Permukiman Kumuh di Jakarta

1,6 persen, maka penduduk perkotaan tumbuh hamper tiga kali lebih cepat, sekitar 4,4 persen sepanjang decade yang sama. Seperti umumnya negara-negara berkembang, Indonesia mengalami proses urbanisasi secara terus-menerus; dari perkiraan penduduk total 275,6 juta pada tahun 2025, sekitar 167,4 juta akan merupakan penduduk kota. Prakiraan ini mempertegas pergeseran demografis yang dramatic dari jumlah penduduk perkotaan yang di bawah 20 persen di tahun 1975 ke 60 persen lima puluh tahun kemudian USDU, 2003. Ciri dari permukiman kumuh adalah : a sebagai permukiman yang berpenghuni padat, b kondisi sosial ekonomi umumnya rendah, c jumlah rumah sangat padat, dan ukurannya di bawah standar, d prasarana lingkungan hampir tidak ada, atau tidak memenuhi persyaratan teknis, kesehatan dan lingkungan, e umumnya dibangun di atas tanah negara atau milik orang lain melalui pendudukan sepihak, f tumbuh tidak terencana, serta umumnya berada di lokasi strategis, di pusat pusat kegiatan kota Dinas Tata Kota DKI Jakarta, 1995 Salah satu faktor utama pemicu terjadinya permukiman kumuh adalah tingginya laju urbanisasi. Urbanisasi telah terjadi pada masa pendudukan Jepang. Ribuan orang dari pedesaan yang memasuki kota Jakarta untuk mempertahankan hidup, karena saat itu keamanan di daerah terancam. Tahun 1942, Batavia jatuh ke bala tentara Jepang, saat itu terjadi penurunan kualitas hidup, sehingga menimbulkan kemelaratan masyarakat. Saat itu mulailah terjadi penyerobotan lahan secara liar oleh masyarakat. Untuk kepentingan angkatan perang Jepang, maka Jepang merestui atas penyerobotan tanah tersebut, dan kemudian di atas lahan itu berdiri ribuan permukiman kumuh. Setelah kemerdekaan, urbanisasi ke Jakarta semakin pesat dan terkesan tidak terkendali, dengan harapan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik. Diperkirakan antara tahun 1948-1951, migrasi dan urbanisasi rata-rata 118.563 jiwa per tahun. Pada tahun 1950 penduduk Jakarta telah mencapai dua juta jiwa Dinas Tata Kota Jakarta,1995. Para pendatang tersebut membangun koloni permukiman kumuh di lahan-lahan tidak sah di berbagai sudut kota. Ribuan hektar tanah negara, swasta dan perorangan ditempati secara tidak sah, yang mengganggu dalam penataan ruang kota. Para pendatang tersebut secara turun-temurun berkembang ditambah dengan turut sertanya keluarga dari desa bergabung menyebabkan koloni permukiman kumuh semakin membesar. Penghuni permukiman kumuh umumnya berpendidikan dan berpenghasilan rendah dengan jenis pekerjaan informal tidak tetap, sehingga sangat sulit untuk berkembang dan membangun permukimannya dengan baik dengan kemampuan sendiri. Tanah-tanah yang tidak terurus berubah menjadi perkampungan sesak dan kumuh. Dalam kurun waktu tertentu permukiman kumuh menjadi sangat sulit ditangani dan berkembang menjadi suatu permukiman kumuh yang cukup luas. Pada tahun 1996 luas permukiman kumuh di DKI Jakarta mencapai 2.826,11 Ha atau 11,34 dari luas lahan permukiman di Jakarta, dan diketagorikan sebagai permukiman kumuh berat seluas 464,51 ha 16,49, kumuh sedang seluas 1.847,84 ha 65,62, dan kumuh ringan seluas 503,76 ha 17,89. Jumlah rumah di permukiman kumuh adalah 174.142 unit, sedang jumlah penduduknya adalah 891.823 jiwa 210.833 rumah tangga dengan anggota rumah tangga rata-rata 4,22 jiwa. Artinya rata-rata tiap satu unit rumah dihuni oleh 1,2 rumah tangga Dinas Tata Kota DKI Jakarta,1995. Urbanisasi telah mengakibatkan angka absolut masyarakat miskin kota meningkat sebagian besar karena terjadinya migrasi masyarakat miskin desa. Sekitar 50 persen penduduk dari populasi kota termasuk miskin atau rentan terhadap kemiskinan. Masyarakat miskin kota termarginalisasi dan rentan dengan terbatasnya akses untuk mendapatkan lahan, perumahan dan layanan terhadap kebutuhan dasar. Mereka pun menderita karena ketidak jelasan ekonomi, financial, social dan kebutuhan fisik. Devolusi telah meninggalkan pemerintah dengan tanggung jawab yang besar untuk mengentaskan kemiskinan. Namun, pemerintah daerah memiliki pengertian yang terbatas atas kemiskinan kota yang multi-dimensi sehingga mempersulit mereka untuk mengembangkan program pengentasan kemiskinan yang tepat sasaran, dan untuk memonitor perkembangannya. Selain itu, kebanyakan tidak memiliki kapasitas kelembagaan dan keuangan yang memadai untuk memenuhi tanggung jawab tambahan ini. Oleh sebab itu, program-program kemiskinan yang ada kebanyakan didanai oleh pemerintah Indonesia dan donor-donornya; sementara pelaksanaannya merupakan project basis . Dengan demikian kemampuan untuk dapat berlanjut diragukan pada saat proyek dan bantuan dana telah berakhir USDU, 2003.

2.2. Kebutuhan dan Kualitas Air Bersih di Permukiman Kumuh.

Kebutuhan air dalam rumah tangga, dapat dibedakan menurut tingkat sosialnya. Saeni 1989 mengemukakan bahwa kebutuhan air rata-rata untuk suku primitif adalah 5 literhariorang, kebutuhan air penduduk di negara yang sedang berkembang rata-rata 12 literhariorang. Kebutuhan air untuk negara maju lebih besar dari negara berkembang. Untuk negara maju kebutuhan air rata-rata per orang 800 liter, di Indonesia rata-rata 65 liter per hari. Kebutuhan air pada permukiman kumuh, bila menggunakan standar rata- rata kebutuhan air di Indonesia per hari tiap orang adalah 40 liter. Apabila mengacu bahwa rata-rata jumlah jiwa per keluarga di Jakarta pada tahun 1996 seperti pada Tabel 1 adalah sebesar 4,22 jiwa, maka per keluarga per hari membutuhkan air sebesar 168,8 liter, berarti per bulan diperlukan 5.064 liter. Keluarga sederhana memerlukan air rata-rata per orang 90 liter untuk mandi, cuci, menyiram bunga, memasak, dan untuk kebutuhan tubuhnya sendiri. Wardhana 1999 mengemukakan bahwa kebutuhan air bersih orang Indonesia di perkotaan mencapai 150 literhariorang yang perinciannya seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Standar kebutuhan air bersih perorang perhari bagi penduduk Indonesia No Keperluan Air yang dipakai liter Keterangan 1 Minum 2, 0 Minum dan 2 Memasak, kebutuhan dapur 14,0 Masak 16,5 liter 3 Mandi, kakus 20,0 Kebutuhan lain : 4 Cuci pakaian 13,0 135,5 liter 5 Air Wudhu 15, 0 6 Airuntuk kebersihan rumah 32,0 7 Air untuk menyiram tanam 11,0 8 Air untuk memcuci kendaraan 20,0 9 Air untuk keperluan lain 20,0 Jumlah 150,0 150 liter Sumber : Wardhana,1999 Kaum miskin perkotaan kurang tercukupi kebutuhannya atas pelayanan kebutuhan dasar mereka, seperti air bersih, sanitasi, saluran air dan jalan akses. Walaupun pengaruh krisis ekonomi terhadap penyediaan infrastruktur lingkungan belum sepenuhnya dipahami, bukti-bukti awal menunjukkan keadaan ini dipengaruhi oleh kurangnya bantuan pemerintah baik untuk perawatan infrastruktur yang sudah ada dan investasi baru yang sangat dibutuhkan. Di kebanyakan daerah, keluarga dan orang miskin dapat keluar dari kemiskinan dan mengurangi kerentanan mereka sebagai bagian dari usaha mereka sendiri. Tanggapan keluarga dan masyarakat miskin terhadap masalah dan krisis yang terjadi di lingkungan mereka tergantung oleh asset – tenaga kerja, sumber daya manusia, dan sumber daya social yang mereka dapat gunakan USDU, 2003. Di kawasan permukiman kumuh kebutuhan air cenderung meningkat seiring dengan makin banyaknya jumlah orang yang tinggal di kawasan permukiman kumuh. Banyak kota-kota di Indonesia menghadapi tantangan adanya kekurangan dalam pelayanan kota. Sebagai contoh, pada tahun 1999, hanya 33 persen rumah tangga yang bias dilayani oleh air bersih; kurang dari 1 persen dari seluruh rumah tangga di seluruh kota dihubungkan dengan pipa air bersih. Air permukaan dan air tanah terkontaminasi, meluasnya sedotan air tanah telah menambah persoalan lingkungan yang besar di perkotaan. Tidak ada laporan yang pasti mengenai drainase perkotaan atau pengendalian banjir, tetapi informasi terbatas menunjukkan kesenjangan sedang berlangsung di berbagai area. Lingkup pengelolaan sampah relative cukup baik, jika tidak, itu terjadi di seluruh Indonesia. Tetapi pembuangan akhir masih menjadi masalah baik jumlahnya maupun kualitasnya. Transportasi kota juga terjadi layanan yang sangat kurang, walaupun jalan-jalan utama ada perbaikan dan perluasan antara tahun 1980an – 1990an. Kemacetan lalu lintas adalah persoalan yang besar di sebagian besar kota dan transportasi umum tidak bias diandalkan. Pembangunan dari semua pelayanan menjadi semakin terhenti akibat krismon USDU, 2003. Kepadatan penduduk yang tinggi di kawasan permukiman kumuh menyebabkan terjadinya pencemaran pada sumber airnya, terutama limbah rumah tangga. Di kawasan permukiman padat penduduk dengan tingkat sanitasi lingkungan yang rendah sering ditemukan pencemaran akibat buangan limbah rumag tangga, misalnya ditemukannya bakteri Escherichia coli di sumber air yang digunakan oleh penduduk. Effendi 2003 menyebutkan bahwa E.coli adalah salah satu bakteri coliform tidak berbahaya yang ditemukan dalam tinja manusia, sehingga keberadaan E.coli secara melimpah menunjukkan bahwa perairan tersebut tercemar oleh manusia.