Pengembangan Institusi Lokal Bagi Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Air di Permukiman Perkotaan

(1)

DI PERMUKIMAN PERKOTAAN

Studi Kasus Permukiman Kumuh di Propinsi DKI Jakarta

H.R. SUNARTOPO. SK

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Pengembangan Institusi Lokal Bagi Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Air di Permukiman Perkotaan : Studi Kasus Permukiman Kumuh di Propinsi DKI Jakarta adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Nopember 2006

H R. Sunartopo S.K NRP. 99523208


(4)

Pemanfaatan Sumberdaya Air di Permukiman Perkotaan : Studi Kasus Permukiman Kumuh di Propinsi Jakarta. Dibimbing oleh HADI S ALIKODRA, KOOSWARDHONO MUDIKDJO, ANDI GUNAWAN, dan HIKMAT RAMDAN.

Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta memiliki daya tarik ekonomi kuat bagi masyarakat daerah di luar Jakarta untuk berurbanisasi. Laju urbanisai yang tinggi meningkatkan luasan lahan permukiman kumuh di perkotaan. Peningkatan jumlah penduduk dan permukiman meningkatkan kebutuhan air bersih di kota Jakarta. Permasalahan air bersih di permukiman kumuh memerlukan penataan institusi, termasuk peranan institusi dalam resolusi konflik air di kawasan tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk : (a) menganalisis permasalahan pengelolaan sumberdaya air di kawasan permukiman kumuh perkotaan dan potensi konflik air yang ada di dalamnya; (b) menganalisis prioritas faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan air bersih di kawasan permukiman kumuh perkotaan, dan (c) m enganalisis prioritas aktor-aktor (pelaku) yang berperan dalam pengembangan institusi pengelolaan air di kawasan permukiman kumuh perkotaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan air bersih di permukiman kumuh Jakarta berkaitan dengan kualitas sumber air yang buruk dan tidak memenuhi standar sebagai air baku minum. Penurunan kualitas sumber air tersebut terutama disebabkan oleh adanya limbah rumah tangga yang kepadatan penduduknya tinggi. Faktor prioritas dalam mengembangkan institusi pengelolaan air bersih untuk resolusi konflik di kawasan permukiman kumuh adalah (a) jaminan ketersediaan air bersih yang memenuhi kebutuhan penduduk, (b) alokasi air yang menjamin pemerataan air diantara pengguna air, dan (c) distribusi air bersih yang menjangkau kebutuhan penduduk. Adapun prioritas aktornya adalah : (a) pemerintah daerah yang bertanggung-jawab dalam menjamin ketersediaan air bersih dan mengalokasikan penggunaan air yang merata diantara pengguna air di kawasan permukiman kumuh perkotaan, (b) perusahaan daerah air minum yang berperan dalam mengolah air dan mendistribusikannya kepada pelanggan sesuai dengan kebutuhan penduduk dan memenuhi syarat air baku minum sebagaimana yang telah ditetapkan, (c) rukun warga berperan dalam mengantisipasi terjadinya konflik di lapangan, serta sebagai mediator pertama apabila konflik air terjadi diantara pengguna, penyedia, dan pengelola air di kawasan permukiman kumuh; dan (d) swasta/pedagang air berperan sebagai penyedia air bersih di lokasi yang tidak terjangkau oleh jaringan pipa PDAM.


(5)

SUNARTOPO. Developing Local Institution for Conflict Management on Uses of Water Resources in Urban Settlement : A case study of Jakarta Slum Areas. Under the direction of HADI S ALIKODRA, as the Chairman, KOOSWARDHONO MUDIKJO, ANDI GUNAWAN and HIKMAT RAMDAN.

The Greater Jakarta, has some one attracting factors in economy for people living outside of it. Such factors often cause many people to migrate to the capital. Consequently, such high migration widens slum areas in the capital. Besides, the increase of the number of people and the slum areas impacts on the need of clean water. In order to solve the problems regarding the need of clean water, some institutions need to be reorganized, including the role of the institutions in conflict resolution in the areas. The research aims at : (a) analyzing some problem of managing water resources in slum areas in the capital and the potential of conflict related to clean water. (b) analyzing the priority of the factors influencing the management of clean water in slum areas in the city, and conflict. (c) analyzing the priority of actors who has important rules in the problems of the development of the institutions that manage clean water in slums area in the city.

The results of the research reveal that clean water problems in slum areas in the greater Jakarta have something to do with the quality of clean water which is not in line with the standard of drinking water.

Decreasing clean water quality is caused by the household sewage of the densely populated areas. Meanwhile, the priority of factor in developing, the institution that manage clean water in order to solve conflicts in slum area in the city as follow : (a) The guarantee of clean water supply that meets the peoples need, (b) an equal clean water allocation for the consumers, and (c) Clean water distributions that reach the people need, and

Furthermore, the priority of the actors involved in conflict resolution regarding clean water in slum area in the city as follows : (a) local government that is responsible for supplying clean water. (b) local government owned enterprise (PDAM), that plays important rule in processing and distributing clean water to its consumers in accordance with the need and the standard of drinking water. (c) neighbor association in anticipating the occurrence, the supplier and the management of water in slum areas happens, and (d) private sectors/water traders who play the role of supplying clean water in some locations that cannot be reached by PDAM pile line.


(6)

Nama Mahasiswa : H.R Sunartopo S.K

Nomor Pokok : 99523208

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr.Ir.H. Hadi S. Alikodra, MS Ketua

Prof.Dr.Ir. Kooswardhono M, MSc Anggota

Dr.Ir.Andi Gunawan, MSc Dr.Ir.Hikmat Ramdan, M.Si

Anggota Anggota

Diketahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS


(7)

Studi Kasus Permukiman Kumuh di Propinsi DKI Jakarta

H.R. SUNARTOPO. SK

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(8)

Disertasi ini dipersembahkan untuk istri, anak-anakku, dan orang-orang yang saya cintai,

terima kasih atas semua do’a dan segenap dukungannya, semoga Alloh SWT melindungi kita semua.


(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan disertasi ini, sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Disertasi dengan judul : Pengembangan Institusi Lokal Bagi Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Air di Permukiman Perkotaan : Kasus Tentang Permukiman Kumuh di Propinsi DKI Jakarta. ini dilaksanakan dengan bimbingan Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing. Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, MSc, Dr. Ir. Andi Gunawan, MSc, dan Dr. Ir. Hikmat Ramdan, M.Si masing-masing selaku anggota pembimbing.

Penulis menyadari bahwa disertasi mungkin ada kelemahan dan kekurangan untuk itu saran, kritik dan koreksi dari berbagai pihak yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan untuk mengembangkan disertasi ini untuk lebih lanjut. Semoga penulisan ini bermanfaat bagi diri penulis, instansi penulis bekerja, Pemda DKI Jakarta, khususnya Dinas Kimpraswil serta Dinas Instansi terkait, serta dunia usaha dan bagi pihak yang berkenan membacanya. Kepada semua yang telah membantu penyusunan disertasi ini, terutama keluarga penulis dihaturkan terima kasih.

Bogor, Nopember 2006


(10)

Penulis dilahirkan di Surakarta, Jawa Tengah pada tanggal 1 April 1951. Penulis merupakan putra ke 7 (tujuh) dari 8 (delapan) saudara dari keluarga besar Bapak R.M.Haji Sasi Kirono (almarhum) dan Ibunda R.A Hajjah Soenarni (almarhumah).

Penulis menikah dengan Hajjah Yusniar pada tanggal 14 Februari 1980 dengan dikaruniai 3 (tiga) orang anak yaitu : Ipda. Polisi R.Ricky Pratidiningrat Kirana, R.Ronny Zulkarnaen dan Rr. Yuliani Ratuningrum.

Pendidikan penulis dimulai pada tahun 1956 dengan memasuki Sekolah Dasar di Surakarta, Jawa Tengah dan lulus tahun 1962. Lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri I Surabaya tahun 1965 dan menyelesaikan Sekolah Menengah Tingkat Atas Negeri Surabaya tahun 1968. Pada tahun 1970 mengikuti pendidikan AKABRI Umum– Darat di Magelang, selanjutnya di AKABRI bagian Kepolisian dan lulus tahun 1973. Pada tahun 1986 memperoleh gelar Doktorandus (Drs) pada Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dengan menekuni kuliah di Universitas Pattimura – Ambon. Pada tahun 1996 memperoleh gelar Sarjana Hukum dari fakultas Hukum. Pada tahun 1998 memperoleh gelar Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi – Jakarta. Pada tahun 1999 penulis mengikuti program Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Semenjak tahun 2002 penulis sebagai dosen utama pada Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) juga ditunjuk sebagai Staf Ahli pada Kementrian Peranan Perempuan dalam menjalankan Nota Kesepahaman antara Kapolri, Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, selaku pembina dalam pembentukan KPAI (Komisi Perlindungan Anak dan Ibu) pada Kementerian Negara Peranan Perempuan Republik Indonesia.


(11)

PRAKATA

RIWAYAT HIDUP

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN v

I PENDAHULUAN 1

1.1. Pendahuluan 1

1.2. Kerangka Pemikiran 3

1.3. Perumusan Masalah 6

1.4. Tujuan Penelitian 8

1.5. Manfaat Penelitian 9

1.6. Kebaruan (Novelty) 10

II TINJAUAN PUSTAKA 11

2.1. Permukiman Kumuh di Jakarta 11

2.2. Kebutuhan dan Kualitas Air Bersih di Permukiman Kumuh 14

2.3. Konflik Sumber Daya Air 19

2.4. Institusi Lokal dalam Pengelolaan Air 24

III METODE PENELITIAN 29

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 29

3.2. Rancangan Penelitian 30

3.2.1. Analisis Karakteristik Pengguna Air di Kawasan Kumuh Perkotaan

30

3.2.2. Analisis Pengembangan Institusi Pengelolaan Air di Kawasan Permukiman

33

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 36

4.1. Kualitas Air di Kawasan Permukiman Kumuh Perkotaan 36 4.2. Karakteristik Pengguna Air di Kawasan Kumuh Perkotaan 39 4.3. Konflik Pemanfaatan Air di Kawasan Kumuh 49 4.4. Pengembangan Institusi Lokal dalam Pengelolaan Air di Kawasan

Kumuh Perkotaan

52

4.5. Pengembangan Institusi Lokal 59

V KESIMPULAN DAN SARAN 66

5.1. Kesimpulan 66

5.2. Saran 67


(12)

1 Standar Kebutuhan Air Bersih per Orang per Hari Bagi Penduduk Indonesia

14

2 Standar Baku Mutu Kualitas Air 31

3 Skala Penilaian Perbandingan Pasangan 36

4 Kualitas Air Sumur di Empat Kecamatan Lokasi Penilaian 36

5 Parameter Utama Kualitas Air di Lokasi Penelitian 37

6 Presentase Rumah Tangga yang Mempunyai Jarak Sumur ke Penampungan Akhir Tinja < 10 m

39

7 Parameter Rumah Tangga yang Memanfaatkan Sumber Air Minum 41

8 Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Air Sumur untuk Air untuk Minum dan Pendapatan/Pengelolaan Per Bulan

41

9 Karakteristik Pendapatan Responden dan Penggunaan Sumber Air 44

10 Distribusi Rumah Tangga Menurut Luas Lantai 45

11 Pendapatan Responden Serta Tipe dan Luas Bangunan 47

12 Distribusi Rumah Tangga Menurut Jumlah Anggota Rumah Tangga Tahun 2002

48

13 Distribusi Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum Tahun 2002 48

14 Pendapatan Responden dan Kesediaan Membayar Air Per Bulan 51

15 Pihak – pihak Berpotensi Konplik di Permukiman Kumuh Perkotaan 52

16 Tipe Potensi Konflik Antar Aktor di Masing-masing Lokasi 53

17 Prioritas Faktor dan Aktor Pengembangan Institusi dalam Pengelolaan Air di Kawasan Permukiman Perkotaan

58

18 Institusi Lokal di Permukiman Kumuh Terkait dengan Masalah Kualitas Air Buruk (tipe A)

64


(13)

(14)

1 Kerangka Pemikiran Penelitian 6

2 Bagan Alir Strategi Penelitian 9

3 Peta Situasi Lokasi Penelitian 29

4 Hirarki Pengembangan Institusi Lokal dalam Pengelolaa Air Bersih di Kawasan Permukiman Kumuh Perkotaan

34

5 Hirarki Pengelolaan Air Bersih di Kawasan Kumuh Perkotaan 53

6 Keterkaitan Berbagai Pihak dalam Proses Pengembangan Institusi Lokal

59

7 Interaksi Antar Komponen Institusi Lokal Pengelolaan Air 61


(15)

1 Inventarisasi Sumberdaya Air Menurut Sumbernya di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2003

72

2 Pemanfaatan Sumberdaya Air di Provinsi Jakarta Tahun 2003 73

3 Kualitas Air Sumur di Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan 74

4 Kualitas Air Sumur di Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat 75

5 Kualitas Air sumur di Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara 76

6 Kualitas Air Sumur di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat 77

7 Perbandingan Nilai Tingkat Kepentingan Faktor Terhadap Tujuan 78

8 Perbandingan Nilai Tingkat Kepentingan Aktor Terhadap Faktor Jaminan Ketersediaan Air Bersih (JKSA)

79

9 Perbandingan Nilai Tingkat Kepentingan Aktor Terhadap Faktor Alokasi Air Bersih di Kawasan Kumuh (AAB)

80

10 Perbandingan Nilai Tingkat Kepentingan Aktor Terhadap Faktor Distribusi Air Bersih di Kawasan Kumuh (DAB)

81

11 Perbandingan Nilai Tingkat Kepentingan Aktor Terhadap Faktor Resolusi Konflik Pengelolaan Air (RKPA)

82

12 Tipe dan Luas Bangunan Responden 83

13 Penggunaan Air dan Sumber Air yang Digunakan 84

14 Akses Terhadap Sumber Air dan Kesediaan Membayar Air Masyarakat

85

15 Ketersediaan Air dan Jumlah Air yang Digunakan 86


(16)

17 Skala Penilaian Perbandingan Pasangan (Saaty, 1993) 88

18 Hirarki 1. Perbandingan Antara Faktro Terhadap Fokus (Tujuan) 89

19 Hirarki 2. Perbandingan Aktor Terhadap Faktor 90

20 Faktor 2. Alokasi Air Bersih di Kawasan Kumuh 91

21 Faktor 3. Distribusi Air di Kawasan Kumuh (DAB) 92

22 Faktor 4. Resolusi Konflik Pengelolaan Air (RKPA) 93

23 Tahapan Pengelolaan Matriks Berpasangan (Saaty, 1993) 94

24 Nilai R1 pada Ordo Bermatriks n (Saaty, 1993) 95

25 Kuisioner Penggunaan Air di Kawasan Permukiman Kumuh 89

26 Foto-foto kondisi lokasi penelitian 90

27 Peta Lokasi Pemantauan Air Tanah DKI Jakarta 91

28 Peta Zona Kedalaman Air Tanah Dangkal DKI Jakarta 92


(17)

1.1. Latar Belakang

Sumberdaya air merupakan sumberdaya alam pokok yang menyangga kehidupan bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Air adalah kehidupan, juga dalam konteks yang luas. Tidak ada satu negara pun mampu mencapai kestabilan ekonomi dan sosial tanpa jaminan pasokan air bersih. Air dibutuhkan untuk berbagai kebutuhan kegiatan yang bersifat sosial dan ekonomi di tengah masyarakat, baik dipergunakan untuk kebutuhan rumah tangga (domestik), kesehatan, pertanian, dan industri.

Kebutuhan air bersih di perkotaan meningkat sejalan dengan bertambahnya populasi penduduk kota. Selama abad ke-20 jumlah penduduk kota di dunia meningkat lebih dari sepuluh kali, sedangkan di pedesaan meningkat dua kali. Hampir setengah penduduk dunia tinggal di kota, jauh melebihi jumlah penduduk l kota pada tahun 1900 yang kurang dari 15% (UNESCO, 2006). Laju peningkatan jumlah penduduk ini diperkirakan masih bertambah karena pertumbuhan ekonomi yang masih relatif paling tinggi dibandingkan di wilayah pedesaan, sehingga memiliki daya tarik ekonomi bagi penduduk desa (rural) untuk melakukan urbanisasi ke kota. Kondisi ini juga terjadi di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, dimana arus urbanisasi dari daerah ke Jakarta pada tahun 2004 mencapai 63.048 orang (BPS, 2004). Salah satu dampak negatif dari tingginya jumlah urbanisasi tersebut adalah munculnya kawasan permukiman kumuh yang dicirikan antara lain yaitu : (a) permukiman yang berpenghuni padat, (b) kondisi sosial ekonomi penduduk umumnya rendah, (c) jumlah rumah sangat padat dengan ukuran di bawah standar, (d) prasarana lingkungan yang tidak memenuhi syarat teknis dan sanitasi lingkungan, (e) permukiman umumnya tumbuh tidak terencana dan berada dekat dengan pusat kegiatan kota, serta (f) permukiman umumnya dibangun di atas tanah negara atau pihak lain melalui pendudukan sepihak (Dinas Tata Kota DKI Jakarta,1995). Faktor penting yang mendorong kawasan hunian menjadi kumuh adalah harga tanah dan bangunan di kota sangat mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah, akibatnya mereka memanfaatkan tanah orang lain atau pemerintah secara tidak


(18)

sah dan membangun sesuai dengan kemampuan mereka tanpa disertai perencanaan yang memadai, sehingga mengakibatkan permukiman menjadi cepat padat dan kumuh.

Pertumbuhan populasi penduduk dan berkembangnya aktifitas ekonomi tersebut berdampak pada makin meningkatnya kebutuhan air bersih di perkotaan. Kebutuhan air bersih masyarakat kota belum sepenuhnya dapat dipenuhi dengan baik, terutama kelompok masyarakat miskin kota yang tinggal di kawasan permukiman kumuh. Di banyak kota yang berada di negara-negara miskin dan berkembang, antara 25% sampai dengan 50% penduduk mengalami kekurangan air dan buruknya sanitasi lingkungan permukiman (UNESCO,2006). Produksi air yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya di Jakarta sampai dengan pertengahan tahun 2004 baru mampu memenuhi 60% kebutuhan air masyarakat di DKI Jakarta dan sisanya mengandalkan air sumur, air tanah dalam (artesis), dan sungai (BPLHD Jakarta, 2004). Kekurangan air minum terjadi apabila kebutuhan air minum masyarakat melebihi ketersediaan air yang ada. Kekurangan air dapat disebabkan oleh makin berkurangnya debit air atau adanya pencemaran sumber air yang menyebabkan air tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat. Adanya kekurangan air di suatu wilayah dapat memicu terjadinya konflik diantara pengguna air, karena air merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang keberadaannya tidak dapat disubstitusi oleh komoditas lainnya. Semua orang berusaha memenuhi kebutuhan airnya, termasuk mereka yang tinggal di daerah permukiman kumuh yang tingkat ekonomi masyarakatnya rendah.

Ketersediaan, distribusi, dan alokasi air bersih di kawasan permukiman kumuh merupakan permasalahan yang kerap terjadi dan berpotensi menimbulkan konflik diantara pengguna air. Upaya penanggulangan permasalahan air di kawasan permukiman kumuh memerlukan penataan kebijakan, karena kebijakan dibuat untuk mengantisipasi dan menyelesaikan masalah yang ada di dalam suatu komunitas serta menjadi salah satu instrumen dalam pengelolaan sumberdaya air (Ramdan et al., 2003). Upaya resolusi konflik air di kawasan permukiman kumuh dapat dilakukan dengan menata institusi atau kelembagaan pengelolaan airnya. Bandaragoda (2000) menyebutkan bahwa institusi memiliki fungsi penting dalam


(19)

memfasilitasi resolusi konflik pengelolaan air. Pengembangan institusi lokal dalam pengelolaan air menjadi alternatif penting untuk menjamin ketersediaan air bersih bagi masyarakat di kawasan permukiman kumuh dan menghindari terjadinya konflik air diantara pengguna air.

1.2. Kerangka Pemikiran

Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sebagai ibukota negara yang menjadi pusat kegiatan ekonomi skala nasional telah menjadi daya tarik ekonomi bagi orang di daerah untuk berurbanisasi. Mereka berharap di pusat ekonomi tersebut akan mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Bagi masyarakat dengan tingkat pendidikan, ketrampilan, dan akses pekerjaan yang cukup memadai tidaklah menjadi permasalahan. Sebaliknya bagi mereka yang datang tanpa bekal pendidikan, keterampilan, dan akses pekerjaan yang cukup akan menimbulkan permasalahan tersendiri. Keterbatasan sumberdaya dan akses pekerjaan yang terbatas bagi kelompok urban telah menciptakan kelompok miskin perkotaan. Pada umumnya mereka tinggal di kawasan permukiman kumuh yang dibangun tanpa rencana dengan infrastruktur fisik lingkungan yang minim, misalnya sumber air bersih. Ketersediaan dan akses air bersih di kawasan permukiman kumuh merupakan permasalahan yang terjadi di banyak negara. Masyarakat di kawasan permukiman kumuh yang umumnya merupakan masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah senantiasa berusaha memanfaatkan sumber air yang ada di sekitarnya dengan korbanan ekonomi serendah-rendahnya dan pengolahan air seminimal mungkin, sehingga standar baku air bersih kurang diperhatikan.

Pengguna air berusaha mendapatkan air bersih disesuaikan dengan kemampuan finansial yang dimilikinya, sehingga pilihan untuk memperoleh sumber air bersih bagi masyarakat miskin cenderung lebih sedikit daripada masyarakat kaya. Pada umumnya kelompok masyarakat berpendapatan cukup tinggi memiliki beberapa alternatif sumber air untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya, misalnya selain menggunakan air bersih dari PDAM juga menggunakan air yang bersumber dari air tanah yang dibuat sendiri dan air minum kemasan. Kelompok masyarakat miskin kota umumnya memiliki alternatif sumber air yang terbatas dan umumnya menggunakan air sumur dangkal. Di


(20)

kawasan permukiman kumuh dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi kurang memungkinkan jaringan air bersih PDAM masuk, sehingga untuk memenuhi kebutuhan airnya mereka memanfaatkan sumur untuk kebutuhan air rumah tangganya (mandi,cuci, kakus) dan membeli air dari pedagang air untuk keperluan masak dan minumnya. Bagi masyarakat miskin tersebut pilihan untuk membeli air dari pedagang air untuk keperluan minum dan masak adalah pilihan yang harus dilakukan karena alternatif sumber air lainnya hampir tidak ada, sehingga beban finansialnya bertambah dan tingkat kesejahteraannya menurun.

Pilihan untuk mendapatkan air bersih merupakan pilihan ekonomi dimana orang akan cenderung mendapatkan air bersih dengan tingkat korbanan ekonomi serendah-rendahnya. Dalam hal ini orang yang mampu cenderung memiliki beberapa sumber air yang secara bersamaan digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, dimana sumber air dapat diperoleh dengan biaya serendah mungkin. Bagi masyarakat miskin dengan kualitas air sumur yang tidak memenuhi syarat sebagai air baku minum, pilihan lain untuk mendapatkan air bersih tanpa membeli hampir tidak mungkin. Kualitas air sumur dangkal yang dimilikinya umumnya tidak memenuhi standar baku air minum akibat tercemarnya air sumur yang diduga berasal aktifitas rumah tangga di kawasan permukiman kumuh yang padat. Kegiatan rumah tangga di permukiman kumuh yang kepadatan penduduknya tinggi diduga berpengaruh terhadap penurunan kualitas air sumur, sehingga pengujian kualitas air sumur perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat kelayakannya sebagai sumber air bersih.

Kemudahan untuk memperoleh air bersih bagi kelompok masyarakat berpendapatan cukup dan kesulitan kelompok miskin untuk mendapatkan air bersihnya merupakan paradoks dalam pemanfaatan air di kawasan permukiman kumuh dan sekitarnya yang berpotensi menimbulkan konflik. Upaya untuk mengantisipasi terjadinya konflik air di kawasan permukiman kumuh tersebut perlu dilakukan melalui penataan institusi. Bandaragoda (2000) menyebutkan bahwa institusi yang berjalan baik dalam pengelolaan air memiliki fungsi yang penting dalam memfasilitasi resolusi konflik (Bandaragoda, 2000).

Institusi atau kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan dan kebiasaan


(21)

yang tidak terlepas dari lingkungan. Institusi mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu atau dalam kondisi bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, institusi adalah instrumen yang mengatur hubungan antar individu. Institusi juga berarti seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang mana masyarakat tersebut telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung-jawab yang harus mereka lakukan (Kartodihardjo et al., 2000). Institusi dalam prakteknya dapat merupakan gabungan dari kebijakan dan tujuan, hukum dan regulasi, rencana dan prosedur organisasi, mekanisme insentif, mekanisme akuntabilitas, norma, tradisi, dan adat istiadat (Bandaragoda, 2000; Kliot dan Shmueli, 2001).

Dua aspek penting dalam analisis kelembagaan sumber air bersih yang perlu diperhatikan meliputi hukum dan adat, serta regulasi dan pengaturan organisasi yang terkait dengan pengelolaan sumber air (Bandaragoda, 2000). Hukum dan adat yang berlaku di tengah masyarakat mengatur tentang hak-hak air, prinsip-prinsip alokasi air diantara berbagai pengguna, penilaian harga air (water pricing), dan partisipasi sektor swasta. Sarwan et al. (2003) menyatakan bahwa struktur property rights dalam air akan memfasilitasi alokasi air yang efisien.

Pengelolaan air di kawasan permukiman dalam pendekatan institusi berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya dan keterlibatan aktor (pelaku) yang langsung berhubungan dengan pengelolaan air tersebut. Dalam hal ini analisis faktor dan aktor perlu dilakukan untuk mengembangkan institusi lokal yang efektif dalam pengelolaan air di kawasan permukiman kumuh secara berkelanjutan. Jaminan ketersediaan air bersih, distribusi air, alokasi air bersih, dan potensi konflik merupakan faktor yang mempengaruhi sistem pengelolaan air bersih di kawasan permukiman kumuh perkotaan. Adapun aktor atau stakeholders yang terlibat umumnya adalah pemerintah daerah, PDAM, pengurus masyarakat (RT/RW), dan swasta/pedagang air baik perorangan maupun perusahaan. Diagram alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini ditampilkan pada Gambar 1.


(22)

DKI Jakarta : Pusat Ekonomi Nasional & Internasional

Daya Tarik Ekonomi

Laju Urbanisasi Tinggi

Kaum Miskin Perkotaan Lahan Terbatas

dan Mahal

Kawasan Permukiman Kumuh

Kepadatan Penduduk Tinggi Fasilitas

Lingkungan Fisik Tidak Memadai

Sanitasi Lingkungan

Buruk

Pengelolaan Sumber Air

Bersih

Potensi Konflik Air Bersih di Kawasan Permukiman Kumuh Ketersediaan Air

Bersih

Alokasi Air Bersih

Distribusi Air Bersih

Pengembangan Institusi Lokal dalam Pengelolaan Air Bersih di

Permukiman Kumuh Resolusi Konflik

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

1.3. Perumusan Masalah

Air merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang tidak dapat digantikan keberadaan dan perannya oleh komoditas lainnya. Air bersih dibutuhkan oleh semua kelompok masyarakat tanpa membedakan tingkat pendapatan, pendidikan, status sosial, dan sebagainya. Dalam hal ini orang berusaha untuk mendapatkan airnya dalam jumlah yang cukup dan kualitas air sesuai dengan standar baku air bersih yang ditetapkan. Upaya untuk mendapatkan air bersih bagi kelompok


(23)

masyarakat berpendapatan cukup tinggi relatif mudah dibandingkan dengan kelompok masyarakat miskin yang tinggal di kawasan permukiman kumuh yang infrastruktur airnya relatif buruk. Untuk memenuhi kebutuhan air minumnya penduduk di kawasan permukiman kumuh umumnya membeli dari pedagang air dan sebagian diperoleh dari jaringan pipa PDAM, karena kualitas air sumur gali yang digunakannya umumnya tidak memenuhi syarat kualitas air bersih. Biaya untuk mendapatkan air dengan cara membeli dari pedagang air menjadi beban finansial yang dapat menurunkan tingkat kesejahteraannya.

Pengelolaan air bersih di kawasan permukiman kumuh belum ditata secara baik, termasuk kelembagaan atau institusinya. Pengembangan institusi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air di kawasan permukiman kumuh perlu dilakukan karena berpotensi menimbulkan konflik air yang dapat memicu permasalahan sosial. Institusi yang merupakan seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat diharapkan akan mampu menjadi instrumen dalam mengantisipasi terjadi konflik diantara pengguna air. Suatu institusi yang berjalan dengan baik akan mampu meningkatkan kinerja pengelolaan sumberdaya dan menghindari terjadinya konflik yang memicu permasalahan sosial kompleks (Kartodihardjo et.al, 2000; Bandaragoda, 2000). Kajian tentang pengembangan institusi lokal dalam pengelolaan air bersih di kawasan permukiman kumuh penting untuk dilakukan mengingat permasalahan air bersih sebagai kebutuhan dasar masyarakat kota yang kompleks dan berpotensi konflik membutuhkan instrumen institusi yang menjamin ketersediaan, alokasi, dan distribusi air bersih dapat dilakukan secara berkelanjutan. Oleh karena permasalahan yang mendasar menyangkut pengembangan instistusi lokal dalam resolusi konflik sumberdaya air di kawasan permukiman kumuh adalah sebagai berikut :

a. Faktor-faktor apakah dan aktor-aktor siapakah yang berperan dalam pengembangan institusi pengelolaan air di kawasan permukiman kumuh perkotaan, termasuk menganalisis prioritas faktor dan aktornya secara hirarkis ?

b. Bagaimana rumusan pengembangan institusi pengelolaan air bersih di kawasan permukiman kumuh perkotaan untuk menghindari konflik air diantara pengguna air ?


(24)

Jaminan ketersediaan air bersih, distribusi air, dan alokasi air adalah beberapa faktor yang berkaitan dengan institusi pengelolaan air di kawasan permukiman kumuh dengan aktor yang terlibat mencakup pemerintah daerah, perusahaan daerah air minum (PDAM), pengurus rukun tangga/rukun warga, dan swasta/pedagang air. Prioritas faktor yang mempengaruhi pengembangan institusi pengelolaan air di kawasan permukiman kumuh perlu dianalisis sebagai bahan dalam menata kebijakan pengelolaan air di kawasan permukiman kumuh. Selain itu untuk setiap faktor tersebut perlu diketahui prioritas aktornya yang sesuai dalam menangani permasalahan yang terjadi dalam setiap faktor pengelolaan air di kawasan permukiman kumuh. Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor dan aktor tersebut selanjutnya disusun rekomendasi kebijakan pengelolaan sumberdaya air di kawasan permukiman kumuh secara berkelanjutan. Bagan alir strategi penelitian ditampilkan pada Gambar 2.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengembangkan institusi lokal yang mengelola konflik pemanfaatan sumberdaya air di permukiman perkotaan, khususnya permukiman kumuh. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis permasalahan kualitas air dan sumberdaya air di kawasan

permukiman kumuh perkotaan serta potensi konflik air yang ada di dalamnya. 2. Menganalisis prioritas faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan air

bersih dan aktor-aktor yang berperan dalam penrgelolaan air di kawasan permukiman kumuh perkotaan.


(25)

Institusi Pengelolaan Air di Kawasan Pemukiman Kumuh Perkotaan

Potensi Konflik Pemanfaatan Air Bersih

Jaminan Ketersediaan Air

Distribusi Air Bersih

Alokasi Air Bersih

Stakeholders yang Berperan Langsung dalam Manajemen Air di Kawasan

Permukiman Kumuh

Pemerintah Daerah

Perusahan Daerah Air Minum

Pengurus RT/RW

Swasta/ Pedagang Air

Analisis Prioritas Faktor-Faktor Pengelolaan Air di Kawasan Permukiman Kumuh Perkotaan

Analisis Prioritas Aktor-Aktor Pengelolaan Air di Kawasan Permukiman Kumuh Perkotaan

Rekomendasi Pengembangan Institusi Lokal dalam Pengelolaan Air di Kawasan

Permukiman Kumuh Perkotaan

Gambar 2. Bagan Alir Strategi Penelitian 1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dan rekomendasi dalam pengembangan institusi pengelolaan air di kawasan permukiman kumuh perkotaan khususnya di DKI Jakarta, sehingga diharapkan akan diperoleh bentuk kebijakan yang mampu menjamin terciptanya pengelolaan sumber air minum di kawasan permukiman kumuh perkotaan secara berkelanjutan dan menghindari


(26)

terjadinya konflik antar pengguna air dalam pemanfaatan sumber air minum di kawasan permukiman kumuh.

1.6. Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini mencakup dua hal, yaitu dari segi pendekatan dan dari segi hasil. Dari segi pendekatan menggunakan analisis secara komprehensif dengan pendekatan proses hirarki analisis atau AHP (analytical hierarchy process) untuk menentukan prioritas faktor dan aktor yang berperan untuk membangun institusi lokal dalam pengelolaan sumberdaya air di kawasan permukiman kumuh. Kebaruan dari segi hasil dapat dilihat dari rumusan kebijakan pengembangan institusi lokal menjadi salah satu hal penting dalam mengelola sumberdaya air di kawasan permukiman kumuh perkotaan secara berkelanjutan.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Permukiman Kumuh di Jakarta

Permukiman kumuh di DKI Jakarta telah ada sejak zaman kolonial tahun 1920, berupa kantong-kantong permukiman di tengah kota dengan kondisi buruk dan sering mengalami kebanjiran. Hal ini dikarenakan pembangunan perumahan yang ada hanya diperuntukkan bagi orang Eropa, antara lain di daerah Pegangsaan, Kramat, Raden Saleh, Cikini yang saat ini menjadi perumahan elit. Kantong-kantong permukiman kumuh terbentuk di sebelah permukiman elit dengan penghuni Bumi Putra. Kondisi ini diperburuk dengan perhatian pemerintah Belanda yang sangat terbatas terhadap permukiman kumuh, sehingga secara alamiah permukiman kumuh terus berkembang sampai sekarang. Ketimpangan ini sangat mencolok apabila ditinjau dari segi jumlah penduduk Bumi Putra jauh lebih banyak dibanding orang Eropa. Jumlah penduduk di DKI Jakarta saat itu 310.216 jiwa, terdiri atas bangsa Eropa 29.216 jiwa (9,41%), Cina 40.000 jiwa (12,89%), Bumi Putra 228.000 jiwa (73.49%) dan Arab 13.000 jiwa (4,21%). Memburuknya kondisi kampung kumuh di Jakarta, menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 menyusun rencana perbaikan kampung secara sistematis dengan sasaran perbaikan jalan, saluran air, prasarana mandi dan cuci umum (Dinas Tata Kota DKI Jakarta, 1995). Pada tahun 1990, pertumbuhan populasi rata-rata Indonesia per tahun sekitar 1,7 persen, sementara itu populasi kota tumbuh tiga kali lebih cepat sekitar 4,4 persen. Tren ini memperkirakan akan ada 167 juta penghuni kota pada tahun 2025, diproyeksikan dari 275,6 juta total populasi. Dari seluruh Indonesia, 8 kota utama – 5 berada di pulau Jawa – masing-masing menampung lebih dari sejuta orang, sekitar 12 persen dari jumlah total populasi negara. Jakarta, ibukota Negara ini merupakan pusat megalopolis (Jabotabek) dan dihuni sekitar 9,2 juta orang. Estimasi penduduk Indonesia – yang memiliki 13.667 pulau tersebar pada area seluas 1.919.440 kilometer persegi serta memiliki lebih dari 300 suku bangsa – saat ini adalah sekitar 210 juta, 60 persen tinggal di pulau Jawa. Dari total penduduk, andil perkotaan pada akhir tahun 1999 berjumlah 82,5 juta atau 39,8 persen (tabel-tabel SIMA, Word Bank), dan sekitar 40,34 persen di tahun 2000 (USDU, 2003). Jika rata-rata pertambahan penduduk keseluruhan antara 1990 dan 1999 adalah


(28)

1,6 persen, maka penduduk perkotaan tumbuh hamper tiga kali lebih cepat, sekitar 4,4 persen sepanjang decade yang sama. Seperti umumnya negara-negara berkembang, Indonesia mengalami proses urbanisasi secara terus-menerus; dari perkiraan penduduk total 275,6 juta pada tahun 2025, sekitar 167,4 juta akan merupakan penduduk kota. Prakiraan ini mempertegas pergeseran demografis yang dramatic dari jumlah penduduk perkotaan yang di bawah 20 persen di tahun 1975 ke 60 persen lima puluh tahun kemudian (USDU, 2003).

Ciri dari permukiman kumuh adalah : (a) sebagai permukiman yang berpenghuni padat, (b) kondisi sosial ekonomi umumnya rendah, (c) jumlah rumah sangat padat, dan ukurannya di bawah standar, (d) prasarana lingkungan hampir tidak ada, atau tidak memenuhi persyaratan teknis, kesehatan dan lingkungan, (e) umumnya dibangun di atas tanah negara atau milik orang lain melalui pendudukan sepihak, (f) tumbuh tidak terencana, serta umumnya berada di lokasi strategis, di pusat pusat kegiatan kota (Dinas Tata Kota DKI Jakarta, 1995)

Salah satu faktor utama pemicu terjadinya permukiman kumuh adalah tingginya laju urbanisasi. Urbanisasi telah terjadi pada masa pendudukan Jepang. Ribuan orang dari pedesaan yang memasuki kota Jakarta untuk mempertahankan hidup, karena saat itu keamanan di daerah terancam. Tahun 1942, Batavia jatuh ke bala tentara Jepang, saat itu terjadi penurunan kualitas hidup, sehingga menimbulkan kemelaratan masyarakat. Saat itu mulailah terjadi penyerobotan lahan secara liar oleh masyarakat. Untuk kepentingan angkatan perang Jepang, maka Jepang merestui atas penyerobotan tanah tersebut, dan kemudian di atas lahan itu berdiri ribuan permukiman kumuh. Setelah kemerdekaan, urbanisasi ke Jakarta semakin pesat dan terkesan tidak terkendali, dengan harapan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik. Diperkirakan antara tahun 1948-1951, migrasi dan urbanisasi rata-rata 118.563 jiwa per tahun. Pada tahun 1950 penduduk Jakarta telah mencapai dua juta jiwa (Dinas Tata Kota Jakarta,1995). Para pendatang tersebut membangun koloni permukiman kumuh di lahan-lahan tidak sah di berbagai sudut kota. Ribuan hektar tanah negara, swasta dan perorangan ditempati secara tidak sah, yang mengganggu dalam penataan ruang kota. Para pendatang tersebut secara turun-temurun berkembang ditambah dengan


(29)

turut sertanya keluarga dari desa bergabung menyebabkan koloni permukiman kumuh semakin membesar. Penghuni permukiman kumuh umumnya berpendidikan dan berpenghasilan rendah dengan jenis pekerjaan informal (tidak tetap), sehingga sangat sulit untuk berkembang dan membangun permukimannya dengan baik dengan kemampuan sendiri. Tanah-tanah yang tidak terurus berubah menjadi perkampungan sesak dan kumuh. Dalam kurun waktu tertentu permukiman kumuh menjadi sangat sulit ditangani dan berkembang menjadi suatu permukiman kumuh yang cukup luas. Pada tahun 1996 luas permukiman kumuh di DKI Jakarta mencapai 2.826,11 Ha atau 11,34% dari luas lahan permukiman di Jakarta, dan diketagorikan sebagai permukiman kumuh berat seluas 464,51 ha (16,49%), kumuh sedang seluas 1.847,84 ha (65,62%), dan kumuh ringan seluas 503,76 ha (17,89%). Jumlah rumah di permukiman kumuh adalah 174.142 unit, sedang jumlah penduduknya adalah 891.823 jiwa (210.833 rumah tangga) dengan anggota rumah tangga rata-rata 4,22 jiwa. Artinya rata-rata tiap satu unit rumah dihuni oleh 1,2 rumah tangga (Dinas Tata Kota DKI Jakarta,1995).

Urbanisasi telah mengakibatkan angka absolut masyarakat miskin kota meningkat sebagian besar karena terjadinya migrasi masyarakat miskin desa. Sekitar 50 persen penduduk dari populasi kota termasuk miskin atau rentan terhadap kemiskinan. Masyarakat miskin kota termarginalisasi dan rentan dengan terbatasnya akses untuk mendapatkan lahan, perumahan dan layanan terhadap kebutuhan dasar. Mereka pun menderita karena ketidak jelasan ekonomi, financial, social dan kebutuhan fisik. Devolusi telah meninggalkan pemerintah dengan tanggung jawab yang besar untuk mengentaskan kemiskinan. Namun, pemerintah daerah memiliki pengertian yang terbatas atas kemiskinan kota yang multi-dimensi sehingga mempersulit mereka untuk mengembangkan program pengentasan kemiskinan yang tepat sasaran, dan untuk memonitor perkembangannya. Selain itu, kebanyakan tidak memiliki kapasitas kelembagaan dan keuangan yang memadai untuk memenuhi tanggung jawab tambahan ini. Oleh sebab itu, program-program kemiskinan yang ada kebanyakan didanai oleh pemerintah Indonesia dan donor-donornya; sementara pelaksanaannya merupakan project basis. Dengan demikian kemampuan untuk dapat berlanjut diragukan pada saat proyek dan bantuan dana telah berakhir (USDU, 2003).


(30)

2.2. Kebutuhan dan Kualitas Air Bersih di Permukiman Kumuh.

Kebutuhan air dalam rumah tangga, dapat dibedakan menurut tingkat sosialnya. Saeni (1989) mengemukakan bahwa kebutuhan air rata-rata untuk suku primitif adalah 5 liter/hari/orang, kebutuhan air penduduk di negara yang sedang berkembang rata-rata 12 liter/hari/orang. Kebutuhan air untuk negara maju lebih besar dari negara berkembang. Untuk negara maju kebutuhan air rata-rata per orang 800 liter, di Indonesia rata-rata 65 liter per hari.

Kebutuhan air pada permukiman kumuh, bila menggunakan standar rata-rata kebutuhan air di Indonesia per hari tiap orang adalah 40 liter. Apabila mengacu bahwa rata-rata jumlah jiwa per keluarga di Jakarta (pada tahun 1996 seperti pada Tabel 1) adalah sebesar 4,22 jiwa, maka per keluarga per hari membutuhkan air sebesar 168,8 liter, berarti per bulan diperlukan 5.064 liter. Keluarga sederhana memerlukan air rata-rata per orang 90 liter untuk mandi, cuci, menyiram bunga, memasak, dan untuk kebutuhan tubuhnya sendiri. Wardhana (1999) mengemukakan bahwa kebutuhan air bersih orang Indonesia di perkotaan mencapai 150 liter/hari/orang yang perinciannya seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Standar kebutuhan air bersih perorang perhari bagi penduduk Indonesia

No Keperluan Air yang dipakai (liter) Keterangan

1 Minum 2, 0 Minum dan

2 Memasak, kebutuhan dapur 14,0 Masak 16,5 liter

3 Mandi, kakus 20,0 Kebutuhan lain :

4 Cuci pakaian 13,0 135,5 liter

5 Air Wudhu 15, 0

6 Airuntuk kebersihan rumah 32,0

7 Air untuk menyiram tanam 11,0

8 Air untuk memcuci kendaraan 20,0

9 Air untuk keperluan lain 20,0

Jumlah 150,0 150 liter

Sumber : Wardhana,1999

Kaum miskin perkotaan kurang tercukupi kebutuhannya atas pelayanan kebutuhan dasar mereka, seperti air bersih, sanitasi, saluran air dan jalan akses. Walaupun pengaruh krisis ekonomi terhadap penyediaan infrastruktur lingkungan belum sepenuhnya dipahami, bukti-bukti awal menunjukkan keadaan ini dipengaruhi oleh kurangnya bantuan pemerintah baik untuk perawatan


(31)

infrastruktur yang sudah ada dan investasi baru yang sangat dibutuhkan. Di kebanyakan daerah, keluarga dan orang miskin dapat keluar dari kemiskinan dan mengurangi kerentanan mereka sebagai bagian dari usaha mereka sendiri. Tanggapan keluarga dan masyarakat miskin terhadap masalah dan krisis yang terjadi di lingkungan mereka tergantung oleh asset – tenaga kerja, sumber daya manusia, dan sumber daya social yang mereka dapat gunakan (USDU, 2003).

Di kawasan permukiman kumuh kebutuhan air cenderung meningkat seiring dengan makin banyaknya jumlah orang yang tinggal di kawasan permukiman kumuh. Banyak kota-kota di Indonesia menghadapi tantangan adanya kekurangan dalam pelayanan kota. Sebagai contoh, pada tahun 1999, hanya 33 persen rumah tangga yang bias dilayani oleh air bersih; kurang dari 1 persen dari seluruh rumah tangga di seluruh kota dihubungkan dengan pipa air bersih. Air permukaan dan air tanah terkontaminasi, meluasnya sedotan air tanah telah menambah persoalan lingkungan yang besar di perkotaan. Tidak ada laporan yang pasti mengenai drainase perkotaan atau pengendalian banjir, tetapi informasi terbatas menunjukkan kesenjangan sedang berlangsung di berbagai area. Lingkup pengelolaan sampah relative cukup baik, jika tidak, itu terjadi di seluruh Indonesia. Tetapi pembuangan akhir masih menjadi masalah baik jumlahnya maupun kualitasnya. Transportasi kota juga terjadi layanan yang sangat kurang, walaupun jalan-jalan utama ada perbaikan dan perluasan antara tahun 1980an – 1990an. Kemacetan lalu lintas adalah persoalan yang besar di sebagian besar kota dan transportasi umum tidak bias diandalkan. Pembangunan dari semua pelayanan menjadi semakin terhenti akibat krismon (USDU, 2003).

Kepadatan penduduk yang tinggi di kawasan permukiman kumuh menyebabkan terjadinya pencemaran pada sumber airnya, terutama limbah rumah tangga. Di kawasan permukiman padat penduduk dengan tingkat sanitasi lingkungan yang rendah sering ditemukan pencemaran akibat buangan limbah rumag tangga, misalnya ditemukannya bakteri Escherichia coli di sumber air yang digunakan oleh penduduk. Effendi (2003) menyebutkan bahwa E.coli adalah salah satu bakteri coliform tidak berbahaya yang ditemukan dalam tinja manusia, sehingga keberadaan E.coli secara melimpah menunjukkan bahwa perairan tersebut tercemar oleh manusia.


(32)

Walaupun Indonesia memiliki sumber air yang cukup, saat ini muncul kekhawatiran tentang kualitas air di Indonesia, akses dan tidak adanya pola penggunaan yang berkelanjutan. Akses untuk memperoleh air yang aman di Indonesia sangat terbatas dan keberadaannya akan terus menurun seiring dengan meningkatnya polusi air. Sampah rumah tangga, limbah industri, penggunaan untuk pertanian yang berlebihan dan sampah organic dan sampah kering adalah penyebab polusi dan penurunan kualitas air di Indonesia. Sistem penyimpanan yang tidak baik dan penggunaan bahan-bahan kimia pada industri/pertanian memperparah kondisi ini (USDU, 2003).

Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau kehidupan lain ke dalam air dan atau berubahnya tatanan komposisi air oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya (Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air). Untuk mengetahui tingkat pencemaran air, perlu diuji sifat-sifat air, dan disesuaikan dengan baku mutu air sesuai dengan kriterianya. Menurut Fardiaz (1992), yang dimaksud dengan baku mutu air pada sumber air adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar yang terdapat dalam air, tetapi air tersebut tetap dapat digunakan sesuai dengan kriterianya. Air pada sumber air menurut Fardiaz (1992) dapat dibedakan menurut kegunaannya menjadi:

1. Golongan A, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa harus diolah terlebih dahulu.

2. Golongan B, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air baku untuk diolah sebagai air minum dan keperluan rumah tangga.

3. Golongan C, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan.

4. Golongan D, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian dan dapat dimanfaatkan, untuk usaha perkotaan, industri, dan listrik tenaga air. Dalam penelitian ini dibatasi pada air Golongan A dan B.

Sumber pencemaran air dibedakan menjadi sumber pencemaran domestik dan sumber pencemaran non domestik. Sumber pencemaran domestik (rumah


(33)

tangga) terdiri dari perkampungan, kota, pasar, jalan, terminal, rumah sakit dan sebagainya. Sedang sumber pencemaran non domestik yaitu pabrik, industri, pertanian, peternakan, perikanan, transportasi dan sebagainya (Sastrawijaya,1991).

Limbah domestik merupakan semua buangan yang berasal dari kamar mandi, kakus, dapur, tempat cuci pakaian, cuci peralatan rumah tangga, apotik, rumah sakit, rumah makan, dan sebagainya. Limbah tersebut terdiri dari zat organik (padat atau cair), bahan berbahaya dan beracun (B3), garam berkarat, bakteri, terutama golongan fekal coli, jasad patogen, dan parasit. Sedang limbah non domestik limbah di luar tersebut. Kotoran rumah tangga (domestik sewage) adalah air yang telah dipergunakan yang berasal dari rumah tangga atau kotoran permukiman tersebut, termasuk di dalamnya adalah air yang berasal dari kamar mandi, tempat cuci, kakus, serta tempat memasak. Hubungan antara sumber pencemar dan wilayah yang tercemari beserta masyarakatnya merupakan faktor penting pemicu konflik baik di permukiman kumuh maupun non kumuh (Sastrawijaya,1991).

Permasalahan sumberdaya air perkotaan di Indonesia mencakup hal-hal sebagai berikut (USDU, 2003) :

1. Hilangnya cadangan air;

2. Ketidakandalan pelayanan, juga karena kondisi pipa-pipanya, pelayanan menjadi terbatas yang hanya beberapa jam perhari.

3. Permukiman terpaksa harus mengandalkan sumur-sumur pribadi, mengadakan kontrak dengan penjual air dan membayar air botol untuk mengurangi resiko ketidakandalan pasokan air bersih;

4. Ketidakefisienan pengelolaan prasarana air. Standar umum efisiensi rendah di PDAM. Pengenaan tarif biasanya berdasarkan keputusan politik daripada berdasarkan pertimbangan efisiensi biaya dan pemulihan biaya ekonomi. Lebih lanjut, usaha untuk berbagi sumber air dengan pemda sekitar melalui kerja sama pemanfaatan sumber air agar dapat diperoleh skala ekonomi masih juga sulit dipromosikan.

5. Ketidakcukupan komitmen pemerintah daerah sebagai penjamin kinerja dan pinjaman PDAM. Sebelum pengaturan, yang melibatkan supervise


(34)

dari pemerintah pusat dan penandatanganan SLA dengan Departemen Keuangan, secara efektif mengurangi peran dan tanggung jawab pemerintah daerah. Walaupun belakangan penetapan tarif pada posisi yang kritis, mereka tidak mempunyai insentif untuk memonitor dan mendukung PDAM kea rah kinerja yang lebih baik.

6. Beberapa kondisi di atas membawa pada suatu keadaan yang kurang menguntungkan bagi investasi. Beberapa ada usaha untuk mengadakan semacam kemitraan antara pemerintah daerah dan swasta (Public-Private Partnership) dalam sektor air bersih, tetapi keberhasilannya sangat terbatas disebabkan berbagai proble keuangan pada banyak PDAM.

Indonesia merupakan salah satu yang menempati peringkat terendah dalam hal pengairan dan sanitasi di Asia. Jumlah penduduk yang memperoleh fasilitas air PDAM sangat rendah. Pada saat ini kondisi air, pengairan/selokan, infrastruktur pembuangan dalam kondisi yang memprihatinkan. Pemeliharaan terhadap sistem pengairan sangat terbatas dan/atau mengkhawatirkan pada sebagian besar kota. Hal ini mengakibatkan meluasnya kontaminasi permukaan air dan sumber air tanah. Air yang bersumber dari sebagian besar PDAM tidak dapat dikonsumsi/diminum. Sangat sulit untuk memindahkan polutan dari air dengan biaya yang terjangkau, dengan menggunakan plankton. Akibatnya, Indonesia pernah mengalami infeksi gastrointestinal epidemic dan kasus typus tertinggi di Asia. Kuantitas dan kualitas sumber air yang kurang baik disebabkan oleh rendahnya system pengisian ulang air, gangguan system pengairan, eksploitasi yang berlebihan; polusi yang berasal dari sampah rumah tangga, limbah pabrik, dan penggunaan untuk pertanian yang berlebihan; dan kurangnya kebijakan harga. Ini menandakan bahwa beban polusi saat ini sangat tidak proporsional dengan masyarakat miskin perkotaan. Perkotaan di seluruh Indonesia, pipa pengairan rumah tangga berkolerasi dengan pendapatan rumah tangga. Karena sumber air telah terpolusi dan dibeberapa daerah, danau, rumah tangga yang tidak memiliki akses kepada system pipa pengairan tidak mempunyai pilihan kecuali harus membeli air minum dari pedagang keliling yang harganya relative lebih mahal – sering sejumlah lima puluh kali lebih mahal per unit air daripada rumah tangga yang memiliki jaringan dengan PDAM (USDU, 2003).


(35)

Tantangan utama untuk memperbaiki kualitas air termasuk kelemahan dan inkonsistensi penegakan hokum dan peraturan, kegagalan untuk menerapkan program perijinan pada tahun 1995, kurangnya standar operasional prosedur bagi rumah sakit dan industri lain yang menangani limbah, dan kurangnya data yang akurat untuk menentukan tingkat polusi. Melalui desentralisasi, kota dan kabupaten berhak merencanakan dan mengelola lingkunga, termasuk konstruksi dan operasional pusat penanganan fasilitas limbah/air. Masih terlalu dini untuk menyatakan dampak dari kebijakan ini terhadap managemen program kualitas pengairan (USDU, 2003).

2.3. Konflik Sumberdaya Air

Air merupakan sumberdaya alam terpenting dalam kehidupan dan menjadi sumber kehidupan. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan air dapat berubah sejalan dengan makin terbatasnya jumlah dan kualitas air di dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, baik untuk kebutuhan industri, pertanian, rumah tangga, dan sebagainya. Masalah inefisiensi dan alokasi air yang tidak merata diantara pengguna air telah mengubah keberadaan air yang awalnya merupakan barang publik (public goods) bergeser menjadi komoditas ekonomi, bahkan alat politik yang memicu terjadinya konflik. Shiva (2002) mengutip pernyataan Ismail Serageldin (Wakil Presiden Bank Dunia) pada tahun 1995 yang menyatakan bahwa “jika perang-perang abad ini banyak diakibatkan oleh persengketaan minyak bumi, perang masa depan akan dipicu oleh air.

Masalah air merupakan salah satu dari enam perubahan lingkungan yang dapat memicu terjadinya konflik antar kelompok masyarakat/wilayah/negara. Enam perubahan lingkungan tersebut adalah : perubahan iklim global, penurunan lapisan ozon, degradasi dan kehilangan lahan pertanian yang baik, degradasi dan kehilangan ekosistem hutan, penurunan dan polusi suplai air tawar, dan penurunan perikanan. Keenam masalah lingkungan tersebut merupakan sistem pendukung kehidupan di bumi yang keberadaannya sangat vital. Konflik selalu terjadi di dalam interaksi antara individu/kelompok/masyarakat dengan individu/kelompok/masyarakat lainnya untuk memanfaatkan sumberdaya yang sama. Spector (2001) mengklasifikasikan perubahan lingkungan yang potensial


(36)

menjadi masalah (konflik) lintas regional menjadi empat aspek, yaitu : terjadinya degradasi (polusi) lingkungan, adanya kelangkaan (scarcity/shortages) dari sumberdaya alam dan lingkungan, maldistribusi sumberdaya alam (inequitable allocation), dan bencana alam/lingkungan atau kecelakaan yang terjadi secara alami atau akibat perbuatan manusia. Keempat kategori tersebut semuanya terkait dengan ketersediaan sumberdaya alam. Empat model hubungan antara perubahan lingkungan dan terjadinya konflik, yaitu Scarcity Model, Modernization Model, Spillover Model, dan Leading Edge Model (Spector, 2001). Keempat model konflik sumberdaya tersebut dapat berkembang menjadi konflik lintas wilayah.

Model scarcity (model kelangkaan) merupakan model yang paling populer dibandingkan model lainnya. Tiga faktor yang menyebabkan terjadinya kelangkaan : penurunan dan degradasi pasokan sumberdaya alam, peningkatan kebutuhan dan konsumsi sumberdaya alam, dan distribusi sumberdaya alam yang tidak merata di dalam populasi. Kelangkaan sumberdaya alam mempengaruhi kondisi ekonomi, sosial, dan budaya di dalam suatu wilayah. Sebagai contoh penurunan produksi pertanian akibat makin terbatasnya suplai air berpengaruh terhadap meningkatnya kesukaran ekonomi, migrasi terjadi, ketegangan etnis meningkat, dan sistem pemerintahan melemah. Dampak-dampak tersebut akan memicu konflik yang hebat. Konflik yang terjadi akibat kelangkaan air di Timur Tengah merupakan contoh konflik berdasarkan model kelangkaan (scarcity model).

Model modernisasi (modernization) didasarkan atas asumsi bahwa tekanan akibat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan khususnya di negara-negara berkembang telah mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya alam yang sangat intensif dan menimbulkan polusi lingkungan yang menyebabkan pembangunan berjalan tidak berkelanjutan. Sebagai contoh dampak pencemaran air di hulu atau tengah daerah aliran sungai (DAS) akibat buangan limbah industri akan dirasakan oleh masyarakat di wilayah hilir sungai, sehingga memicu konflik antar wilayah hulu-hilir. Perbaikan teknologi dan investasi pengolahan limbah diperlukan untuk menghindari terjadinya konflik.

Model spillover melihat konflik lingkungan berasal dari sengketa domestik, tetapi secara cepat berkembang menjadi sengketa antar wilayah. Dalam prosesnya


(37)

sifat konflik dapat berubah dari masalah lingkungan menjadi masalah sosial, ekonomi, dan politik. Spector (2001) mencontohkan implikasi model ini pada peristiwa dehutanisasi di Haiti yang menyebabkan erosi tanah hebat, sehingga tanah pertanian tidak bisa diolah kembali. Akibat rusaknya tanah pertanian di Haiti telah memaksa penduduknya untuk bermigrasi ke Amerika Serikat. Kedatangan pengungsi Haiti menjadi masalah sosial, ekonomi, dan politik yang serius antara Haiti dan Amerika Serikat.

Model terakhir yaitu Leading Edge Model memandang masalah-masalah lingkungan sebagai pemicu dan pemanas konflik antar pengguna sumberdaya yang sebelumnya telah ada tetapi tidak muncul ke permukaan (bersifat laten). Spector (2001) mencontohkan konflik antara Senegal dan Mauritania tentang kelangkaan lahan pertanian dan ancaman kekeringan di Lembah Sungai Senegal. Pada tahun 1989 terjadi peperangan untuk memperebutkan Lembah Sungai Senegal yang menewaskan ratusan orang dan ribuan penduduk mengungsi.

Dari keempat model konflik berbasis masalah lingkungan tersebut, tampak bahwa permasalahan lingkungan dapat menjadi kontributor atau pemicu perselisihan antar wilayah yang selanjutnya diperbesar oleh masalah ekonomi, sosial, etnis, dan milititer. Konflik yang terjadi dalam memperebutkan sumberdaya alam akan merangsang kelompok-kelompok yang bersengketa untuk mencari solusi menghindari konflik yang dapat mengganggu stabilitas regional. Dari berbagai jenis sumberdaya alam yang memicu konflik antar wilayah, air adalah sumberdaya alam yang paling sering menjadi media konflik antar wilayah.

Konflik air pada dasarnya menyangkut sistem manajemen dan alokasi air yang efisien dan adil (equitable), seperti variabilitas dan ketidakpastian pasokan air, ketergantungan (interdependencies) diantara pemakai, serta peningkatan kelangkaan dan biaya pengadaan air (Frederick, 2001). Adapun pengaruh manusia sebagai akar dari konflik air adalah penurunan kualitas air dan ekosistem akuatik akibat kegiatan manusia, kegagalan menjadikan air sebagai komoditas ekonomi yang menyebabkan pemanfaatan air tidak efisien, serta kebutuhan air yang tidak seimbang dengan kebutuhan pertanian dan pembangunan ekonomi lainnya.

Persaingan untuk memperebutkan air telah berlangsung sejak lama, misalnya di Timur Tengah, Sub Benua India (Pakistan, India, dan Banglades), dan


(38)

negara-negara Asia Selatan bekas Uni Soviet. Di Timur Tengah konflik air terjadi di Sungai Yordan dan Efrat, di Sub Benua di Sungai Indus, dan di Asia Selatan bekas jajahan Uni Soviet terjadi di Sungai Amu Dar’ya dan Sungai Syr Dar’ya. Kondisi perdamaian antar regional di Timur Tengah senantiasa terganggu karena tidak adanya kesepakatan dalam pembagian air lintas regional. Konflik air terjadi dalam mengalokasikan dan mengontrol Sungai Yordan, pemanfaatan akuifer di Tepi Barat, dan rencana Yordania untuk membangun dan mengoperasikan dam Syria di Yarmuk sebagai anak sungai utama Sungai Yordan (Shiva,2002). Perang antara Syria dan Israel pada tahun 1950-an dan 1960-an didasari oleh konflik air lintas regional (Frederick, 2001). Selain konflik di Sungai Yordan, konflik air terjadi juga di Sungai Efrat (Euphrate) yang alirannya melintasi negara Turki, Suriah (Syria), dan Irak. Hulu sungai Efrat hampir 90% berada di wilayah Turki. Konflik di Sungai Efrat yang terjadi pada tahun 1960-an dimulai ketika Turki dan Siria merencanakan membangun dam besar untuk irigasi dengan membendung aliran Sungai Efrat. Konflik memanas pada tahun 1974 ketika Irak mengancam untuk membom dam di Tabqa, Suriah dan menyiagakan tentaranya di sepanjang perbatasan, karena keberadaan dam tersebut telah mengurangi aliran air Sungai Efrat yang masuk ke wilayah Irak. Ancaman terhadap Suriah dilontarkan kembali oleh Irak pada musim semi 1975. Selanjutnya dengan selesainya bendungan Ataturk pada Januari 1990, Turki memegang posisi sangat vital dalam mengontrol aliran air Sungai Efrat dan menjadikannya sebagai senjata yang dapat digunakan melawan negara-negara di hilirnya. Pembangunan bendungan Ataturk tersebut dapat mengurangi pasokan air ke Suriah dan Irak masing-masing sebesar 40% dan 80%. Ancaman untuk mengurangi pasokan air telah digunakan Turki untuk menekan Suriah dalam membantu membasmi pemberontakan Suku Kurdi di sebelah Selatan Turki. Keamanan perbatasan dan pembagian air antar negara tersebut telah dinegosiasikan untuk menjamin stabilitas kedua negara.

Resolusi konflik air adalah upaya-upaya mencari solusi atas sengketa/konflik air untuk mencapai tingkat pengelolaan air yang efisien dan berkeadilan. Penggunaan air yang tidak efisien merefleksikan masalah-masalah dalam pengelolaan dan alokasi sumberdaya air di masing-masing wilayah. Ketidakjelasan property rights dan upaya transfer hak air ke wilayah lain menjadi


(39)

kendala sistem pengelolaan air lintas regional. Harga air yang ditetapkan belum menunjukkan nilai sebenarnya dari property rights air yang dianalisis dengan pendekatan nilai ekonomi total (total economic values), sehingga sering harga air tidak menggambarkan biaya konservasi dan perlindungan sumberdaya air. Institusi dan budaya yang mengontrol penggunaan air secara efisien di banyak wilayah masih sangat lemah, karena air masih dipandang sebagai barang publik yang bebas digunakan tanpa batas. Paradigma ini telah mendorong kelangkaan jumlah dan kualitas air. Oleh karena itu penataan institusi menjadi salah satu instrumen penting dalam resolusi konflik air (Bandaragoda, 2000).

Air harus dipandang sebagai katalis kerjasama diantara pengguna air daripada sebagai sumber konflik. Air sebagai katalis kerjasama memungkinkan terjadinya pengelolaan air secara bersama diantara wilayah-wilayah yang berkepentingan. Berdasarkan Deklarasi Petersberg tahun 1998, faktor-faktor penting untuk mewujudkan kerjasama pengelolaan air yaitu :

a. Shared Vision (Visi untuk berbagi). Setiap pengguna air perlu memiliki keinginan untuk berbagi dalam memanfaatkan air, termasuk berbagi dalam pertukaran informasi dan teknologi pengelolaan air yang lebih efisien.

b. Political commitment and public support (adanya komitmen politik dan dukungan publik) dari pengguna air untuk menciptakan sistem pembagian air yang efisien dan merata (adil). Komitmen yang kuat antar stakeholders menjadi landasan normatif pengelolaan air berkelanjutan. c. Broad Based Parternships (kemitraan yang luas) diantara pemerintah,

legislatif, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok masyarakat lainnya sebagai bentuk partisipasi dalam pengelolaan air.

d. Environmental Management (pengelolaan lingkungan) harus diintegrasikan ke dalam pengelolaan air. Alat-alat dalam pengelolaan lingkungan seperti analisis dampak lingkungan, evaluasi kuantitas dan kualitas air, dan sebagainya akan menjamin ekosistem dan konservasi di sepanjang aliran sungai.

Tahapan selanjutnya setelah negosiasi adalah menetapkan mekanisme alokasi air lintas regional yang akan dilaksanakan. Mekanisme alokasi air


(40)

sebaiknya didasarkan atas water property rights yang dapat didefinisikan dengan jelas dan disepakati oleh masing-masing wilayah. Frederick (2001) mengusulkan digunakannya instrumen ekonomi untuk mengatur sistem alokasi air lintas regional, seperti diterapkannya mekanisme pasar air (water market) yang menjamin penggunaan sumberdaya air lebih efisien. Konsep pasar air ini banyak ditentang oleh aktifis lingkungan dan gerakan anti-globalisasi, misalnya Shiva (2002) yang menyebut pasar air sebagai bentuk neo-liberalisme yang mengarah pada privatisasi air yang dapat mengurangi akses publik dalam mendapatkan air sebagai kebutuhan primernya. Pengelolaan air harus dilakukan secara terpadu, komprehensif, dan interdisiplin yang melibatkan berbagai potensi untuk mengelola air lebih baik dan efisien. Beberapa hal yang perlu dikembangkan untuk menuju pengelolaan air yang berkelanjutan adalah (Ramdan, 2006):

a. Prinsip pembagian manfaat lebih penting daripada pembagian air semata perlu dipahami dan diaplikasikan untuk menjadikan air sebagai katalis kerjasama pembangunan antar wilayah sebagai upaya menghindari konflik air.

b. Mendefinisikan hak-hak atas air (water property rights) secara jelas sebagai bagian dari proses alokasi sumber air yang lebih efisien.

c. Mempromosikan penggunaan air yang lebih efisien.

d. Penggunaan insentif untuk meningkatkan efisiensi biaya dalam program-program pengelolaan air berkelanjutan.

2.4. Institusi Lokal dalam Pengelolaan Air

Institusi atau kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat-istiadat, aturan dan kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Institusi mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu atau dalam kondisi bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, institusi adalah instrumen yang mengatur hubungan antar individu (Kartodihardjo, et.al, 2000). Organisasi juga menyediakan mekanisme yang mengatur hubungan antar individu. Aturan dalam institusi dipergunakan untuk menata aturan main dari pemain-pemain atau organisasi-organisasi yang terlibat, sedangkan aturan organisasi ditujukan untuk memenangkan permainan tersebut. Institusi juga dapat dilihat sebagai behavioral


(41)

rules that govern pattern of action and relationship, sedangkan organisasi didefinisikan sebagai the decision making units-families, firms, bureaus - that exercise control of resources (Kartodihardjo, et.al, 2000).

Institusi juga berarti seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang mana masyarakat tersebut telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung-jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu (Schmid, 1987 dalam Kartodihardjo, 2000). Sementara itu menurut Smith dan Brinkerhoff (1990) dalam Kartodihardjo (2000) mendefinisikan institusi sebagai aturan atau prosedur yang menentukan bagaimana manusia bertindak dan bagaimana peranan dalam suatu sistem atau organisasi yang bertujuan memperoleh status atau legitimasi serta tujuan tertentu. Selanjutnya Etzioni (1985) dalam Kartodihardjo, et.al (2000) mendefinisikan institusi sebagai unit sosial dalam pengelompokkan manusia yang sengaja dibentuk dengan penuh pertimbangan dalam mencapai suatu tujuan tertentu dengan ciri-ciri sebagai berikut : (1) adanya pembagian kerja, kekuasaan dan tanggung jawab (2) adanya satu atau beberapa pusat kekuasaan yang berfungsi sebagai pengendali institusi dalam mencapai tujuan (3) adanya penggantian tenaga atau kepengurusan bila tidak bekerja dengan baik.

Koentjaraningrat (1980) mendefinisikan bahwa institusi atau pranata sosial merupakan sistem tata kelakuan dan hubungan untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Disamping penjelasan tersebut, pengertian institusi juga merujuk pada bentuk atau wadah dalam suatu organisasi, mengandung pengertian-pengertian abstrak tentang norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi inti dari institusi tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, maka institusi merupakan himpunan dari norma-norma yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok didalam kehidupan bermasyarakat dalam wadah atau organisasi tertentu. Institusi secara sistematik merupakan seperangkat aturan, prosedur, norma perilaku individual yang sangat penting. Berdasarkan definisi tersebut, maka ada tiga kategori klasifikasi institusi yaitu: (1) institusi yang


(42)

dibentuk oleh pemerintah, (2) institusi yang dibentuk karena kesadaran masyarakat tanpa adanya sistem institusi yang kondusif, (3) institusi yang dibentuk masyarakat dengan peran serta masyarakat secara aktif, sehingga kesejahteraan masyarakat yang lebih baik dapat dicapai.

Institusi sebagai modal dasar masyarakat (social capital) dapat dipandang sebagai aset produktif yang mendorong individu-individu anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku tertentu yang disetujui bersama untuk meningkatkan produktifitas anggotanya dan produktifitas masyarakat secara keseluruhan. Ikatan istitusi masyarakat yang rusak secara langsung akan menurunkan produktifitas masyarakat dan menjadi faktor pendorong percepatan eksploitasi sumberdaya alam di sekitarnya (Kartodihardjo,et.al, 2000). Bandaragoda (2000) menyebutkan bahwa institusi merupakan kombinasi dari : (a) kebijakan dan tujuan (policies and objectives); (b) hukum dan peraturan perundangan; (c) organisasi dan nilai dasar organisasi; (d) rencana dan prosedur operasional; (e) mekanisme insentif; (f) mekanisme akuntabilitas; serta (g) norma, tradisi, praktek dan kebiasaan.

Institusi dalam pengelolaan sumberdaya air memiliki peranan penting. Aturan main sebagai bagian dari institusi yang menentukan interdependensi antar individu atau kelompok. Perwujudan institusi masyarakat dapat diidentifikasi melalui sifat-sifat kepemilikan sumberdaya, batas-batas kewenangan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya, dan aturan-aturan perwakilan dalam memanfaatkan sumberdaya, apakah ditetapkan secara individu atau kelompok. Instansi pemerintah merupakan institusi formal yang menjadi agen pembangunan dan berperan sentral dalam menentukan perubahan-perubahan yang diinginkan. Kinerja institusi sangat tergantung dari kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya. Kondisi institusi yang kuat menjadi prasyarat penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan (Kartodihardjo, 2000).

Keberadaan sebuah institusi lokal ditentukan oleh kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat pendukungnya sehingga terdapat nilai-nilai budaya setempat serta institusi tersebut dimaksudkan untuk senantiasa mampu memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Partisipasi masyarakat akan semakin meningkat bila pembangunan menggunakan media lembaga tradisional yang ada. Institusi


(43)

lokal yang berlandaskan pada adat istiadat dan kebutuhan masyarakat setempat adalah prasarana kelembagaan yang potensial bagi pembangunan masyarakat (Imron, Soeprapto dan Suwandono 2005). Lebih lanjut Satria (2006) mengemukakan bahwa suatu institusi lokal mengupayakan pengelolaan sumberdaya yang ada kaitannya dengan sistem normatif (ideologi, kepercayaan), sistem regulatif (aturan lokal), dan sistem kognitif (pengetahuan lokal). Hal ini berarti bahwa aturan lokal (rules) itu dibuat sebagai refleksi keyakinan (normatif) dan pengetahuan (kognitif) masyarakat tentang sumberdaya yang dikelolanya.

Beberapa institusi yang ada selama ini kurang berperan dalam menyelesaikan konflik yang ada di masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya air. Hal ini ditunjukkan dengan masih adanya konflik air diantara pengguna air yang terjadi di beberapa wilayah.

Upaya untuk memperkuat institusi lokal merupakan salah satu pengembangan institusi itu sendiri dan pada akhirnya untuk pembangunan daerah (Hardjapamekas, 2002). Untuk itu pengembangan institusi lokal perlu dilakukan mengingat fungsi institusi lokal yang ada masih belum optimal dalam pelaksanaannya. Suatu institui yang kuat akan menjamin keberhasilan dari program pembangunan yang sedang dilaksanakan Beberapa fungsi penting institusi lokal yang menjadi kewajibannya adalah sebagai berikut (Hardjapamekas, 2002) :

1. Melakukan kajian kondisi lingkungan, ekonomi, dan sosial dalam penentuan solusi konflik (relokasi atau penataan ulang)

2. Menjembatani kepentingan pihak-pihak yang terlibat konflik

3. Mengantisipasi dan menyelesaikan konflik yang mungkin timbul atas solusi program yang direkomendasikan

4. Melakukan koordinasi dengan pihak eksternal sebagai tindak lanjut atas solusi yang direkomendasikan

5. Memberikan rekomendasi kebijakan pembangunan daerah/nasional untuk penanganan konflik


(44)

Sebuah institusi lokal yang baik akan memiliki standar tersendiri dalam penyelesaian tugas-tugasnya. Pola penyelesaian konflik melalui institusi lokal dilakukan melalui tahapan prosedur berikut ini (Hardjapemekas, 2002) :

a. Delegating, dengan membentuk perwakilan dari masing-masing pihak membicarakan permasalahan yang dihadapi secara langsung dengan itikad mencari solusi yang terbaik dan memuaskan seluruh pihak.

b. Interfacing, yaitu menggunakan mediator yang bersifat netral untuk memperlancar pencapaian solusi permasalahan.

c. Actuating, yaitu pelaksanaan solusi yang telah dicapai oleh masing-masing pihak dengan penuh tanggung jawab serta sesuai dengan hak dan kewajibannya.

d. Evaluating, yaitu kontrol dari pelaksanaan solusi yang telah diperoleh hingga tingkat keberhasilannya dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.


(45)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di wilayah DKI Jakarta, khususnya kawasan kumuh perkotaan yang berada di Jakarta Utara, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan. Ketiga kawasan tersebut merupakan kawasan perkotaan di Jakarta yang tingkat pertumbuhan ekonominya tinggi dan menjadi daya tarik orang untuk berurbanisasi. Sampel sumber air berupa sumur gali berada di Kecamatan Pademangan (Jakarta Utara), Kecamatan Tebet (Jakarta Selatan), serta Kecamatan Tanah Abang dan Sawah Besar (Jakarta Pusat). Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2002 sampai dengan Agustus 2005.

Titik Pengambilan Sampel Penelitian


(46)

3.2. Rancangan Penelitian

Penelitian ini dibagi dalam beberapa kegiatan yaitu: (1) analisis karakteristik pengguna air di kawasan permukiman kumuh perkotaan, (2) analisis kualitas sumber air yang digunakan oleh pengguna air, dan (3) analisis pengembangan institusi pengelolaan air di kawasan pemukiman kumuh perkotaan.

3.2.1. Analisis Karakteristik Pengguna Air di Kawasan Kumuh Perkotaan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik pengguna air di kawasan kumuh perkotaan yang ada di lokasi penelitian.

a. Metode Pengumpulan Data

Pelaksanaan penelitian ini terdiri atas pengumpulan data karakteristik sosial dan ekonomi pengguna air di kawasan kumuh perkotaan yang dilakukan dengan teknik pengumpulan data secara langsung (data primer) dan penelusuran pustaka yang berkaitan dengan penelitian. Data sekunder penelitian diperoleh dari instansi terkait, seperti Badan Perencanaan Provinsi DKI Jakarta, Badan Pusat Statistik Jakarta. Parameter karakteristik sosial ekonomi responden terdiri dari : pendapatan, volume penggunaan air, kesediaan membayar responden untuk mendapatkan air, akses terhadap sumber air, dan respon responden terhadap kelembagaan yang dianggap sesuai untuk mengelola sumberdaya air di kawasan pemukiman kumuh perkotaan. Data primer dilakukan melalui pengisian kuisioner kepada responden yang secara purposif. Selain menganalisis karakteristik sosial ekonomi, data primer yang dibutuhkan adalah kualitas sumber air yang digunakan oleh pengguna air di kawasan pemukiman kumuh perkotaan. Pengambilan sampel air dilakukan terhadap sumur gali yang digunakan oleh penduduk di kawasan pemukiman kumuh perkotaan. Parameter kualitas air yang dianalisis berupa parameter fisik, kimia, dan biologis. Hasil analisis kualitas air selanjutnya dibandingkan kriteria baku mutu air minum yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 Tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air (Tabel 2). Dari hasil analisis kualitas air akan diperoleh informasi tentang kelas kualitas air.


(47)

Tabel 2. Standar Baku Mutu Kualitas Air Standard

No. Parameter Satuan Men

kes

PP Sumber Pencemar

Pengaruh ke

kesehatan Keterangan

1. Kekeruhan Skala NTU 5 5 1.2.Buangan penduduk Buangan industri (Saeni, 1989)

Tergantung sumber pencemar

Untuk tingkat keruh tinggi air tidak layakminum 2. Besi (fe) Mg/l 0,3 0,3 Karat logam limbah

industri, saluran air tambang asam. Air dng pH rendah, kontak dengan mineral besi, (Saeni, 1989)

Tidak selalu toksik tapi kandungan besi 0,3 ppm, air tidak layak diminum (pahit) merusak perabotan kamar mandi, serta perkakas RT, berkarat pada bagian (Saeni, 1991)

Rumah tangga RT karena menimbulkan rasa tidak layak diminum bila kandungan >0,3 mg/l dan dapat merusak pakaian maupun kamar mandi 3. NO3-N,

Mg/l 10 10 Sumber nitrogen dalam air : 1. hancuran bahan

organik 2. buangan domesik 3. Limbah industri 4. Limbah

peternakan 5. Pupuk 6. hewan dan

manusia 7. Kotoran

Toksik untuk bayi karena dalam sistem pencernaan bayi karena nitrat direduksi menjadi nitrit (NO2)

yang dapat meningkat haemoglobin dalam darah sehingga mengurangi kemampuan haemo globin sebagai pembawa oksigen dlam darah (penyakit bayi biru).

Orang dewasa toleransi lebih tinggi

4. Detergen Mg/l 0,5 0,05 Detergen rumah

tangga

Untuk tingkat detergen tinggi air tida layak diminum 5. Koliform Tinja Jumlah Per 100 ml

0 0 Tinja manusia Menyebabkan diare Merupakan bakteri indikator bahwa dalam air tersebut ada bakteri patogen (Saeni, 1991) Sumber : Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416, 1990

b. Analisis Data

Analisis data air dilakukan di laboratorium dengan mengunakan metode penilaiannilai storet. Teknis metode storet dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut : parameter yang tidak memenuhi baku mutu diberi nilai (-), dan yang memenuhi diberi nilai (0). Parameter fisik : untuk nilai maksimum dikalikan


(48)

dengan 1, minimum dikalikan dengan 1 dan rata-rata dikalikan dengan 3; 2) parameter kimia dikalikan 2 kali parameter fisik, dan 3) parameter biologi : nilai dikalikan 3 kali parameter fisik. Pemberian skor : nilai maksimum, minimum dan rata-rata dijumlahkan. Nilai yang diperoleh, apabila negatif (-) berarti kualitas tidak memenuhi. Untuk analisis digolongkan menjadi :

a. Dengan Nilai 0 berarti baik (memenuhi), diberi tanda (B)

b. Dengan (-), berarti buruk (tidak memenuhi), dengan penggolongan kriteria. (a). Dengan skor -1 sampai dengan -10, kriteria buruk ringan, diberi tanda (Br) (b). Dengan skor -11 sampai dengan -30. kriteria buruk sedang diberi tanda

(Bsd)

(c). Dengan skor lebih dari -31, kriteria buruk sekali diberi tanda (Bs).

Analisis data dilaksanakan secara deskriptif terhadap karakteristik pengguna air di kawasan permukiman kumuh perkotaan. Analisis sosial ekonomi dilaksanakan terhadap parameter karakteristik sosial ekonomi responden yang terdiri dari : pendapatan, volume penggunaan air, kesediaan responden membayar untuk mendapatkan air, akses terhadap sumber air, dan respon responden terhadap kelembagaan yang dianggap sesuai untuk mengelola sumberdaya air di kawasan permukiman kumuh perkotaan. Selain itu hasil analisis kualitas akan menunjukkan apakah air sumur yang digunakan penduduk masih layak digunakan sebagai sumber air baku untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga terutama air minum.

3.2.2. Analisis Pengembangan Institusi Pengelolaan Air di Kawasan Pemukiman Kumuh Perkotaan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor dan aktor yang berperan langsung dalam pengembangan institusi lokal pengelolaan air di kawasan permukiman kumuh perkotaan.

a. Metode Pengumpulan Data

Analisis faktor dan aktor yang berperan langsung dalam pengelolaan air di kawasan permukiman kumuh perkotaan dilakukan melalui pendekatan AHP


(49)

(Analytical Hierarchy Process). Karena pendekatan AHP berbasis pada expertises judgement, maka pemilihan responden ditujukan pada responden yang benar-benar memahami permasalahan pengelolaan air minum lintas wilayah tersebut. Dalam hal ini responden dipilih dari kalangan pengguna air, birokrasi pemerintah daerah, legislatif, perguruan tinggi, pengelola air, dan lembaga swadaya masyarakat dengan jumlah responden sebanyak 10 orang. Perangkat lunak yang digunakan untuk menganalisis proses AHP dalam penelitian ini adalah HIPRE 3+.

Ada empat faktor yang mempengaruhi pengelolaan air di kawasan permukiman kumuh perkotaan, yaitu : (a) jaminan ketersediaan air bersih, (b) alokasi air bersih untuk mencukupi kebutuhan air bersih masyarakat di kawasan pemukiman kumuh perkotaan, (c) distribusi air bersih kepada masyarakat di kawasan pemukiman kumuh perkotaan, dan (d) resolusi konflik diantara pengguna air.

Pelaksanaan penelitian terdiri atas : (1) studi pustaka dan diskusi untuk menyusun rancangan hirarki; (2) penyusunan kuisioner untuk pengumpulan data primer; (3) wawancara dan pengisian kuisioner oleh responden; (4) tabulasi data kuisioner; (4) operasionalisasi model HIPRE3+ dengan input data dari hasil pengisian kuisoner; (5) analisis keluaran hasil HIPRE3+ yang digunakan dalam menyusun prioritas faktor dan aktor yang berperan terhadap pengelolaan air di kawasan kumuh perkotaan.

Hirarki disusun mulai dari tingkatan (level) paling tinggi sampai paling rendah dalam hirarki. Tingkatan tertinggi merupakan fokus, disusul faktor yang dipertimbangkan dan pelaku (aktor) yang berperan dalam hirarki. Berdasarkan hasil penelusuran pustaka dan diskusi dengan pelaku diperoleh struktur hirarki sebagaimana ditampilkan pada Gambar 4.

Prinsip penilaian dalam AHP adalah membandingkan secara berpasangan (pairwise comparisons) tingkat kepentingan satu elemen dengan elemen lainnya yang berada dalam satu tingkat atau level berdasarkan pertimbangan tertentu. Nilai yang diberikan berada dalam skala nilai pendapat yang dikeluarkan oleh Saaty (1993) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3. Nilai rata-rata geometrik dari semua responden untuk setiap nilai pendapat yang dibandingkan dimasukkan


(50)

ke dalam HIPRE3+. Sasaran yang diharapkan adalah tercapainya prioritas faktor dan aktor yang berperan dalam pengembangan institusi pengelolaan air bersih di kawasan permukiman kumuh perkotaan.

Gambar 4. Hirarki Pengembangan Institusi Lokal dalam Pengelolaan Air Bersih di Kawasan Permukiman Kumuh Perkotaan

Tabel 3. Skala Penilaian Perbandingan Pasangan

Pemerintah Daerah (PD)

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)

Rukun Tetangga/ Warga (RT/RW) Swasta/Pedagang Air (SWP) Jaminan Ketersedian Air Bersih (JKSA)

Alokasi Air Bersih di Kawasan Kumuh

(AAK)

Distribusi Air Bersih di Kawasan Kumuh

(DAB)

Resolusi Konflik Pengelolan Air

(RK) Institusi Pengelolaan Air Bersih

Di Kawasan Kumuh Perkotaan

Intensitas

Kepentingan Keterangan Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama pentingnya

3

Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya

Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas elemen lainnya

5

Elemen yang satu sedikit lebih cukup daripada elemen yang lainnya

Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas lainnya

7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lainnya

Satu elemen yang kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek

9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya

Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan

2, 4, 6, 8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi di antara dua pilihan

Kebalikan Jika untuk aktifitas i mendapatkan satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i


(51)

b. Analisis Data

Keluaran hasil pengolahan data oleh perangkat lunak HIPRE3+ dianalisis untuk menentukan prioritas faktor dan aktor yang berperan dalam pengelolaan air bersih di kawasan permukiman kumuh perkotaan. Dari hasil analisis tersebut selanjutnya dirumuskan penataan restribusi lokal dalam pengelolaan air bersih di kawasan permukiman kumuh perkotaan Jakarta.


(52)

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Kualitas Air di Kawasan Permukiman Kumuh Perkotaan

Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta memiliki daya tarik ekonomi tinggi yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju urbanisasi. Peningkatan laju urbanisasi ini meningkatkan peluang meluasnya jumlah permukiman kumuh di Jakarta. Peningkatan jumlah penduduk tersebut, khususnya di kawasan kumuh, akan meningkatkan kebutuhan air masyarakat. Permasalahan ketersediaan air merupakan masalah serius yang dihadapi di wilayah Jakarta. Penyediaan air bersih perlu dilakuakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat agar mendapatkan kehidupan yang sehat dan produktif.

Penyediaan air bersih telah menjadi kendala yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh perkotaan. Keterbatasan sumberdaya air tidak hanya menyangkut jumlah sumber air yang menurun, tetapi juga tingkat pencemaran di sumber air yang meningkat. Dalam penelitian ini sumber air yang dianalisis adalah sumur gali yang umumnya digunakan di permukiman kumuh. Tabel 4 menunjukkan kualitas air sumur pada beberapa kecamatan yang dijadikan sampel penelitian. Hasil analisis kualitas air selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 3 sampai dengan Tabel Lampiran 6.

Tabel 4. Kualitas Sumur di Empat Kecamatan Lokasi Penelitian

No Kecamatan Skor Nilai Storet Kriteria Kode

1 Tanah Abang -25 Buruk sekali Bs

2 Sawah Besar -25 Buruk sekali Bs

3 Pademangan -15 Buruk sedang Bsd

4 Tebet -15 Buruk sedang Bsd

Keterangan : Bsd = Buruk sedang Bs = Buruk sekali

Analisis terhadap empat belas parameter kualitas air diperoleh data bahwa lima parameter utama (kekeruhan, besi, nitrat, deterjen dan coliform tinja (E.coli), kecuali nitrat, ternyata hasilnya telah melampaui baku mutu. Sedangkan untuk sembilan parameter pendukung masih memenuhi baku mutu. Kualitas air sumur di Tanah Abang, Tebet tergolong pada kriteria buruk sedang, sedangkan di Pademangan dan Sawah Besar tergolong kriteria buruk sekali. Tabel 5 menunjukkan parameter utama kualitas air yang dianalisis.


(53)

Tabel 5. Parameter Utama Kualitas Air di Lokasi Penelitian. Parameter Kimia No Kecamatan Parameter

Fisik Besi (Fe) NO3-N Deterjen

Parameter Biologi

1 Tanah Abang Tidak

Layak

Layak Layak Tidak Layak Buruk Sedang

2 Sawah Besar Layak Tidak

Layak

Layak Tidak Layak Buruk Sedang

3 Pademangan Layak Tidak

Layak

Layak Tidak Layak Buruk Sedang

4 Tebet Layak Layak Layak Tidak Layak Buruk Sedang

Faktor dominan yang mempengaruhi rendahnya kualitas air sumur yang diteliti, yaitu pencemaran mikrobiologi (E. coli) dimana seluruh sampel 100% tidak memenuhi baku mutu dengan nilai skor -15, kemudian disusul pencemaran kimia (organik) yaitu deterjen sekitar 85% tidak memenuhi dengan nilai skor -10, kemudian pencemaran kimia (besi), hampir 60% tidak memenuhi dengan nilai skor -10, dan pencemaran fisik (kekeruhan) sekitar 14% tidak memenuhi baku mutu dengan nilai skor -1 parameter NO-3-N ternyata seluruhnya belum melampaui baku mutu.

Kekeruhan air menunjukkan adanya bahan-bahan tersuspensi yang bervariasi dari ukuran koloidal sampai dispersi kasar. Pada daerah permukiman, kekeruhan disebabkan oleh buangan penduduk dan industri baik yang telah diolah maupun yang belum mengalami pengolahan (Saeni, 1989). Semakin banyak kandungannya, nilai kekeruhan semakin tinggi.

Besi (dalam bentuk Fe2+) adalah zat terlarut dalam air yang sangat tidak diinginkan dalam keperluan rumah tangga, karena dapat menimbulkan bekas karat pada pakaian dan porselin, dan pada konsentrasi menimbulkan rasa tidak enak pada air minum (Saeni,1991). Sesuai dengan baku mutu air untuk air minum, nilai maksimum Fe adalah >0,3 mg/, maka untuk sampel tersebut sebagian nilainya telah melampaui baku mutu, Sawah Besar memiliki nilai maksimum 1,1 mg/l. Berdasarkan atas nilai tersebut, air tidak enak untuk diminum, dan tidak layak untuk diminum.

Nitrat merupakan salah satu bentuk nitrogen yang larut dalam air, yang sumber pencemarannya dari lingkungan permukaan berasal dari kotoran manusia dan hewan, dan dari daerah pertanian dari aktivitas pemupukan. Dari hasil pengukuran nilai NO3-N minimum terendah 0,29 mg/l di Kecamatan Kemayoran


(1)

25.Menurut Anda, dalam mengalokasikan air diantara pengguna air, siapakah yang dianggap dapat mengelola dan mengalokasikan air secara baik :

a. Kelompok masyarakat b. Kelurahan

c. Perusahaan air minum milik pemda (PDAM) d. Perusahaan air minum swasta


(2)

Lampiran 26. Foto-foto kondisi lokasi penelitian

Gambar 1. Kondisi Pemukiman Kumuh di Tanah Abang-1


(3)

Gambar 3. Kondisi Pemukiman Kumuh di Pademangan


(4)

Gambar 5. Kondisi Pemukiman Kumuh di Kemayoran

Gambar 6. Penggunaan Air Sumur di Kawasan Permukiman Kumuh Pademangan


(5)

(6)