar rationale bagi pemerintah untuk memfasilitasi
pendirian Lembaga Penjamin Simpanan LPS adalah kepercayaan pada industri perbankan sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi
dan pada sistem perbankan yang diawasi secara baik dapat meminimalkan terjadinya kebangkrutan bank, dan kebangkrutan itu
sendiri dapat diprediksi dan merupakan kejadian yang dapat dicegah. Selain itu, kesetaraan sosial juga merupakan pertimbangan.
Perlindungan nasabah kecil dari bankir yang tidak bertanggungjawab merupakan suatu pendekatan yang adil dan tepat.
Indonesia perlu memiliki sebuah lembaga penjamin untuk menopang stabilitas sektor keuangan, khususnya industri perbankan. Kehadiran LPS yang
UU-nya disahkan pada 22 September 2004 semestinya sejak sebelum itu. Pasalnya, sejumlah negara sudah memilikinya sejak lama, seperti Amerika Serikat
pada tahun 1933 dan Filipina tahun 1963. Pada masa mendatang, LPS perlu lebih dikenal oleh masyarakat tidak hanya dalam hal peran saja, tetapi juga dalam tugas,
dan fungsinya. Hal ini menjadi penting karena banyak nasabah yang tidak tahu bahwa dirinya masuk kategori pihak yang diuntungkan secara tidak wajar
danatau pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat. Adanya persepsi keliru tentang LPS, ternyata pada awalnya tidak semua
institusi keuangan di Indonesia menganggap LPS sebagai full deposit insurance.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Krisna Wijaya 2011 : 136 bahwa “Masih terbayang bahwa LPS ini hanya kepanjangan dari BPPN dan BI sebagai pay box
system”. Oleh sebab itu, LPS harus dipahami tidak hanya sebagai pay box lembaga pembayaran jika ada klaim dari deposan saja, namun harus full deposit
insurance. Karakter penjaminan yang dilakukan LPS di dalam negeri dengan yang
ada di luar negeri berbeda dalam hal struktur simpanannya, karena di luar negeri simpanan dalam bentuk giro dan tabungan paling banyak, sedangkan di dalam
negeri karakternya hampir mayoritas nasabah bank atau kurang lebih 99 persen dari jumlah nasabah adalah penabung kecil di bawah Rp. 100 juta, dimana total
dana yang terhimpun hanya mencakup 21 persen dari keseluruhan dana pihak ketiga DPK di bank-bank.
Terkait citra LPS di mata publik, memang hal yang relatif menantang karena Indonesia merupakan negara besar dengan penduduk yang tersebar di
berbagai pulau. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Paul Sachtleben 2011 : 151, bahwa “Untuk sekitar Jakarta dan kota besar tentu lebih paham fungsi dan peran
LPS. Tapi baik juga kalau menyebarkan pengetahuan ke komunitas yang lebih luas”.
Sosialisasi dan publikasi mengenai apa sosok, peran, fungsi, dan kebijakan LPS ke berbagai lapisan masyarakat telah gencar dilakukan oleh LPS. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan Pontas 2011 : 144, bahwa “Strategi menyapa publik terutama kalangan perbankan, pemangku kepentingan, perguruan tinggi,
dan nasabah harus dipilih yang paling efektif, misalnya melalui news letters
Universitas Sumatera Utara
sebagai media komunikasi”. Begitu juga diperkuat dengan pernyataan dari Kepala Eksekutif LPS, Mirza Adityaswara, Beliau mengatakan bahwa, “Setiap bank
peserta penjaminan wajib menempatkan pengumuman pada seluruh kantor bank yang dapat diketahui dengan mudah oleh nasabah penyimpan mengenai tingkat
bunga yang dianggap wajar yang ditetapkan LPS dan maksimum nilai simpanan yang dijamin LPS”.
Dari permasalahan-permasalahan diatas, penulis merasa tertarik untuk membahas masalah tersebut dalam sebuah karya tulis berbentuk skripsi dengan
judul : “Analisis Tingkat Pemahaman Nasabah Bank di Kota Medan Terhadap Lembaga Penjamin Simpanan”
.
1.2 Perumusan Masalah