Institusi Pengelolaan Air di Kawasan Pemukiman Kumuh Perkotaan
Potensi Konflik Pemanfaatan Air Bersih
Jaminan Ketersediaan Air
Distribusi Air Bersih
Alokasi Air Bersih
Stakeholders yang Berperan Langsung
dalam Manajemen Air di Kawasan Permukiman Kumuh
Pemerintah Daerah
Perusahan Daerah Air Minum
Pengurus RTRW
Swasta Pedagang Air
Analisis Prioritas Faktor-Faktor Pengelolaan Air di Kawasan
Permukiman Kumuh Perkotaan Analisis Prioritas Aktor-Aktor
Pengelolaan Air di Kawasan Permukiman Kumuh Perkotaan
Rekomendasi Pengembangan Institusi Lokal dalam Pengelolaan Air di Kawasan
Permukiman Kumuh Perkotaan
Gambar 2. Bagan Alir Strategi Penelitian
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dan rekomendasi dalam pengembangan institusi pengelolaan air di kawasan permukiman kumuh
perkotaan khususnya di DKI Jakarta, sehingga diharapkan akan diperoleh bentuk kebijakan yang mampu menjamin terciptanya pengelolaan sumber air minum di
kawasan permukiman kumuh perkotaan secara berkelanjutan dan menghindari
terjadinya konflik antar pengguna air dalam pemanfaatan sumber air minum di kawasan permukiman kumuh.
1.6. Kebaruan Novelty
Kebaruan novelty dalam penelitian ini mencakup dua hal, yaitu dari segi pendekatan dan dari segi hasil. Dari segi pendekatan menggunakan analisis secara
komprehensif dengan pendekatan proses hirarki analisis atau AHP analytical hierarchy process
untuk menentukan prioritas faktor dan aktor yang berperan untuk membangun institusi lokal dalam pengelolaan sumberdaya air di kawasan
permukiman kumuh. Kebaruan dari segi hasil dapat dilihat dari rumusan kebijakan pengembangan institusi lokal menjadi salah satu hal penting dalam
mengelola sumberdaya air di kawasan permukiman kumuh perkotaan secara berkelanjutan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Permukiman Kumuh di Jakarta
Permukiman kumuh di DKI Jakarta telah ada sejak zaman kolonial tahun 1920, berupa kantong-kantong permukiman di tengah kota dengan kondisi buruk
dan sering mengalami kebanjiran. Hal ini dikarenakan pembangunan perumahan yang ada hanya diperuntukkan bagi orang Eropa, antara lain di daerah
Pegangsaan, Kramat, Raden Saleh, Cikini yang saat ini menjadi perumahan elit. Kantong-kantong permukiman kumuh terbentuk di sebelah permukiman elit
dengan penghuni Bumi Putra. Kondisi ini diperburuk dengan perhatian pemerintah Belanda yang sangat terbatas terhadap permukiman kumuh, sehingga
secara alamiah permukiman kumuh terus berkembang sampai sekarang. Ketimpangan ini sangat mencolok apabila ditinjau dari segi jumlah penduduk
Bumi Putra jauh lebih banyak dibanding orang Eropa. Jumlah penduduk di DKI Jakarta saat itu 310.216 jiwa, terdiri atas bangsa Eropa 29.216 jiwa 9,41, Cina
40.000 jiwa 12,89, Bumi Putra 228.000 jiwa 73.49 dan Arab 13.000 jiwa 4,21. Memburuknya kondisi kampung kumuh di Jakarta, menyebabkan
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 menyusun rencana perbaikan kampung secara sistematis dengan sasaran perbaikan jalan, saluran air, prasarana
mandi dan cuci umum Dinas Tata Kota DKI Jakarta, 1995. Pada tahun 1990,
pertumbuhan populasi rata-rata Indonesia per tahun sekitar 1,7 persen, sementara itu populasi kota tumbuh tiga kali lebih cepat sekitar 4,4 persen. Tren ini
memperkirakan akan ada 167 juta penghuni kota pada tahun 2025, diproyeksikan dari 275,6 juta total populasi. Dari seluruh Indonesia, 8 kota utama – 5 berada di
pulau Jawa – masing-masing menampung lebih dari sejuta orang, sekitar 12 persen dari jumlah total populasi negara. Jakarta, ibukota Negara ini merupakan
pusat megalopolis Jabotabek dan dihuni sekitar 9,2 juta orang. Estimasi
penduduk Indonesia – yang memiliki 13.667 pulau tersebar pada area seluas 1.919.440 kilometer persegi serta memiliki lebih dari 300 suku bangsa – saat ini
adalah sekitar 210 juta, 60 persen tinggal di pulau Jawa. Dari total penduduk, andil perkotaan pada akhir tahun 1999 berjumlah 82,5 juta atau 39,8 persen tabel-
tabel SIMA, Word Bank, dan sekitar 40,34 persen di tahun 2000 USDU, 2003. Jika rata-rata pertambahan penduduk keseluruhan antara 1990 dan 1999 adalah